"Ayah?" gumam Anya tak percaya dengan yang dilihatnya sekarang.
Sosok yang selama ini telah menghancurkan kepercayaannya, tetapi Anya selalu merindukan kedatangannya. Dan sekarang, tepat di ruang tamu, ayahnya berdiri menatapnya dengan jarak tiga langkah.
Anya menangis saat Irfan melangkahkan kaki mendekatinya. Gadis itu semakin terisak saat ayahnya merengkuhnya ke dalam pelukan, menyalurkan sirat kerinduan yang selama ini dipendam. "A-ayah?" ujar Anya memastikan bahwa yang di depannya benar-benar ayahnya.
Irfan mengangguk, dia menangis sambil mencium kening dan pipi Anya bertubi-tubi. Memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi.
Bayangkan saja, lima tahun Irfan tidak mengunjungi putrinya. Rindu yang dipendam sudah mencapai puncaknya sehingga dia memutuskan untuk pulang.
"A-ayah kenapa gak pernah pulang?" desak Anya bertanya.
Irfan hanya menggeleng pelan mendapat pertanyaan dari putrinya yang sedang menatap kecewa di balik matanya. "Maaf," ujarnya sangat pelan.
"Seharusnya ayah selalu kabarin Anya, seenggaknya telepon Anya. Tapi ini apa? Bahkan kalau Anya telepon, ayah gak pernah angkat," lirih Anya sesak. Ia sudah lama ingin menanyakan itu saat ayahnya pulang, dan sekarang adalah waktu yang sangat tepat
Irfan memeluknya lagi seakan tak mau menjawab pertanyaan yang selalu terlintas di benak Anya. "Ayah kangen Anya."
Anya menghapus air matanya kasar. Ia baru tersadar jika dirinya menangis, ini bukan dirinya sama sekali. Anya yang selama ini tidak pernah menangis meskipun diperlakukan kejam oleh keluarganya sendiri, dan kini ia menangis hanya karena bertemu ayahnya.
Gadis itu tertawa hambar. "Anya lebih kangen ayah," ujarnya.
"Maafin ayah," ujar Irfan yang hanya dibalas anggukan kepala oleh putrinya.
Tak mudah bagi Anya untuk mengeluarkan suara saat ayahnya mengucapkan permintaan maaf kepadanya. Anya tidak munafik, ia sepenuhnya belum bisa menerima keputusan ayahnya selama ini. Keputusan meninggalkannya ke luar kota hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
"Tadi apa yang pecah?" gumam Anya pada dirinya sendiri sembari menatap ke sekeliling ruangan. Vas bunga yang sudah terpecah menjadi serpihan menjawab semua pertanyaan Anya.
Tapi ada yang lebih menarik perhatiannya. Oma Stefi yang menangis di balik pelukan Opa Bram. Di sana juga ada Kella dan Kelly yang terus mengucapkan kata penghibur untuk bundanya. Semenjak kapan mereka ada di sana? Bisa-bisanya Anya tidak sadar jika mereka sudah berada di sana sebelum dirinya datang.
"Oma Stefi kenapa?" tanya Anya mendekati Stefi yang mendongak menatapnya.
"Oma gak apa-apa," ujarnya sebelum berlari melewati anak tangga, Opa Bram juga mengikutinya setelah membisikan sesuatu pada kedua putrinya.
Kella dan Kelly menatapnya dengan aura permusuhan yang sangat kental. Mereka berlalu mendekati Irfan yang sedang duduk melamun di sofa.
"Kak, jalan-jalan, yuk! Sekali-kali traktir kita gitu," celetuk Kelly mencubit lengan Irfan yang membuatnya mengaduh.
"Kamu ini, bisanya cubit-cubit aja. Kamu gak tau kalau kakak baru saja pulang?"
Kella menghembuskan napas kesal kemudian ikut menabok lengan kakak sulungnya. "Justru itu, kan udah lama gak jalan-jalan bareng kakak. Ayo, lah. Kella maksa, nih."
Anya hanya bisa tersenyum tipis melihat ayahnya tertawa lepas seperti itu. Ia senang jika ayahnya bisa tersenyum lebar seperti itu. Tetapi Anya sedikit sedih karena dirinya bukan alasan ayahnya tertawa.
"Bener kata Kak Kella sama Kak Kelly, ajak kita jalan-jalan gitu. Anya pengin banget, Yah," ujar Anya ikut mendekati ayahnya. Ia memeluk lengan Irfan manja.
Kelly mendesis kesal melihatnya, Anya tahu itu. Ia juga ingin egois sedikit, mengambil perhatian ayahnya sendiri tidak salah, bukan? Anya hanya ingin menunjukkan kepada kedua kakaknya bahwa dirinya juga berhak bahagia.
Irfan tersenyum mendapati Anya sudah mau bermanja-manja lagi dengannya. Tangannya terulur mengelus puncuk kepala putrinya. "Ayo, mau kemana?"
Anya tersenyum lebar. "Anya pengin main di—," ucapannya terpotong oleh Kella. "Ayo ke taman kota, di sana banyak jajanan tau," ujar Kella menyerobot ucapan Anya yang belum selesai.
Anya hanya bisa menelan ucapannya kembali. Gadis itu ingin menghabisakan waktu hanya bersama ayahnya untuk bermain 'Time Zone'. Tetapi nyatanya apa? Nol besar. Bahkan ayahnya langsung menerima ajakan adiknya tanpa meminta persetujuan darinya. Sampai kapan ini semua akan terus terjadi.
"Sekarang aja, yuk!" ajak Irfan menggiring mereka bertiga ke mobil hitamnya.
Anya hendak membuka pintu kursi bagian depan, tetapi sebelum itu Kelly menyerobotnya lagi. "Kamu temenin Kella sana, ada yang pengin Kella omongin sama kamu, spesial katanya," ujarnya mengedipkan satu matanya ke arah Anya sebelum mengambil alih tempat duduk yang ingin ditempati oleh Anya.
Ayahnya tak menyuruh Kelly turun dari kursi depan, padahal Anya sangat menantikan itu. Ia hanya bisa menelan kenyataan pahit karena ayahnya tidak menengok ke arahnya.
"Jangan menghancurkan kebahagiaan kami bersama Kak Irfan. Kamu gak usah manja, deh," bisik Kella tepat di telinga Anya.
Apa yang salah dengan Anya? Ia juga ingin bersana ayahnya, mengapa mereka menghalangi selalu kebahagiaanya? Apakah semua yang telah mereka lakukan kepada Anya tidak cukup?
Kelly melirik ke arah belakang kemudian saling bertatapan dengan Kella. Meliriknya dengan tatapan puas, seakan sudah berhasil menghancurkan kebahagian kecil Anya.
"Kalian sangat hebat," gumam Anya nyaris tak terdengar.
•●•
Kondisi taman kota sangat ramai, kebisingan terdengar nyaring di telinga Anya. Banyak kendaraan berlalu-lalang, kemacetan kerap terjadi di jalur lalu lintas yang tak pernah sepi. Banyaknya pengunjung di sana membuat cuaca semakin panas.
Anya hanya mengikuti langkah ayahnya menuju kedai es krim di bawah pohon yang cukup teduh. Kella dan Kelly sudah berdiri di depan stan penjual dengan semangat membara. Anya tidak suka panas-panasan, apalagi berdesak-desakan seperti ini. Kulitnya cukup sensitif jika berada di situasi kerumunan yang panas.
"Anya mau pesen rasa apa, biar Kak Kelly pesenin?" ujar Irfan dengan santainya tanpa memperhatikan raut wajah kedua adiknya yang merasa tidak terima. Anya tahu itu, ia dapat mengartikan tatapan tajam yang diberikan kepadanya.
"Anya pesen sendiri aja, Yah," ujar Anya sebelum beranjak mendekati kedua kakaknya yang masih lama mengantri.
Tatapan merendahkan dan seringai mengejek terlihat jelas di wajah Kella dan Kelly. Anya tahu, pasti akan ada perlakuan semena-mena lagi kepadanya.
"Tungguin pesenan kita, ya."
Setelah menyuruh Anya seenaknya, mereka berdua segera beranjak dari sana. Mendekati kakaknya yang sedang menunggu dengan ponsel di gengamannya.
Mata Anya melebar sempurna saat melihat Kella dan Kelly menggiring ayahnya pergi dari tempat semula. Ingin sekali berteriak, tetapi Anya sadar akan posisi. Biarlah dirinya yang menunggu kedua kakaknya pergi dari sisi ayahnya.
Di genggaman Anya sudah ada empat es krim dengan varian rasa berbeda-beda. Ia melangkahkan kakinya menuju tempat terakhir kalinya melihat ayahnya bersama kedua kakaknya. Tetapi di sana tidak ada siapa-siapa, kecuali anak-anak yang tengah bermain gelembung sabun dengan tawa riang.
"Kemana mereka?" gumam Anya terus mengedarkan pandangannya ke berbagai arah. Sesekali diliriknya es krim di kantung plastik yang mulai mencair.
Kakinya melangkah tanpa arah hingga berhenti di depan area permainan tembak panah. Di sana ada ayahnya bersama kedua kakaknya yang sedang asyik bermain tanpa mempedulikannya.
"Masa Anya gak diajak, sih?" gerutunya sambil melahap es krim yang sedari tadi dibawanya. Ia melampiaskan rasa marahnya dengan menyantap semua es krim yang berada di genggamannya. Tak peduli jika Kella dan Kelly marah, Anya sudah tidak peduli dengan itu.
Anya terus menatap mereka dengan mata yang bisa dikatakan tidak santai, matanya melebar, sesekali melotot spontan.
Merasa dipandangi sedari tadi, Kella mengedarkan pandangannya dan menemukan Anya yang kebetulan sedang melotot.
Anya terkejut karena Kella menatapnya, yang membuatnya tambah syok, karena kakaknya itu menatapnya tajam saat dirinya sedang melebarkan matanya tidak sengaja. Sial! Mereka mendekati dirinya yang sedang menunduk gugup.
"Dari mana saja?" tanya Irfan mendudukkan dirinya tepat di samping Anya yang sedang menunduk.
"Hah?" heran Anya. Bukankah ayahnya sudah tahu jika dirinya sedari tadi menunggu antrian di penjual es krim? Anya rasa, ada yang tidak beres dengan tatapan Kelly yang terus menyunggingkan senyum mengejek. Pasti ada sesuatu yang mereka katakan kepada ayahnya.
"Kemana, hm?" tanya Irfan untuk yang kedua kalinya. Tangannya mengelus kepala putrinya yang sedang mencari jawaban yang sekiranya tepat untuk dikatakan.
"Anya dari tadi di kedai es krim, Yah," ujar Anya, kemudian tertawa hambar sambil melirik kecil kedua kakaknya yang masih menatapnya remeh.
"Oh, ya?" ujar Irfan, kemudian menatap kedua adiknya yang sedang tersenyum lebar. Ekspresi berbeda dengan yang ditampilkan di depan Anya. "Bukan bertemu cowok yang kamu sukai?" lanjutnya membuat Anya sempurna melotot.
Pasti ulah Kella dan Kelly yang memberitahukan yang tidak-tidak kepada ayahnya. Kemarin pada Opa Bram dan Oma Stefi, sekarang ayahnya, dan besok siapa lagi? Sudah berapa kali Anya pertegaskan jika dirinya tidak sedang dekat dengan lelaki manapun. Dekat dengan lelaki rasanya sangat mustahil, bagimana bisa menyukai makhluk spesies itu?
Anya tertawa kencang sambil terus melirik kedua kakaknya yang terus menatapnya seakan mengatakan 'Berhenti bertingkah seperti itu!'.
"Ayah apa-apaan, sih? Dari tadi Anya bener-bener nungguin antrian di sana," ujar Anya setelah menghentikan tawanya. Jari telujuknya menunjuk kedai es krim yang masih padat antrian pengunjung yang kebanyakannya adalah anak-anak.
Kelly berdeham pelan sembari terus menatap Anya yang juga menatapnya. Untuk kali ini saja Anya ingin egois sejenak.
"Mana es krimnya?" pertanyaan Kella membuat Anya gelagapan untuk menjawab. Duh, mengapa harus ia habiskan semua es krim tadi.
"E-es krim?" gumam Anya yang langsung dibalas anggukan oleh Kella. "Tadi mencair, daripada gak bisa dimakan, Anya buang. Hehe," lanjutnya canggung sembari terus menyunggingkan senyuman untuk menutupi rasa gugupnya.
Kella memincingkan matanya membuat jantung Anya berdetak cepat karena terlalu gugup. "Terus itu apa?" ujar Kella menatap kantung plastik es krim yang berada di samping Anya.
Gadis itu meringis malu sambil terus menunduk. "Anya makan semua," jujurnya kemudian.
Anya benar-benar sangat malu, belum lagi tatapan kedua kakaknya yang seakan mengatakan 'Kamu waras?'. Mengapa tadi dirinya harus berbohong, kalau sudah begini, ia sendiri yang malu.
Irfan tertawa lepas karena wajah Anya memerah karena terlalu malu. Tindakannya mengundang tatapan aneh dari pengunjung taman. Beberapa dari mereka ada yang saling berbisik pelan.
Anya memejamkan matanya malu. Ia tahu jika ayahnya menertawakan tingkah konyolnya tadi. "Ayah udah," ringis Anya pelan.
"Kamu ada-ada saja," ujar Irfan masih menahan tawanya.
"Ayah, sih. Main pergi-pergi aja tanpa tungguin Anya. Ya, karena Anya udah terlanjur kesal, es krimnya Anya habisin semua," ujar Anya dengan nada sedikit merajuk.
Anya berani berbicara seperti itu kepada ayahnya, karena tidak ada Kella dan Kelly di sana. Entah kemana perginya kedua kakaknya itu. Mengapa tidak dari tadi saja mereka pergi? Benak Anya terus mengatakan itu.
"Dua anak itu maksa ayah, daripada mereka merengek tidak jelas, ayah terpaksa ikut mereka. Beneran, deh. Ayah gak bohong sama Anya, ayah beneran dipaksa tadi," ujar Irfan terus membujuk putrinya yang sedang merajuk.
Dipaksa, ya? Mana ada dipaksa bisa terlihat asyik bermain seperti tadi. Ingin sekali Anya mengatakan itu kepada ayahnya.
"Lah, kemana mereka berdua?" ujar Irfan panik mencari kedua adik kembarnya yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
"Biarin aja, sih, Yah," gumam Anya pelan, namun terdengar jelas di telinga Irfan.
"Biarin aja? Gimana ayah bisa diam, sedangkan mereka berdua entah kemana di tempat ramai seperti ini. Anya kenapa bisa bilang seperti itu?" ujar Irfan membuat Anya tertohok.
Bagaimana bisa ayahnya menyalahkan dirinya? Yang menghilang siapa, yang disalahkan siapa, kesal Anya.
"Kak Kella sama Kak Kelly, kan udah besar. Mereka pasti tahu jalan pulang, dong," ujar Anya santai. Ayahnya saja yang terlalu panik dan melupakan jika kedua adiknya sudah beranjak dewasa.
Irfan menggeleng pelan sambil menatap Anya yang diam. "Ayah gak nyangka kalau Anya bakalan ngomong seperti itu," ujarnya sebelum menarik lengan putrinya untuk ikut bersamanya.
"Ish, mau kemana, Yah?" gerutu Anya benar-benar kesal. Jalan-jalan yang diimpikannya sejak lama berantakan karena kedua kakaknya yang entah pergi kemana. Untuk kali ini saja, Anya benar-benar marah kepada Kella dan Kelly.
"Cari Kella sama Kelly. Tidak mungkin ayah biarin mereka keliaran di tempat ramai seperti ini tanpa pengawasan," sahut Irfan berlebihan.
Anya gamang sendiri melihat tingkah ayahnya seperti itu. Lagipula umur Kella dan Kelly sudah memasuki dua puluh satu tahun, bukan anak lima tahun lagi. Ayahnya saja yang terlalu berlebihan. Giliran dirinya tadi seorang diri, ayahnya tidak panik. Sebenarnya Anya ragu jika ayahnya lebih menyayanginya daripada kedua adiknya.
"Tadi Anya sendirian, tapi ayah gak nyari Anya, tuh," ucap Anya berani. Ia melepaskan tangannya paksa dari genggaman ayahnya.
"Anya, dengerin ayah, kita tidak ada waktu buat ributin hal semacam itu."
Anya mendesis pelan, ia sudah bisa menyimpulkan semuanya. Ayahnya lebih sayang kepada kedua adiknya daripada putrinya sendiri.
"Ayah cari aja sendiri, Anya malas cari mereka," ujar Anya pelan.
"Siapa yang ngajarin Anya seperti itu? Ayah gak pernah ajarin Anya ngomong seperti itu," ujar Irfan menatap putrinya tak menyangka.
"Benar, ayah memang gak pernah ajarin Anya seperti itu. Ayah, kan, sibuk sendiri sama urusan ayah," sindir Anya mengeluarkan keluh kesah yang selama inu ditahan olehnya.
Irfan menghembuskan napas kasar kala mendengar ucapan putrinya yang menyakiti hatinya sebagai seorang ayah.
"Ayah, kan, udah minta maaf sama Anya," ujar Irfan enteng.
Maaf? Itu semua tidak cukup. Bisa saja di mulut mengucapkan kalimat maaf, tetapi tidak dengan hati seseorang.
"Maaf aja gak cukup, Yah," ujar Anya sebelum berlari dari sana.
"Anya! Ayah belum selesai ngomong sama kamu, siapa yang ngajarin kamu gak sopan seperti itu, hah?!" teriak Irfan disertai bentakan yang masih terdengar samar-samar di telinga Anya.
Hati Anya teremas mendengar bentakan dari ayahnya. Baru kali ini, dirinya dibentak oleh seseorang yang sangat disayanginya. Semuanya berubah, tidak ada lagi Ayah Anya yang selalu membelanya. Irfan yang dahulu sudah mati, kini hanya ada Irfan baru yang tidak ada bedanya dengan keluarga Anya yang hanya semu.
Langkah Anya terhenti saat melihat kedua kakaknya yang menjadi sumber pertengkarannya dengan ayahnya. Di satu sisi Anya kesal sekali dengan mereka berdua, tetapi di sisi lain Anya sangat berterima kasih kepada mereka. Anya jadi tahu sikap ayahnya yang sekarang berkat Kella dan Kelly.
"Kak Kella, Kak Kelly!" teriak Anya memanggil keduanya.
Mereka berdua tampak terkejut dan menoleh cepat ke arah Anya yang sedang melambaikan tangan ke arah mereka.
Di sana bukan hanya ada Kella dan Kelly, tetapi seorang wanita dengan remaja lelaki seumuran dengan Anya, satu orang lainnya lelaki dewasa.
Yang menjadi pertanyaan Anya sedari tadi, bagaimana kedua kakaknya bisa bersama wanita itu? Mengobrol santai seakan-akan tidak pernah terjadi masalah diantara keluarga mereka.
"Anya!" panggil Kella dan Kelly bersamaan, karena gadis itu berlari lagi entah kemana setelah melihat orang yang berada bersama kedua kakaknya.
"Ckk, gadis itu," desis Kelly sebelum mengikuti adik kembarnya mengejar Anya yang larinya cepat sekali.
Gadis dengan surai kecokelatan itu duduk mendekam di dalam kamarnya dari pagi hingga siang. Ia tidak tahu ingin melakukan apa, pasalnya hari ini sekolahnya diliburkan. Dan sebagai gantinya, nanti malam semua murid di SMA Cakrawangsa diwajibkan untuk masuk. Hal ini selalu dilakukan setiap perayaan sekolah, berangkat ke sekolah pada malam hari, demi mengambil moment yang tepat.Anya mengedarkan pandangannya ke arah jendela kamarnya yang terpantul cahaya matahari sedikit redup karena hari sudah menjelang senja. Acara dilakukan tepat pada pukul tujuh malam, ia harus bersiap-siap sekarang meski sangat malas bergerak.Tidak banyak yang Anya persiapkan, kecuali mentalnya. Ia tahu jika perayaan sekolah tahun ini akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Jadi, ia harus siap menghadapi perayaan nanti.Pihak sekolah tidak menentukan kostum untuk nanti malan, hanya saja harus terlihat sopan. Anya tampak sangat cocok dengan balutan sweter rajut abu-abu dan celana jeans
Anya melangkahkan kaki gontai, mukanya sedikit lesu seusai pulang dari perayaan di sekolahnya. Ia sangat menyesal telah mengikuti kegiatan tadi, pasalnya hal memalukan menghampirinya, dan itu semua karena ulah Reno. Anya tak habis fikir dengan lelaki aneh itu. Bisa-bisanya dia memalukannya di depan umum. Kejadian tadi terus terngiang-ngiang di pikirannya."Anya, mungkin ini udah yang kesekian kali gue nyampain hal ini ke lo. Gue cuman mau bilang, kalau gue masih mengharapkan jawaban tulus dari lo. Jadi, gimana?"Suara sorakan terdengar seiring pernyataan yang keluar dari mulut ketua osis yang terkenal tampan nan dingin itu. Bukan hal aneh lagi jika Reno sangat mengharapkan Anya, bahkan semua siswa di SMA Cakrawangsa pun tahu.Gadis yang sedang menjadi pusat perhatian itu tampak geram. Berulang kali ia menegaskan kepada Reno jika dirinya tak akan pernah membalas perasaan lelaki itu, tetapi orang itu tetap dalam pendiriannya."Cepet sana pulang! Malu-
Suara bising kicauan burung cukup membuat telinga Anya pengang. Gundukan hijau, pepohonan lebat menjulang tinggi menyambut penglihatan Anya yang tampak sedikit buram. Hal yang pertama ia rasakan saat membuka mata adalah seluruh tubuh yang terasa pegal dan sedikit nyeri, terutama pada kepala bagian belakangnya yang terbalut perban."Aww," ringis Anya saat jari telunjuknya tak sengaja tersangkut di ikatan perban yang membuatnya terlepas sebagian. "Apa yang terjadi?" gumamnya sembari mengingat kepingan-kepingan kejadian di pagi buta tadi.Terlalu fokus memperhatikan luka di sekujur tubuhnya, Anya tidak sadar akan posisinya sekarang. Baru saat kakinya bergerak tak sengaja menginjak ranting kayu, ia terkejut."Sejak kapan Anya ada di sini?" gumamnya seraya menatap betapa lebatnya pohon di hutan itu.Kakinya mulai melangkah dengan terseok, terkadang tersandung akar pohon hingga terjatuh. Harapannya hanya satu, menemukan jalan keluar dari tengah hutan. Anya send
Pagi yang damai telah menyambut bumi. Matahari mulai berinteraksi dengan pepohonan, memamerkan cahayanya kepada mereka.Di luar sana boleh saja tampak damai. Tetapi tidak dengan kondisi rumah Anya. Beberapa pecahan kaca tampak berceceran di lantai putih. Suara teriakan kian menggema memenuhi ruangan, padahal ini masih pagi, tidak bisakah mereka diam berdamai? Anya sudah sangat lelah dengan semua ini. Ia tahu, semua ucapan yang keluar dari mulutnya tidak akan pernah digubris oleh kedua orangtuanya."Mama, kenapa gucinya dibantingin seperti itu? Mereka gak salah," Anya menahan lengan ibunya yang bersiap menghabiskan semua pajangan yang ada di ruangan.Ibunya menghentakkan tangan mungil Anya dengan kasar, dia memang ibu tidak berperasaan."Jangan bertingkah kasar dengan putri kita!" bentak Ayah Anya tidak terima. Tangannya sigap menyembunyikan Anya di balik punggung kokohnya."Anak kita? Anak kamu! Jangan pernah sebut dia anakku!"Irfan m
Sepuluh tahun telah berlalu dengan kesan yang biasa-biasa saja. Dari dahulu sampai sekarang tetap saja sama, tidak ada yang spesial di hidup Anya. Masih dengan kemalangannya yang dibenci oleh keluarganya sendiri.Kella dan Kelly tidak pernah berhenti menyiksanya, Anya selalu memikirkan apa kesalahannya sehingga mereka amat membencinya. Dari umur tujuh tahun hingga empat belas tahun, kedua kakak kembarnya itu selalu berulah, tetapi Anya tidak pernah mengadukannya kepada Oma Stefi, apalagi ayahnya. Bohong jika Anya tidak pernah kesal dengan perlakuan mereka yang menyerupai setan, tetapi ia tidak pernah bisa membenci Kella dan Kelly.Anya bersiap-siap untuk ikut Opa Bram dan Oma Stefi menjemput kedua kakak kembarnya di bandara."Anya sudah siap?" tanya Oma Stefi mendatangi kamar Anya dengan senyuman di wajah anggunnya."Sudah, Oma.""Yuk, turun ke bawah, nanti opa kamu marah-marah lagi," kekehnya pelan.Anya tersenyum mendengarnya, opa ju
Pagi ini, Anya bersiap ke sekolah dengan sedikit tergesa karena bangun kesiangan. Tadi malam dirinya bergadang hingga jam setengah tiga, bodoh memang. Pikirannya kacau semenjak Kella dan Kelly mendatangi kamarnya dengan langkah tergesa. Anya memikirkan semua dugaan hingga tidak sadar jika sudah melewatkan jam tidurnya."Aish! Dasinya ngumpet dimana lagi, sih?" gerutu Anya berkacak pinggang sembari mencari dasi abu-abunya yang semula ia simpan di laci.Gadis itu mencak-mencak sendiri, menyalahkan dirinya yang teledor, sesekali menggerutu pelan."Anya sarapan!" teriak Oma Stefi dari bawah membuat Anya sedikit tergesa."Iya, Oma," sahutnya sebelum turun ke bawah tanpa dasinya.Anya melangkah cepat, sesekali memperbaiki ikatan rambut sepunggung yang kurang kencang. Ia tidak menggunakan polesan apapun di wajahnya, benar-benar polos natural.Setibanya di meja makan, Anya menemukan seluruh anggota keluarganya sudah menyantap sarapan paginya mas
Anya keluar sekolah tepat pada pukul empat sore. Biasanya sekolah bubar pada pukul tiga, tetapi hari ini gadis itu mengambil les menari balet untuk mempersiapkan lombanya yang mendatang.Matanya celingukan mencari supir yang biasa menjemputnya, namun hasilnya nihil. Ah, ia lupa jika supirnya tidak bisa mengantar jemputnya hari ini. Ia memutuskan untuk mencari angkutan umum saja, tetapi sebuah mobil di depannya mengurungkan niat Anya."Mau jalan kaki, Nya?" tanya Rani yang menghentikan mobilnya dekat Anya.Rani dan Shasa juga pulang sore, tetapi bukan mengikuti les seperti Anya. Dua anak itu sibuk menonton pertandingan basket di sekolahan hingga lupa pulang jika hari belum sore. Padahal sudah Anya marahi habis-habisan karena menghabiskan waktu hanya untuk menonton pertandingan membosankan antara siswa laki-laki bermain basket. Tetapi mereka tetap saja ngeyel."Janjian ketemuan sama anak cowok di depan warteg, tuh bocah," celetuk Shasa membuka kaca mobil