“KALIAN BERDUA!”
Sharon dan Gideon terlonjak kaget karena teriakan itu.
“Ibu Tiffany…”Ibu Tiffany berjalan ke arah mereka. “Kalian sedang apa di sini? Bolos?” Tanya ibu Tiffany dengan ekspresi marah.
Sharon dan Gideon reflek berdiri dan membersihkan baju mereka dari rumput yang menempel.
‘Gawat! Kenapa harus bu Tiffany, sih?’ Pekik Sharon dalam hati. Ibu Tiffany memang lembut hatinya tapi tidak berlaku dengan murid yang bolos mata pelajaran.
“Kalian berdua ikut saya sekarang!” Ibu Tiffany membalikkan badan dan berjalan mendahului mereka.
Mau tidak mau Gideon dan Sharon mengikuti langkah ibu Tiffany.
Ibu Tiffany mengarahkan mereka menuju perpustakaan. Perpustakaan terletak di ujung kooridor sebelah barat.“Sekarang bersihkan perpustakaan ini.” Kata ibu Tiffany setelah mereka sampai di depan perpustakaan.
Belum ada reaksi dari Sharon maupun Gideon. Keduanya masih terpaku menatap pintu besar perpustakaan yang tertutup rapat.
“Kalian harus menyusun buku yang berantakan dan harus membersihkan setiap debu yang menempel. Saya tidak mau tahu!” Ucap Ibu Tiffany sedikit membentak.
Kedua orang yang dibentak hanya mampu mengangguk gugup. Ibu Tiffany jika menemukan murid yang bolos memang begini ditambah auranya yang tiba-tiba mencekam pula.
Ibu Tiffany bertolak pinggang. “Ya sudah, masuk sana!” Perintahnya sambil mengarahkan kepalanya kepada pintu perpustakaan.
Gideon melangkah dahulu secara perlahan tapi terhenti karena seseorang memanggil namanya tak jauh dari arah belakang mereka.
“Gideon!” Sontak ia, Sharon dan Ibu Tiffany menoleh.
“Edward?” Sharon menatap Edward bingung. “Lo ngapain disini?”
Edward menghiraukan pertanyaan Sharon. Lelaki itu mengangkat bungkusan makanan yang ada digenggamannya. “Gue dah bawa makanan nih, katanya mau bolos bareng?”
Melihat itu ibu Tiffany langsung melotot kepada Edward. “Edward! Kamu tidak lihat saya sedang berdiri disini? Kemari kamu!”
Sementara Gideon dan Sharon saling bertukar pandang, tidak mengerti.
Edward menurunkan tangannya lalu berjalan santai menuju ibu Tiffany. “Maaf bu, saya tidak melihat..”
“Tidak melihat?” Potong bu Tiffany. Sementara Gideon dan Sharon saling melirik bingung satu sama lain. “Kamu bolos juga seperti mereka? Iya?” Suara ibu Tiffany semakin meninggi.
“Gideon tadi nyuruh saya untuk membeli makanan supaya asik bolosnya.” Ucap lelaki itu enteng.
Gideon yang tidak merasa melakukan itu langsung melotot.“Hah? Ngarang aja lo! Halusinasi kali dia bu?” Ucap Gideon, jelas tak terima.
“Kamu diam! Edward anak baik tidak mungkin berbohong dan dia pasti bolos karena pengaruh kamu! Edward, kamu kembali ke kelas dan kalian berdua …” Ucap bu Tiffany sambil menunjuk Gideon dan Sharon bergantian.
“Setelah membersihkan perpustakaan datang ke ruangan saya. Saya akan memberikan surat peringatan pertama!”
“Tapi bu..”
“Tidak ada tapi-tapian!” Potong ibu Tiffany ketika Sharon bersuara.
Gideon menatap geram Edward, Ingin sekali ia menghajar wajah Edward.
“Saya tidak mendapatkan hukuman, bu? Saya juga bolos. Tak adil rasanya jika hanya saya yang kembali ke kelas.” Ucap Edward.
Sharon semakin tidak mengerti apa maksud dan tujuan Edward.
“Lo lagi cari perhatian?” Sinis Gideon dibalas senyum aneh Edward.
“Saya sedang tidak cari perhatian, bu. Saya hanya bicara tentang keadilan.” Ucapan Edward ini membuat Gideon mendengus emosi dan Sharon semakin mengerutkan keningnya.
“Baik.” Ibu Tiffany mengangguk. “Kalian bertiga bersihkan perpustakaan ini. Saya akan periksa setelah kalian membersihkannya, jika masih ada debu hukuman akan ditambah!”
Setelah mengatakan itu, ibu Tiffany melenggang pergi meninggalkan mereka bertiga.“Maksud lo apa?” Gideon menarik kasar kerah baju Edward setelah ibu Tiffany benar-benar berlalu dari pandangan mereka. Melihat itu, Sharon berusaha melepaskannya.
“Lepasin, Gideon!” Pekik Sharon sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Gideon dari baju Edward.
Gideon melepaskan baju Edward secara kasar. “Lo ngapain bela dia?” Ucap Gideon kepada Sharon sambil menunjuk Edward.
Wajah Gideon tambah kusut dan matanya terlihat sayu. Emosinya masih tak terkontrol karena shock atas kehilangan Lisa.
Perlahan Sharon menarik Gideon mundur sedikit memberi jarak dengan Edward. “Gue tau lo lagi frustasi. Sama, gue juga shock dan beban pikiran langsung bertambah. Tapi kalau lo enggak bisa mengontrol emosi, gimana lo bisa menemukan jalan keluar tentang masalah ini?”
Walaupun Gideon mengangguk-angguk pelan dengan apa yang Sharon katakan, tetap saja matanya tetap menatap tajam Edward.
“Gue hanya penasaran dengan apa yang sedang terjadi.” Ucap Edward sambil melangkah maju menuju pintu perpustakaan melewati Gideon dan Sharon.
Edward membuka pintu besar perpustakaan secara perlahan dan masuk kedalamnya. “Kalau lo pada ga mau masuk bakal gue laporin sama ibu Tiffany!”
Gideon dan Sharon langsung memasuki perpustakaan dan menutup pintu kembali.
Perpustakaan sekolah ini cukup besar dan unik. Uniknya karena perpustakaan ini masih memakai gaya klasik.
Rak buku raksasa berjejer rapi dan perpustakaan ini memiliki dua lantai. Benar-benar luas dan indah karena ukiran klasik.Para siswa-siswi datang ke perpustakaan hanya untuk meminjam buku karena ruang baca berada tepat di sebelah ruang perpustakaan.
Gideon menatap sekeliling perpustakaan. “Jadi, kita bakal bersihkan ruangan sebesar ini hanya bertiga?” Tanyanya sedikit tidak terima.
Sharon melangkah menuju salah-satu rak dan memegang serta menyisiri buku dijejeran yang sama. Ia teringat dengan percakapannya tadi bersama Gideon.
“Perpustakaan.” Ucapnya pelan. Ia kembali lagi menyisiri buku yang telah berdebu. Ia yakin, jarang siswa-siswi datang ke rak ini untuk sekadar melihat-lihat ataupun meminjam, karena buku-buku yang telah Sharon sentuh dari tadi sudah agak berdebu.“Sharon.” Sharon menoleh ke arah Gideon yang ternyata sedang berjalan ke arahnya, disusul Edward.
“Kita sewa orang aja buat membereskan perpustakaan ini.” Celetuknya.
Sharon tak menjawab, ia masih terfokus dengan rasa anehnya tentang perpustakaan.
“Gue masih ada rasa janggal dengan tempat ini. Tempat di mana Margareth dan Lisa hilang.” Ucap Sharon serius.
Gideon yang mendengarnya langsung merubah gestur tubuh. “Ah ia, kita keliling perpustakaan aja sekarang mumpung sepi. Tapi jangan sampe kita pisah.” Ucap Gideon kepada Sharon.
“Gue mau ikut.” Ucap Edward. “Gue penasaran.”
“Ini bukan hanya tentang penasaran lo itu, Edward. Ini persoalan serius tentang hilangnya orang-orang yang mungkin lo enggak akan ingat.” Jelas Sharon penuh penekanan.
“Nah!” Edward menjentikkan harinya dan mendekat kepada mereka. “Itu yang membuat gue penasaran.” Lalu ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya.
Sharon tidak habis pikir dengan Edward yang tiba-tiba penasaran dengan masalah yang bukan masalahnya, juga dengan banyaknya ia bicara pada hari ini.
“Lo kenapa sih?” Tanya Gideon yag juga tidak habis pikir sekaligus kesal.
“Gue hanya penasaran.” Balas Edward dengan mengedikkan bahu.
Gideon memutar bola matanya malas dan menarik tangan Sharon untuk mengelilingi ruangan ini, melewati tiap-tiap rak besar.
Mereka mulai berjalan mengelilingi ruangan dan Edward tetap berjalan mengikuti mereka berdua. Hingga disatu sudut perpustakaan mereka berhenti karena melihat sebuah pintu yang mereka belum pernah lihat sebelumnya. Pintu dengan warna cokelat dengan gangang pintu berkarat benar-benar mengalihkan mereka.
“Gue belum pernah lihat pintu ini, padahal gue sering lihat-lihat buku di sekitar sini.” Ucap Sharon bingung.
Edward mendekati pintu itu.“Mending dibuka aja dari pada penasaran.” Edward menempelkan tangannya kepada gangang pintu dan mulai memutarnya perlahan.
Tiba-tiba langkah sepatu terdengar dari arah depan seperti menuju arah mereka.
“Eh kayaknya ada yang datang!” Seru Gideon sambil berbisik. Tapi Edward tetap membuka pintu itu secara perlahan.
“Ngapain kalian disitu?”
Gideon dan Sharon langsung terkejut dan menegang ketika melihat ibu Tiffany berjalan ke arah mereka.“Bukankah kalian tadi saya suruh untuk membereskan perpustakaan?” Tanya ibu Tiffany mengintimidasi.
Kini ibu Tiffany hanya berjarak satu meter dengan mereka. “Saya rasa kalian berdua sangat ingin mendapatkan hukuman lebih.” Ucap ibu Tiffany sambil melipatkan tangan didada.
“Maaf bu, tapi Edward juga..”
“Siapa Edward?” Gertak ibu Tiffany kepada Gideon.
Reflek Gideon dan Sharon menoleh ke belakang dan tidak menemukan apapun di sana. Bahkan pintu tadi pun sudah hilang.
“EDWARD!” Pekik Sharon. “Edward hilang juga!” Seru Sharon sambil mencengkram lengan Gideon.
Ekspresi wajah ibu Tiffany menunjukkan bahwa wanita itu bingung dengan kedua remaja di hadapannya yang sedang panik.
“Ibu, Edward hilang!!” Adu Gideon panik kepada ibu Tiffany.
“Edward siapa?!”
Sharon meneguk hampir setengah dari isi botol mineral kemasan, lalu meletakkan botol tersebut ke atas meja miliknya secara kasar.Untung ini adalah jam yang menunjukkan waktu istirahat, jadi tidak ada yang berada di kelas kecuali Sharon. Ia benar-benar merasa penat memikirkan semua kejadian aneh yang secara beruntut.Kemarin Margareth hilang, tadi pagi ia mendapatkan kabar Lisa juga hilang dan barusan saja Edward hilang. Tidak ada yang mengingat mereka, kecuali dirinya dan Gideon. Apa yang harus dirinya lakukan? Ralat. Apa yang harus Ia dan Gideon lakukan?Gideon saat ini sedang berada di kantor ibu Tiffany karena ibu Tiffany menganggap perlakuan Gideon terhadap beliau sedikit berlebihan. Mungkin karena ia tetap memaksa kepada ibu Tiffany kalau Edward benar-benar ada dan hilang. Walaupun Gideon menjelaskan secara detail pun Sharon yakin hanya orang gila yang akan percaya, kecuali jika ada orang yang benar-benar mengingatnya selain mereka berdua.
Hamparan padang rumput serta hembusan angin lembut benar-benar Sharon rasakan. Antara mimpi dan kenyataan, apa yang dilihatnya benar-benar nyata. Ia sungguh tidak tahu apa nama tempat ini. Di sebelahnya pun ada Gideon yang kini tengah berjongkok untuk menyentuh rumput serta Danny dan Kevin yang kini melotot untuk memastikan semua hal yang sedang mereka pandang. “P-P-PINTU!! PINTU HILANG!” Tiba-tiba Kevin memekik kencang. Benar saja, pintu penghubung antara perpustakaan dengan tempat ini hilang entah ke mana. “Terus ini gimana sekarang?” Sharon panik. “Pintunya hilang berarti kita juga hilang dong? Kita kan udah masuk sini berarti semua orang lupa dong sama kita?” Gideon menghela nafas berat. “Bisa jadi.” Ia mengusap wajahnya kasar. “Kemungkinan Bu Sarah, Margareth, Lisa dan Edward ada di sini.” Danny mengerutkan kening. “Mereka … di sini? Maksud lo? Margareth juga? Edward?” Ekspresinya benar-benar bingung. “Lo ingat mereka semua?” Sharon benar
“Sharon Benedict.” Ucap Sharon kepada seorang laki-laki yang sedang menjabat tangannya. "Nama gue Gideon, panggil aja ganteng.” Ucap laki-laki yang menjabat tangan Sharon dengan percaya diri. “Pede gila, lo!” raut muka Lisa menjadi sinis melihat Gideon. Sharon hanya cekikikan. “Udah, kan? Udah gue kenalin si ganteng dari kandang macan.” Ucap Lisa sambil merangkul pundak Sharon hendak mengajak pergi. “Ya! Lo Macannya!” Sahut Gideon yang membuat wajah Lisa memerah hingga rangkulan dari pundak Sharon ia lepaskan. “Macan kesayangan.” Lanjut Gideon sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Lisa. Wajah Lisa melunak dan sedikit salah tingkah. “Heh, lanjut nanti pacarannya. Gue dan Lisa mau ke kelas dulu. Bye!” Sharon menarik tangan Lisa dan berlalu dari tempat itu.Sharon melangkahkan kaki dengan cepat menuju kelas hingga membuat Lisa kewalahan. “Ron, pelan-pelan aja, sih!” “Heh, lo lupa? Ini tuh pelajarannya ibu Sarah! Gue gamau telat.” Ucap Sharon tanpa menoleh ke belakang. Lis
6 bulan kemudian … Sharon berlari kencang tatkala jam tangan pink yang selalu ia kenakan jika bepergian hampir menunjukkan pukul tujuh. Keringat sudah mulai bercucuran dipelipisnya. Punggungnya mulai basah. Hingga pada detik-detik terakhir, ia mempercepat kecepatan berlarinya. “PAK SAMSON, TUNGGU!” Teriak nyaring Sharon membuat beberapa siswa-siswi yang sudah di dalam sekolah menoleh sebentar kearahnya. Pak Samson, satpam sekolah yang hendak menutup gerbang menggelengkan kepalanya mantap lalu melanjutkan aktifitasnya; menutup gerbang. Sharon terengah-engah dan ia telah sampai didepan pintu gerbang.“Pak! Tolong pak! Saya janji besok tidak akan telat.” Ujar Sharon dengan wajah memelas yang hampir saja meluluhkan hati Pak Samson. “Saya janji!” Kedua jari Sharon menunjukkan peace tanda bahwa ia berjanji. Terlihat Pak Samson sedang berfikir. Lalu beberapa detik kemudian, ia membukakan gerban
Bell sekolah berdering kencang membuat Sharon tersadar dari lamunannya. Ia segera membereskan bukunya lalu memasukannya ke dalam ransel. Ia berjalan kedepan dengan tergesa dan mengambil tugas yang belum sempat dibagikan Ibu. Tiffany.“Ambilin punya gue sekalian!” Seru Lisa.Sharon mencari cepat tugas miliknya dan terpenting punya Margareth. Tapi ia tidak menemukannya. Ia mencarinya sekali lagi, dan ternyata dapat! Tak lupa ia mengambil milik Lisa yang sudah menunggunya di depan kelas.“Thanks, ya!” Ucap Lisa ketika Sharon memberikan tugas miliknya.Sharon hanya tersenyum. Lisa yang melihatnya merasa janggal.“kenapa? Ada masalah? Biasanya lo bawel.”Sharon tersenyum dipaksakan. “Enggak. Gue hanya sakit perut. Lo duluan aja pulangnya, gue mau ke toilet.”Lisa pun mengangguk. “Oke. Oh ya, nanti gue mau chat lo untuj bahas konten youtube ya. Bales pokoknya!”Sharon mengangguk lalu
Sharon berjalan tegang menuju kelas. Hari ini ia tidak telat, karena ia terbangun jam empat subuh tadi dan ia tidak bisa tidur lagi.Ia memasuki kelas dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.Kelas masih sepi. Sharon mendaratkan bokongnya dibangku miliknya. Ia sama sekali tak ada gairah hari ini. Bell tanda masuk berbunyi pun masih lama berdering.Tidak lama kemudian seseorang masuk kedalam kelas dan ia menduduki kursi yang tak jauh dibelakang Sharon. Edward.Suasana sangat sunyi. Pikiran Sharon benar-benar berantakan.Sharon sibuk memainkan kukunya walaupun pikirannya entah kemana sementara Edward hanya asik memainkan ponselnya.Tiba-tiba, seseorang memasuki kelas dengan terburu-buru.“Gideon?” Ucap Sharon sambil mengerutkan dahinya.Gideon berjalan cepat menuju tempat Sharon duduk. Dengan penuh dengan peluh, Gideon mencoba mengatur nafasnya.“LISA!” Gertak Gideon.