Pagi yang damai telah menyambut bumi. Matahari mulai berinteraksi dengan pepohonan, memamerkan cahayanya kepada mereka.
Di luar sana boleh saja tampak damai. Tetapi tidak dengan kondisi rumah Anya. Beberapa pecahan kaca tampak berceceran di lantai putih. Suara teriakan kian menggema memenuhi ruangan, padahal ini masih pagi, tidak bisakah mereka diam berdamai? Anya sudah sangat lelah dengan semua ini. Ia tahu, semua ucapan yang keluar dari mulutnya tidak akan pernah digubris oleh kedua orangtuanya.
"Mama, kenapa gucinya dibantingin seperti itu? Mereka gak salah," Anya menahan lengan ibunya yang bersiap menghabiskan semua pajangan yang ada di ruangan.
Ibunya menghentakkan tangan mungil Anya dengan kasar, dia memang ibu tidak berperasaan.
"Jangan bertingkah kasar dengan putri kita!" bentak Ayah Anya tidak terima. Tangannya sigap menyembunyikan Anya di balik punggung kokohnya.
"Anak kita? Anak kamu! Jangan pernah sebut dia anakku!"
Irfan menggeleng tak percaya mendengar istrinya mengatakan itu.
"Bawa anak sialan itu pergi dari sini! Aku semakin muak melihat mukanya!"
"Diana, berhenti menyebut Anya seperti itu! Mau bagaimana lagi, dia tetap darah dagingmu, anak kita," sudah berapa kali Irfan melarang Diana untuk memperlakukan Anya seperti itu. Tetapi, Diana tetaplah Diana, keras kepala dan egois.
"Ma, Pa, jangan bertengkar lagi, ya," Anya kecil tetap berusaha melerai pertengkaran kedua orangtuaya, meskipun ia tahu bahwa itu tak pernah berhasil.
"Pergi kamu!" hardik Diana menunjuk-nunjuk Anya tepat di depan mukanya.
Anya tersenyum sebelum berjalan santai menuju tangga kamarnya berada. Dia tidak menangis, gadis kecil yang sangat tegar.
Sesampainya di kamar luas bertema bunga matahari, ia langsung menggapai beberapa boneka panda yang tertata rapi di atas lemari.
"Coci enak, ya. Bisa kumpul terus sama orangtua kamu. Anya juga pengin seperti itu tau," gadis kecil itu mengelusi empat boneka panda yang berukuran kecil dan besar.
"Padahal permintaan Anya gak banyak, Anya ingin disayang. Anya juga ingin main bareng mama, tapi mama bentak Anya terus. Anya gak tau, salah Anya apa."
Anya kecil menatap langit-langit kamarnya, menghalau agar tidak air mata yang keluar. Hatinya sangat sesak, perih.
Dia tertawa hambar, "Apa salah jika Anya ingin bahagia, Tuhan?"
Gadis kecil itu memukuli guling di pelukannya, mengigitnya kuat. Apapun dilakukannya agar air matanya tak menetes sedikitpun.
Anya tertidur dengan napas teratur, tidak ada dongeng pengantar tidur, maupun usapan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Mereka hanya sibuk bertengkar, bertengkar dan bertengkar. Takkan ada habisnya.
Suara dobrakan pintu membuat tidur Anya terganggu, di luar sana suara sangat bising, entah sedang terjadi apa.
Tangan mungil Anya menyentuh knop pintu, memutarnya hingga terbuka dari semula yang tertutup rapat. Di depan pintu kamarnya, ia menemukan pecahan vas bunga. Apalagi yang diperbuat oleh ibunya? Tidak bisakah dia diam tanpa menghancurkan perabotan rumah?
Ternyata benar, suara dobrakan tadi berasal dari vas bunga yang dilempar ke pintu kamar Anya oleh ibunya. Gadis kecil itu heran, mengapa ibunya tidak baik-baik mengetuk pintu kamarnya, bukan malah melemparnya dengan vas bunga hingga hancur berantakan. Sumpah, ini semua tidak lucu.
"Aawww," rintih Anya saat jemarinya tergores pecahan vas secara tidak sengaja ketika sedang mencoba untuk membereskan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.
Kaki kecil Anya hendak melangkah mengambil kotak P3K di kamarnya, tetapi langkahnya terhenti karena mendengar suara pecahan lagi dari bawah. Terpaksa Anya turun menapaki tangga dengan langkah cepat, ia sudah tidak mempedulikan lagi luka di tangannya yang semakin nyeri rasanya.
"Apalagi ini?" gumam Anya menatap semua figura foto yang semula tersimpan rapi di lemari, kini sudah menjelma menjadi pecahan yang menyedihkan. Ibunya memang berbakat dalam menghacurkan barang-barang.
Mata mungilnya menatap sekeliling ruangan, benar-benar hancur berantakan seperti badai yang baru saja menerjang rumah. Ibunya masih belum berhenti juga menghabiskan semua perabotan yang ada di dalam rumah.
"Aku mau kita cerai!" teriakan itu berasal dari meja makan.
"Tidak bisa, kamu tidak boleh membuat keputusan sepihak seperti itu, Diana," sahut Ayah Anya dengan nada frustasi. Tangannya mengacak rambutnya yang sudah tak serapi biasanya.
Anya mematung. Apa yang baru saja dibicarakan oleh kedua orangtuanya? Bercerai? Apakah mereka tidak memikirkan perasaan Anya saat mengatakan itu.
"Aku tetep mau pisah, Irfan," ujar Diana menangis pelan.
"Kamu harus pikirkan Anya, anak kita," ucap Irfan melemah. "Dia butuh sosok ibu yang bisa menyayanginya," lanjutnya menatap mata Diana yang gelisah. Dia yakin jika istrinya tidak benar-benar ingin berpisah.
"Aku gak bisa sayang sama anak itu. Jadi, sudah jelas, kan? Kita harus cerai secepatnya, Irfan," ujarnya sebelum pergi menuju kamarnya, membereskan semua baju-baju miliknya ke dalam koper. Tekadnya sudah bulat.
Anya masih bersembunyi di balik tangga, ia tidak berani melihat semuanya secara langsung.
Diana keluar dari kamarnya dengan satu koper yang sudah terisi penuh dengan pakaiannya. Dia mendekati suaminya yang sedang menatap datar ke arahnya. "Kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Kamu urusin saja anak kesayanganmu itu," ujarnya menekankan setiap kata yang diucapkan.
"Aku mohon, pikirkan baik-baik lagi. Aku yakin, kamu tidak sepenuhnya menginginkan berpisah," bujuk Irfan.
"Surat penceraian akan aku kirim tiga hari lagi dan kamu harus segera menandatanganinya," ujarnya sebelum menyeret koper beratnya menuju mobil merah miliknya.
Sebelum benar-benar keluar dari rumah, dia menyempatkan diri untuk menengok ke arah tangga, tempat dimana Anya bersembunyi. Diana menatapnya dengan sorot mata yang tak dapat diartikan, dia segera memutus kontak mata saat putrinya balik menatapnya dengan sorot mata sedih dan kecewa. Anya tidak salah lihat, ibunya benar-benar menangis diiringi langkah cepat.
"A-ayah? Katakan ini semua bohong," ujar Anya menggoyangkan lengan kekar ayahnya.
Irfan menatap putrinya dengan sorot mata yang menggambarkan kesedihannya. "Putri ayah yang cantik, Anya sudah besar, ya? Sudah tujuh tahun, kan? Anya harus bisa mengerti semua ini. Mama Diana sudah tidak cocok lagi dengan ayah," ujar Irfan mengelus surai kecokelatan milik Anya.
Anya tidak menangis, gadis itu sangat sulit menangis meski dalam situasi seperti ini. Matanya sudah kebal menerima semua kenyataan menyedihkan di hidupnya.
"Mulai hari ini dan seterusnya, Anya tinggal sama Opa Bram dan Oma Stefi, ya? Di sana juga Tante Kella dan Kelly. Ramai, kan? Anya suka sama tempat ramai, iya, kan?" ucap Irfan tersenyum meski sakit sekali rasanya mengatakan itu.
Gadis kecil itu menatapnya dengan senyum getir. Ayahnya tak mau lagi merawatnya, Anya bisa apa kalau sudah begini?
"Iya, Anya suka tempat ramai," sahut Anya cepat dengan senyum yang dipaksakan. "Tapi ayah jangan pergi, ya. Ayah harus sering-sering jenguk Anya di sana," lanjut Anya dengan suara bergetar.
"Pasti, itu sudah pasti. Ayah gak bakal tinggalin Anya sendirian," janji Irfan memeluk putri kecil semata wayangnya sambil menangis.
"Udah, ayah gak usah nangis. Anya bener-bener gak apa-apa, kok. Senyum, Yah," ujar Anya menghibur ayahnya. Jemari kecilnya menghapus air mata di pipi ayahnya.
Irfan menghentikan pergerakan putrinya. Dia meraih jemari Anya dan menatapnya. "Ini kenapa? Kok, bisa luka seperti ini?" tanyanya dengan nada khawatir.
"Oh, ini? Bukan apa-apa, kok."
"Meskipun begitu, tetap harus diobati. Sini ayah obati," di gengaman Irfan sudah ada kotak P3K yang diraihnya dari laci dapur.
"Sakit?" tanya Irfan memastikan saat mengoleskan betadin ke jemari mungil Anya yang terluka.
Anya menggeleng, giginya menggigit bibir bawahnya pelan. "Gak sakit, kok."
"Beneran?" tanya Irfan memastikan untuk yang kedua kalinya.
Kali ini, Anya hanya mengangguk. "Rasa sakit ini gak sebanding dengan sakitnya hati Anya mengetahui fakta kalau ayah sama Mama Diana gak bisa sama-sama lagi," batinnya menangis.
•●•
Anya dibantu oleh ayahnya untuk mengemasi barang-barang miliknya. Hari ini rencananya Anya akan mulai tinggal di rumah kakek-neneknya. Irfan berkata jika dia ada urusan di luar kota selama beberapa hari, sehingga tidak bisa menemani putrinya di rumah.
"Boneka Anya banyak banget, mau dibawa semua?" tanya Irfan menatap koleksi boneka milik Anya yang nyaris memenuhi satu lemari.
"Iyaa, dong, Yah. Masa Anya tinggalin mereka, sih? Bawa semua aja," ujar Anya disela-sela memasukkan buku-buku dongeng miliknya. Buku yang selalu menemaninya di keheningan malam.
"Ya udah, Anya masukkin boneka yang paling Anya sukai dulu. Sisanya biar opa sama oma yang beresin bawa ke sana," ucap Irfan mengangkat satu koper pakaian milik Anya.
"Bener, kan, Yah?" tanya Anya memastikan.
"Iyaa beneran., masa ayah bohong sama Anya?" celetuk Irfan yang langsung dibalas kekehan kecil oleh putriya.
Setelah menghabiskan banyak waktu untuk membereskan barang-barang milik Anya, Irfan mulai menjalankan kemudi mobilnya, diikuti oleh Anya yang duduk tepat di sampingnya.
"Ayah, nanti sekolah Anya pindah?" tanya Anya di sela-sela mengunyah snack di pangkuannya.
"Maunya, sih, tidak. Tapi, sekolah kamu jauh dari rumah opa dan oma," jawab Irfan masih fokus menatap jalan raya yang tidak terlalu padat.
"Ya udah gak apa-apa."
"Anya beneran mau, kan?" tanya Irfan namun tak ada jawaban. Dia menengok ke samping, ternyata putrinya kelelahan hingga tertidur dengan posisi yang membuatnya terkekeh geli. Remahan snack yang dimakannya mengotori dagu Anya.
Mobil hitam itu berhenti di depan rumah gedung tingkat tiga, rumah milik kedua orangtua Irfan. "Semoga ini semua menjadi awal yang baik untuk kedepannya," gumamnya menatap rumah kokoh di depannya dengan penuh harapan.
Irfan tak langsung turun, dia membersihkan remahan makanan di wajah putrinya sebelum menelpon kedua orangtuanya untuk keluar.
"Eh, udah sampai?" celetuk Anya kaget saat mobil sudah berhenti.
"Udah dari tadi."
"Kok, ayah gak bangunin Anya?"
Irfan hanya tersenyum dan menggandeng Anya untuk memasuki rumah kedua orangtuanya.
"Wah, Anya udah gede, ya? Makin cantik aja cucu oma," riang Oma Stefi langsung mencium kedua pipi Anya.
Anya tersenyum menapakkan gigi kelincinya yang cantik, kemudian tatapannya beralih pada Opa Bram, berharap agar Opa Bram juga menyambutnya seperti yang dilakukan oleh Oma Stefi. Tetapi, tatapan Opa Bram membuatnya segan untuk menyapa terlebih dahulu.
"Anya seneng kalau tinggal bareng oma, kan?"
Gadis kecil itu mengangguk dan kembali menatap sekeliling rumah yang nantinya akan menjadi tempat tinggalnya.
"Kella sama Kelly kemana, Bun?" tanya Irfan mencari keberadaan kedua adik kembarannya.
"Biasa, Fan. Kalau jam segini, mereka udah sibuk sendiri di ruangan melukis," kekeh Stefi.
"Dulu Irfan juga begitu, ya, Bun?" ujar Irfan mengikuti langkah kaki bundanya menuju ruangan melukis, tempat dimana kedua adik kembarnya sedang bersemedi dengan kanvas dan cat air.
"Irfan lebih mendingan, daripada dua anak itu," celetuk Stefi membuat Irfan terkekeh.
Irfan mendapati kedua adik kembarnya sedang berdebat di ruangan melukis, Kella yang tak mau terbantahkan dan Kelly yang tak mau mengikuti keinginan adiknya.
"Kelly, kan udah bilang, buat tambahin air ke catnya biar gak terlalu kental. Kella ngeyel, sih. Jadinya gak bagus dilihat, kan?" sebal Kelly menatap gusar ke arah lukisan cat air yang terlihat terlalu tebal.
"Kok, jadi nyalahin Kella, sih? Minta digaplok emang," ujar Kella tak terima.
"Eh, udah-udah. Kalian ini, bertengkar cuman gara-gara lukisan. Sini, bunda mau minta tolong, ini lebih penting daripada lukisan kalian," ujar Stefi menggandeng Anya bersamanya.
"Apa, Bun?" sahut Kella dan Kelly serempak.
Kella dan Kelly menatap wajah Anya bersamaan dengan raut bingung. "Dia siapa, Bun?" tanya Kelly mewakili adik kembarnya yang ingin bertanya.
"Ini Anya, masa kalian lupa, sih?" sahut Stefi cepat.
Kella menatap Anya dengan raut yang tak terbaca, sedangkan Kelly mendesis pelan.
"Bunda titip Anya sama kalian, ya. Bunda sama ayah mau ambil barang-barang Anya di rumah kakak kamu," ujar Stefi memberitahu.
Sekarang hanya ada Anya bersama kedua tante kembarnya yang menatapnya penuh kebencian. Anya jadi kikuk ingin bicara, mereka malah sibuk dengan lukisannya sendiri. Anya tidak berbohong, lukisan mereka sangat indah untuk anak usia sebelas tahun, bahkan lukisan ayahnya tak seindah ini.
"Cantik, Kak," komentar Anya yang langsung dibalas tatapan tajam dari Kella.
"Gak ada yang minta komentar sama kamu," desis Kella menggerutu.
Kaki Anya membawanya pada lukisan yang terpajang indah di sana, bermaksud ingin melihat-lihat sebentar, tetapi naas, kakinya menyandung kaki kanvas hingga lukisan itu terjatuh.
Brak!
"Aaaa lukisanku!" teriak Kelly histeris. Lukisan yang semula indah, kini menjadi rusak karena ketumpahan cat air yang tersimpan tak jauh dari sana. "Kella, lukisanku," adu Kelly menyerahkan lukisannya yang tak seindah tadi kepada adiknya.
"Sini kamu!" marah Kella menarik lengan Anya kuat hingga memerah. Dia mendorong Anya ke lantai dengan kencang.
Anya meringis pelan saat Kella memukul lengannya dengan rotan yang entah didapatkannya dari mana. Ruam kebiruan muncul di lengan yang semula tertutupi oleh sweter panjangnya. Gadis kecil itu tidak menangis meski sekujur tubuhnya terasa sakit.
Plak!
Kini giliran Kelly yang melampiaskan rasa amarahnya kepada Anya. Dia menamparnya kencang hingga pipi Anya memerah, kemudian mendorongnya hingga dahi Anya terbentur kursi besi yang biasa didudukinya saat melukis.
"Dengar baik-baik! Jangan mentang-mentang kamu paling kecil di sini, terus kamu bisa ngadu seenaknya sama bunda atau Kak Irfan. Kalau bunda sampai tahu semua ini, kamu akan lebih tersiksa daripada ini," ancam Kella menoyor dahi Anya yang terluka dengan kencang.
"Nikmati kehidupan barumu, Anya," Kelly tersenyum misterius sebelum menghilang dari balik pintu bersama kembarannya.
Anya menatap kepergian kedua tante kembarnya yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri dengan tatapan sedih.
"Mengapa semua orang jahat sama Anya?" gadis kecil itu tidak menangis, tetapi suaranya bergetar hebat. "Anya tahu, ini baru permulaan," lanjutnya meringis.
Sepuluh tahun telah berlalu dengan kesan yang biasa-biasa saja. Dari dahulu sampai sekarang tetap saja sama, tidak ada yang spesial di hidup Anya. Masih dengan kemalangannya yang dibenci oleh keluarganya sendiri.Kella dan Kelly tidak pernah berhenti menyiksanya, Anya selalu memikirkan apa kesalahannya sehingga mereka amat membencinya. Dari umur tujuh tahun hingga empat belas tahun, kedua kakak kembarnya itu selalu berulah, tetapi Anya tidak pernah mengadukannya kepada Oma Stefi, apalagi ayahnya. Bohong jika Anya tidak pernah kesal dengan perlakuan mereka yang menyerupai setan, tetapi ia tidak pernah bisa membenci Kella dan Kelly.Anya bersiap-siap untuk ikut Opa Bram dan Oma Stefi menjemput kedua kakak kembarnya di bandara."Anya sudah siap?" tanya Oma Stefi mendatangi kamar Anya dengan senyuman di wajah anggunnya."Sudah, Oma.""Yuk, turun ke bawah, nanti opa kamu marah-marah lagi," kekehnya pelan.Anya tersenyum mendengarnya, opa ju
Pagi ini, Anya bersiap ke sekolah dengan sedikit tergesa karena bangun kesiangan. Tadi malam dirinya bergadang hingga jam setengah tiga, bodoh memang. Pikirannya kacau semenjak Kella dan Kelly mendatangi kamarnya dengan langkah tergesa. Anya memikirkan semua dugaan hingga tidak sadar jika sudah melewatkan jam tidurnya."Aish! Dasinya ngumpet dimana lagi, sih?" gerutu Anya berkacak pinggang sembari mencari dasi abu-abunya yang semula ia simpan di laci.Gadis itu mencak-mencak sendiri, menyalahkan dirinya yang teledor, sesekali menggerutu pelan."Anya sarapan!" teriak Oma Stefi dari bawah membuat Anya sedikit tergesa."Iya, Oma," sahutnya sebelum turun ke bawah tanpa dasinya.Anya melangkah cepat, sesekali memperbaiki ikatan rambut sepunggung yang kurang kencang. Ia tidak menggunakan polesan apapun di wajahnya, benar-benar polos natural.Setibanya di meja makan, Anya menemukan seluruh anggota keluarganya sudah menyantap sarapan paginya mas
Anya keluar sekolah tepat pada pukul empat sore. Biasanya sekolah bubar pada pukul tiga, tetapi hari ini gadis itu mengambil les menari balet untuk mempersiapkan lombanya yang mendatang.Matanya celingukan mencari supir yang biasa menjemputnya, namun hasilnya nihil. Ah, ia lupa jika supirnya tidak bisa mengantar jemputnya hari ini. Ia memutuskan untuk mencari angkutan umum saja, tetapi sebuah mobil di depannya mengurungkan niat Anya."Mau jalan kaki, Nya?" tanya Rani yang menghentikan mobilnya dekat Anya.Rani dan Shasa juga pulang sore, tetapi bukan mengikuti les seperti Anya. Dua anak itu sibuk menonton pertandingan basket di sekolahan hingga lupa pulang jika hari belum sore. Padahal sudah Anya marahi habis-habisan karena menghabiskan waktu hanya untuk menonton pertandingan membosankan antara siswa laki-laki bermain basket. Tetapi mereka tetap saja ngeyel."Janjian ketemuan sama anak cowok di depan warteg, tuh bocah," celetuk Shasa membuka kaca mobil
"Ayah?" gumam Anya tak percaya dengan yang dilihatnya sekarang.Sosok yang selama ini telah menghancurkan kepercayaannya, tetapi Anya selalu merindukan kedatangannya. Dan sekarang, tepat di ruang tamu, ayahnya berdiri menatapnya dengan jarak tiga langkah.Anya menangis saat Irfan melangkahkan kaki mendekatinya. Gadis itu semakin terisak saat ayahnya merengkuhnya ke dalam pelukan, menyalurkan sirat kerinduan yang selama ini dipendam. "A-ayah?" ujar Anya memastikan bahwa yang di depannya benar-benar ayahnya.Irfan mengangguk, dia menangis sambil mencium kening dan pipi Anya bertubi-tubi. Memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi.Bayangkan saja, lima tahun Irfan tidak mengunjungi putrinya. Rindu yang dipendam sudah mencapai puncaknya sehingga dia memutuskan untuk pulang."A-ayah kenapa gak pernah pulang?" desak Anya bertanya.Irfan hanya menggeleng pelan mendapat pertanyaan dari putrinya yang sedang menatap kecewa di balik matanya. "
Gadis dengan surai kecokelatan itu duduk mendekam di dalam kamarnya dari pagi hingga siang. Ia tidak tahu ingin melakukan apa, pasalnya hari ini sekolahnya diliburkan. Dan sebagai gantinya, nanti malam semua murid di SMA Cakrawangsa diwajibkan untuk masuk. Hal ini selalu dilakukan setiap perayaan sekolah, berangkat ke sekolah pada malam hari, demi mengambil moment yang tepat.Anya mengedarkan pandangannya ke arah jendela kamarnya yang terpantul cahaya matahari sedikit redup karena hari sudah menjelang senja. Acara dilakukan tepat pada pukul tujuh malam, ia harus bersiap-siap sekarang meski sangat malas bergerak.Tidak banyak yang Anya persiapkan, kecuali mentalnya. Ia tahu jika perayaan sekolah tahun ini akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Jadi, ia harus siap menghadapi perayaan nanti.Pihak sekolah tidak menentukan kostum untuk nanti malan, hanya saja harus terlihat sopan. Anya tampak sangat cocok dengan balutan sweter rajut abu-abu dan celana jeans
Anya melangkahkan kaki gontai, mukanya sedikit lesu seusai pulang dari perayaan di sekolahnya. Ia sangat menyesal telah mengikuti kegiatan tadi, pasalnya hal memalukan menghampirinya, dan itu semua karena ulah Reno. Anya tak habis fikir dengan lelaki aneh itu. Bisa-bisanya dia memalukannya di depan umum. Kejadian tadi terus terngiang-ngiang di pikirannya."Anya, mungkin ini udah yang kesekian kali gue nyampain hal ini ke lo. Gue cuman mau bilang, kalau gue masih mengharapkan jawaban tulus dari lo. Jadi, gimana?"Suara sorakan terdengar seiring pernyataan yang keluar dari mulut ketua osis yang terkenal tampan nan dingin itu. Bukan hal aneh lagi jika Reno sangat mengharapkan Anya, bahkan semua siswa di SMA Cakrawangsa pun tahu.Gadis yang sedang menjadi pusat perhatian itu tampak geram. Berulang kali ia menegaskan kepada Reno jika dirinya tak akan pernah membalas perasaan lelaki itu, tetapi orang itu tetap dalam pendiriannya."Cepet sana pulang! Malu-
Suara bising kicauan burung cukup membuat telinga Anya pengang. Gundukan hijau, pepohonan lebat menjulang tinggi menyambut penglihatan Anya yang tampak sedikit buram. Hal yang pertama ia rasakan saat membuka mata adalah seluruh tubuh yang terasa pegal dan sedikit nyeri, terutama pada kepala bagian belakangnya yang terbalut perban."Aww," ringis Anya saat jari telunjuknya tak sengaja tersangkut di ikatan perban yang membuatnya terlepas sebagian. "Apa yang terjadi?" gumamnya sembari mengingat kepingan-kepingan kejadian di pagi buta tadi.Terlalu fokus memperhatikan luka di sekujur tubuhnya, Anya tidak sadar akan posisinya sekarang. Baru saat kakinya bergerak tak sengaja menginjak ranting kayu, ia terkejut."Sejak kapan Anya ada di sini?" gumamnya seraya menatap betapa lebatnya pohon di hutan itu.Kakinya mulai melangkah dengan terseok, terkadang tersandung akar pohon hingga terjatuh. Harapannya hanya satu, menemukan jalan keluar dari tengah hutan. Anya send