Pandangan wanita paruh baya itu terlihat kosong saat menyusuri jalan Maleber menuju rumah minimalis berukuran 10 x 10 dengan pagar setinggi dua meter dan garasi yang hanya muat untuk menampung satu mobil.Tangannya terulur menyusuri pagar besi bercat hitam itu, sebelum terpaku pada tulisan 'Dijual' yang tertera di sebuah papan tripleks yang tergantung di atas sana."Mau ngapain ke sini, Bu? Teh Tika baru aja pindah tadi pagi," cetus salah seorang tetangga Tika dengan ketus. Dia tahu pasti apa yang terjadi malam itu. Sampai Tika nyaris bunuh diri.Bu Nur menoleh."Ke mana?" tanya Bu Nur dengan nada yang juga sama tak bersahabatnya."Mau ngapain? Belum puas liat Teh Tika menderita? Atau akhirnya nyesel setelah tahu kalau mantan menantu ibu levelnya bener-bener tinggi. Jangan-jangan mau minjem duit la--""Di mana Si Tika itu tinggal sekarang!" pekik Bu Nur yang membuat wanita berjilbab itu terlonjak kaget."Bu-Bumi Asri. Dia pindah ke Bumi Asri!" Setelah mendapat jawaban yang dia ingink
Jam menunjukkan hampir tengah malam saat dua anak remaja dan satu orang dewasa itu menjinjing botol air mineral berisi minuman bewarna ungu ke sebuah Pos Ronda yang kebetulan tak beroperasi malam ini.Mereka duduk melingkar, lalu mengeluarkan rokok dan kartu gaple yang siap dimainkan setelah sebelumnya menghabiskan waktu berjam-jam di tempat rental PS."A, bini sama Emak nggak akan nyariin A'a ke sini?" tanya salah satu remaja berusia tujuh belas tahunan berambut keriting agak gondrong."Sebodo amat, Ja. Pusing aing," sahut Miftah setengah teler. Ternyata minuman yang mereka bawa adalah alkohol yang dioplos dengan minuman energi."Emang lier kitu rumah tangga, teh? (Memangnya pusing gitu hidup berumah tangga?)" tanya remaja yang satunya."Pisan, (Banget) Dan. Tong coba-coba ngareuneuhan awewe lamun maneh teu boga gawe. Balangsak! (Jangan coba-coba menghamili perempuan kalau kamu belum punya kerjaan. Susah!)""Hehe. Teu niat oge, sih, A. Masih mending A'a mah kasep, lah urang modelan k
Saat kembali, Bu Nur mendapati Miftah tengah rebahan di ruang tengah sembari menyalakan TV. Sementara tangisan Bila terdengar nyaring dari dalam kamar. Entah apa yang ada dipikiran lelaki yang baru genap berusia tiga puluh tahun itu, saat ini.Dia mulai tak peduli dengan suara tangisan sang bayi, dan malah sibuk bergelut dengan pikiran sendiri. Penampilannya sangat berantakan setelah pulang malam tadi. Kebiasaan merawat diri yang biasa digeluti kini tak lagi menjadi prioritas utama. Mandi sehari sekali pun sudah patut disyukuri."Miftah! Itu Bila kenapa kamu biarin nangis, sih? Gendong, kek, kasih susu, atau ajak keluar dulu! Udah siang begini masih aja leha-leha depan TV, bukannya siap-siap kerja," tegur Bu Nur sembari menghampiri Bila ke kamar, lalu kembali menghadap putranya yang seolah tak peduli."Males, ah, Ma. Hari ini Miftah ambil cuti lagi. Pengen istirahat. Cape!" Miftah mengubah posisi menyamping. Beralaskan karpet plastik bermotif bunga itu dia terbaring memunggungi, berba
Waktu bergulir, hari berganti, tetapi bayangan tentang kejadian hari itu masih terekam kuat dalam benak Bu Nur sampai sekarang. Tak menyangka dia, anak yang dididik sedari dini, dibesarkan sepenuh hati, serta dibangga-banggakan sejauh ini, menjadi sangat tak terkendali.Miftah kadang pulang dalam keadaan teler, penampilan berantakan, bahkan tak lagi mau menggendong anaknya sendiri. Hari-hari yang dihabiskan hanya nongkrong bersama para remaja tanggung di kampungnya. Main PS, merokok, ngoplos, juga main gaple. Dia tak lagi menanyakan Desi yang entah di mana rimbanya. Maupun keadaan Tika yang sudah dia hina habis-habisan. Dia hanya tahu cara menghabiskan uang yang mantan istrinya berikan, lalu bersenang-senang. "Miftah!" Bu Nur menyingkap selimut yang menutupi tubuh putranya di siang bolong begini. Setelah kesabaran selama ini Bu Nur akhirnya benar-benar lelah menghadapi sikap Miftah. "Mau sampai kapan begini, hah? Udah lebih dari seminggu kamu bolos kerja, kabar Si Desi pun sampai sek
Suara pintu kamar mandi yang dibuka, menginterupsi Bu Nur dan Dini. Mereka melihat Miftah berlalu menuju kamar, lalu kembali dengan sebuah anting dan gelang."Ini punya Si Desi. Kalian jual aja!" cetusnya tiba-tiba.Dini mengambil alih perhiasan emas itu dari tangan kakaknya."Kok, bisa dia minggat nggak bawa barang berharga?" tanya Bu Nur heran."Mungkin masih ada sedikit kesadaran di otaknya saat ninggalin anaknya di sini." Miftah menatap Bila dalam gendongan Bu Nur. Ekspresinya tak terbaca."Ya udah aku jual dulu, daripada motor disita." Dini memasukkan anting dan gelang tersebut ke dalam tas kecilnya. Kemudian berlalu untuk mencari penjual di jalanan pasar atau Alun-Alun Kota yang biasa menerima emas tanpa surat-suratnya.Dini mungkin tak akan sepanik ini bila BPKP motornya digadaikan ke bank. Namun, saat mendapati yang datang menagih uang ternyata seorang dept collector bengis, dia tak lagi bisa tinggal diam mengingat motor kesayangan juga nyawanya terancam hanya karena nominal u
"A'a yang waktu itu anter Tika pake Mobil Fotuner, ya?" Bu Wulan tiba-tiba nyeletuk saat Andri tengah mengalas nasi sembari menyusuri meja prasmanan yang disiapkan Tika dari katering yang dipesan.Andri tersenyum kecil. Lalu mengangguk pelan pada wanita bergamis peach yang kerudungnya disampirkan itu."Iya, Teh. Ini Teh Wulan, kan? Tika sering cerita tentang Teteh juga."Bu Wulan terkekeh."Hehe, iya. Kita emang deket banget di kantor. Tak terpisahkan pokona mah."Andri terkekeh pelan. "Kita ngobrolnya di sebelah sana, yuk! Temenin Tika!" usul Andri yang langsung disetujui Bu Wulan."Ya, kebetulan ada banyak hal yang mau saya obrolin sama dia. Soalnya Tika udah ambil cuti dari seminggu lalu di luar waktu yang dijadwalkan. Kayaknya dia ada masalah. Cuma nggak mau bilang.""Ya, saya juga khawatir karena akhir-akhir ini Tika kayak bener-bener membatasi diri. Hampir dua minggu bahkan kita putus komunikasi. Makanya lega banget pas hari ini dia kasih kabar dan ngadain pengajian," papar And
Restoran Baso Malang yang berada di pinggir Jalan Soekarno-Hatta itu tampak tak terlalu ramai siang ini. Hanya ada dua mobil terparkir, dan beberapa motor di pelataran yang luas itu. Dengan percaya diri Miftah menepikan motornya yang bahkan dipinjam dari teman tongkrongannya di Pos Ronda. Sejenak dia memerhatikan wajah di salah satu spion, merapikan rambut yang sengaja baru dicukur hanya untuk pertemuan spesialnya dengan Wulan siang ini. Meskipun berwajah tampan, tapi aura lelaki itu tak lagi terpancar. Apalagi dua pekan terakhir tubuhnya sering kali dicekokki minuman, rokok, juga bergadang hampir tiap malam. Lingkaran hitam tampak kentara di bawah mata cekungnya. Rahang tegas yang semula mempertegas proporsi wajahnya kini terlihat tirus dan kering.Langkah lebarnya memasuki ruang luas resto, setelah menyadari tak ada seorang pun pengunjung yang duduk di luar. Masih dengan semangat yang sama Miftah mengedarkan pandangan mencari sosok wanita pujaan yang sebulan terakhir berhasil meng
"Dia bukan anak Miftah, Ma. Dia bukan cucu Mama!"Nia menelan ludah susah payah, seolah ada benda padat sebesar biji zarah yang tersendat di tenggorokkannya, saat Miftah tiba-tiba menguak fakta yang selama ini dia dan Desi sembunyikan rapat-rapat setelah memutuskan untuk memperalat Miftah atas kehamilan Desi yang entah siapa ayahnya. Tubuh perempuan berambut pirang itu mundur dua langkah. Alisnya bertautan. Terkejut luar biasa."Dari mana lo tahu?" lirih pertanyaan itu terlontar."Keluar dari mulut adik lonte lo sendiri!" balas Miftah sengit."Berarti maneh panggih jeung Si Desi saacan indit? Di mana adi urang ayeuna? Di mana, Miftah?! (Berarti lo ketemu sama Desi sebelum dia pergi? Di mana adikku sekarang, di mana dia, Miftah?!)" Nia maju selangkah, lalu mencengkeram kerah jaket yang Miftah kenakan.Lelaki itu terdiam sejenak, lalu memalingkan pandangan."Mana aing nyaho. Maneh lancékna kudu na leuwih apal! (Mana gue tahu. Lo kakaknya harusnya lebih tahu)" Miftah menyentak tangan Ni
Berbagai kecamuk perasaan menghinggapi Tika saat dia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menuju ruang ICU. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan saat Bu Wulan mengatakan bahkan sudah berbulan-bulan Miftah menjalani pengobatan secara intensif setelah dokter mendiagnosis bahwa mantan suaminya itu mengidap Bronchitis, dan secara pribadi Bu Nur memohon padanya untuk menyampaikan pesan. Sebenarnya Tika sudah tak peduli dengan apa yang terjadi pada Miftah dan keluarganya, sebab tak ada lagi yang tersisa dari lelaki itu selain kenangan pahit yang masih kerap kali menjadi mimpi buruk di tiap tidurnya. Namun, saat Andri mengatakan bahwa mungkin itu adalah permintaan terakhir mantan suaminya, Tika benar-benar tak kuasa untuk menolaknya.Melihat seseorang hanya berdiri di depan pintu ruang ICU, sontak Bu Nur bangkit setelah menyuapi putranya yang sudah tak bisa melakukan apa-apa. "Makasih, makasih banyak udah sudi datang, Tik. Dua hari ini Miftah nggak mau makan
Tak ada luka yang benar-benar abadi, waktu selalu mampu memperbaiki situasi, meski yang tersisa dari memori kerapkali kali masih menyisakan sedikit nyeri dalam hati. Awan mendung tak berarti hujan turun, tapi Matahari selalu adil menerangi setiap inti bumi. Setiap duka pasti ada suka, setiap kehilangan pasti ada penggantinya, dan setiap yang ditanam pasti akan ada yang dituai, karena begitulah kehidupan berjalan.Hari berganti, bulan-bulan dilewati. Demi menjaga kewarasan diri dari bayang-bayang masa lalu, Andri bersedia mengikuti sang istri untuk menetap di Cianjur. Meski harus pulang-pergi Bandung-Cianjur seminggu dua kali, meski rindu kerap kali menghinggapi. Lelaki itu tak peduli dengan jarak, selama mereka bisa terus bersama sampai akhir hayat nanti. Setelah apa yang terjadi pada Tika pun Ahmad, perempuan itu seolah tak mau tahu lagi tentang mantan suam dan keluarga benalunya itu. Dia memilih melanjutkan usaha dari modal yang ditinggalkan orang tua, serta menata hidupnya kembali
Ternyata pribahasa darah lebih kental daripada air itu benar adanya. Ikatan persaudaraan yang erat membuat Tika tak kuasa menahan tangis, lelaki itu bersimpuh, menangis meraung di kaki Tika, dan mengakui bahwa dia memang telah salah selama empat tahun ini. Mengikuti hawa nafsu, tak peduli nasihat kakak kandung sendiri, terjebak dalam pernikahan dengan perempuan yang ternyata hanya ingin memanfaatkan harta bendanya. Madu yang dia tuang ternyata dibalas racun mematikan. Empat tahun menampung keluarga benalu membuat Ahmad benar-benar berhasil mempelajari banyak hal. Belajar tentang kegagalan Tika juga dirinya sekarang. "Maaf, hampura, Teh. Hampura Ahmad khilaf!" Ahmad masih bersimpuh di lantai memeluk kaki Tika. Sementara yang bersangkutan tampak masih shock setelah mendengar pengakuan sang adik tentang kondisi kehidupannya pasca pernikahan dengan Dini. Tika benar-benar tak menyangka, ternyata di balik kebungkaman, di balik komunikasi yang nyaris terputus selama empat tahun ini ada
Tok! Tok! Tok! "Buka pintunya, Nia! Jangan bikin papa hilang kesabaran, ya."Suara ketukan yang sudah berubah jadi gedoran itu terdengar di salah satu kamar dalam rumah milik mantan pejabat yang cukup disegani pada masanya. Sudah tiga hari sejak pria paruh baya tersebut mendapati sang putri mengurung diri. Hari ini kesabarannya sudah benar-benar habis. Dia seolah sudah lelah menghadapi satu-satunya putri yang tersisa, karena terlalu terobsesi pada mantan suaminya, Andri. "Kalau nggak dibuka juga papa dobrak pintunya, ya, Nia!"" .... " Tetap tak ada jawaban dari dalam. Hal itu membuatnya mulai dilingkupi perasaan khawatir."Dang, bawa kunci serep di gudang. Si Nia nggak mau keluar ini." Lelah menunggu dan penasaran dengan apa yang membuat putrinya mengurung diri sampai tiga hari. Papa Nia akhirnya meminta salah seorang tukang di rumahnya untuk mengambil kunci serep. Hanya beberapa menit setelah diminta, sopir yang juga tukang kebun itu datang membawa kunci cadangan. "Sial, nyang
Miftah kembali ke rumah saat dia melihat ibunya duduk mematung di atas kursi. Sementara Dini menangis meraung di kakinya. Syakil dan Bila yang melihat itu hanya bisa menatap kehadiran mereka dengan penuh kebingungan. Sebenarnya Bu Nur sudah tahu kalau Syakil adalah anak dari Rifky, mantan kekasih putrinya. Namun, dia tak menyangka kalau Dini masih menjalin hubungan dengan montir bengkel itu. Bertahun-tahun, di belakang Ahmad. Bahkan bisa dipastikan anak yang Dini kandung sekarang juga berasal dari benih Rifky. Sekali lagi kebodohan anaknya berhasil menjerumuskan. Akankah kesenangan yang sudah didapatkan selama empat tahun ini akan dicabut kembali? "Ada apa ini?" Miftah akhirnya bertanya setelah lama membaca situasi. Melihat tangisan adiknya serta beberapa barang yang dia bawa serta ke mari. Miftah mulai menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi antara rumah tangga Dini dan Ahmad. Mendengar kehadiran kakaknya, Dini langsung memburu Miftah, lalu bersimpuh di kakinya. "Tolongin Dini, A
Tika duduk bersedekap di atas sajadah. Mukena membalut tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Berbagai doa dia panjatkan sejak Magrib tadi. Memohon tak henti agar tak ada bala yang mendekati.Ketakutan mulai menyelimuti. Padahal selama empat tahun dilewati dia tak pernah merasakan hal semacam ini. Entah kenapa, selama Miftah dan keluarganya masih berpijak di bumi yang sama. Tika merasa tak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan lagi. "Buna ...." Panggilan pelan dari suara yang lembut itu menginterupsi zikirnya. Sejenak Tika seka air mata dengan mukena, lalu beralih pada Zahra yang malam ini dia tempatkan di satu kamar bersamanya. "Ya, Sayang.""Om gateng tadi siapa, Buna? Kenapa dia bilang Ayah Zahla."Tika terdiam sejenak dengan kebingungan yang menggelayutinya. Setelahnya napas panjang dia hela. "Bukan siapa-siapa, cuma orang iseng aja." Masih terbalut mukena Tika bangkit, lantas berjalan menghampiri Zahra yang duduk di tepi ranjang. "Kalo bukan siapa-siapa. Kenapa Buna mara
" ... aku muak, Miftah. Aku jijik!"Masih berdiri mematung di tempatnya. Kalimat itu terus menerus ternging-ngiang di telinga Miftah. Bahkan Berputar-putar di kepalanya. Ada yang menghantam dada saat melihat lirih suara sang mantan istri memaki, memerah matanya menahan murka dan amarah. Dan anehnya Miftah tak merasa tersinggung saat dia dihina dan dicaci-maki bahkan dilempar uang ke depan muka. Yang terasa justru sesak, sesak yang dirasa saat melihat sedemikian dalam Tika membenci, karena luka yang sudah dia torehkan selama ini. Apakah empat tahun di balik jeruji besi tanpa disadari justru membuatnya introspeksi? Atau ceramah serta nasehat yang dicekokki para pemuka agama yang datang ke lapas, membuatnya cukup mawas diri? Bahkan saat dia tak sengaja membunuh Desi atau mencaci-maki Tika tentang anak yang dikandungnya ia tak pernah merasa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana dengan empat tahun rencana matang yang sudah dia susun bersama Nia?"Pergi!" Jeritan itu menarik kesada
"Nggak apa-apa, kalau kita ketahuan. Aku yang bakal tanggung jawab," yakinnya. "Halah tanggung jawab apaan. Waktu aku hamil Syakil aja kamu pergi." "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri. Lagian saat itu aku belum ada kerjaan. Buktinya aku balik, tapi kamu malah milih nikah sama cowok yang nggak kamu cintai!" Dini memalingkan muka. Matanya kembali mengembun. "Karena aku nggak bisa hidup miskin, Ky. Aku nggak mau. Cuman dengan dia aku bisa hidup enak. Cuma dengan dia masa depan Syakil terjamin." Air mata Dini kembali tumpah. "Kalau kamu udah ngerasa bahagia, kenapa masih hubungin aku? Bahkan selama setahun ini kamu selalu datang saat butuh. Aku ngerasa kayak dimanfaatin. Padahal aku tulus cinta sama kamu."Dini menarik napas panjang. Dia menatap mata lelaki yang sampai detik ini masih merajai hati. "Karena cuma kamu yang aku cinta. Karena cuma kamu yang bisa menyenangkanku. Si Ahmad payah, Ky. Dia nggak pernah bisa kasih kepuasan batin buat aku kayak kamu. Hubungan kita hambar,
"Eh, Mad!" "Reza!" Langkah Ahmad terhenti di ambang pintu keluar resto saat dia berpapasan dengan sosok yang dikenal. Lelaki bernama Reza Anugerah itu adalah teman seprofesi Ahmad di Pabrik Kahatex sebagai pengawas. Sudah lama sejak mereka tak pernah lagi bertemu, karena Reza resign hanya sebulan setelah Dini mengundurkan diri.Hal itu jelas semakin mematik rasa curiga Ahmad akan hubungan mereka berdua yang terjadi sebelum kehamilan Dini. Sudah empat tahun berlalu, tetap dia masih belum juga tahu ayah biologis dari anak yang selama ini tinggal bersamanya.Sebenarnya saat memutuskan menikahi wanita itu Ahmad sudah menerima, akan tetapi rasa penasaran itu kerap kali hinggap saat dia tak sengaja memerhatikan Syakil. Sebenarnya dari benih siapa dia berasal? Apa benar dari benih lelaki di hadapannya ini, seperti yang dia duga selama ini?"Hampura teu bisa datang pas hajat. Sumpah sabenerna mah urang teu nyangka maneh ngawin si Dini, Mad. (Maaf nggak bisa datang saat resepsi. Sumpah seb