Meninggalkan Akbar yang termenung sendirian. Dia baru tersadar dan membuka mata akan sifat asli mamanya. Selama ini Akbar sudah tahu bagaimana karakter sang mama, juga kebencian wanita itu pada Saga. Namun kali ini Akbar benar-benar melek setelah bertahun-tahun yang lalu bersikap bodo amat.Ponsel kembali bergetar, ada panggilan masuk dari Nara setelah sejak semalam pesannya tidak direspon. Entah kenapa ia merasa muak dengan kelakuan istri keduanya itu. Sebuah rasa yang ia sesali kenapa tidak hadir sejak dulu. Apa karena dibutakan oleh tubuh se*si dan begitu terobsesi hingga mengabaikan akal sehatnya kala itu?Bahkan tangisan Melati tak membuatnya tersentuh. Sekarang setelah Melati tak lagi menangis untuknya, dia baru sadar. Kalau sang istri telah mencapai puncak tertinggi sebuah penerimaan. Bukan menerima ia bermadu, tapi siap untuk perpisahan. Setelah Melati ikhlas menerima dan berusaha bangkit dan pergi dari hidupnya, sekarang Akbar baru mulai merasakan luka karena kehilangan.Akb
Saga diam menikmati rokoknya di kamar. Di ruang tengah rumah besar itu terdengar percakapan dan gelak canda dua keluarga. Mereka sangat menikmati kebersamaan. Tanpa peduli kalau di ujung sana, seorang wanita terkapar kesakitan mendekap lukanya. Mereka bahagia di atas penderitaan perempuan lain yang disakitinya. Melati sedang apa dia?Namun dilihat dari sikap Akbar, Saga yakin kakaknya tidak sedang baik-baik saja. Pasti sekarang dia sudah tahu siapa perempuan yang di kejar-kejarnya selama ini. Perempuan yang membuatnya sanggup menduakan Melati.Dia sudah berusaha menjauhkan perempuan itu dari kehidupan kakaknya, agar hubungan Akbar dan Melati baik-baik saja. Tapi tanpa Saga tahu, diam-diam Akbar tetap mencari perempuan itu. Bahkan sudah menikahinya. Mungkin dalam beberapa hari saat Melati diam dan menangis, sebenarnya dia sudah tahu kalau suaminya menikah lagi. Lantas menggugat cerai tanpa sepengetahuan Akbar. Bahkan dirinya pun tidak diberitahu.Siapa yang tidak kepincut dengan tubu
Meski Saga terlihat cuek, tapi sebenarnya dia peduli dengan diam-diam membuat Nara menjauh. Supaya rumah tangganya dengan Melati bisa di selamatkan. Hanya saja dirinya yang bodoh, masih mengejar-ngejar tanpa memikirkan perasaan Melati.Bahkan sekarang, kabar perceraiannya dengan Melati telah mencuat jadi konsumsi warga desa. Namun dinding tinggi rumah besar mereka memang tidak bisa mendengar apa yang diucapkan orang-orang di luar sana. Jadi keliatan tetap adem dan tidak terjadi apa-apa.Akbar meraih ponselnya yang berpendar di atas meja. Pesannya dibalas oleh Melati.[Besok saja kita bertemu di pengadilan, Mas.]Pesannya yang dikirim panjang lebar tadi, hanya dibalas singkat. Ketika hendak di telepon, nomernya sudah tidak aktif lagi. Sepertinya Melati memang telah mantap berpisah darinya.Pria itu berdiri dan masuk kamarnya yang kini terasa hening dan kosong. Segala perlengkapan perawatan diri di atas meja rias milik Melati tidak ada satu pun yang tertinggal.Namun perhiasan yang per
Melati tersenyum memandang layar ponselnya. Tampak Moana tengah makan biskuit sambil nonton kartun kesukaannya. Sesekali terdengar gelak tawanya yang lucu.Netra Melati berkaca-kaca, ia rindu. Ingin sekali mendekap gadis kecilnya, tapi jarak yang dekat itu tidak bisa ditempuhnya.[Terima kasih kiriman videonya, Ga.] Ketik Melati untuk Saga. Saking asyiknya sampai ia lupa mengucapkan terima kasih pada Saga yang telah mengirimkan video itu untuknya.[Sama-sama. Kamu tidak apa-apa, 'kan?]Apa yang harus dibalasnya? Bilang baik-baik saja adalah sebuah kebohongan. Hatinya tidak tenang setelah sidang mediasi seminggu yang lalu. Akbar masih berusaha merayunya dengan berbagai alasan, termasuk ancaman bahwa dia tidak akan pernah bisa lagi bertemu dengan Moana, apalagi memenangkan anaknya dalam hak penjagaan.Jujur ia sudah tumbang sekarang. Sejak tadi malam tubuhnya demam. Namun Melati tidak ingin memberitahu Saga. [Mel.][Aku nggak apa-apa, Ga. Makasih untuk support-mu. Aku mau istirahat du
"Halo, Ga.""Kamu kenapa, Mel? Kudengar suaramu serak gitu. Kamu sakit?""Agak meriang. Tapi udah mendingan ini.""Kamu sudah periksa?""Belum.""Kenapa belum? Biar aku telepon Ana untuk mengantarmu periksa ke dokter. Nanti biar aku yang bayar.""Nggak usah. Makasih banyak. Aku hanya butuh istirahat ini. Jangan khawatir, aku nggak apa-apa. Ana tadi pagi juga sudah ke sini. Oh ya, kamu di mana kok bisa nelepon aku?""Aku lagi di tengah kebun.""Barusan saja aku berbincang sama Budhe tentang hak asuh Moana." Melati menceritakan perbincangannya tadi. Tentang kebimbangan, ragu, dan rasa pesimis yang menggerus perasaannya."Aku doakan kamu bisa mengambil hak asuh Moana. Kamu jangan khawatir, aku akan membantumu secara finansial."Melati tersenyum getir. Mau sampai kapan dia merepotkan dan menjadi beban Saga."Aku nggak mau ngrepotin kamu lagi, Ga. Kamu juga butuh tabungan untuk masa depanmu sendiri. Sebentar lagi kamu nikah sama Alita. Jangan sampai dia salah paham dengan niat baikmu memba
Melati tersenyum ketika menjabat tangan laki-laki yang kini sudah menjadi mantan suami. Senyum yang serupa sabetan parang bagi Akbar. Menerabas organ paling vitalnya, paru, jantung, ulu hati, dan nadi yang serasa mati seketika."Izinkan aku untuk bertemu Moana sesekali waktu. Kabari juga jika dia sakit," ujar Melati dengan suara bergetar.Akbar tidak sanggup menjawab sepatah kata pun. "Aku minta maaf jika memiliki banyak kesalahan selama kita bersama. Semoga kamu bahagia, Mas." Ini kalimat terakhir Melati untuk Akbar sebelum melangkah menghampiri mantan mertuanya. Kalimat yang mengiris hati laki-laki itu.Melati mencium tangan Pak Norman. Meminta maaf dan mengucapkan banyak terima kasih. Ia melakukan hal yang sama pada Bu Rista. Meski tidak begitu dipedulikan, setidaknya ia sudah meminta maaf. Apa salahnya melakukan itu, meminta maaf duluan bukan sebuah kehinaan.Terakhir ia menyalami Nara. "Semoga kalian menjadi keluarga bahagia," ucapnya sambil tersenyum. Kemudian Melati pamitan pa
Saga melaju pergi dengan kecepatan tinggi. Ia makin muak dengan situasi di sana. Apalagi sekarang ada Nara yang tingkahnya sudah seperti putri raja saja. Tertawa ceria ketika berbincang dengan Bu Rista. Terbahak-bahak begitu akrabnya. Dia tidak sadar, telah menghancurkan hidup wanita lain. Namun istri kedua kakaknya itu akan bungkam seribu bahasa jika Saga ada di sana. Hanya Saga yang bisa menciutkan nyalinya.Sepi. Hari Minggu seluruh karyawan perkebunan memang libur. Hanya ada Pak Radi dan istrinya.Beberapa saat Saga termenung di samping kantor, menatap kejauhan dalam perasaan yang kian hampa. Semalaman dia masih berbalas pesan dengan Melati. [Aku mau pergi, Ga.][Pergi ke mana?][Belum tahu. Tapi aku masih nunggu masa iddahku selesai. Aku ingin menenangkan diri. Aku juga butuh pekerjaan. Jika ingin buka usaha, aku harus mencari pengalaman dulu, kan?][Beritahu aku, ke mana kamu akan pergi?][Aku juga belum tahu.][Jangan pergi tanpa tujuan, Mel.][Aku punya tujuan. Aku butuh kerj
Waktu yang Hilang- PergiSaga menatap gerimis yang turun malam itu. Gerimis yang yang membawa galau dalam kalbu. Layar ponselnya masih sepi. Tak ada pendar yang menandakan pesannya di balas. Bahkan ponsel Melati sudah tidak aktif lagi."Jam berapa Melati pergi dari rumah?" tanya Izam. Malam itu mereka berdua duduk di teras rumah Izam. Saga gelisah sejak siang tadi setelah tahu Melati sudah meninggalkan desa mereka."Pagi. Waktu aku ke rumah Budhe Tami. Melati sudah berangkat satu jam sebelumnya.""Masa iya mereka juga nggak tahu ke mana tujuan Melati?""Tentu saja tahu. Hanya mereka tak mau ngasih tahu aku," jawab Saga dengan nada kecewa."Apa mungkin Melati ganti nomer, Ga?""Dia tidak mungkin ganti nomer. Sebab masih perlu berkomunikasi dan tahu kabar Moana. Seorang ibu, sekecewa apapun, nggak bakalan tega dan masa bodoh dengan anaknya. Aku tahu Melati itu seperti apa. Sepertinya Melati memblokir nomerku, Zam," jawab Saga sambil terus mengutak-atik ponselnya.Dahi Izam mengernyit