Anya mengedarkan pandangannya ke arah jendela kamarnya yang terpantul cahaya matahari sedikit redup karena hari sudah menjelang senja. Acara dilakukan tepat pada pukul tujuh malam, ia harus bersiap-siap sekarang meski sangat malas bergerak.
Tidak banyak yang Anya persiapkan, kecuali mentalnya. Ia tahu jika perayaan sekolah tahun ini akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Jadi, ia harus siap menghadapi perayaan nanti.
Pihak sekolah tidak menentukan kostum untuk nanti malan, hanya saja harus terlihat sopan. Anya tampak sangat cocok dengan balutan sweter rajut abu-abu dan celana jeans warna hitam, dipadukan dengan snekears putih. Ikatan rambut sepunggung menjadi salah satu ciri khasnya. Gadis itu hanya mengoleskan lipbam di bibir tipisnya, ditambah sapuan bedak bayi dengan natural.
Anya meraih ponsel dan beberapa uang ke dalam tas slempang putihnya. "Beres," gumamnya sembari menuruni anak tangga yang menukik ke bawah.
Di sofa, Anya melihat ayahnya duduk menghadap ke arah jendela luar dengan tatapan kosong. Apapun yang ada dipikiran ayahnya sekarang, Anya tidak begitu peduli.
Semenjak kejadian kemarin, ayahnya jadi bersikap dingin kepadanya. Anya tidak mau kalah, ia balik mendiamkan ayahnya. Lagipula bukan dirinya yang salah.
"Anya berangkat," ujar Anya cepat di samping ayahnya, kemudian segera beranjak dari sana.
"Mau kemana malam-malam begini?" sahut Irfan membuat Anya menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ayahnya.
"Sekolah."
"Sekolah? Malam begini? Jangan coba-coba bohongin ayah, Anya," ujar Irfan penuh penekanan.
"Anya gak bohong sama ayah," ucap Anya tak terima.
Keduanya saling menatap tajam selama beberapa detik. Tidak ada kebencian di hati Anya, hanya ada kekesalan yang sedang memuncak.
"Anya pergi," ujar Anya kembali melangkahkan kakinya.
"Silahkan pergi. Ayah juga akan pergi lagi hari ini," ucap Irfan dingin.
Anya melebarkan matanya dengan mulut menganga kecil. "Ah, yang bener aja, Yah? Ayah baru sehari di sini, lho," sindirnya.
"Ayah ada urusan penting di luar kota."
Apakah urusan di luar sana lebih penting daripada memperbaiki hubungan mereka yang sedikit renggang? Ya, Anya tahu sekarang, ia bukan prioritas ayahnya lagi. Ayah yang sangat disayanginya sudah benar-benar berubah.
"Urusan? Sampai kapan urusan ayah akan selesai di luar sana? Anya ragu kalau prioritas ayah itu Anya," ujar Anya membelakangi ayahnya.
"Anya dengerin, ayah beneran ada urusan penting mendesak. Jangan buat ayah bimbang."
Perkataan Irfan baru saja membuat Anya semakin yakin, jika ayahnya tak lagi menyayanginya seperti dulu.
"Ya udah, Yah. Pergi aja, kejar urusan penting ayah yang gak ada selesainya itu."
Anya langsung pergi begitu saja setelah mengucapkan kalimat terakhir kepada ayahnya. Ia menulikan pendengarannya saat Irfan meneriakinya dengan marah. Lebih baik jika dirinya tidak menyaksikan ayahnya pergi, daripada hatinya sakit.
Jalan raya tampak ramai, bunyi kendaraan saling bersautan dengan nyaring. Anya diam menunduk di kursi belakang mobil yang biasa mengantar-jemputnya. Berkali-kali ia menegaskan dalam hatinya jika keputusan yang diambilnya sudah tepat.
Ia sudah terbiasa tanpa ayahnya, seharusnya dirinya tahu jika semuanya tidak selalu sama. Biarlah ayahnya mengurusi urusannya, Anya tidak peduli. Lebih baik tidak usah menemuinya jika hanya membuka luka lama yang sudah berusaha ia kubur.
"Pak, nanti kalau udah pulang, Anya telepon," ujar Anya kepada supir pribadinya yang mengangguk patuh.
"Baik, Non."
"Makasih, Pak. Anya duluan, ya."
Anya berlari menuju gerbang sekolahnya yang diterangi lampu di setiap sisinya. Ia yakin jika dirinya sudah terlambat, pasalnya sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit.
Tak ada orang satupun di koridor atau dalam kelas. Ah, Anya lupa jika perayaan itu diadakan di lapangan besar yang berada di tengah-tengah gedung sekolah.
Suara binatang malam saling bersahutan membuat Anya bergidik ngeri. Ia sungguh parno dengan makhluk semacam itu.
"Rani sama Shasa kemana, sih?! Awas aja, di chat gak dibalas sama sekali," gerutu Anya sembari terus berlari menuju koridor yang sedikit berbelit.
Benar seperti Anya duga, di lapangan sudah banyak orang yang berkumpul. Mereka terbagi antara berbagai kelompok. Kalau sudah begini, Anya jadi tidak tahu apa intruksinya.
Anya mendekati panitia yang bertanggungjawab di perayaan malam ini.
"Maaf, Bu. Saya terlambat," ujar Anya tersenyum kikuk. Ia benci menjadi pusat perhatian seperti sekarang ini. Semua orang menatapnya seakan-akan dirinya adalah tontonan menarik.
Bu Deha selaku panitia penanggungjawab perayaan sekolah tahun ini tampak menghela napas pelan kemudian mengangguk. "Kamu cari anggota kelompokmu, tanya sama mereka apa intruksinya," ujarnya.
Anya menggaruk lengannya yang tak gatal, ia mengedarkan pandangannya. Mencari kedua sahabatnya yang tak terlihat batang hidungnya. Anya berharap akan satu kelompok dengan salah satu sahabatnya, kalau bisa keduanya.
"Kak Anya, sini. Kita satu kelompok," panggil adik kelas kesayangan Anya, dia Tika. Anya menghembuskan napas lega, setidaknya ada orang yang dikenalinya di dalam kelompoknya. Ternyata kelompok perayaan malam ini digabung dengan kelas lain
"Tika liat Kak Rani sama Kak Shasa, gak?" tanya Anya setelah bergabung dengan anggota kelompoknya yang entah sedang membicarakan apa.
"Mereka? Oh, tadi Tika liat Kak Rani sama Kak Shasa di pojokkan sana," ujarnya sembari menunjuk kursi paling pojok dengan pencahayaan remang-remang.
Saat Anya menatap mereka, Rani dan Shasa kebetulan juga menatapnya. Mereka melambaikan tangan, tetapi Anya tidak membalasnya. Ia melengoskan wajahnya marah. Dalam hatinya menggerutu mengapa kedua sahabatnya bisa satu kelompok, sedangkan dirinya tidak. Ah, benar-benar tidak adil.
Setiap kelompok terdiri atas enam anggota kelompok, tiga lelaki, dan sisanya wanita. Dan sialnya, Anya baru menyadari jika dirinya satu kelompok dengan Reno, ketua osis yang sangat menyebalkan di matanya. Dia suka memerintahkan orang, dan yang membuat Anya benar-benar sebal, Reno menyukainya, Anya tahu itu. Tetapi Anya enggan membalas perasaan Reno, lagipula dirinya tidak pernah menyuruh Reno untuk menyukainya. Salah sendiri menyimpan rasa kepadanya yang sudah terkenal sangat anti dengan lelaki.
"Ini intruksinya suruh apa, Tika?" tanya Anya menepuk lengan Tika pelan.
"Gini, lho, Kak—," ucapan Tika terpotong karena seseorang dengan sembrononya menyela ucapan Tika.
"Tanya sama ketua kelompoknya, jangan apa-apa tanya sama Tika," ujar Reno menyela perkataan yang akan keluar dari mulut Tika.
Anya mendesis kesal. Kumat cerewetnya, sudah judes, nada bicaranya juga sangat dingin. Ingin rasanya Anya menabok kepala Reno.
"Ah iya, Kak Anya. Tanya aja sama Kak Reno, dia ketua kelompoknya," sahut Tika membuat Anya sebal.
"Gak jadi nanya," judes Anya memalingkan wajahnya.
"Profesional dong, Nya. Lo itu udah terlambat, tanya biar gak bingung," ujar Reno menimpali ucapan Anya.
Gadis itu memutar matanya malas. "Apa, sih?"
"Cepet nanya, waktu perundingannya bentar lagi habis," ucap Reno masih memaksa Anya untuk bertanya kepadanya.
"Gak, nanti nanya sama Tika kalau gak sama anggota yang lain aja."
Reno mengapit lengan Anya membuat empunya mendengkus. Anya mencubit lengan Reno kencang, tetapi lelaki itu tidak menyerah. Dia merangkul paksa Anya membuat gadis itu hampir saja limbung.
"Reno, dilihatin sama anak-anak, tuh," peringat Siska, salah satu anggota kelompoknya.
Lelaki itu menatap sekelilingnya, benar, banyak yang memperhatikan tingkahnya. Reno berdeham pelan, rusak sudah image-nya menjadi ketua osis dingin dambaan setiap sisiwi di SMA Cakrawangsa.
Tika malah tertawa menampakkan gigi gingsulnya. "Hihi, Kak Anya sama Kak Reno cocok tau," ucapnya tanpa memperhatikan wajah Anya yang sudah teramat jengkel.
"Woi, di sini ada guru, lho. Sadar tempat, Nya, jangan nyosor Reno mulu," teriak Rani kencang dari ujung sana. Anya mengepalkan tangannya ke arah Rani, Shasa yang melihat itu segera menabok paha Rani kencang.
Setelah mendebatkan banyak hal, dan menjadi pusat perhatian. Anya mengikuti anggota kelompoknya untuk merundingkan sebuah misi perayaan. Entah, Anya pun tak tahu, ia hanya manggut-manggut. Yang Anya tahu hanya nama anggota kelompoknya yaitu, 'Kelompok di Tengah Jeritan'. Terdengar seram, bukan? Anya saja langsung merinding kala mendengar nama kelompok yang disebutkan oleh Tika dengan antusias.
Anya mengusap lengan yang tertutup sweter rajutnya, rasanya merinding ketika backsound mengerikan mulai dinyalakan.
"Ini sebenarnya mau ngapain, sih?" gumam Anya pada dirinya sendiri.
Reno yang sedang membagikan badge nama kelompok di setiap anggotanya langsung berhenti dan menatap Anya dengan ledekan.
"Bingung, kan? Makanya kalau ketua ngomong dengerin," sindirnya.
Anya menerima badge nama kelompok dengan cepat.
"Kalau lo nyasar terus disekap demit, gue gak tanggungjawab. Anggota kelompok gue cuman mereka berempat," ujar Reno membuat anggota kelompoknya menatap Anya prihatin, karena mereka tahu jika ketua osisnya itu tak pernah main-main dengan apa yang diucapkannya.
"Heh?!" pekik Anya tak terima.
•●•
Misi perayaan ini benar-benar menyebalkan menurut Anya. Kalau sudah tahu jika tema perayaan tahun ini adalah horor, Anya tidak akan repot-repot berangkat sekolah di malam hari seperti ini. Apalagi lampu di seluruh penjuru sekolah dimatikan semua. Benar-benar gelap, hanya ada pencahayaan dari senter yang dibawa oleh masing-masing kelompok. Satu kelompok hanya dibagi dua senter, huh pelit sekali.
Suara-suara yang sengaja dibunyikan dari sound system membuat bulu kuduk Anya semakin berdiri. "Ini perayaan atau uji nyali, sih?" dumel Anya yang tertinggal paling belakang anggota kelompoknya.
"Gak usah lelet, jalan cepetan," perintah Reno menarik lengan Anya untuk ikut bersamanya.
Anya tidak suka berdekatan dengan Reno. Ia melepaskan lengannya dari gengaman tangan Reno yang hangat.
Sebenarnya ini ingin kemana? Dan misi apa yang dimaksud? Benak Anya selalu bertanya-tanya. Tetapi Anya benar-benar tidak mau bertanya dengan ketua kelompoknya, gengsinya lebih besar daripada rasa penasarannya.
"Hah!" jerit Anya tertahan. Jantungnya berpacu dua kali lipat saat dirinya melihat penampakan hantu. Anya tidak bohong, sosok itu tadi memunculkan wujudnya di hadapannya, dan sekarang sudah menghilang.
"Kenapa?" tanya Reno di sela-sela mengais tanah. Sekarang kelompok mereka berada di bagian gedung belakang sekolah, tempat dimana taman berada.
Anya hanya menggeleng. Ia masih syok dengan apa yang dilihatnya tadi. "Lo yang apa-apaan, malah gali tanah kayak gitu," ujarnya setelah berhasil menenangkan jantungnya.
"Ya, terus kenapa?" Reno balik bertanya kepada Anya yang cuek dan melangkahkan kaki duluan.
Hendak menjawab tetapi terhenti karena backsound mulai terdengar bersahutan. Bibir Anya terasa kelu, karena terlalu takut. "Tika kemana?" tanya Anya celingukan. Ia baru sadar jika dua anggota kelompoknya menghilang. Hanya tersisa Reno, Anya, Siska, dan David.
"Reno, Tika kemana?!" ujar Anya sangat cemas.
"Biarin aja," sahut Reno enteng. Dia berseru senang karena berhasil menemukan bendera berwarna merah berlogo bintang yang terlipat di dalam tanah. Huh, apalagi itu? Mengapa semakin aneh-aneh saja.
"Udah nemuin berapa bendera?" ujar Siska bertanya dengan tangan kanan yang mengenggam bendera sedikut lusuh.
Anya merasa menjadi anggota terbodoh di sana. Hanya dirinya sendiri yang tak mendapatkan bendera seperti anggota kelompoknya. Anya saja tidak tahu intruksi misi perayaan, bagaimana ia bisa menyelesaikannya dengan baik.
"Lo itu ketua, setidaknya cariin Tika sama satu anggota kelompok kita yang hilang," ujar Anya menggebu-gebu.
"Kalau gak tau apa-apa, diam aja," sarkas Reno.
Siska dan David hanya terkekeh pelan sebelum melanjutkan setiap pos.
Baru beberapa langkah berjalan, Anya merasa ada yang memegang kaki kirinya dan disaat itulah, ia mendengar Siska berteriak dan David menatap Anya dengan raut terkejut.
"Reno bantuin Anya!" pekik Siska disela-sela teriakannya
"Biarin, dia emang keras kepala. Dibilang suruh nurut sama ketua ngeyel," ucapnya terlampau santai.
Anya memang tidak menampakkan wajah takutnya, tetapi jantungnya sudah berdegup tak karuan. Ia memberanikan diri untuk menatap sesuatu yang berada di kaki kirinya. "Hah!" pekik Anya tertahan dengan keringat yang bercucuran di dahinya.
Melihat Anya yang terlihat sangat syok, Reno mengintruksikan anggota kelompoknya untuk berlari terlebih dahulu. "Cepet lari, cari bendera tersembunyi lainnya," ujar Reno berteriak sembari menarik lengan Anya yang sangat lemas. Reno yakin jika gadis itu sangat ketakutan.
Anya memejamkan matanya rapat saat Reno menarik lengannya sambil berlari. Ia tidak mau melihat hal yang tidak disukainya lagi.
"Bangun, oy," ujar Reno hendak melepaskan tangan Anya yang kini menggengam erat lengannya. Gadis itu menggeleng berkali-kali, ia sungguh ketakutan.
"Bangun, Cantik," ucapan Reno membuat Anya langsung membuka matanya dan menabok punggung Reno keras.
Anya melihat sekelilingnya, ramai dan terang. Sejak kapan dan mengapa Reno tidak memberitahunya? Kalau sudah begini, ia yang malu sendiri. Apalagi semua orang menatapnya geli.
Semua kelompok berkumpul di posnya masing-masing dengan perolehan bendera yang didapatkan. Kelompok Anya mendapatkan lima bendera.
Dan, apa-apaan itu? Ternyata penampakan yang dilihat Anya tadi hanyalah kostum.
"Kakak-kakak dapat bendera berapa?" tanya Tika yang baru datang bersama satu anggota kelompok lainnya.
Anya yang melihat itu langsung mengalihkan pandangannya gugup, tangannya berkeringat.
Bodoh sekali, batin Anya. Jadi, hanya dirinya yang tidak tahu apa-apa di misi perayaan tahun ini? Seharusnya ia tidak datang terlambat dan mendengarkan penjelasan dari ketua kelompoknya.
Anya pikir, Tika dan satu anggota lainnya benar-benar menghilang. Tetapi nyatanya tidak. Mereka entah dari mana dengan kostum horornya, itulah yang membuat Anya terkejut dan langsung memalingkan wajahnya. Bukan hanya mereka berdua yang mengenakan kostum horornya, setiap kelompok menggunakannya.
"Kok, Tika pakai begituan?" gumamnya sendiri.
"Bingung, kan lo? Makanya tadi kalau dibilangin dengerin," sahut Reno datar. "Setidaknya lo tanya sama Tika atau yang lainnya, tapi mana? Nyatanya gak, tuh," lanjutnya semakin menyudutkan Anya.
"Tadi gue mau nanya sama Tika, tapi dia malah ngilang," ujar Anya membela diri.
Meski tanpa persetujuan Anya, Reno menjelaskan semua terkait misi perayaan tahun ini. Setiap kelompok mengirimkan dua anggotanya dengan peran sebagai hantu untuk menakut-nakuti anggota kelompok lain, dengan tujuan agar pencarian bendera terhalang. Reno juga memberitahu jika kelompok yang berhasil memperoleh semua bendera akan mendapatkan poin plus. Tika dan satu anggota lainnya yang berperan menakuti kelompok lain, sedangkan yang tersisa ditugaskan untuk mencari bendera dan menghindari kelompok lain yang menghalangi pencarian dengan menakut-nakuti mereka.
"Lo juga nyuruh mereka lari, gue kirain beneran. Salah lo juga, sih," ujar Anya menatap Reno sengit. Ia tidak mau disalahkan.
Reno tersenyum tipis, kemudian mengacak rambut Anya membuat empunya mengamuk dan balik memelintir lengan Reno.
"Anya jangan nyosor lagi, oy!" teriak Rani dengan kostum horornya.
Eh, tunggu. Jadi, tadi itu Rani dan Shasa?
Anya menarik smirknya, kemudian berjalan mendekati kedua sahabatnya tanpa menghiraukqn Tika dan Reno yang memanggilnya untuk kembali ke pos kelompoknya.
"Tadi kalian yang nakutin gue, kan? Ngaku!" greget Anya mencubit punggung tangan Rani dan Shasa.
"Ampun, Anya. Tadi Rani yang ngajakin, gue mah nurut aja," celetuk Shasa meringis.
Anya tersenyum lebar menatap Rani yang melipatkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil menunduk. "Lo serem juga, Nya," cicit Rani.
Saat Anya hendak mencubit perut Rani, tiba-tiba saja lampu padam membuat Anya mengurungkan niatnya.
Teriakan dari beberapa siswi memekakkan gendang telinga, hingga tampak siluet di atas tribune lapangan.
Anya melangkahkan kaki gontai, mukanya sedikit lesu seusai pulang dari perayaan di sekolahnya. Ia sangat menyesal telah mengikuti kegiatan tadi, pasalnya hal memalukan menghampirinya, dan itu semua karena ulah Reno. Anya tak habis fikir dengan lelaki aneh itu. Bisa-bisanya dia memalukannya di depan umum. Kejadian tadi terus terngiang-ngiang di pikirannya."Anya, mungkin ini udah yang kesekian kali gue nyampain hal ini ke lo. Gue cuman mau bilang, kalau gue masih mengharapkan jawaban tulus dari lo. Jadi, gimana?"Suara sorakan terdengar seiring pernyataan yang keluar dari mulut ketua osis yang terkenal tampan nan dingin itu. Bukan hal aneh lagi jika Reno sangat mengharapkan Anya, bahkan semua siswa di SMA Cakrawangsa pun tahu.Gadis yang sedang menjadi pusat perhatian itu tampak geram. Berulang kali ia menegaskan kepada Reno jika dirinya tak akan pernah membalas perasaan lelaki itu, tetapi orang itu tetap dalam pendiriannya."Cepet sana pulang! Malu-
Suara bising kicauan burung cukup membuat telinga Anya pengang. Gundukan hijau, pepohonan lebat menjulang tinggi menyambut penglihatan Anya yang tampak sedikit buram. Hal yang pertama ia rasakan saat membuka mata adalah seluruh tubuh yang terasa pegal dan sedikit nyeri, terutama pada kepala bagian belakangnya yang terbalut perban."Aww," ringis Anya saat jari telunjuknya tak sengaja tersangkut di ikatan perban yang membuatnya terlepas sebagian. "Apa yang terjadi?" gumamnya sembari mengingat kepingan-kepingan kejadian di pagi buta tadi.Terlalu fokus memperhatikan luka di sekujur tubuhnya, Anya tidak sadar akan posisinya sekarang. Baru saat kakinya bergerak tak sengaja menginjak ranting kayu, ia terkejut."Sejak kapan Anya ada di sini?" gumamnya seraya menatap betapa lebatnya pohon di hutan itu.Kakinya mulai melangkah dengan terseok, terkadang tersandung akar pohon hingga terjatuh. Harapannya hanya satu, menemukan jalan keluar dari tengah hutan. Anya send
Pagi yang damai telah menyambut bumi. Matahari mulai berinteraksi dengan pepohonan, memamerkan cahayanya kepada mereka.Di luar sana boleh saja tampak damai. Tetapi tidak dengan kondisi rumah Anya. Beberapa pecahan kaca tampak berceceran di lantai putih. Suara teriakan kian menggema memenuhi ruangan, padahal ini masih pagi, tidak bisakah mereka diam berdamai? Anya sudah sangat lelah dengan semua ini. Ia tahu, semua ucapan yang keluar dari mulutnya tidak akan pernah digubris oleh kedua orangtuanya."Mama, kenapa gucinya dibantingin seperti itu? Mereka gak salah," Anya menahan lengan ibunya yang bersiap menghabiskan semua pajangan yang ada di ruangan.Ibunya menghentakkan tangan mungil Anya dengan kasar, dia memang ibu tidak berperasaan."Jangan bertingkah kasar dengan putri kita!" bentak Ayah Anya tidak terima. Tangannya sigap menyembunyikan Anya di balik punggung kokohnya."Anak kita? Anak kamu! Jangan pernah sebut dia anakku!"Irfan m
Sepuluh tahun telah berlalu dengan kesan yang biasa-biasa saja. Dari dahulu sampai sekarang tetap saja sama, tidak ada yang spesial di hidup Anya. Masih dengan kemalangannya yang dibenci oleh keluarganya sendiri.Kella dan Kelly tidak pernah berhenti menyiksanya, Anya selalu memikirkan apa kesalahannya sehingga mereka amat membencinya. Dari umur tujuh tahun hingga empat belas tahun, kedua kakak kembarnya itu selalu berulah, tetapi Anya tidak pernah mengadukannya kepada Oma Stefi, apalagi ayahnya. Bohong jika Anya tidak pernah kesal dengan perlakuan mereka yang menyerupai setan, tetapi ia tidak pernah bisa membenci Kella dan Kelly.Anya bersiap-siap untuk ikut Opa Bram dan Oma Stefi menjemput kedua kakak kembarnya di bandara."Anya sudah siap?" tanya Oma Stefi mendatangi kamar Anya dengan senyuman di wajah anggunnya."Sudah, Oma.""Yuk, turun ke bawah, nanti opa kamu marah-marah lagi," kekehnya pelan.Anya tersenyum mendengarnya, opa ju
Pagi ini, Anya bersiap ke sekolah dengan sedikit tergesa karena bangun kesiangan. Tadi malam dirinya bergadang hingga jam setengah tiga, bodoh memang. Pikirannya kacau semenjak Kella dan Kelly mendatangi kamarnya dengan langkah tergesa. Anya memikirkan semua dugaan hingga tidak sadar jika sudah melewatkan jam tidurnya."Aish! Dasinya ngumpet dimana lagi, sih?" gerutu Anya berkacak pinggang sembari mencari dasi abu-abunya yang semula ia simpan di laci.Gadis itu mencak-mencak sendiri, menyalahkan dirinya yang teledor, sesekali menggerutu pelan."Anya sarapan!" teriak Oma Stefi dari bawah membuat Anya sedikit tergesa."Iya, Oma," sahutnya sebelum turun ke bawah tanpa dasinya.Anya melangkah cepat, sesekali memperbaiki ikatan rambut sepunggung yang kurang kencang. Ia tidak menggunakan polesan apapun di wajahnya, benar-benar polos natural.Setibanya di meja makan, Anya menemukan seluruh anggota keluarganya sudah menyantap sarapan paginya mas
Anya keluar sekolah tepat pada pukul empat sore. Biasanya sekolah bubar pada pukul tiga, tetapi hari ini gadis itu mengambil les menari balet untuk mempersiapkan lombanya yang mendatang.Matanya celingukan mencari supir yang biasa menjemputnya, namun hasilnya nihil. Ah, ia lupa jika supirnya tidak bisa mengantar jemputnya hari ini. Ia memutuskan untuk mencari angkutan umum saja, tetapi sebuah mobil di depannya mengurungkan niat Anya."Mau jalan kaki, Nya?" tanya Rani yang menghentikan mobilnya dekat Anya.Rani dan Shasa juga pulang sore, tetapi bukan mengikuti les seperti Anya. Dua anak itu sibuk menonton pertandingan basket di sekolahan hingga lupa pulang jika hari belum sore. Padahal sudah Anya marahi habis-habisan karena menghabiskan waktu hanya untuk menonton pertandingan membosankan antara siswa laki-laki bermain basket. Tetapi mereka tetap saja ngeyel."Janjian ketemuan sama anak cowok di depan warteg, tuh bocah," celetuk Shasa membuka kaca mobil
"Ayah?" gumam Anya tak percaya dengan yang dilihatnya sekarang.Sosok yang selama ini telah menghancurkan kepercayaannya, tetapi Anya selalu merindukan kedatangannya. Dan sekarang, tepat di ruang tamu, ayahnya berdiri menatapnya dengan jarak tiga langkah.Anya menangis saat Irfan melangkahkan kaki mendekatinya. Gadis itu semakin terisak saat ayahnya merengkuhnya ke dalam pelukan, menyalurkan sirat kerinduan yang selama ini dipendam. "A-ayah?" ujar Anya memastikan bahwa yang di depannya benar-benar ayahnya.Irfan mengangguk, dia menangis sambil mencium kening dan pipi Anya bertubi-tubi. Memeluknya erat seakan tak ingin melepaskannya lagi.Bayangkan saja, lima tahun Irfan tidak mengunjungi putrinya. Rindu yang dipendam sudah mencapai puncaknya sehingga dia memutuskan untuk pulang."A-ayah kenapa gak pernah pulang?" desak Anya bertanya.Irfan hanya menggeleng pelan mendapat pertanyaan dari putrinya yang sedang menatap kecewa di balik matanya. "