Anya keluar sekolah tepat pada pukul empat sore. Biasanya sekolah bubar pada pukul tiga, tetapi hari ini gadis itu mengambil les menari balet untuk mempersiapkan lombanya yang mendatang.
Matanya celingukan mencari supir yang biasa menjemputnya, namun hasilnya nihil. Ah, ia lupa jika supirnya tidak bisa mengantar jemputnya hari ini. Ia memutuskan untuk mencari angkutan umum saja, tetapi sebuah mobil di depannya mengurungkan niat Anya.
"Mau jalan kaki, Nya?" tanya Rani yang menghentikan mobilnya dekat Anya.
Rani dan Shasa juga pulang sore, tetapi bukan mengikuti les seperti Anya. Dua anak itu sibuk menonton pertandingan basket di sekolahan hingga lupa pulang jika hari belum sore. Padahal sudah Anya marahi habis-habisan karena menghabiskan waktu hanya untuk menonton pertandingan membosankan antara siswa laki-laki bermain basket. Tetapi mereka tetap saja ngeyel.
"Janjian ketemuan sama anak cowok di depan warteg, tuh bocah," celetuk Shasa membuka kaca mobil yang semula tertutup.
Anya mendesis kesal mendengar ucapan Shasa. Dari tadi, Si Mungil itu selalu menyangkutkannya dengan lelaki. "Ngawur terus!"
"Gak ada yang jemput, kan, lo? Ikut aja, yuk!" ajak Rani tersenyum lebar.
"Lo langsung anterin gue pulang, kan?" sahut Anya bertanya serius.
"Ya, gak, dong. Kita hangout dulu," ujar Shasa menimpali.
Anya berpikir sejenak. Tidak ada salahnya bersenang-senang dengan kedua sahabatnya. Setidaknya itu bisa membuatnya bahagia sejenak. Maka dari itu, Anya segera mengiyakan ajakan mereka untuk hangout ke rumah Rani.
Bersenang-senang dalam versi Anya itu sangat sederhana. Tetawa lepas sudah termasuk kebahagiaan tersendiri baginya, seperti sekarang bersama kedua sahabatnya.
"Kalian!" geram Shasa tertahan karena kejahilan Anya dan Rani.
Mereka berdua mengerjai Shasa dengan mengoleskan masker ke seluruh wajah Shasa. Bahkan, mulut, alis hingga kelopak matanya ikut terolesi juga. Shasa hanya bisa menggeram tertahan dan mengumpat dalam hati ingin cepat-cepat membersihkan wajahnya dam membalas kejahilan mereka.
Anya tertawa sedari tadi membuat Shasa mengoceh namun tertahan oleh masker. "Bersihan muka lo cepetan," ujar Anya menahan tawanya dengan susah payah. "Cepet, jangan bikin gue ketawa lebih daripada ini. Cepet, Sha!" lanjutnya memengangi perutnya yang keram karena kebanyakan tertawa.
"Biarin aja, Nya. Kok, gue seneng banget liat Shasa kesiksa, ya? Haha," Rani melanjutkan tawanya membuat Anya bergidik ngeri sendiri. Sahabatnya yang satu ini kalau tertawa selalu memukuli apapun yang berada di dekatnya, seperti lengan Anya yang sedari tadi menjadi sasaran empuk pukulan Rani.
"Kalian!" geram Shasa yang baru saja selesai membersihkan wajahnya. Gadis itu menendangi mereka berdua dengan kesetanan. Tindakan Shasa justru membuat keduanya semakin tertawa lepas karena Shasa tidak bisa mencapai Anya dan Rani yang sedari tadi terus menghindar.
"Udah, dong, Sha. Jangan buat gue ketawa lagi," ujar Anya yang menghindari tendangan kemarahan Shasa. "Lo itu udah mungil, main tendang-tendang. Mirip anak balita, tau, gak?" Anya tidak bisa menahan tawanya lagi. Ia keluar dari kamar Rani dan berjongkok menahan tawa di depan pintu kamar.
"Nya, masuk, deh. Jangan jongkok kayak orang nahan boker," celetuk Rani menghampiri Anya yang sedang menarik napas dalam-dalam agar tidak tertawa lagi. "Cepetan masuk, itu ada adik gue, ntar lo diledek, mampus!" Rani menarik lengan Anya cepat-cepat.
"Adek lo udah balik, Ran?" tanya Shasa menengok ke arah pintu. "Mau liat, dong. Suruh ke sini coba anaknya," lanjutnya mengerjap gemas.
Anya langsung melotot ke arah Shasa, kemudian menggelengkan kepala kepada Rani yang langsung mengangguk mengerti.
"Mana, Ran?" ujar Shasa lagi.
"Udah, ah. Gak usah suruh adek gue ke sini. Tuh anak bisanya bikin ribut doang," tolak Rani keras. Anya langsung mengangguk antusias dengan dua jempol di tangannya.
Anya paling malas jika bertemu dengan Rion—adik Rani. Bocah itu sangat tengil, suka sekali menggodanya, bahkan kerap mencium pipinya tanpa persetujuannya. Memang wajah Rion rupawan, tetapi tidak dengan sikapnya. Apalagi umur mereka hanya bertaut dua tahun, hal itu membuat Anya semakin risih.
"Emang kenapa, sih?" celetuk Shasa cemberut. Dia ingin sekali melihat wajah Rion yang sangat dikaguminya.
"Lo gak kasihan sama Anya?" tanya Rani diperuntukkan untuk Shasa.
"Emang kenapa sama Anya?" sahut Shasa mengeryit heran.
"Rion suka godain Anya. Bahkan, kemarin adek gue bilang gini," ujar Rani hanya berbisik kepada Shasa membuat Anya sebal sendiri melihatnya.
Anya menekuk wajahnya kesal, bibirnya cemberut. "Masa main bisik-bisik gitu, sih?" ujarnya, kemudian memisahkan kedua sahabatnya yang sedang tertawa cekikikan.
"Ngomong apa?!" teriak Anya memukuli mereka dengan boneka.
Shasa dan Rani saling berhadapan, kemudian menganggukkan kepalanya mantap. "Rion bilang, dia mau nembak Anya, woy!" teriak keduanya heboh sendiri.
"Heh?!"
•●•
Anya menghabiskan waktu selama empat jam di rumah Rani. Terlalu asyik hingga tidak sadar jika sekarang sudah jam delapan malam. Oma Stefi pasti amat mengkhawatirkannya. Seharusnya ia menghubungi orang rumah, tetapi ia lupa melakukannya.
Anya menatap gerbang rumahnya yang sudah tertutup. Ia diantarkan pulang oleh Rani sesudah mengantarkan Shasa pulang. Anya jadi takut melangkahkan kaki menuju rumah.
"Loh, Non Anya baru pulang?" tanya penjaga gerbang yang baru saja muncul dari posnya.
"Iya, nih. Tadi abis main ke rumah temen. Anya masuk dulu ya, Pak," ujar Anya sebelum beranjak dari depan gerbang.
Gadis itu melangkahkan kakinya pelan-pelan, takut jika anggota keluarganya mempergokinya pulang malam. Lampu ruang keluarga dan dapur sudah padam, itu artinya mereka sudah tidur. Anya menghembuskan napasnya lega sambil terus berjalan melewati anak tangga menuju kamarnya.
Di sisi lain yang tidak Anya ketahui, satu pasang mata menatapnya tajam dengan tangan mengepal keras.
"Sudah berani bermain-main, heh?" gumamnya sebelum beranjak dari sana.
Anya langsung menutup pintu kamarnya cepat setelah tiba di kamar. Ia segera meletakkan tasnya di atas kasur, kemudian hendak melepaskan kaus kaki dari kedua kaki rampingnya. Namun, sebelum itu pintu kamarnya didorong kencang hingga berbunyi nyaring.
Brak!
Oh, shit! Anya lupa mengunci pintu kamarnya. Ia kira jika semua orang di rumah sudah tertidur, tetapi tidak untuk kedua kakak kembarnya yang kini sedang menatapnya tajam.
Kella menarik lengan Anya menuju kamar mandi dan menghentakkannya kencang hingga Anya mengaduh karena dahinya menabrak ujung bak.
"Bagus banget, ya. Ini jam berapa baru pulang?" sindir Kelly yang ikut masuk ke kamar mandi.
Anya hanya bisa mengantupkan bibirnya saat air dingin mengguyur sekujur tubuhnya yang belum berganti seragam sekolah.
"Main sama siapa, Jalang kecil?!" Kella menjambak rambut Anya yang semula tertata rapi. Dibenturkannya kepala Anya di dinding kamar mandi tanpa berperasaan.
"Kecil-kecil udah belajar jadi orang gak bener. Gak malu, hah?!" teriak Kella lagi. Dia menampar pipi Anya kencang hingga kepala Anya tertoleh ke samping.
"Anya gak kemana-mana," ujar Anya gemetar. Tubuhnya kecilnya kedinginan, belum lagi luka di pipi dan dahinya yang terasa perih dan panas.
"Gak kemana-mana omong kosong! Kamu kira, kami gak tau kalau kamu habis keluyuran? Jangan coba-coba bohongin kami!" giliran Kelly yang menampar sudut bibir Anya berdarah.
"T-tapi Anya cuman main ke rumah temen," elak Anya semakin gemetar. Nyatanya ia memang bermain ke rumah Rani.
"Gak usah bohong!" Kelly menuangkan air cairan pembersih lantai ke wajah Anya.
Byur!
Gadis itu gelagapan karena air pembersih lantai masuk ke mulutnya, mata dan hidungnya juga perih. Tenggorokannga terasa pahit.
"Anya beneran main ke rumah Rani, Anya gak bohong!" tanpa sadar Anya berteriak membuat mereka berdua semakin marah.
"Sudah berani bentak kami, heh?" Kelly tersenyum dengan semirik menyeramkan. "Di sini kamu yang salah, jangan bertindak seakan-akan kami yang salah!" lanjutnya mendorong Anya hingga terjatuh.
"Gara-gara kamu bunda nangis hanya karena nyariin anak gak berguna seperti kamu! Jangan berani-beraninya buat bunda nangis. Ingat! Kamu hanya numpang di sini," ujar Kella membuat Anya tertohok. Oma Stefi menangisinya? Anya merasa sangat bersalah.
"Kalau ayah gak pulang buat tenangin bunda, pasti sampai sekarang bunda belum bisa tidur dengan nyenyak. Kamu tau siapa penyebabnya? Itu kamu, dasar pembawa sial!" sahut Kelly semakin membuat Anya merasa bersalah.
"Kak Kella, Kak Kelly, maafin Anya. Gak bakal Anya ulangin lagi," ucap Anya memohon sembari berusaha menggapai lengan Kella.
"Renungin apa yang udah kamu lakuin di sini," ujar Kella pelan. Dia keluar dari kamar mandi bersama Kelly dan mengunci Anya dari luar.
"Kak, bukain! Jangan kunci Anya di sini sendirian! Kak, buka!" teriak Anya menggedor pintu kencang.
"Buka pintunya," lirih Anya. Ia tidak menangis, hanya saja tenaganya terkuras habis.
Anya berusaha bangun dari duduknya untuk menatap keadaan tubuhnya dari pantulan cermin di kamar mandi. Miris, itu terbesit di benak Anya saat melihat kondisi tubuhnya yang sangat kacau. Pipi dan bibirnya terluka, dahinya memar dan rambutnya lepek. Seragamnya basah kuyup hingga pakaian dalam Anya tembus pandang.
"Ayah, dingin," racau Anya menggigil.
Kantong roknya bergetar membuat Anya terjengit kaget. Ia segera meraba saku di balik roknya untuk memastikan kondisi ponselnya baik-baik saja. Anya lupa menyimpannya di tas.
Nama Rani terpampang jelas di layar ponselnya yang sedikit basah. Jemari Anya bergerak menekan tombol mengangkat panggilan.
"Oy! Udah masuk rumah?" tanya Rani di sebrang sana.
"Udah, kok. Ini udah mau merem, tapi lo malah telepon gue. Ganggu tau, gak, sih?" ujar Anya berpura-pura baik-baik saja. Cukup dirinya yang mengerti semua ini, sahabatnya tidak perlu terseret juga.
"Yeee, maaf. Eh, gimana-gimana?" suara Rani terdengar penasaran.
"Gimana apanya?"
"Dimarahin kakak kembar galak?" pertanyaan Rani membuat Anya mematung. Ia harus menjawab apa? Dirinya lebih dari sekedar dimarahi.
"Lo masih di sana, kan?" ujar Rani khawatir karena Anya tak kunjung menjawab.
"Ha? Apa? Iya, masih di sini, kok. Beruntung tadi Kak Kella sama Kak Kelly udah tidur," bohong Anya.
"Syukurlah."
Anya menyimpan ponselnya kembali sesudah Rani mematikan sambungan teleponnya.
"Maaf, Rani," ujar Anya lirih sebelum pingsan di depan pintu kamar mandi.
Cukup lama Anya tak sadarkan diri. Gadis itu terbangun dengan terkejut karena pintu kamar mandi terbuka setelah tak sengaja terdorong oleh kepalanya. Pertanyaannya, semenjak kapan pintu kamar mandi tidak terkunci? Jika baru saja, pasti Kella atau Kelly yang membukanya. Anya menghembuskan napas lega sebelum beranjak mengambil beberapa pakaian gantinya.
"Dari siapa?" gumam Anya terheran saat menemukan sekotak pizza kesukaannya dan sepiring nasi beserta lauk-pauk. Di sampingnya juga ada kotak P3K.
Setahunya saat mengambil pakaian ganti, makanan itu belum ada di atas meja belajarnya. Siapa yang meletakkannya di sana? Apakah kedua kakaknya? Membayangkannya saja membuat Anya mengulas senyum. Ternyata kakaknya masih mempedulikannya.
"Makasih, Kak Kella dan Kak Kelly," ujar Anya sebelum meraih sepotong pizza yang tampak menggiyurkan. Mereka tahu saja jika dirinya sedang kelaparan semenjak tadi malam.
Kunyahannya terhenti saat menemukan catatan di bawah kotak pizza.
* Jangan kepedean dulu. Kami gak pernah peduli sama kamu, jadi jangan pernah menyimpulkan kalau ini wujud dari kepedulian dari kami. Kami cuman gak mau kalau kamu mati sebelum mendapatkan banyak siksaan dari kami. Ingat! Jangan ngadu sama siapapun, atau kamu akan tau akibatnya! *
°° Orang yang tak sudi bersamamu!Pesan di catatan itu membuatnya tertohok. Tidak ingin dirinya mati sebelum mendapatkan banyak siksaan? Sungguh, kalimat itu membuat hati Anya teremas. Apakah dirinya tidak begitu penting di dalam keluarganya?
Sebenenarnya apa yang ada dipikiran Anya hingga sempat berpikir jika kedua kakaknya benar-benar peduli terhadapnya. Gadis itu tertawa hambar sambil menatap langit-langit kamarnya. Menghalau agar air matanya tidak keluar.
"Gak apa-apa Anya. Ini udah lebih dari cukup, kamu gak boleh serakah, oke?" ujarnya menganggukan kepala.
Anya sedikit terkejut saat melihat Kella kembali memasuki kamarnya. Tetapi ada yang berbeda darinya, kantung matanya sedikit menghitam. Anya memundurkan tubuhnya saat Kella semakin mendekatinya, takut jika sewaktu-waktu kakaknya kembali menyiksanya.
"Cepet keluar, jangan buat yang lain curiga jika kamu masih mau aman sejenak," ujar Kella sebelum pergi meninggalkan Anya yang sedang mematung.
Gadis itu mengelus dadanya lega. Beruntung Kella tidak berbuat hal nekat lagi, meski kata-katanya selalu membuatnya tertohok.
Prang!
Suara itu membuat Anya langsung berlari menuruni anak tangga dengan tergesa.
Apa yang dilihatnya di sana membuat Anya menutup mulutnya syok.
"Ayah?" gumam Anya tak percaya dengan yang dilihatnya sekarang.Sosok yang selama ini telah menghancurkan kepercayaannya, tetapi Anya selalu merindukan kedatangannya. Dan sekarang, tepat di ruang tamu, ayahnya berdiri menatapnya dengan jarak tiga langkah.Anya menangis saat Irfan melangkahkan kaki mendekatinya. Gadis itu semakin terisak saat ayahnya merengkuhnya ke dalam pelukan, menyalurkan sirat kerinduan yang selama ini dipendam. "A-ayah?" ujar Anya memastikan bahwa yang di depannya benar-benar ayahnya.Irfan mengangguk, dia menangis sambil mencium kening dan pipi Anya bertubi-tubi. Memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi.Bayangkan saja, lima tahun Irfan tidak mengunjungi putrinya. Rindu yang dipendam sudah mencapai puncaknya sehingga dia memutuskan untuk pulang."A-ayah kenapa gak pernah pulang?" desak Anya bertanya.Irfan hanya menggeleng pelan mendapat pertanyaan dari putrinya yang sedang menatap kecewa di balik matanya. "
Gadis dengan surai kecokelatan itu duduk mendekam di dalam kamarnya dari pagi hingga siang. Ia tidak tahu ingin melakukan apa, pasalnya hari ini sekolahnya diliburkan. Dan sebagai gantinya, nanti malam semua murid di SMA Cakrawangsa diwajibkan untuk masuk. Hal ini selalu dilakukan setiap perayaan sekolah, berangkat ke sekolah pada malam hari, demi mengambil moment yang tepat.Anya mengedarkan pandangannya ke arah jendela kamarnya yang terpantul cahaya matahari sedikit redup karena hari sudah menjelang senja. Acara dilakukan tepat pada pukul tujuh malam, ia harus bersiap-siap sekarang meski sangat malas bergerak.Tidak banyak yang Anya persiapkan, kecuali mentalnya. Ia tahu jika perayaan sekolah tahun ini akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Jadi, ia harus siap menghadapi perayaan nanti.Pihak sekolah tidak menentukan kostum untuk nanti malan, hanya saja harus terlihat sopan. Anya tampak sangat cocok dengan balutan sweter rajut abu-abu dan celana jeans
Anya melangkahkan kaki gontai, mukanya sedikit lesu seusai pulang dari perayaan di sekolahnya. Ia sangat menyesal telah mengikuti kegiatan tadi, pasalnya hal memalukan menghampirinya, dan itu semua karena ulah Reno. Anya tak habis fikir dengan lelaki aneh itu. Bisa-bisanya dia memalukannya di depan umum. Kejadian tadi terus terngiang-ngiang di pikirannya."Anya, mungkin ini udah yang kesekian kali gue nyampain hal ini ke lo. Gue cuman mau bilang, kalau gue masih mengharapkan jawaban tulus dari lo. Jadi, gimana?"Suara sorakan terdengar seiring pernyataan yang keluar dari mulut ketua osis yang terkenal tampan nan dingin itu. Bukan hal aneh lagi jika Reno sangat mengharapkan Anya, bahkan semua siswa di SMA Cakrawangsa pun tahu.Gadis yang sedang menjadi pusat perhatian itu tampak geram. Berulang kali ia menegaskan kepada Reno jika dirinya tak akan pernah membalas perasaan lelaki itu, tetapi orang itu tetap dalam pendiriannya."Cepet sana pulang! Malu-
Suara bising kicauan burung cukup membuat telinga Anya pengang. Gundukan hijau, pepohonan lebat menjulang tinggi menyambut penglihatan Anya yang tampak sedikit buram. Hal yang pertama ia rasakan saat membuka mata adalah seluruh tubuh yang terasa pegal dan sedikit nyeri, terutama pada kepala bagian belakangnya yang terbalut perban."Aww," ringis Anya saat jari telunjuknya tak sengaja tersangkut di ikatan perban yang membuatnya terlepas sebagian. "Apa yang terjadi?" gumamnya sembari mengingat kepingan-kepingan kejadian di pagi buta tadi.Terlalu fokus memperhatikan luka di sekujur tubuhnya, Anya tidak sadar akan posisinya sekarang. Baru saat kakinya bergerak tak sengaja menginjak ranting kayu, ia terkejut."Sejak kapan Anya ada di sini?" gumamnya seraya menatap betapa lebatnya pohon di hutan itu.Kakinya mulai melangkah dengan terseok, terkadang tersandung akar pohon hingga terjatuh. Harapannya hanya satu, menemukan jalan keluar dari tengah hutan. Anya send
Pagi yang damai telah menyambut bumi. Matahari mulai berinteraksi dengan pepohonan, memamerkan cahayanya kepada mereka.Di luar sana boleh saja tampak damai. Tetapi tidak dengan kondisi rumah Anya. Beberapa pecahan kaca tampak berceceran di lantai putih. Suara teriakan kian menggema memenuhi ruangan, padahal ini masih pagi, tidak bisakah mereka diam berdamai? Anya sudah sangat lelah dengan semua ini. Ia tahu, semua ucapan yang keluar dari mulutnya tidak akan pernah digubris oleh kedua orangtuanya."Mama, kenapa gucinya dibantingin seperti itu? Mereka gak salah," Anya menahan lengan ibunya yang bersiap menghabiskan semua pajangan yang ada di ruangan.Ibunya menghentakkan tangan mungil Anya dengan kasar, dia memang ibu tidak berperasaan."Jangan bertingkah kasar dengan putri kita!" bentak Ayah Anya tidak terima. Tangannya sigap menyembunyikan Anya di balik punggung kokohnya."Anak kita? Anak kamu! Jangan pernah sebut dia anakku!"Irfan m
Sepuluh tahun telah berlalu dengan kesan yang biasa-biasa saja. Dari dahulu sampai sekarang tetap saja sama, tidak ada yang spesial di hidup Anya. Masih dengan kemalangannya yang dibenci oleh keluarganya sendiri.Kella dan Kelly tidak pernah berhenti menyiksanya, Anya selalu memikirkan apa kesalahannya sehingga mereka amat membencinya. Dari umur tujuh tahun hingga empat belas tahun, kedua kakak kembarnya itu selalu berulah, tetapi Anya tidak pernah mengadukannya kepada Oma Stefi, apalagi ayahnya. Bohong jika Anya tidak pernah kesal dengan perlakuan mereka yang menyerupai setan, tetapi ia tidak pernah bisa membenci Kella dan Kelly.Anya bersiap-siap untuk ikut Opa Bram dan Oma Stefi menjemput kedua kakak kembarnya di bandara."Anya sudah siap?" tanya Oma Stefi mendatangi kamar Anya dengan senyuman di wajah anggunnya."Sudah, Oma.""Yuk, turun ke bawah, nanti opa kamu marah-marah lagi," kekehnya pelan.Anya tersenyum mendengarnya, opa ju
Pagi ini, Anya bersiap ke sekolah dengan sedikit tergesa karena bangun kesiangan. Tadi malam dirinya bergadang hingga jam setengah tiga, bodoh memang. Pikirannya kacau semenjak Kella dan Kelly mendatangi kamarnya dengan langkah tergesa. Anya memikirkan semua dugaan hingga tidak sadar jika sudah melewatkan jam tidurnya."Aish! Dasinya ngumpet dimana lagi, sih?" gerutu Anya berkacak pinggang sembari mencari dasi abu-abunya yang semula ia simpan di laci.Gadis itu mencak-mencak sendiri, menyalahkan dirinya yang teledor, sesekali menggerutu pelan."Anya sarapan!" teriak Oma Stefi dari bawah membuat Anya sedikit tergesa."Iya, Oma," sahutnya sebelum turun ke bawah tanpa dasinya.Anya melangkah cepat, sesekali memperbaiki ikatan rambut sepunggung yang kurang kencang. Ia tidak menggunakan polesan apapun di wajahnya, benar-benar polos natural.Setibanya di meja makan, Anya menemukan seluruh anggota keluarganya sudah menyantap sarapan paginya mas
Suara bising kicauan burung cukup membuat telinga Anya pengang. Gundukan hijau, pepohonan lebat menjulang tinggi menyambut penglihatan Anya yang tampak sedikit buram. Hal yang pertama ia rasakan saat membuka mata adalah seluruh tubuh yang terasa pegal dan sedikit nyeri, terutama pada kepala bagian belakangnya yang terbalut perban."Aww," ringis Anya saat jari telunjuknya tak sengaja tersangkut di ikatan perban yang membuatnya terlepas sebagian. "Apa yang terjadi?" gumamnya sembari mengingat kepingan-kepingan kejadian di pagi buta tadi.Terlalu fokus memperhatikan luka di sekujur tubuhnya, Anya tidak sadar akan posisinya sekarang. Baru saat kakinya bergerak tak sengaja menginjak ranting kayu, ia terkejut."Sejak kapan Anya ada di sini?" gumamnya seraya menatap betapa lebatnya pohon di hutan itu.Kakinya mulai melangkah dengan terseok, terkadang tersandung akar pohon hingga terjatuh. Harapannya hanya satu, menemukan jalan keluar dari tengah hutan. Anya send
Anya melangkahkan kaki gontai, mukanya sedikit lesu seusai pulang dari perayaan di sekolahnya. Ia sangat menyesal telah mengikuti kegiatan tadi, pasalnya hal memalukan menghampirinya, dan itu semua karena ulah Reno. Anya tak habis fikir dengan lelaki aneh itu. Bisa-bisanya dia memalukannya di depan umum. Kejadian tadi terus terngiang-ngiang di pikirannya."Anya, mungkin ini udah yang kesekian kali gue nyampain hal ini ke lo. Gue cuman mau bilang, kalau gue masih mengharapkan jawaban tulus dari lo. Jadi, gimana?"Suara sorakan terdengar seiring pernyataan yang keluar dari mulut ketua osis yang terkenal tampan nan dingin itu. Bukan hal aneh lagi jika Reno sangat mengharapkan Anya, bahkan semua siswa di SMA Cakrawangsa pun tahu.Gadis yang sedang menjadi pusat perhatian itu tampak geram. Berulang kali ia menegaskan kepada Reno jika dirinya tak akan pernah membalas perasaan lelaki itu, tetapi orang itu tetap dalam pendiriannya."Cepet sana pulang! Malu-
Gadis dengan surai kecokelatan itu duduk mendekam di dalam kamarnya dari pagi hingga siang. Ia tidak tahu ingin melakukan apa, pasalnya hari ini sekolahnya diliburkan. Dan sebagai gantinya, nanti malam semua murid di SMA Cakrawangsa diwajibkan untuk masuk. Hal ini selalu dilakukan setiap perayaan sekolah, berangkat ke sekolah pada malam hari, demi mengambil moment yang tepat.Anya mengedarkan pandangannya ke arah jendela kamarnya yang terpantul cahaya matahari sedikit redup karena hari sudah menjelang senja. Acara dilakukan tepat pada pukul tujuh malam, ia harus bersiap-siap sekarang meski sangat malas bergerak.Tidak banyak yang Anya persiapkan, kecuali mentalnya. Ia tahu jika perayaan sekolah tahun ini akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Jadi, ia harus siap menghadapi perayaan nanti.Pihak sekolah tidak menentukan kostum untuk nanti malan, hanya saja harus terlihat sopan. Anya tampak sangat cocok dengan balutan sweter rajut abu-abu dan celana jeans
"Ayah?" gumam Anya tak percaya dengan yang dilihatnya sekarang.Sosok yang selama ini telah menghancurkan kepercayaannya, tetapi Anya selalu merindukan kedatangannya. Dan sekarang, tepat di ruang tamu, ayahnya berdiri menatapnya dengan jarak tiga langkah.Anya menangis saat Irfan melangkahkan kaki mendekatinya. Gadis itu semakin terisak saat ayahnya merengkuhnya ke dalam pelukan, menyalurkan sirat kerinduan yang selama ini dipendam. "A-ayah?" ujar Anya memastikan bahwa yang di depannya benar-benar ayahnya.Irfan mengangguk, dia menangis sambil mencium kening dan pipi Anya bertubi-tubi. Memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi.Bayangkan saja, lima tahun Irfan tidak mengunjungi putrinya. Rindu yang dipendam sudah mencapai puncaknya sehingga dia memutuskan untuk pulang."A-ayah kenapa gak pernah pulang?" desak Anya bertanya.Irfan hanya menggeleng pelan mendapat pertanyaan dari putrinya yang sedang menatap kecewa di balik matanya. "
Anya keluar sekolah tepat pada pukul empat sore. Biasanya sekolah bubar pada pukul tiga, tetapi hari ini gadis itu mengambil les menari balet untuk mempersiapkan lombanya yang mendatang.Matanya celingukan mencari supir yang biasa menjemputnya, namun hasilnya nihil. Ah, ia lupa jika supirnya tidak bisa mengantar jemputnya hari ini. Ia memutuskan untuk mencari angkutan umum saja, tetapi sebuah mobil di depannya mengurungkan niat Anya."Mau jalan kaki, Nya?" tanya Rani yang menghentikan mobilnya dekat Anya.Rani dan Shasa juga pulang sore, tetapi bukan mengikuti les seperti Anya. Dua anak itu sibuk menonton pertandingan basket di sekolahan hingga lupa pulang jika hari belum sore. Padahal sudah Anya marahi habis-habisan karena menghabiskan waktu hanya untuk menonton pertandingan membosankan antara siswa laki-laki bermain basket. Tetapi mereka tetap saja ngeyel."Janjian ketemuan sama anak cowok di depan warteg, tuh bocah," celetuk Shasa membuka kaca mobil
Pagi ini, Anya bersiap ke sekolah dengan sedikit tergesa karena bangun kesiangan. Tadi malam dirinya bergadang hingga jam setengah tiga, bodoh memang. Pikirannya kacau semenjak Kella dan Kelly mendatangi kamarnya dengan langkah tergesa. Anya memikirkan semua dugaan hingga tidak sadar jika sudah melewatkan jam tidurnya."Aish! Dasinya ngumpet dimana lagi, sih?" gerutu Anya berkacak pinggang sembari mencari dasi abu-abunya yang semula ia simpan di laci.Gadis itu mencak-mencak sendiri, menyalahkan dirinya yang teledor, sesekali menggerutu pelan."Anya sarapan!" teriak Oma Stefi dari bawah membuat Anya sedikit tergesa."Iya, Oma," sahutnya sebelum turun ke bawah tanpa dasinya.Anya melangkah cepat, sesekali memperbaiki ikatan rambut sepunggung yang kurang kencang. Ia tidak menggunakan polesan apapun di wajahnya, benar-benar polos natural.Setibanya di meja makan, Anya menemukan seluruh anggota keluarganya sudah menyantap sarapan paginya mas
Sepuluh tahun telah berlalu dengan kesan yang biasa-biasa saja. Dari dahulu sampai sekarang tetap saja sama, tidak ada yang spesial di hidup Anya. Masih dengan kemalangannya yang dibenci oleh keluarganya sendiri.Kella dan Kelly tidak pernah berhenti menyiksanya, Anya selalu memikirkan apa kesalahannya sehingga mereka amat membencinya. Dari umur tujuh tahun hingga empat belas tahun, kedua kakak kembarnya itu selalu berulah, tetapi Anya tidak pernah mengadukannya kepada Oma Stefi, apalagi ayahnya. Bohong jika Anya tidak pernah kesal dengan perlakuan mereka yang menyerupai setan, tetapi ia tidak pernah bisa membenci Kella dan Kelly.Anya bersiap-siap untuk ikut Opa Bram dan Oma Stefi menjemput kedua kakak kembarnya di bandara."Anya sudah siap?" tanya Oma Stefi mendatangi kamar Anya dengan senyuman di wajah anggunnya."Sudah, Oma.""Yuk, turun ke bawah, nanti opa kamu marah-marah lagi," kekehnya pelan.Anya tersenyum mendengarnya, opa ju
Pagi yang damai telah menyambut bumi. Matahari mulai berinteraksi dengan pepohonan, memamerkan cahayanya kepada mereka.Di luar sana boleh saja tampak damai. Tetapi tidak dengan kondisi rumah Anya. Beberapa pecahan kaca tampak berceceran di lantai putih. Suara teriakan kian menggema memenuhi ruangan, padahal ini masih pagi, tidak bisakah mereka diam berdamai? Anya sudah sangat lelah dengan semua ini. Ia tahu, semua ucapan yang keluar dari mulutnya tidak akan pernah digubris oleh kedua orangtuanya."Mama, kenapa gucinya dibantingin seperti itu? Mereka gak salah," Anya menahan lengan ibunya yang bersiap menghabiskan semua pajangan yang ada di ruangan.Ibunya menghentakkan tangan mungil Anya dengan kasar, dia memang ibu tidak berperasaan."Jangan bertingkah kasar dengan putri kita!" bentak Ayah Anya tidak terima. Tangannya sigap menyembunyikan Anya di balik punggung kokohnya."Anak kita? Anak kamu! Jangan pernah sebut dia anakku!"Irfan m