Sharon meneguk hampir setengah dari isi botol mineral kemasan, lalu meletakkan botol tersebut ke atas meja miliknya secara kasar.
Untung ini adalah jam yang menunjukkan waktu istirahat, jadi tidak ada yang berada di kelas kecuali Sharon. Ia benar-benar merasa penat memikirkan semua kejadian aneh yang secara beruntut.
Kemarin Margareth hilang, tadi pagi ia mendapatkan kabar Lisa juga hilang dan barusan saja Edward hilang. Tidak ada yang mengingat mereka, kecuali dirinya dan Gideon. Apa yang harus dirinya lakukan? Ralat. Apa yang harus Ia dan Gideon lakukan?
Gideon saat ini sedang berada di kantor ibu Tiffany karena ibu Tiffany menganggap perlakuan Gideon terhadap beliau sedikit berlebihan. Mungkin karena ia tetap memaksa kepada ibu Tiffany kalau Edward benar-benar ada dan hilang. Walaupun Gideon menjelaskan secara detail pun Sharon yakin hanya orang gila yang akan percaya, kecuali jika ada orang yang benar-benar mengingatnya selain mereka berdua.
Sharon berjalan gelisah mondar-mandir di sekitar tempat duduknya. Pikirannya benar-benar berpusat pada pintu ‘aneh bin ajaib’ yang mereka temukan. Pintunya benar-benar hilang. Aneh, pintu sebesar itu hilang secara tiba-tiba. Sharon yakin Edward hilang ketika lelaki itu memasuki ruangan yang ada di balik pintu tersebut.
Apakah ia harus memeriksa perpustakaan itu sekarang? Tapi Sharon merasakan sedikit takut. Bagaimana jika ia menemukan pintu itu dan ketika ia membukanya ia hilang? Atau ada hantu yang akan menariknya secara paksa? Atau jangan-jangan … Ahh. Pikiran Sharon yang meliar jadi membuat dirinya parno sendiri. Walaupun pikiran dan hatinya sedang bertentangan, ia tetap melangkah perlahan keluar dari kelas untuk menuju perpustakaan.
Sharon berjalan tegap tanpa ekspresi diwajahnya. Pikirannya berkecamuk liar. Bagaimana jika pintu itu muncul lagi? Begitulah isi pikiran Sharon.
Kooridor menuju perpustakaan tidak begitu ramai, kemungkinan kebanyakan dari siswa-siswi pergi ke kantin untuk makan siang ataupun sedang berada di ruang baca.Entah mengapa, jantung Sharon berdegup sangat kencang dan tidak beraturan saat berada di depan pintu perpustakaan.
Sharon mulai membuka pintu besar perpustakaan dan memasuki ruangan itu.
Beberapa siswa terlihat sedang melihat-lihat buku. Menurut Sharon, hari ini jumlah pengunjung perpustakaan lebih banyak dari biasanya.
Sharon berjalan pelan menuju salah satu sudut ruangan dengan melewati beberapa rak dan beberapa orang yang sedang memilih-milih buku untuk dipinjam.
Ada beberapa orang yang ada disekitar situ dan pintu misterius itu tidak ada. Sharon menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya, apakah jika ia menunggu hingga perpustakaan sepi pintu tersebut akan muncul?
Tapi …
Pandangan Sharon jatuh kepada Olivia dan Sophia yang ternyata sedang memilih-milih buku yang tak jauh dari pandangannya.Tanpa berpikir panjang, Sharon menghampiri dan menyapa keduanya. Sharon sangat kaku karena jarang sekali berbicara kepada kedua orang yang ada dihadapannya saat ini.
“Hai Olivia dan Sophia.” Sapa Sharon sambil menyapa mereka kaku.
Olivia dan Sophia saling melirik satu sama lain dan akhirnya meladeni Sharon. “Ya, ada apa?”Sharon gugup. Ini yang ia rasakan saat berhadapan dengan Cindy untuk menanyaan tentang Margareth. Saat ini Sharon tidak bisa membedakan logika dan suara hati, semua tercampur aduk. Bedasarkan kejadian-kejadian sebelumnya, kemungkinan sangat kecil Jika Olivia dan Sophia mengingat mereka yang telah hilang.
“Eum..” Sharon menatap ragu. “Apakah kalian kenal Edward?”
Olivia dan Sophia kembali bertukar pandang dan menggeleng bersama.
“Gue hampir kenal dan follow semua orang di sekolah ini dan gue belum dengar yang namanya Edward. Edwin kali? Pak Edwin guru olahraga.” Celetuk Olivia.Sharon menghela napas berat. “Thanks , ya.”
Setelah mengatakan itu, Sharon berlalu dan berjalan-jalan mengelilingi rak dengan perasaan campur aduk. Sembari menunggu bell berbunyi, ia memutuskan untuk melihat beberapa buku yang bersangkutan dengan mata pelajaran favoritnya.
Beberapa menit telah berlalu, Sharon mendengus kesal dan dahinya berkerut. Seupaya apapun tetap saja ia tidak bisa mengalihkan pikirannya dari kejadian aneh yang menimpa mereka.
Sharon melihat jam tangan yang melingkar manis dipergelangan tangan kirinya. “Lima menit lagi.” Monolognya.
Sekitar lima menit, ia menghabiskan waktu untuk berkeliling dan mencari buku yang menarik walau Sharon tahu ia tidak akan menemukannya karena pikirannya sekarang sedang tidak berada disitu.Apakah dirinya harus mengajak Gideon juga? Di mana dia sekarang? Apakah masih di kantor ibu Tiffany? Atau ada hukuman lain yang diberikan kepadanya?
Deringan bell sekolah membuat Sharon sedikit tersenyum. Perlahan perpustakaan kembali sepi dan hanya sisa Sharon.
Sedikit demi sedikit Sharon mulai merasa takut. Bagaimana jika tiba-tiba pintu itu muncul dihadapannya? Aduhh Sharon tidk mau hilang juga!
Dengan cepat kaki Sharon melangkah keluar perpustakaan dan memutuskan untuk mencari Gideon.Sharon sangat amat terkejut dan nyaris berteriak ketika pintu perpustakaan terbuka dari luar.
“LO NGAGETIN!” Seru Sharon sambil mengelus dadanya.
Gideon tersenyum tipis dan menutup kembali perpustakaan.“Kita cek lagi.” Ucap lelaki itu.
Sharon memicingkan matanya. “Jangan-jangan kalau gue gak disini lo bakal cek sendiri? Tanpa ajak gue?”Gideon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Gue baru diizinkan keluar dari ruangan ibu Tiffany dan gue pikir lo berada di kelas. Kan engga mungkin gue manggilin lo dari luar kelas. Jadi, ya sekalian aja gue lewat perpustakaan dan cek sendiri. Siapa tahu ada petunjuk lain?” Jelasnya.Gideon melangkah menuju pojokan perpustakaan untuk mengecek pintu misterius itu dan disusul oleh Sharon.
“Hmm pintunya engga ada.” Gideon mengelus dagunya sambil berpikir. “Jangan-jangan pintunya bisa berpindah-pindah? Atau engga pintunya muncul satu hari sekali?”
Sharon menepok jidat. “Lo pikir obat yang sehari sekali?! Tapi kalau pintu itu berpindah-pindah… ah masasih?!”
“Mana gue tau! Kan gue hanya menebak.” Keluh Gideon.
Mereka berdua bergelut dengan pikiran masing-masing.
“Tapi sumpah gue engga habis pikir dengan keberadaan pintu itu. Ghaib atau apa, sih?” Sharon menimbang-nimbang. “Atau jangan-jangan itu pintu untuk pergi ke masa depan? Atau engga ke dunia lain? Atau ke planet lain?”
Gideon mengecek keadaan sekelilingnya. “Mungkin ada buku yang bisa menjadi petunjuk.” Ia mulai menghampiri rak terdekat dan melihat-lihat buku. “Buku rak ini bukan tentang pelajaran, tapi novel-novel fantasi.”
Sharon mendekati rak dan mengambil salah satu buku. “Menurut lo yang sedang terjadi ini adalah kisah fantasi?”
Gideon menganggukan kepalanya walau Sharon tak melihat karena perempuan itu fokus dengan buku yang ada ditangannya. “Karena engga masuk akal, makanya gue yakin ini kisah di luar logika.”Sharon menghembuskan napasnya pelan. “Gue benar-benar engga ada ide.” Ia memijit pelan pelipisnya lalu menaruh buku itu kembali ke rak.
“Hei kalian!” Reflek Sharon dan Gideon menoleh ke sumber suara.
“Danny? Lo ngapain di sini?” Sharon terkejut melihat Danny beserta Kevin berada di perpustakaan.
“Gue dan Kevin disuruh ibu Jessica buat meminjam buku sejarah. Lo berdua ngapain? Kalian lagi bolos, ya?” Mata Danny memicing. “Sharon, lo engga masuk mata pelajaran pertama juga, kan? Kenapa?”
“Kepo.” Bukan suara Sharon, melainkan Gideon. “Eh sebentar, kalian yang temenan sama Edward kan?”
Danny dan Kevin saling bertukar pandang dengan wajah bingung. “Edward siapa?” Tanya Danny.
“Edward! Teman kalian berdua!” Suara Gideon menggema di seluruh ruangan.
Sharon menggelengkan kepalanya. “Percuma, mereka engga mungkin ingat.”
Gideon berjalan mendekat ke arah Danny dan Kevin. “Kalian tidak ingat? Sama sekali?” Sepertinya Gideon masih benar-benar berharap jika ada orang yang ingat selain mereka berdua.
“Edward siapa, sih?” Kini Kevin bersuara. “Gue engga kenal sama Edward.”
Gideon terdiam sebentar, lalu menarik napasnya. “Bukan engga kenal, tapi engga ingat.”
Danny sedikit tertawa. “Kayanya lo salah orang deh? Gue dan Kevin engga kenal Edward.”
Sharon melangkah maju mendekati mereka. “Mereka engga akan percaya, Gideon. Kita engga bisa memaksa mereka.”
Danny melangkah sedikit agar lebih mendekati Sharon. “Sharon, sebenarnya ada apa?”
Sharon menggelengkan kepalanya. “Walaupun gue jelasin lo engga akan percaya.” Sharon melangkah mundur. “Gideon, gue mau ngecek pintu itu lagi.”
Gideon menjentikkan jarinya. “Lo berdua ikut gue dan Sharon!”
"Hah mau ngapain?"
"Ikut aja! Kita mau nunjukin sesuatu." Ucap Gideon walau tidak yakin. Karena ia sendiri pun tidak yakin apakah pintu tersebut akan muncul atau tidak.
Sharon melangkahkan kakinya menuju sudut ruangan letak pintu misteri yang mereka maksud, diikuti Gideon beserta Danny dan Kevin.
Hati Sharon berdegup kencang seolah-olah ingin keluar dari tempatnya. Bagaimana jika pintu itu muncul?
Langkah mereka terhenti ketika sudah sampai.Danny menatap heran “Itu pintu apa?”
Hamparan padang rumput serta hembusan angin lembut benar-benar Sharon rasakan. Antara mimpi dan kenyataan, apa yang dilihatnya benar-benar nyata. Ia sungguh tidak tahu apa nama tempat ini. Di sebelahnya pun ada Gideon yang kini tengah berjongkok untuk menyentuh rumput serta Danny dan Kevin yang kini melotot untuk memastikan semua hal yang sedang mereka pandang. “P-P-PINTU!! PINTU HILANG!” Tiba-tiba Kevin memekik kencang. Benar saja, pintu penghubung antara perpustakaan dengan tempat ini hilang entah ke mana. “Terus ini gimana sekarang?” Sharon panik. “Pintunya hilang berarti kita juga hilang dong? Kita kan udah masuk sini berarti semua orang lupa dong sama kita?” Gideon menghela nafas berat. “Bisa jadi.” Ia mengusap wajahnya kasar. “Kemungkinan Bu Sarah, Margareth, Lisa dan Edward ada di sini.” Danny mengerutkan kening. “Mereka … di sini? Maksud lo? Margareth juga? Edward?” Ekspresinya benar-benar bingung. “Lo ingat mereka semua?” Sharon benar
“Sharon Benedict.” Ucap Sharon kepada seorang laki-laki yang sedang menjabat tangannya. "Nama gue Gideon, panggil aja ganteng.” Ucap laki-laki yang menjabat tangan Sharon dengan percaya diri. “Pede gila, lo!” raut muka Lisa menjadi sinis melihat Gideon. Sharon hanya cekikikan. “Udah, kan? Udah gue kenalin si ganteng dari kandang macan.” Ucap Lisa sambil merangkul pundak Sharon hendak mengajak pergi. “Ya! Lo Macannya!” Sahut Gideon yang membuat wajah Lisa memerah hingga rangkulan dari pundak Sharon ia lepaskan. “Macan kesayangan.” Lanjut Gideon sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Lisa. Wajah Lisa melunak dan sedikit salah tingkah. “Heh, lanjut nanti pacarannya. Gue dan Lisa mau ke kelas dulu. Bye!” Sharon menarik tangan Lisa dan berlalu dari tempat itu.Sharon melangkahkan kaki dengan cepat menuju kelas hingga membuat Lisa kewalahan. “Ron, pelan-pelan aja, sih!” “Heh, lo lupa? Ini tuh pelajarannya ibu Sarah! Gue gamau telat.” Ucap Sharon tanpa menoleh ke belakang. Lis
6 bulan kemudian … Sharon berlari kencang tatkala jam tangan pink yang selalu ia kenakan jika bepergian hampir menunjukkan pukul tujuh. Keringat sudah mulai bercucuran dipelipisnya. Punggungnya mulai basah. Hingga pada detik-detik terakhir, ia mempercepat kecepatan berlarinya. “PAK SAMSON, TUNGGU!” Teriak nyaring Sharon membuat beberapa siswa-siswi yang sudah di dalam sekolah menoleh sebentar kearahnya. Pak Samson, satpam sekolah yang hendak menutup gerbang menggelengkan kepalanya mantap lalu melanjutkan aktifitasnya; menutup gerbang. Sharon terengah-engah dan ia telah sampai didepan pintu gerbang.“Pak! Tolong pak! Saya janji besok tidak akan telat.” Ujar Sharon dengan wajah memelas yang hampir saja meluluhkan hati Pak Samson. “Saya janji!” Kedua jari Sharon menunjukkan peace tanda bahwa ia berjanji. Terlihat Pak Samson sedang berfikir. Lalu beberapa detik kemudian, ia membukakan gerban
Bell sekolah berdering kencang membuat Sharon tersadar dari lamunannya. Ia segera membereskan bukunya lalu memasukannya ke dalam ransel. Ia berjalan kedepan dengan tergesa dan mengambil tugas yang belum sempat dibagikan Ibu. Tiffany.“Ambilin punya gue sekalian!” Seru Lisa.Sharon mencari cepat tugas miliknya dan terpenting punya Margareth. Tapi ia tidak menemukannya. Ia mencarinya sekali lagi, dan ternyata dapat! Tak lupa ia mengambil milik Lisa yang sudah menunggunya di depan kelas.“Thanks, ya!” Ucap Lisa ketika Sharon memberikan tugas miliknya.Sharon hanya tersenyum. Lisa yang melihatnya merasa janggal.“kenapa? Ada masalah? Biasanya lo bawel.”Sharon tersenyum dipaksakan. “Enggak. Gue hanya sakit perut. Lo duluan aja pulangnya, gue mau ke toilet.”Lisa pun mengangguk. “Oke. Oh ya, nanti gue mau chat lo untuj bahas konten youtube ya. Bales pokoknya!”Sharon mengangguk lalu
Sharon berjalan tegang menuju kelas. Hari ini ia tidak telat, karena ia terbangun jam empat subuh tadi dan ia tidak bisa tidur lagi.Ia memasuki kelas dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.Kelas masih sepi. Sharon mendaratkan bokongnya dibangku miliknya. Ia sama sekali tak ada gairah hari ini. Bell tanda masuk berbunyi pun masih lama berdering.Tidak lama kemudian seseorang masuk kedalam kelas dan ia menduduki kursi yang tak jauh dibelakang Sharon. Edward.Suasana sangat sunyi. Pikiran Sharon benar-benar berantakan.Sharon sibuk memainkan kukunya walaupun pikirannya entah kemana sementara Edward hanya asik memainkan ponselnya.Tiba-tiba, seseorang memasuki kelas dengan terburu-buru.“Gideon?” Ucap Sharon sambil mengerutkan dahinya.Gideon berjalan cepat menuju tempat Sharon duduk. Dengan penuh dengan peluh, Gideon mencoba mengatur nafasnya.“LISA!” Gertak Gideon.
“KALIAN BERDUA!”Sharon dan Gideon terlonjak kaget karena teriakan itu.“Ibu Tiffany…”Ibu Tiffany berjalan ke arah mereka. “Kalian sedang apa di sini? Bolos?” Tanya ibu Tiffany dengan ekspresi marah.Sharon dan Gideon reflek berdiri dan membersihkan baju mereka dari rumput yang menempel.‘Gawat! Kenapa harus bu Tiffany, sih?’ Pekik Sharon dalam hati. Ibu Tiffany memang lembut hatinya tapi tidak berlaku dengan murid yang bolos mata pelajaran.“Kalian berdua ikut saya sekarang!” Ibu Tiffany membalikkan badan dan berjalan mendahului mereka.Mau tidak mau Gideon dan Sharon mengikuti langkah ibu Tiffany.Ibu Tiffany mengarahkan mereka menuju perpustakaan. Perpustakaan terletak di ujung kooridor sebelah barat.“Sekarang bersihkan perpustakaan ini.” Kata ibu Tiffany setelah mereka sampai di depan perpustakaan.