"Anya, mungkin ini udah yang kesekian kali gue nyampain hal ini ke lo. Gue cuman mau bilang, kalau gue masih mengharapkan jawaban tulus dari lo. Jadi, gimana?"
Suara sorakan terdengar seiring pernyataan yang keluar dari mulut ketua osis yang terkenal tampan nan dingin itu. Bukan hal aneh lagi jika Reno sangat mengharapkan Anya, bahkan semua siswa di SMA Cakrawangsa pun tahu.
Gadis yang sedang menjadi pusat perhatian itu tampak geram. Berulang kali ia menegaskan kepada Reno jika dirinya tak akan pernah membalas perasaan lelaki itu, tetapi orang itu tetap dalam pendiriannya.
"Cepet sana pulang! Malu-maluin gue aja," desis Anya mencubit lengan Reno yang berdiri berhadapan dengannya. Sesekali Anya mengedarkan pandangannya, banyak sekali yang menatapnya penuh harap.
Cih! Mereka pikir, Anya akan menerima Reno? Oho, tentu saja tidak. Untuk apa repot-repot menerima perasaan orang lain yang tidak diharapkannya.
"Anya," panggil Reno sedikit frustasi karena gadis yang dicintainya itu selalu menolaknya tanpa pertimbangan. Istilahnya ditolak mentah-mentah.
"Apa, sih lo?" sahut Anya berbisik. "Udah sana pergi," lanjutnya mengusir.
Mendengar celetuk-celetukan dari orang di sekelilingnya membuat Anya bergerak tak nyaman. Awas saja Reno, lain kali dirinya akan balas mempermalukannya.
Sikap Reno memang kekanak-kanakan sekali. Mungkin gadis lain akan menganggapnya romantis karena menyatakan pernyataan cinta di hadapan banyak orang dengan suasana yang sangat mendukung. Namun tidak bagi Anya, gadis itu sungguh muak. Andaikan tidak ada orang lain, sudah pasti dirinya akan menghajar Reno habis-habisan.
Anya tak habis fikir, bisa-bisanya lelaki itu mematikan sumber pencahayaan di tengah gelapnya suasana hanya untuk menyatakan perasaannya.
"Argh! Reno sinting!" frustasi Anya. Tangannya mengacak rambutnya yang tak rapi seperti semula.
Salah satu kaki Anya menghentak-hentakan kasur berulang kali dengan tangan mengepal erat hingga urat hijau kebiruan tampak jelas di sana. Ia sudah berganti pakaian dengan piyama bergambar kucing semenjak dua jam lalu.
"Mati lo!" tangan Anya bergerak leluasa menaboki boneka panda di atas meja. Ia membayangkan yang sedang dipukulinya ialah Reno. Dengan tawa menggelegar, Anya menyudahi kegiatannya itu.
Gadis itu kalap, ia meneguk air mineral dingin dua botol penuh yang baru saja diambilnya dari kulkas. Tangannya mengusap mulutnya cepat dengan satu kaki kembali dihentakkan. "Mabok kok air hambar, lain kali Anya harus coba minuman yang lebih menantang," gumamnya diakhiri dengan kekehan kecil.
Anya menepuk-nepuk perutnya yang kembung akibat tingkah kalapnya tadi. "Kok, sepi, ya?" ujarnya sambil mengelilingi penjuru rumah. Tidak ada siapa-siapa, kemana mereka?
Helaan napas berat menandakan betapa lelahnya gadis yang sedang meringkuk di atas kasurnya. "Hei, Reno setan! Bisanya bikin orang pusing terus," gemeletuk Anya kembali memukul ke sembarang arah.
Gerakan Anya terhenti kala mendengar suara ketukan dari pintu depan, bersamaan dengan itu angin malam tiba-tiba saling bersahutan. Di antara itu semua, ada yang lebih membuatnya takut, Anya tak berani mendeskripsikan sesuatu itu.
Jantung Anya berdetak cepat, tangannya berkeringat secara tiba-tiba. Pandangan Anya mulai mengabur dan kepalanya terasa sangat berat. "A-ayah, Anya takut!" teriaknya histeris di atas kasur.
Gadis itu semakin histeris saat menyadari ada tangan yang menepuk pundaknya. "Argh, pergi!" jeritnya disertai dengan lemparan sandal yang diraihnya dari kolong ranjang.
Tak lama kemudian, Anya merasakan perih pada kulit kepalanya akibat jambakan dari seseorang.
"Apa maumu sampai berani pukul aku pakai sandal, hah?!" bentak Kella tepat di depan wajah Anya.
"Liat, deh. Muka dia mirip kuntilanak disambar petir," celetuk Kelly disusul gelak tawa Kella di sampingnya.
Anya baru memperhatikan kondisi tubuhnya saat bunyi guntur di luar mulai mereda. Ah, benar-benar kacau. Piyama yang semula terpasang rapi, kini sudah acak-acakan, rambutnya berantakan. Pantas saja kedua kakak kembarnya menertawakannya sampai sebegitunya.
"Kerasukan maung, ya?" ledek Kella menaikkan satu alisnya.
Anya tidak marah, ia hanya kacau. Maka dari itu, ia segera pergi dari hadapan Kella dan Kelly yang berteriak marah.
"Ada apa dengan gadis itu," ujar Kelly seusai Anya pergi.
"Entahlah, dia semakin tidak bisa dimengerti," sahut Kella mulai beringsut dari sana.
"Ah, benar juga."
•●•
Suasana di rumah Anya terasa sepi tanpa Oma Stefi dan Opa Bram. Hanya ada Anya bersama kedua kakak kembarnya yang entah kemana sekarang.
Tidur Anya tidak bisa nyenyak akibat kejadian tadi malam. Sesuatu itu masih membayang-bayanginya sampai sekarang. Itulah sebabnya ia terbangun di tengah malam seperti ini.
Jemari Anya meraih segelas air putih dingin dari dalam lemari pendingin.
"Sepi banget," gumamnya sembari melirik jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul tiga pagi.
Cukup lama Anya berdiam diri di meja makan, memikirkan semua yang terjadi padanya belakangan ini. Kepalanya berdenyut jika dirinya bergerak sedikit.
Anya beranjak dari dapur dengan segelas susu cokelat hangat dan kue rasa keju cokelat yang diambilnya dari lemari pendingin. Dibawanya minuman dan camilan itu menuju ruang tengah. Ia memutuskan untuk tidak tidur malam ini, pikirannya masih gelisah jika terlelap sepenuhnya.
Langkah kecilnya sempat terhenti mengingat siapa yang sedang bercengkrama dan berkesibukan di ruang tengah yang hendak dituju oleh Anya. Namun, sebelum itu langkah Anya berakhir sebab ia baru sadar jika kakinya tersandung kaki meja.
Prang!
"Karyaku!" Kella menjerit marah sembari terus menatap lukisan yang sudah ia buat susah payah, kini sudah hancur berantakan. Lukisan itu yang nantinya akan dipamerkan di perlombaan gedung galeri seni, namun kini sudah tak seindah sebelumnya.
Anya mematung, ia sungguh tidak sengaja. Rasanya deja vu, dulu sewaktu kecil, Anya pernah menghancurkan lukisan kakaknya meskipun tak sengaja seperti sekarang.
"Kamu?!" desis Kella menarik Anya hingga terduduk di lantai. "Argh!" teriaknya dengan tangan mengepal dan gigi bergemeltuk marah.
Hawa yang semula dingin, kini menjadi memanas, bahkan dinginnya pendingin ruangan tak dapat meredakan suasana panas di sana.
Kelly sibuk membantu adik kembarnya mengemasi lukisan yang sudah hancur, setidaknya karya yang sudah rusak itu tidak dibiarkan begitu saja. Kella masih setia memarahi dan mengumpati Anya dengan kata-kata yang tak layak dikeluarkan.
"Kamu sengaja, hah?! Kamu iri sama kami, kan? Ngaku!" Kella mulai bermain tangan dengan Anya, menampar pipi gadis itu berulang kali hingga memerah, bahkan memar di sudut bibirnya.
Anya tidak ingin mengeluh meskipun rasanya sakit sekali. Ia hanya diam membisu, tak berani melawan karena ia tahu bahwa itu semua salahnya. Wajar jika Kella marah padanya, yang tak wajar hanya perlakuannya. Mengapa harus dengan kekerasan?
"Yah," keluh Kelly yang langsung mengundang perhatian Anya. "I-ini, apa ini?" lanjutnya semakin memelan sembari mengangkat tiga kertas yang masing-masing berisi gambaran proposi tubuh yang dilengkapi dengan rangkaian gaun yang terlihat sangat indah, warnanya simpel namun tetap terlihat elegan dan glamor. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Anya, melainkan noda susu cokelat yang sangat tampak di atas desain indah itu.
"Punyaku juga? Hm, bagus banget ya, Anya. Sekali tindakan, semuanya hancur," sindir Kelly pelan tetapi mampu membuat Anya gelisah.
"Anya tau nggak kalau desain ini untuk apa? Ide yang susah payah aku cari sampai begadang semalaman. Ini pesanan klien penting, dan kamu merusaknya. Hebat sekali!" ujar Kelly dengan tangan memainkan noda cokelat di desain yang telah dirancangnya.
Anya menjerit tertahan saat punggungnya dipukul dengan tongkat baseball yang entah didapatkan dari mana oleh Kelly. Anya masih sadar sepenuhnya saat Itu, tetapi punggungnya serasa mati rasa. Pukulan Kelly memang tak main-main.
"Kelly!" suara teriakan kaget Kella masih terdengar di indra pendengaran Anya sebelum ia terjatuh pingsan akibat pukulan di kepala bagian belakangnya.
Kelly menutup mulutnya kaget dengan yang dilakukannya baru saja. Di tangannya masih ada serpihan vas bunga yang sudah hancur karena menghantam kepala keponakannya.
"K-kella, ini gimana?" tanya Kelly panik sambil berusaha membangunkan Anya yang pingsan dengan darah yang menetes dari kepala bagian belakangnya.
Mereka berdua panik, apalagi hari semakin terang. Tidak lama lagi, pasti ayah dan bunda mereka pulang. Tidak ada ada pilihan lain selain membawa Anya ke gudang belakang.
"Cepat sebelum bunda datang!" seru Kelly dengan mulut bergetar. Tangannya langsung meraih perban dari Kella yang baru saja tiba.
Dengan kegesitan dan rasa takut, Kelly berhasil membalut kepala bagian belakang Anya yang terluka karenanya. Setelah merasa cukup, Kelly memapah Anya yang sedang pingsan ke dalam mobilnya dan diikuti oleh kembarannya.
"Mau dibawa kemana ini?" tanya Kella yang sedang mengemudikan mobil dengan tergesa.
Kelly membisikkan satu kata yang cukup membuat pendengarnya terkejut. Kella menatap Anya yang berada di sandaran kursi belakang dengan sedikit ragu. "Bolehkah?"
"Ya, ini pilihan terakhir yang kitapunya," Kelly mengangguk mantap.
Suara bising kicauan burung cukup membuat telinga Anya pengang. Gundukan hijau, pepohonan lebat menjulang tinggi menyambut penglihatan Anya yang tampak sedikit buram. Hal yang pertama ia rasakan saat membuka mata adalah seluruh tubuh yang terasa pegal dan sedikit nyeri, terutama pada kepala bagian belakangnya yang terbalut perban."Aww," ringis Anya saat jari telunjuknya tak sengaja tersangkut di ikatan perban yang membuatnya terlepas sebagian. "Apa yang terjadi?" gumamnya sembari mengingat kepingan-kepingan kejadian di pagi buta tadi.Terlalu fokus memperhatikan luka di sekujur tubuhnya, Anya tidak sadar akan posisinya sekarang. Baru saat kakinya bergerak tak sengaja menginjak ranting kayu, ia terkejut."Sejak kapan Anya ada di sini?" gumamnya seraya menatap betapa lebatnya pohon di hutan itu.Kakinya mulai melangkah dengan terseok, terkadang tersandung akar pohon hingga terjatuh. Harapannya hanya satu, menemukan jalan keluar dari tengah hutan. Anya send
Pagi yang damai telah menyambut bumi. Matahari mulai berinteraksi dengan pepohonan, memamerkan cahayanya kepada mereka.Di luar sana boleh saja tampak damai. Tetapi tidak dengan kondisi rumah Anya. Beberapa pecahan kaca tampak berceceran di lantai putih. Suara teriakan kian menggema memenuhi ruangan, padahal ini masih pagi, tidak bisakah mereka diam berdamai? Anya sudah sangat lelah dengan semua ini. Ia tahu, semua ucapan yang keluar dari mulutnya tidak akan pernah digubris oleh kedua orangtuanya."Mama, kenapa gucinya dibantingin seperti itu? Mereka gak salah," Anya menahan lengan ibunya yang bersiap menghabiskan semua pajangan yang ada di ruangan.Ibunya menghentakkan tangan mungil Anya dengan kasar, dia memang ibu tidak berperasaan."Jangan bertingkah kasar dengan putri kita!" bentak Ayah Anya tidak terima. Tangannya sigap menyembunyikan Anya di balik punggung kokohnya."Anak kita? Anak kamu! Jangan pernah sebut dia anakku!"Irfan m
Sepuluh tahun telah berlalu dengan kesan yang biasa-biasa saja. Dari dahulu sampai sekarang tetap saja sama, tidak ada yang spesial di hidup Anya. Masih dengan kemalangannya yang dibenci oleh keluarganya sendiri.Kella dan Kelly tidak pernah berhenti menyiksanya, Anya selalu memikirkan apa kesalahannya sehingga mereka amat membencinya. Dari umur tujuh tahun hingga empat belas tahun, kedua kakak kembarnya itu selalu berulah, tetapi Anya tidak pernah mengadukannya kepada Oma Stefi, apalagi ayahnya. Bohong jika Anya tidak pernah kesal dengan perlakuan mereka yang menyerupai setan, tetapi ia tidak pernah bisa membenci Kella dan Kelly.Anya bersiap-siap untuk ikut Opa Bram dan Oma Stefi menjemput kedua kakak kembarnya di bandara."Anya sudah siap?" tanya Oma Stefi mendatangi kamar Anya dengan senyuman di wajah anggunnya."Sudah, Oma.""Yuk, turun ke bawah, nanti opa kamu marah-marah lagi," kekehnya pelan.Anya tersenyum mendengarnya, opa ju
Pagi ini, Anya bersiap ke sekolah dengan sedikit tergesa karena bangun kesiangan. Tadi malam dirinya bergadang hingga jam setengah tiga, bodoh memang. Pikirannya kacau semenjak Kella dan Kelly mendatangi kamarnya dengan langkah tergesa. Anya memikirkan semua dugaan hingga tidak sadar jika sudah melewatkan jam tidurnya."Aish! Dasinya ngumpet dimana lagi, sih?" gerutu Anya berkacak pinggang sembari mencari dasi abu-abunya yang semula ia simpan di laci.Gadis itu mencak-mencak sendiri, menyalahkan dirinya yang teledor, sesekali menggerutu pelan."Anya sarapan!" teriak Oma Stefi dari bawah membuat Anya sedikit tergesa."Iya, Oma," sahutnya sebelum turun ke bawah tanpa dasinya.Anya melangkah cepat, sesekali memperbaiki ikatan rambut sepunggung yang kurang kencang. Ia tidak menggunakan polesan apapun di wajahnya, benar-benar polos natural.Setibanya di meja makan, Anya menemukan seluruh anggota keluarganya sudah menyantap sarapan paginya mas
Anya keluar sekolah tepat pada pukul empat sore. Biasanya sekolah bubar pada pukul tiga, tetapi hari ini gadis itu mengambil les menari balet untuk mempersiapkan lombanya yang mendatang.Matanya celingukan mencari supir yang biasa menjemputnya, namun hasilnya nihil. Ah, ia lupa jika supirnya tidak bisa mengantar jemputnya hari ini. Ia memutuskan untuk mencari angkutan umum saja, tetapi sebuah mobil di depannya mengurungkan niat Anya."Mau jalan kaki, Nya?" tanya Rani yang menghentikan mobilnya dekat Anya.Rani dan Shasa juga pulang sore, tetapi bukan mengikuti les seperti Anya. Dua anak itu sibuk menonton pertandingan basket di sekolahan hingga lupa pulang jika hari belum sore. Padahal sudah Anya marahi habis-habisan karena menghabiskan waktu hanya untuk menonton pertandingan membosankan antara siswa laki-laki bermain basket. Tetapi mereka tetap saja ngeyel."Janjian ketemuan sama anak cowok di depan warteg, tuh bocah," celetuk Shasa membuka kaca mobil
"Ayah?" gumam Anya tak percaya dengan yang dilihatnya sekarang.Sosok yang selama ini telah menghancurkan kepercayaannya, tetapi Anya selalu merindukan kedatangannya. Dan sekarang, tepat di ruang tamu, ayahnya berdiri menatapnya dengan jarak tiga langkah.Anya menangis saat Irfan melangkahkan kaki mendekatinya. Gadis itu semakin terisak saat ayahnya merengkuhnya ke dalam pelukan, menyalurkan sirat kerinduan yang selama ini dipendam. "A-ayah?" ujar Anya memastikan bahwa yang di depannya benar-benar ayahnya.Irfan mengangguk, dia menangis sambil mencium kening dan pipi Anya bertubi-tubi. Memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi.Bayangkan saja, lima tahun Irfan tidak mengunjungi putrinya. Rindu yang dipendam sudah mencapai puncaknya sehingga dia memutuskan untuk pulang."A-ayah kenapa gak pernah pulang?" desak Anya bertanya.Irfan hanya menggeleng pelan mendapat pertanyaan dari putrinya yang sedang menatap kecewa di balik matanya. "
Gadis dengan surai kecokelatan itu duduk mendekam di dalam kamarnya dari pagi hingga siang. Ia tidak tahu ingin melakukan apa, pasalnya hari ini sekolahnya diliburkan. Dan sebagai gantinya, nanti malam semua murid di SMA Cakrawangsa diwajibkan untuk masuk. Hal ini selalu dilakukan setiap perayaan sekolah, berangkat ke sekolah pada malam hari, demi mengambil moment yang tepat.Anya mengedarkan pandangannya ke arah jendela kamarnya yang terpantul cahaya matahari sedikit redup karena hari sudah menjelang senja. Acara dilakukan tepat pada pukul tujuh malam, ia harus bersiap-siap sekarang meski sangat malas bergerak.Tidak banyak yang Anya persiapkan, kecuali mentalnya. Ia tahu jika perayaan sekolah tahun ini akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Jadi, ia harus siap menghadapi perayaan nanti.Pihak sekolah tidak menentukan kostum untuk nanti malan, hanya saja harus terlihat sopan. Anya tampak sangat cocok dengan balutan sweter rajut abu-abu dan celana jeans