RAJA berjalan santai menyusuri koridor, dengan ketiga sahabatnya yang mengekori di belakang. Kantin merupakan tujuan mereka saat ini.
Mereka berempat sangat populer di SMU Pelangi ini. Sangat populer, karena berkat ulahnya yang suka sekali membuat keonaran. Entah itu menindas kaum kecil, ataupun mem-bully yang tak bersalah. Sehingga, banyak warga sekolah yang tak menyukai perilaku mereka.
Kendati begitu, mereka juga merupakan donatur terbesar di Sekolah. Sehingga, sangat disegani oleh para guru. Bahkan, jika mereka membuat keonaran, pihak sekolah hanya mampu menegur tanpa memberi hukuman. Sudah pasti, membuatnya semakin besar kepala.
Langkah Raja terhenti di ujung koridor sekolah. Pandangannya langsung tertuju ke arah seorang cowok berkacamata yang tengah asyik menyantap makan siang di meja miliknya. Ia mendengkus kesal.
Kening Lisa mengerut, saat jalannya terhalang oleh punggung cowok yang disukainya. Tatapannya kini mengikuti arah pandang cowok itu. Dan terpegun saat melihat pemandangan di depannya. Ia tersenyum licik. Lalu, berjalan maju, mendekat ke samping tubuh Raja. "Kita kasih pelajaran saja dia!" ucapnya.
Raja menyeringai. Lalu, langsung melangkahkan kedua kakinya, mendekati mangsa barunya.
Brraaaakkk!!!
Tanpa basa-basi, Raja langsung menggebrak meja dengan kencang. Membuat cowok jenius berkacamata itu terlonjak kaget di kursinya. “Minggir!” bentaknya kemudian.
Semua pasang mata kini tertuju ke arah cowok nahas itu. Mereka hanya bisa menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh kelompok yang berisi anak-anak sultan itu kepada sang korban, tanpa mau membantu. Pasalnya, mereka tak ingin ikut ter-bully karena lantaran membantu.
Siswa berkacamata itu ialah Yoga. Ia merupakan murid pindahan yang baru beberapa bulan belajar di sekolah ini. Yoga menelan salivanya dengan susah payah. Mencoba membenarkan letak kacamata yang sedikit melorot di ujung pangkal hidungnya, saat salah satu cowok di antara kelompok itu sudah duduk di samping kanannya. Bahkan, merangkulnya.
"Lo buta, ya? Lo nggak lihat tulisan sebesar ini?" beritahu Kevin. Cowok bermata sipit, dengan baju seragam yang sudah keluar dari celana panjangnya itu menunjuk sebuah tulisan yang ada di atas meja.
Lisa mendaratkan bokongnya di atas kursi, tepat di depan Yoga. Bersamaan dengan itu, Raja turut duduk di samping kanannya. "Mungkin dia nggak bisa baca, Vin. Sini, biar aku yang bacain, 'Meja ini milik The Richest'," sahutnya mengintimidasi. Cewek yang selalu menguncir rambut panjangnya seperti buntut kuda itu tertawa mengejek saat melihat raut wajah Yoga yang tampak ketakutan.
"Ma-maaf." Yoga tergagap. Panik. Ia memilih untuk bangkit, dengan membawa mangkuk yang berisi bakso. Lalu, melangkahkan kedua kakinya pergi.
Yoga menatap tak suka ke arah Raja saat akan melintasi cowok berkulit putih itu. Mereka sekilas saling bersitatap. Namun, nahas. Tatapannya terlalu fokus ke arah Raja, hingga tak melihat jika kaki cowok itu sudah terulur panjang di bawah kakinya. Dan ....
Praaaanggg!!!
Yoga terjatuh. Pun, mangkuk yang berisi bakso miliknya pecah dan menumpahkan semua isinya, yang saat ini telah berserakan di atas lantai.
Gelak tawa kelompok The Richest seketika membahana seisi kantin. Puas. Melihat mangsanya bertekuk lutut di atas lantai.
Gavin yang masih berdiri di samping Lisa, mendesah pelan. Ia menggeleng melihat perbuatan ketiga sahabatnya. Jujur saja, ia tak tertarik dengan permainan mereka. Ia pun memilih untuk duduk di samping Kevin yang merupakan kursi milik Yoga tadi.
Gavin memang yang berbeda. Ia yang terpintar, sekaligus bisa diandalkan di antara ketiga sahabatnya. Ia jarang mem-bully, walaupun terkadang juga suka membuat keonaran. Bahkan, ia memiliki lebih banyak penggemar yang didominasi cewek, dibandingkan dengan Raja. Hobinya ialah balapan motor dan mengoleksi miniatur sepeda motor balap dari berbagai belahan dunia.
Yoga bangkit. Lalu, membersihkan seragamnya yang kotor akibat terkena debu lantai. Beruntung, kuah bakso itu tak mengenai seragamnya. Ia mendengkus kesal. Pikirannya saat ini telah melayang jauh, memikirkan pembalasannya nanti. Tanpa disadar, kedua tangannya telah terkepal erat.
••••
Siang merangkak sore. Bel pulang sekolah telah berdering beberapa menit yang lalu. Para penghuni sekolah juga telah banyak yang berhambur keluar kelas dan melangkahkan kedua kaki untuk menuju ke pintu gerbang sekolah.
Begitu pula Awes, cowok itu telah lengkap menggunakan jaket berwarna biru serta helm. Pun, telah duduk di atas motornya. Mengeluarkan ponsel pada saku celana, dan mulai mengaktifkan applikasi ojek online-nya. Kini, ia telah siap untuk menerima order-an.
Ting !
Tanpa perlu menunggu lama, Awes mendapatkan notifikasi order dari salah seorang pelanggannya. Ia tersenyum semringah. Memasukkan kembali ponsel. Dan bergegas menancap gas. Menjemput sang pelanggan.
Seperti itulah, rutinitas keseharian seorang Awes di setiap pulang sekolahnya. Awes bekerja paruh waktu sebagai ojek online yang berada di bawah naungan perusahaan OJOLALI - Ojek online bang Ali. Hal itu, dilakukannya guna memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan sang nenek.
Awes tinggal bersama neneknya yang terbiasa berjualan kue jika hanya ada order saja. Order-an sang nenek, belum sebanyak Awes sebagai tukang ojek. Oleh sebab itu, setiap hari Awes rela pulang malam hanya untuk mengais rezeki.
“Dengan Mbak Shasa?” tanya Awes kepada seorang wanita yang sedang hamil di depannya, saat telah tiba di lokasi penjemputan.
Shasa tertegun saat menemukan seorang cowok yang masih mengenakan seragam sekolah di hadapannya. Baginya, zaman sekarang sangat jarang sekali ditemui remaja seperti itu. Di mana biasanya, remaja seusianya lebih memilih untuk berkumpul dengan teman-teman sebaya di jam pulang sekolah seperti ini. “Iya, benar, Kak,” jawabnya akhirnya.
Awes mengulas senyum kepada sang pelanggan. Lalu, memberikan helm, yang langsung diterima oleh wanita berparas cantik itu. Namun, kali ini netranya terpegun ketika melihat wanita itu tampak kesulitan menaiki motornya. Dengan sigap, Awes mengulurkan tangan kanan untuk membantu Shasa naik. Membuat wanita itu kembali tertegun akan sikap baik Awes.
“Nama kamu beneran Always?” tanya Shasa memecah keheningan sore dalam perjalanannya.
“Iya, Mbak. Nama saya aneh ya?”
“Aku Shasa. Nggak, kok. Justru nama kamu unik. Kamu juga ganteng.”
Awes tertawa mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Shasa untuknya. Menurut Awes, selain ibunya tak ada lagi yang pernah menyebut dirinya dengan sebutan ganteng. Bahkan, neneknya pun tak pernah. Sungguh terlalu memang.
“Saya nggak ganteng, Mbak. Buktinya saja saya masih jomlo,” aku Awes yang masih diiringi dengan tawanya.
Shasa terkekeh saat mendengar pengakuan dari Awes. “Memangnya di sekolahmu, nggak ada cewek yang kamu taksir?”
“Ada, Mbak. Dia anak Komandan Besar Kepolisian. Saya sudah beberapa kali ngasih kode, tapi sepertinya dia biasa saja ke saya. Haha.”
“Kamu aneh, mana ada cewek yang mau dikasih kode doang. Cewek itu maunya dikasih kepastian. Jangan ngasih kode mulu. Ungkapin dong perasaan kamu, keburu dia diambil cowok lain.”
“Haha. Iya mba.” Awes menyenggih. Benaknya mengatakan bahwa apa yang diucapkan customer-nya itu memang benar. Dan sebelum itu terjadi, Awes harus bergerak cepat.
Seketika sorot lampu lalu lintas menghentikan laju motor Awes, saat sorot lampunya berwarna merah. Seorang bocah yang ditaksir berusia lima tahun, berjalan menghampiri Awes dengan pakaian lusuh dan juga gitar kecil di tangannya. Tanpa disangka, bocah laki-laki itu bernyanyi di samping kiri Awes. Menyanyikan sebuah lagu milik Chrisye yang berjudul Anak Jalanan.
Anak jalanan kumbang metropolitan.
Selalu ramai dalam kesepian. Anak jalanan korban kemunafikan. Selalu kesepian di keramaian.Awes terenyuh. Seketika dadanya berdenyut pilu saat mendengar suara merdu bocah itu. Ternyata, kerasnya Ibu Kota membuat anak itu harus mencari rezeki seorang diri. Entah kenapa, Awes merasa bersyukur karena masih bisa bersekolah. Sedangkan anak itu? Entahlah. Ia yakin jika bocah itu putus sekolah.
Awes merogoh saku seragamnya, dan menemukan uang sebesar 10.000 yang merupakan uang satu-satunya miliknya saat ini. Ia memberikan uangnya kepada bocah itu. Harapannya, supaya uang tersebut bisa bermanfaat untuk si bocah.
“Terimakasih, Kak,” tutur bocah itu tulus. Lalu, berlalu pergi meninggalkan Awes.
Awes kembali melajukan sepeda motornya saat sorot lampu lalu lintas berwarna hijau. Hanya keheningan yang saat ini menemani keduanya. Hingga, pada akhirnya mereka sampai di depan pintu gerbang berwarna hitam.
Awes menghentikan motornya di depan pintu gerbang itu. Netranya tak henti memandang takjub rumah mewah di hadapannya, seraya membatin, "Kapan gue bisa punya rumah sebesar ini, ya?"
“Selain ganteng, ternyata kamu juga baik, ya? Kamu mau menolong anak jalanan tadi.” Shasa turun dari motor perlahan. Lalu, memberikan helm kepada Awes, sekaligus memecah kehaluan cowok itu.
Awes terlonjak kaget. Ia menyenggih, lalu menerima helm itu dan meletakkannya di pengait yang ada di depan jok motornya. “Ah, biasa saja, Mbak. Hehe.”
“By the way. Aku punya sebuah komunitas yang punya kegiatan untuk saling berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Kalau kamu berminat, kamu boleh gabung.” Shasa merogoh tas selempang kecilnya untuk mengambil uang. Lalu, memberikan uang itu kepada Awes.
Netra Awes berbinar senang. “Waah, boleh, Mbak. Kapan-kapan saya daftar jadi anggotanya, ya?” sahutnya antusias, seraya menerima uang tipsnya. “Terimakasih ya, Mbak,” tambahnya kemudian.
Shasa melenggut. Mengulas senyum. Kemudian, melangkahkah kaki ke pintu gerbang dan masuk ke dalam rumah. Sedangkan Awes kembali mencari order-an.
••••
Arvin berjalan santai, menuju ke parkir sekolah yang telah sepi. Menaiki sepeda motor sport ninjanya. Kemudian memakai helm full face-nya. Namun, netranya terpegun saat menemukan Happy yang terduduk seorang diri di kursi taman, saat akan melajukan motornya.
"Ya, Yah. Nggak apa-apa. Aku bisa pulang naik taksi."
Happy menutup panggilan teleponnya. Ia mendesah pelan. Pasalnya, sudah cukup lama menunggu sang ayah yang sudah janji untuk menjemputnya. Nyatanya, karena sesuatu yang mendesak, sehingga sang ayah tak bisa menjemput.
Happy memilih bangkit. Langkahnya surut perlahan ke arah pintu gerbang yang masih terbuka setengah.
"Ayo, naik! Aku antar kamu pulang."
Happy tergemap. Jantungnya terasa mau melompat, ketika tiba-tiba saja ada motor berhenti di sampingnya. Bukankah sekolah telah sepi dan sudah tak ada siswa selain dirinya?
Langkah Happy terhenti. Mencoba untuk menoleh. Namun, seketika netranya langsung berbinar senang saat menemukan Arvin yang ada di sampingnya. Tanpa buang waktu, ia melenggut. Menerima ajakan cowok itu. Sayangnya, motor sport berwarna merah itu terlalu besar dan tinggi. Membuat Happy merasa kesulitan untuk menaikinya.
Berkali-kali Happy mencoba untuk naik. Akan tetapi, berkali-kali pula kakinya tak mampu menjangkau jok motor yang tinggi itu. Hingga akhirnya memberenggut dan menggerutu kesal.
Arvin terkekeh melihat mimik wajah Happy yang tampak kesal melalui kaca spion motornya. Ia pun mengulurkan tangan kanan untuk membantu cewek itu menaiki motornya.
Happy tertegun saat tangan kekar itu terjulur di hadapannya. Entah kenapa degup jantungnya saat ini berdetak tak keruan. Haruskah ia menerima uluran tangan itu? Pandangannya kini beralih ke arah cowok berhelm full face di hadapannya yang tengah memberikan kode untuknya segera naik. Ia melenggut. Lalu, menerima uluran tangan itu, dengan debaran jantungnya yang kian meningkat di antara rona wajah yang memerah. Oh, Ya Tuhan, ada apa dengan dirinya saat ini?
“Kamu kenapa belum pulang?” Arvin setengah berteriak agar suaranya tak terbawa angin.
“Aku tadi nunggu ayah buat jemput aku. Tapi, ternyata ayah nggak bisa jemput, karena harus menyelesaikan sebuah kasus yang mendadak di kantornya. Kamu sendiri kenapa baru pulang?” Happy juga setengah berteriak, sehingga suaranya sampai di telinga Arvin.
“Aku baru selesai bikin propasal buat pengajuan pemasangan CCTV besok.”
Happy melenggut. “Semoga pak Gay setuju dengan proposalnya ya, Vin.”
“Iya. Semoga.” Detik berikutnya, keheningan menemani keduanya.
Happy memilih untuk menikmati semilir angin senja yang berembus menerpa wajahnya. Sedangkan Arvin, diam-diam tersenyum kecil seraya memerhatikan cewek itu melalui kaca spion.
••••
09:10 PM
“Assalamualaikum.” Hening. Tak ada sahutan salam dari dalam rumah.
Awes memutuskan untuk memutar tuas pintu yang tak terkunci, dan langsung masuk ke dalam rumah. “Nek!” panggilnya, sambil melepas sepatu dan meletakkannya di dalam rak.
Nihil. Tak ada jawaban dari sang nenek. Ke mana nenek? Batinnya was-was.
Awes mulai melangkahkan kedua kakinya masuk lebih dalam. Namun, terpegun saat menemukan sang nenek yang sedang menangis karena menonton drama korea di TV, setelah sampai di ruang tengah. Ia menggeleng. Tak habis pikir dengan sang nenek yang usianya hampir memasuki kepala lima, akan tetapi masih saja menyukai hal-hal seperti itu.
Srroooot!!
“Wes, kamu sudah pulang? Kenapa kamu nggak ngucap salam?” omel sang Nenek sambil membuang cairan nan kental dari lubang hidung, saat menyadari jika cucunya telah pulang dan memerhatikannya.
Awes berdecak kesal sambil menaiki satu persatu anak tangga untuk menuju ke kamarnya. “Dari tadi Awes sudah ngucap salam, tapi nggak ada yang jawab, Nek.”
“Kamu sudah makan, Wes?”
“Sudah, Nek!” teriak Awes yang saat ini sudah ada di lantai atas.
Di kamarnya yang hanya berukuran 2,5 x 3,5 meter, Awes membuang sembarang tasnya ke atas ranjang. Pun, merebahkan tubuhnya di sana. Malam ini, rasa lelah sekaligus penat mendekapnya. Pandangannya saat inu menerawang menatap dinding atap kamarnya. Teringat akan kasus pencurian yang terjadi tadi pagi di sekolahnya. Sebuah kasus yang masih diselimuti oleh misteri. Sebuah kasus tentang seseorang yang mengaku Wolf.
“Siapa Wolf dan ke mana raibnya uang itu?" gumamnya.
Awes mendesah. Jika teringat akan kasus itu, entah kenapa di benaknya selalu saja terpikir bahwa betapa enaknya mencuri, tanpa harus lelah mencari uang seperti dirinya.
“Apa gue juga harus mencuri?” tanyanya bermonolog dengan sepi. Namun detik berikutnya, Awes menggeleng. Bukankah mendapatkan uang dengan cara yang tak halal itu salah besar? Seharusnya Awes bangga kepada dirinya sendiri, yang bisa mencari uang dengan cara yang halal.
Tak ingin terus-menerus berada dalam suasana hati yang kalut, Awes beranjak dari ranjang, dan menghampiri meja belajarnya. Ia mendaratkan bokongnya di kursi. Lalu, menatap figura foto kedua orang tuanya. Ia mengusap foto sang ibu yang tengah tersenyum dengan ibu jarinya.
“Apa ibu bahagia di atas sana?” gumamnya.
Kini, pandangannya beralih ke arah foto sang ayah yang berdiri di samping ibunya. Seketika, dadanya bergemuruh. Terasa panas. Jujur saja, Awes sangat membenci sang ayah. Sebab, pria itulah yang sudah menyebabkan ibunya meninggal dunia. Dan, mungkin saat ini pria itu sudah hidup bahagia dengan istri barunya.
Awes mendesah pelan. Oleh sebab itu, ia lebih memilih hidup sederhana bersama nenek tercinta di rumah sederhana ini. Dibanding hidup mewah bersama sang ayah di istana. Namun, seperti hidup di neraka.
••••
Di tempat yang berbeda. Di sebuah rumah bak istana. Wolf duduk di meja belajar, dengan menyalipkan bolpen di antara jari-jemarinya. Ia menatap lembaran kertas yang telah tertulis nama para korban, dan calon korban selanjutnya. Ia menyeringai. Sudah ada dua nama yang telah ditandai olehnya dengan ceklis di samping nama para korban. Sebuah nama yang telah berhasil dieksekusinya.
“Arvin? Kenapa aku bisa lupa untuk memberikanmu sebuah julukan dan pesan? Karena aku menyukaimu, bagaimana jika kau, aku panggil dengan julukan burung elang?” Wolf mencoret nama Arvin pada kertasnya dan menuliskan burung elang di sampingnya.
Kini, ia merancang sebuah rencana untuk korban ketiganya. Baginya, tak boleh ada kata gagal di dalam setiap aksinya. Oleh sebab itu, butuh proses yang panjang dan waktu yang sangat lama untuk membuat sebuah rencana yang matang. Sebab, ia harus mengintai korbannya. Pun, mengamati situasi dan kondisi di lingkungan sekolahnya.
Wolf menyeringai. Lalu, berkata,“Tunggu aku! Sang bangau.”
To be continued
Bakalan ada korban baru lagi.
Kira-kira siapa ya si bangau yang dimaksud Wolf?
ARVIN ditemani oleh Awes berada di ruang kepala sekolah. Berdiri mematung di depan meja seorang pria berwajah tegas di hadapannya. Sebab, mereka baru saja menyerahkan proposal yang berisi pengajuan pemasangan CCTV untuk setiap kelas.Pak Gayandra yang selalu disapa hangat dengan panggilan Pak Gay itu membaca proposalnya dengan sangat teliti. Pria paruh baya, yang dikenal memiliki sifat arogan, usianya ditaksir sekitar 45 tahun. Ia memijit pelipis dengan jari jemari tangan kiri. Tak lama setelahnya, meletakkan proposal di atas meja, dan membenarkan letak kaca matanya yang sedikit melorot di pangkal hidungnya.Arvin menelan salivanya dengan susah payah. Keringat dingin merebak, seiring dengan degup jantung yang kian meningkat. Apa yang harus ia lakukan untuk memulai pembicaraan dengan pria itu sekarang?“Ba-bagaimana, Pak? Apa Pak Gay setuju dengan isi proposal yang para OSIS buat?” Cukup lama
SMU PELANGI memiliki tata ruang bangunan tiga tingkat yang berbentuk layaknya huruf U. Di mana setiap tingkat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sayap kanan dan sayap kiri yang ditengahi oleh tangga utama yang cukup besar. Kendati begitu,masing-masing sayap juga memiliki tangga untuk mempermudah akses jalan para siswa. Mengingat, bangunannya yang cukup luas.SMU Pelangi hanya memiliki 18 ruang kelas saja, di mana masing-masing kelas terdapat enam ruangan kelas. Namun, kelas 11 dan kelas 12 dibagi sesuai jurusan, yaitu jurusan IPA memiliki dua ruangan kelas, dan jurusan IPS memiliki empat ruangan kelas. Pun, kelas 10 terdapat enam kelas dan dibagi menjadi tiga ruangan kelas yang menduduki lantai dasar pada sayap kanan dan sayap kiri. Sedangkan kelas 11 IPA menduduki lantai dua, dan kelas 12 IPA menduduki lantai tiga pada sayap kanan.
07.45 AMPAGI ini. Matahari tampak malu dengan bersembunyi di balik gumpalan awan nan kelabu. Angin berembus lembut, menerpa siapa saja tanpa permisi. Kendati begitu, hawa panas tetap saja terasa membakar diri pada setiap siswa yang sedang berlari.Itulah yang dilakukan oleh para penghuni kelas 11 IPA satu yang memiliki jadwal mata pelajaran Olahraga. Mereka berlari mengelilingi lapangan Sekolah sebanyak lima putaran. Membuat para siswi merasa kelelahan. Padahal, mereka hanya baruberlari sebanyak dua putaran saja.Berbeda halnya dengan Awes. Cowok itu telah berhasil menyelesaikan empat putaran larinya, dengan semangat membara. Namun, mengernyit bingung saat tak menemukan sosok Happy di belakangnya. Ke mana perginya cewek itu? Pasalnya, cewek berparas cantik itu masih terlihat berlari pada putaran ke tiganya. Tapi, saat ini Happy menghilang. Entah ke mana.Awes berniat untuk se
SEBAGAI ketua tim keamanan OSIS, Always memiliki peran penting untuk menjaga keamanan di lingkungan sekolahnya. Oleh sebab itu, ia merasa bertanggung jawab untuk memecahkan kasus pencurian yang sedang berkeliaran saat-saat ini.Awes memilih untuk melaporkan kejadian yang telah menimpa Rosa kepada wali kelasnya. Kemudian, bergegas pergi ke ruang siaran, setelah laporannya diterima. "Pengumuman! Untuk semua warga sekolah, dimohon untuk tetap berada pada tempatnya masing-masing. Karena, kami selaku tim keamanan OSIS akan melakukan sidak kepada seluruh warga sekolah. Terimakasih."Hening.Awes mematikan mikrofonnya. Tertunduk, seraya mendesah pelan. Hatinya terasa berdenyut pil
08.30 PMSETIBANYA di rumah, Arvin langsung menuju ke kamar. Meletakkan tasnya di atas meja belajar. Lalu, menghempaskan tubuhnya, yang terasa begitu lelah, di atas ranjang yang empuk. Netranya menerawang menatap atap dinding kamar yang berwarna biru langit. Pun, kini benaknya telah berhasil menembus batas waktu, akan kejadian pagi tadi di sekolahnya.07.15 AMTiba-tiba saja, Arvin merasakan tubuhnya terasa remuk dan sakit di bagian kepala. Ia pun memilih untuk izin keluar kelas, menuju ke UKS. Mau tak mau Arvin harus rela tak mengikuti mata pelajaran pertamanya.Namun, Arvin terkejut saat mendapati Happy, setelah sampai di UKS.
SMU PELANGI memiliki bangunan kantin yang cukup luas. Di bangunan berbentuk persegi yang terbuka itu, berjejer lima stand makanan dan minuman yang dibangun dengan menggunakan tembok permanen. Kendati begitu, di bagian tengah masing-masing stand tepat di samping kanan pintu, sengaja dibiarkan terbuka dengan tembok yang hanya beberapa meter saja di bawahnya. Hal itu bertujuan supaya bisa digunakan sebagai tempat bertransaksi jual beli antara para siswa dan penjual. Pun, kursi dan meja berjejer rapi di depannya. Atap kantin yang terbuat dari genting beton membuat para penghuninya terlindungi dari terik sinar matahari. Pepohonan hijau yang tumbuh di arena Kantin, membuat suasana semakin tampak sejuk.Seperti saat ini, suasana kantin tampak begitu ramai, walau cuaca sedikit terik. Para penghuni kantin menyantap makan siangnya diiringi dengan denting suara sendok dan juga garpu. Tak sedikit dari mereka, yang hanya memesan Pop Ice mbak Wi
ARVIN memandang langit yang tak berbintang dari balkon kamarnya. Sepertinya, malam ini hujan akan mengguyur Ibu Kota. Bisa dilihat dari gumpalan awan berwarna hitam pekat yang terus bergerak maju menyembunyikan indahnya sinar rembulan dan juga bintang. Perlahan, angin dingin berdesir lembut menerpa siapa saja yang berada di bawahnya. Arvin pun memilih beranjak dari pembatas pagar untuk segera masuk ke kamarnya. Sebab, tak ingin dinginnya malam terus menggerogoti tubuhnya.Arvin memilih untuk duduk di kursi meja belajarnya. Membuka buku pelajaran untuk dibaca dan diserap ilmunya. Ia baru ingat, jika besok akan ada ulangan harian di kelas. Oleh sebab itu, kini di antara jari-jemarinya telah terselip bolpoint yang siap untuk bergerak lincah, menuliskan kata demi kata di buku tulisnya. Kebiasaannya, yang suka merangkum apa saja yang dibaca, dan akan dibaca ulang nantinya.
HUJAN semalam, masih terus mengguyur Ibu Kota hingga sampai pada pagi hari ini. Oleh sebab itu, upacara bendera yang sudah menjadi rutinitas di hari senin pagi, terpaksa harus ditiadakan. Hal tersebut, membuat seluruh penghuni sekolah masih memiliki waktu 30 menit sebelum jam mata pelajaran pertama dimulai.The Richest memilih menghabiskan waktu mereka, untuk berkumpul. Kali ini, kelas Raja menjadi tempat utama untuk berkumpulnya anak konglomerat itu. Walaupun pada kenyataannya, kini mereka berempat sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Mereka semua asyik menatap layar ponsel. Kendati begitu, Gavin lebih memilih membaca buku mata pelajarannya, sebagai bekal ulangan hariannya nanti.Kevin memandang takjub layar ponselnya, yang memperlihatkan berita tentang pengeluaran miniatur sepeda motor balap terbaru, dari
Dua Tahun Kemudian“Hai, mata raishuu.” (Ya, sampai bertemu minggu depan)“Hai, arigatou gozaimasu,” (Ya, terimakasih banyak) sahut seluruh mahasiswa kepada sensei yang telah memberikan ilmunya kepada mereka. Setelah itu, para mahasiswa pun segera merapikan buku-buku mereka, dan memasukkannya ke dalam tas.Begitu pula Arvin, cowok itu memasukkan semua buku-buku yang bertuliskan huruf campuran antara Kanji dan Hiragana pada sampul, yang berserakan di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Setelah itu, segera beranjak dari duduknya dan melangkahkan kedua kakinya keluar kelas.Setengah berlari, Arvin menyusuri koridor Kampus yang masih ramai oleh para Mahasiswanya. Sekilas, ia menilik ke arah arloji di pergelangan tangannya. Masih ada waktu satu jam untuk b
DI TERAS sebuah rumah mewah bak istana. Berjejer tiga buah motor sport ninja dengan bermacam-macam warna, seperti: merah, hitam dan biru. Pun, sebuah nomor plat unik tertempel pada motor ninja berwarna biru. Sebuah plat nomor yang bertuliskan B 390 LU.Beralih dari sana, di sebuah kamar nan luas. Puluhan miniatur sepeda motor balap tampak tersimpan rapi pada dua rak lemari dengan kaca yang melapisi. Pun, sebuah jaket berwarna hitam dengan lambang Wolf tergantung pada lemari pakaian yang terletak di sebelah kanannya. Sedangkan, sang pemilik benda-benda tersebut terduduk di atas lantai yang beralaskan karpet rasfur berbulu tebal, sembari menonton tayangan berita di TV.“Sungguh, sekarang saya menyesal. Akibat perbuatan saya pula, kini karir Mamah berada
“Tuhan tengah menghukummu dengan kacaunya perasaan. Tuhan juga tengah menghukummu, dengan berbagai cobaan. Dan, mungkin ini adalah hukuman yang pantas untukmu jadikan perubahan.”¤¤¤¤
RAJA mematut diri di depan cermin. Menyisir rambut hitam pekat, lalu memberikannya sedikit pomade. Ia tersenyum, melihat tatanan rambutnya yang saat ini telah tampak rapi. Kemudian, ia langsung mengambil jaket berwarna biru bertuliskan ‘Ojolali’ yang disangkutkan pada dinding, dan juga tas selempang hitam kecil. Setelah itu, melangkahkan kedua kakinya keluar kamar. Untuk mengawali minggu pagi, dengan mengais rezeki.“Ja! Jangan lupa matikan TV kalau mau berangkat! Mamah masih di dapur. Kemarin, mamah jenguk papah di penjara. Papah minta dimasakkan ayam goreng,” beritahu Renata dengan setengah berteriak, seraya menggoreng ayam yang telah dibumbuinya.Raja menutup pintu kamarnya. Ia menggeleng, ketika melihat TV di ruang tamu yang masih menyala tanpa ada seseorang yang menontonnya. Pemborosan. Itulah yang terpikirkan di benaknya saat ini. Ditambah lagi, acara tentang gosip selebriti yang sedang tayang, membuatnya berdecak keci
Satu bulan sebelum penangkapanDi depan meja belajarnya, jari-jemari Arvin tengah menari-nari indah di atas secarik kertas. Sebuah pesan akan rahasia besar yang selama ini ditutupi, akhirnya akan disampaikannya melalui surat yang akan diberikan oleh sang Burung Surga.Hai, apa kabarnya Burung Surgaku?Burung surga atau burung cendrawasih adalah julukan yang pantas untuk
HARI ini mendung, sedikit berangin. Awes terduduk di kursi terdepan yang merupakan milik Yoga. Satu-satunya kursi yang sudah lama tak berpenghuni, semenjak ditinggal pergi oleh sang pemiliknya.Awes menopang kepala dengan tangan kiri, seraya menatap gumpalan awan berwarna kelabu. Tak ada rasa sedih, amarah, maupun sebuah letupan emosi. Hanya rasa hampa yang saat ini menemani. Ia merenung dan mengingat kembali kebersamaan dengan kedua sahabatnya. Hingga, tak sadar jika sebuah senyum telah terbit di sudut bibir, ketika mengingat kenangan indah itu.Berbeda halnya dengan Happy yang berada di seberang kiri Awes, cewek itu tampak begitu gusar. Hampir beberapa menit ia menunggu panggilannya terangkat. Sayangnya, sama sekali tak ada tanda suara dari Arvin yang mengangkat panggilannya. Apakah sesuatu telah terjadi kepada Arvin, hingga cowok itu tak mengangkat panggilan darinya? Mendadak, Happy merasa takut sendiri.P
Lima bulan sebelumnyaDi dalam kamar nun luas, dengan dominasi cat berwarna putih, Wolf duduk di depan meja belajar, seraya memainkan sebuah bolpen yang terselip di antara jari-jemarinya. Ia tengah menatap selembar kertas yang berisikan tiga nama korban, yang sengaja diberi nama ‘My Pets’. Pasalnya, memang seluruh korbannya adalah seorang manusia yang memiliki sifat yang sama seperti binatang, yang saat ini telah dianggapnya sebagai hewan peliharaan.Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka tak sedikit pun mau saling menghargai atau berbagi dengan satu sama lainnya. Bukankah, binatang saja yang tak memiliki akal dan pikiran, mau saling berbagi? Lantas, kenapa mereka para manusia yang dikarunia akal sehat malah tak memiliki hati nurani?Wolf tersenyum. Sudah ada dua nama yang ditandai dengan ceklis di samping nama para korbannya. “Arvin? Kenapa aku bisa lupa untuk memberikanmu sebuah julukan dan pesan? K
“Orang munafik selalu ingin tampak tak bersalah, selalu suka memutar balikkan keadaan, selalu ingin tampak seolah-olah bermaksud baik. Dan tak pernah ingin menghadapinya ketika berurusan dengan s
“Kamu Always, kan?”Awes menoleh ke arah tangga yang ada di samping kanan, ketika kedua telinganya mendengar suara seorang wanita yang memanggil namanya. Kini, netranya mendapati wanita itu yang sedang menuruni anak-anak tangga dengan cukup hati-hati.Wanita itu tersenyum, dan berjalan ke arah Awes saat telah menginjakkan kakinya di lantai dasar. Sedangkan Awes, mengerutkan keningnya samar. Ia merasa pernah berjumpa dengan wanita tersebut. Tapi … siapa dan di mana?Kini, Awes berusaha untuk mengingat, hingga benaknya berhasil menembus batas waktu beberapa bulan yang lalu, di mana dirinya tengah menjemput salah seorang customer-nya yang sedang hamil.“Dengan Mbak Shasa?” tanya Awes kepada seorang wanita yang sedang hamil di depannya.