[ Teh Tika! Ahmad ketemu A Miftah sama wanita hamil, lagi liat-liat kontrakan Teteh yang ada di Cijerah! ]
Deg![ Ah, salah liat mungkin kamu, Mad. Suami teteh, kan udah pindah tugas di Karawang. Lagian kalau dia tiba-tiba ada keperluan pasti mampir ke sini dulu, ngapain jauh-jauh dateng cuma buat cari kontrakan? Lagian A Miftah, kan nggak pernah tahu kalau selama ini teteh punya rumah kontrakan yang disewakan.]*Foto*[ Tuh, Teteh liat aja sendiri! Beneran A Miftah, kan? Ahmad fotonya diem-diem. Dia lagi ngobrol sama tetangga yang udah lebih dulu sewa. ]Tiga pesan yang datang berurutan bersama dengan foto yang dikirimkan, membuat kesenangan yang baru sesaat hinggap, langsung menguap. Lokasi rumah kontrakan yang Ahmad fotokan memang tempat yang sama dengan kontrakan kosong yang Bu Susi infokan tadi.Terletak di daerah Cijerah, sekitar lima ratus meter dari pasar. Kontrakan lima pintu peninggalan ibu diwariskan padaku dan Ahmad, sejak beliau berpulang menyusul bapak tiga tahun lalu. Dari lima kamar kontrakan berukuran 5 x 5 dengan kamar mandi di dalam itu salah satunya dihuni Bu Susi, seorang janda penjual baso asal Malang dan anak perempuannya yang berusia tujuh tahun, sementara tiga lainnya ditempati para pegawai Pabrik Kahatex. Sedangkan yang satunya sudah setahun kosong.Aset tersebut memang sengaja belum kuberi tahu pada A Miftah, apalagi keluarganya. Tak ada alasan khusus, uangnya hanya kusimpan untuk memenuhi kebutuhan yang kurang, mulai dari biaya pengobatan Akbar ke terapis, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya. Apalagi kami masih punya setoran mobil yang saat ini A Miftah gunakan. Sebab kalau hanya mengandalkan gaji A Miftah tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan, apalagi sampai detik ini biaya ibu dan sekolah adiknya masih dia tanggung. Sebenarnya aku tak keberatan, selama dia masih mampu memberi nafkah sesuai kemampuan, karena aku memang punya simpanan di bank.Namun, saat mengetahui uang yang kupinjamkan dia gunakan untuk menyewakan kontrakan untuk seorang perempuan. Rasanya benar-benar seperti ada sesuatu yang menghantam walaupun aku belum tahu pasti siapa perempuan yang berniat dia sembunyikan di rumah kontrakan."Bu-na." Akbar menarik-narik jilbabku, karena terlalu lama melamun dalam kebisuan.Aku tersenyum kecil, lalu mengusap kepala bocah yang duduk di depan."Sebentar, ya, Sayang." Kupeluk Akbar dengan sebelah tangan, sedangkan sebelah lagi mencoba menghubungi A Miftah.Tiga kali dering terdengar, hingga digetar keempat sambungan telepon berhasil terhubung."Assalamualaikum, A.""Waalaikumsallam. Ada apa, Neng?""A'a lagi di mana sekarang?"Ada jeda yang cukup panjang, menciptakan keheningan mencekam yang membuat dadaku berdebam tak keruan."Ya ... jam segini mah baru pulang ke kosan atuh. Aneh-aneh aja pertanyaan kamu." Sedikit gelagapan dia menjawab."Di Karawang?" tanyaku memastikan langsung pada inti.Lagi-lagi dia sempat terdiam sebelum menjawab pertanyaan. Membuyarkan semua pikiran positif dalam diri."Ya-yaiyalah. Emangnya di mana lagi?"Kupejamkan mata, lalu mematikan sambungan telepon tanpa permisi. Dua kebohongan sudah keluar dari mulutnya hari ini, kebohongan yang nyaris tak pernah kudengar selama tujuh tahun pernikahan. Sebenarnya saat ini aku bisa saja langsung datang menghampiri. Menemui mereka dan langsung meminta penjelasan. Namun, bila hal itu kulakukan aku tak akan tahu hubungan macam apa yang terjadi di antara suamiku dan wanita muda itu.Pada akhirnya, nomor Bu Susi kujadikan pelarian."Halo, Bu. Bisa tolong wakilkan saya? Tiba-tiba saya ngerasa nggak enak badan. Harga sewa kontrakannya 500 perbulan, belum termasuk listrik dan air.""Loh, maaf, biasanya yang lain segitu udah berikut listrik sama air, Neng?""Ya, itu harga untuk yang lajang. Kalau pasangan suami-istri apalagi pasangan nggak jelas, tarifnya beda, Bu."***"Kenapa nggak langsung Teteh samperin aja, sih A Miftahnya?"Ahmad yang baru saja tiba di rumah terlihat kesal dengan keputusan yang kuambil. Kebetulan adik lelakiku itu memang bekerja sebagai operator mesin di Pabrik Kahatex Cijerah dan tinggal di rumah peninggalan orangtua kami, sendiri. Aku dan Ahmad berbeda tiga tahun. Bulan ini umur adikku genap dua puluh empat, sedangkan aku dua puluh tujuh. Begitu pun selisih umurku dan A Miftah yang hanya berbeda dua tahun. Meskipun dua tahun lebih muda penampilanku memang terlihat lebih dewasa daripada A Miftah. Mungkin karena tubuhku yang terlalu kurus."Teteh nunggu waktu yang tepat, Mad. Teteh nggak bisa langsung labrak gitu aja kalau belum pasti statusnya. Gimana kalau yang dia bawa itu cuma temen atau bahkan sodara jauh yang nggak teteh tahu."Ahmad menghela napas gusar."Kalau emang cuma saudara atau temen, kenapa mesti bohong? Seharusnya dari awal dia langsung bilang kalau duit yang dipinjem buat bayarin kontrakan awewe eta (cewek itu)."Aku bungkam mendengar penyataan Ahmad yang memang terasa masuk akal. Adik laki-lakiku itu tiba-tiba beranjak dan pamit pulang."Ya udah kalau teteh nggak bisa, biar Ahmad yang wakilin. Entah kenapa lama-lama Ahmad makin nggak suka liat kelakuan suami teteh. Udah mah jarang pulang, kadang ngasih duit bulanan pas-pasan, eh sekarang tanpa sepengetahuan ngumpetin cewek di kontrak--""Jangan atuh, Mad. Teteh minta tolong sama kamu buat pantau aja mereka. Walau gimana pun ini rumah tangga teteh sama si A'a. Kalau beneran terbukti perempuan itu selingkuhan, teteh sendiri yang bakal usir dari kontrakan.""Siapa yang selingkuh? Di kontrakan mana?"Sontak aku dan Ahmad terbungkam saat melihat ibu mertuaku tiba-tiba datang entah sejak kapan. Apalagi waktu sudah menunjukkan jam tujuh malam."Ahmad pulang dulu. Assalamualaikum." Suara Ahmad lebih dulu memecah keheningan, dia pamit setelah mencium tanganku dan ibu mertuaku, meski sedikit enggan."Itu tetangganya Ahmad, katanya ada yang umpetin selingkuhan di rumah kontrakan," tuturku tak sepenuhnya berbohong. Setelahnya kutuntun beliau masuk ke dalam."Oh, kirain siapa. Dahlah nggak usah urusin idup orang, idup kita aja belum tentu bener."Kutatap punggungnya yang berlalu menuju dapur. Ingin rasanya kuteriakkan bahwa orang yang baru saja kami bicarakan sebenarnya adalah putranya sendiri."Akbar udah tidur?" tanyanya sembari meletakkan totebag yang kuyakin isinya hanya baju ganti. Sebenarnya aku tak berharap ibu membawa apa-apa dari rumah. Namun, yang kuinginkan hanya dia pulang dengan kesadaran. Bukannya datang hanya saat membutuhkan bahan pangan.Memang ada dalam satu bulan ibu datang di malam jumat, karena tahu dua hari ke depan adalah jadwal liburku. Dia berkunjung hanya untuk mengosongkan isi kulkas dan persediaan bahan panganku. Entah hal itu sudah jadi kebiasaan, atau A Miftah tak cukup memberinya uang. Sejauh ini aku memaklumi, karena dirasa hal itu belum sampai ke tahap yang keterlaluan."Udah, baru aja. Ahmad yang tidurin. Mama datang sendiri? Nggak dianter Dini?""Iya, naik angkot sendiri. Mau minta anter Dini dia lagi ada kerja kelompok di rumah temen. Mau minta jemput kamu pasti alasan cape baru pulang kerja."Kuhela napas panjang mendengar kalimat yang begitu ringan beliau ucapkan. Padahal tak jarang aku menyempatkan diri menjemputnya di tengah kesibukan.Pada akhirnya aku hanya bisa tersenyum getir menanggapinya."Ngomong-ngomong jerawat kamu makin banyak aja, Tik? Maaf, emangnya nggak pernah perawatan? Seharusnya walaupun Miftah jarang pulang, kamu tetep harus pinter-pinter ngerawat diri, manjain suami pas pulang. Emangnya duit yang Ahmad kasih dikemanain? Masa gaji kamu juga nggak cukup buat beli sepaket skincare yang harganya cuma tiga ratus rebuan." Kupejamkan mata saat melihat beliau mengatakannya sembari duduk santai di meja makan, melahap apel yang diambil dari kulkas, dan memerhatikan wajahku dengan detail. "Kalau mau nanti mama pesenin, deh di tempat langganan, titipin aja uangnya. Masa kamu yang masih muda kalah glowing sama mama yang udah tua begini."Kuhela napas gusar. Bukannya aku tak mau merawat diri, sedangkan hampir seharian aku disibukkan dengan pekerjaan, malamnya masih harus mengurus Akbar sampai terlelap, belum lagi pekerjaan rumah yang cukup menyita banyak waktu."Maaf, Ma. Bukannya Tika nggak mau ngerawat diri. Kesibukan di tempat kerja dan di rumah udah cukup menyita banyak waktu. Mama yang hampir seharian diem di rumah pasti nggak bisa ngersainnya." Sesaat setelah kalimat itu terlontar, Mama langsung diam terbungkam....Bersambung."Maksud mama bukan gitu, Tik. Takutnya terjadi sesuatu yang nggak diinginkan. Perselingkuhan lagi menjamur sekarang, kalau kita nggak pandai-pandai rawat diri, orang nggak tahu diri nantinya malah menyalahkan pihak istri. Ya, walaupun mama percaya Miftah nggak mungkin begitu."Kutatap pantulan diri dalam cermin. Memerhatikan wajah kusamku dengan beberapa jerawat di dagu dan dahi. Hidung mungil, serta kulit sawo matang yang terlihat kering. Sebelumnya aku tak pernah se-overthinking ini. Namun, setelah mama mengatakan hal demikian aku jadi mulai kepikiran. Bicara tentang fisik memang seringkali membuatku minder, apalagi melihat penampilan A Miftah yang hampir mendekati sempurna sebagai seorang lelaki. Tubuh tinggi tegapnya, kulit bersih, hidung mancung, serta rahang kokoh yang mempertegas proporsi wajahnya. Tak jarang beberapa teman mencandai, menanyai pelet apa yang kuberikan hingga bisa mendapatkan suami setampan dirinya. Awalnya candaan itu terasa biasa, tapi lama kelamaan makin t
Kuparkirkan motor serampang di halaman, dengan tergesa membuka kunci rumah yang beberapa kali terjatuh karena tidak pas pada lubangnya. Sakit dan perih itu langsung datang bersamaan. Kacau, pikiranku benar-benar kacau sekarang. Seluruh tubuh terasa lemas, tak ada daya untuk menopang kaki yang serasa melayang. Terrnyata ini adalah efek dahsyat yang ditimbulkan, kepercayaan yang selama tujuh tahun kusematkan luruh bersama dengan pengkhianatan besar yang dia lakukan. Apa yang kurang? Apa yang salah? Padahal sebagai seorang istri aku tak pernah menuntut banyak, tak pernah meminta sesuatu diluar kemampuan A Miftah? Kenapa hanya wanita yang harus dituntun untuk sempurna? Kenapa lelaki tak pernah bersyukur dengan apa yang dia punya? Kuempaskan tubuh ke atas kasur, menangis sejadinya. Setidaknya aku butuh waktu untuk meluapkan semuanya sebelum berpikir jernih dan mulai mencari solusi atas semua permasalahan ini. Ternyata benar, menjadi istri yang baik, penurut, dan tak pernah menuntut tak
Aku berlalu meninggalkan A Miftah yang masih terpaku di tempat, menghampiri kamar Akbar yang letaknya bersebelahan. Kuraih long cardi yang tergantung untuk menutup baju dinas malam yang memang sengaja digunakan untuk menyambutnya pulang. Setelah itu memilih tidur di samping putraku yang sudah lebih dulu lelap. Suara benda yang menghantam tembok terdengar. Pintu yang dibanting keras pun menyusul setelahnya. Kupejamkan mata tak peduli apa yang terjadi di sana. Sudah cukup aku diam, sudah cukup aku sabar. Untuk apa jadi istri pengertian kalau suaminya kurang ajar?Mungkin A Miftah tak sadar, bahwa kucing jinak juga bisa mengigit pada sang pemilik, bilamana ekornya diinjak. ***Subuh menjelang, aku beranjak bangun. Menuju kamar mandi untuk mengambil wudu kemudian menunaikan salat. Setelah mencuci beberapa buah piring dan gelas kotor, kulanjutkan memasak nasi, lalu membersihkan rumah serta menyapu halaman. Tak terasa waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Terlihat handle pintu kamar bergera
Setelah pertengkaran itu aku dan A Miftah sama-sama tak saling bicara. Weekend yang harusnya menjadi momen keluarga malah kami gunakan untuk memperdebatkan masalah yang seharusnya bisa dengan mudah kita selesaikan bersama. Semua ini jelas tak akan terjadi kalau bukan karena dia yang memulai, juga wanita yang disembunyikannya di kontrakan. Aku lupa kapan terakhir kali hal seperti ini terjadi. Mungkin dua atau tiga tahun lalu, itu pun dia langsung memelukku hingga pertengkaran kami tak berlarut panjang. Ternyata wanita muda itu membawa pengaruh besar pada perubahan diri A Miftah. Nyaris tak kutemukan sosok yang dulu pengertian, perhatian, dan penyayang. Sejak kepulangannya kemarin malam, sampai siang ini aku bahkan tak mendapatinya menghampiri Akbar, padahal sudah lebih dari sebulan mereka tak berjumpa."Bun, A-ah, Bun." Akbar menarik-narik ujung dasterku saat kami tengah menonton TV di ruang tamu, telunjuk mungilnya terulur ke arah kamar di mana A Miftah keluar dengan kaos dan celana
"Apa kabar, Tik? Udah lama, ya." Lelaki dalam setelan formal itu mengulurkan tangan. Kutatap lekat wajahnya yang nyaris tak berubah sejak terakhir kali kita berjumpa, kemudian menjabat tangannya.Andri Septian, dia adalah kakak kelasku semasa SMA, hubungan kami dekat sejak tergabung dalam kegiatan OSIS sekolah.Sampai lulus pun komunikasi kami tak pernah terputus, beberapa kali berganti nomor selalu ada sosial media yang menghubungkan kita. Lima tahun lalu dia menikah dengan sahabatku Nia, kebetulan aku yang mengenalkan mereka. Sejak saat itulah komunikasi kami terputus sebab Nia bisa dibilang tipe yang pencemburu berat, padahal jelas tak pernah ada hubungan apa pun di antara kita. Dalam lima tahun bisa terhitung berapa kali mereka mengunjungi kami. Saat Akbar lahir, khitan, dan terakhir syukuran milad yang ketiga.Sebenarnya seminggu lalu aku sempat ragu untuk menghubunginya. Walaupun niatku murni hanya untuk menanyakan tentang A Miftah. Karena sejak masuk ke Gema Toserba, A Andrilah
Senja berpendar menutup awan pekat yang semula menggumpal, malam beranjak kian dekat saat suara Azan Maghrib terdengar. Ketika kupikir hujan akan turun membawa serta perasaan dongkol yang bercokol, rupanya guntur datang hanya untuk mempermainkan, lalu pergi meninggalkan resah yang sulit digambarkan.Ibu mertua dan adik iparku masih terjaga. Kebungkaman mereka cukup menjelaskan kebingungan keduanya akan perubahan sikapku yang tiba-tiba. Keheningan panjang itu cukup untuk membuat A Miftah mematung dengan perasaan yang entah. Dua kantong kresek besar yang dia bawa entah sejak kapan sudah diletakkan di atas meja."Istri kamu kenapa, sih?" Mama bertanya setelah sekian lama. Wanita paruh baya yang menyemir rambutnya menjadi kemerahaan itu mendelik dengan bibir mencebik. Sungguh ekspresi yang sama sekali tak pantas untuk ditunjukkan seorang mertua."Nggak apa-apa, Tika kayaknya cuma kecapean aja. Mending Mama sama Dini pulang dulu! Persediaan pangan udah Miftah beliin tadi sekalian. Nanti ua
"Neng ...." Sentuhan lembut seringan bulu membuyarkan semua lamunan yang sempat memporak-porandakan hati dan pikiran. Tanpa sadar kami sudah berhenti di depan sebuah komedi putar. "Akbar mau naik ini katanya."Aku hanya mengangguk mengiyakan. Setelahnya A Miftah pergi ke loker tiket, lalu kembali untuk memberikannya pada petugas. Terlihat Akbar cukup antusias saat memilih duduk di sebuah Kuda Zebra. Tangannya melambai pada kami, ketika mesin mulai menyala, dan komedi putar dijalankan.Tanpa sadar senyumku tersungging. Sebuah kebahagiaan sederhana yang membuatku sesaat lupa akan beban berat yang sedang menimpa. Ternyata memasang topeng tebal tak terlalu sulit bagiku yang sudah lama berteman dengan rasa sakit."Senin ini alhamdulillah A'a udah dipindahkan ke Subang. Jadi, A'a bisa lebih sering pulang, dan kita bertiga bisa lebih gampang menghabiskan waktu bersama, kayak dulu."Aku tertegun sejenak, lalu menoleh menatap manik mata pekat yang dulu selalu berhasil membuatku terpesona. Namu
"Motor kita? Perhiasanku? A'a udah gila?!" Kusentak kedua tangannya, lalu berteriak tanpa sadar.Aku langsung berlari menuju lemari dan mengacak-acak isi pakaian sampai kutemukan perhiasan peninggalan ibu yang memang sengaja kusimpan di dalam satu kotak yang sama. Terdiri dari kalung, gelang, dan beberapa cincin yang bila ditotalkan berkisar 10 jutaan. Tubuhku langsung roboh ke lantai mendapati benda peninggalan yang mungkin tak akan dijual sudah raib dari jangkauan, hingga menyisakan kotak hitam beludru berbentuk hati."Neng, dengerin dulu!" Dia berusaha meraih tanganku. "A'a janji pasti bakal ganti, tapi nggak sekara--""Diem, Sialan!" Tatapan nyalangku sukses membuatnya terdiam. "Motor itu kubeli dengan hasil jerih payah sendiri, dan semua perhiasan yang kusimpan adalah peninggalan ibu. Sudah cukup kesabaranku menghadapi suami nggak tahu diri sepertimu, Miftah!"Pupil matanya melebar. Terkejut bukan main tentunya."Neng ....""Jangan karena alasan sebagai istri yang harus mengabdi
Berbagai kecamuk perasaan menghinggapi Tika saat dia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menuju ruang ICU. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan saat Bu Wulan mengatakan bahkan sudah berbulan-bulan Miftah menjalani pengobatan secara intensif setelah dokter mendiagnosis bahwa mantan suaminya itu mengidap Bronchitis, dan secara pribadi Bu Nur memohon padanya untuk menyampaikan pesan. Sebenarnya Tika sudah tak peduli dengan apa yang terjadi pada Miftah dan keluarganya, sebab tak ada lagi yang tersisa dari lelaki itu selain kenangan pahit yang masih kerap kali menjadi mimpi buruk di tiap tidurnya. Namun, saat Andri mengatakan bahwa mungkin itu adalah permintaan terakhir mantan suaminya, Tika benar-benar tak kuasa untuk menolaknya.Melihat seseorang hanya berdiri di depan pintu ruang ICU, sontak Bu Nur bangkit setelah menyuapi putranya yang sudah tak bisa melakukan apa-apa. "Makasih, makasih banyak udah sudi datang, Tik. Dua hari ini Miftah nggak mau makan
Tak ada luka yang benar-benar abadi, waktu selalu mampu memperbaiki situasi, meski yang tersisa dari memori kerapkali kali masih menyisakan sedikit nyeri dalam hati. Awan mendung tak berarti hujan turun, tapi Matahari selalu adil menerangi setiap inti bumi. Setiap duka pasti ada suka, setiap kehilangan pasti ada penggantinya, dan setiap yang ditanam pasti akan ada yang dituai, karena begitulah kehidupan berjalan.Hari berganti, bulan-bulan dilewati. Demi menjaga kewarasan diri dari bayang-bayang masa lalu, Andri bersedia mengikuti sang istri untuk menetap di Cianjur. Meski harus pulang-pergi Bandung-Cianjur seminggu dua kali, meski rindu kerap kali menghinggapi. Lelaki itu tak peduli dengan jarak, selama mereka bisa terus bersama sampai akhir hayat nanti. Setelah apa yang terjadi pada Tika pun Ahmad, perempuan itu seolah tak mau tahu lagi tentang mantan suam dan keluarga benalunya itu. Dia memilih melanjutkan usaha dari modal yang ditinggalkan orang tua, serta menata hidupnya kembali
Ternyata pribahasa darah lebih kental daripada air itu benar adanya. Ikatan persaudaraan yang erat membuat Tika tak kuasa menahan tangis, lelaki itu bersimpuh, menangis meraung di kaki Tika, dan mengakui bahwa dia memang telah salah selama empat tahun ini. Mengikuti hawa nafsu, tak peduli nasihat kakak kandung sendiri, terjebak dalam pernikahan dengan perempuan yang ternyata hanya ingin memanfaatkan harta bendanya. Madu yang dia tuang ternyata dibalas racun mematikan. Empat tahun menampung keluarga benalu membuat Ahmad benar-benar berhasil mempelajari banyak hal. Belajar tentang kegagalan Tika juga dirinya sekarang. "Maaf, hampura, Teh. Hampura Ahmad khilaf!" Ahmad masih bersimpuh di lantai memeluk kaki Tika. Sementara yang bersangkutan tampak masih shock setelah mendengar pengakuan sang adik tentang kondisi kehidupannya pasca pernikahan dengan Dini. Tika benar-benar tak menyangka, ternyata di balik kebungkaman, di balik komunikasi yang nyaris terputus selama empat tahun ini ada
Tok! Tok! Tok! "Buka pintunya, Nia! Jangan bikin papa hilang kesabaran, ya."Suara ketukan yang sudah berubah jadi gedoran itu terdengar di salah satu kamar dalam rumah milik mantan pejabat yang cukup disegani pada masanya. Sudah tiga hari sejak pria paruh baya tersebut mendapati sang putri mengurung diri. Hari ini kesabarannya sudah benar-benar habis. Dia seolah sudah lelah menghadapi satu-satunya putri yang tersisa, karena terlalu terobsesi pada mantan suaminya, Andri. "Kalau nggak dibuka juga papa dobrak pintunya, ya, Nia!"" .... " Tetap tak ada jawaban dari dalam. Hal itu membuatnya mulai dilingkupi perasaan khawatir."Dang, bawa kunci serep di gudang. Si Nia nggak mau keluar ini." Lelah menunggu dan penasaran dengan apa yang membuat putrinya mengurung diri sampai tiga hari. Papa Nia akhirnya meminta salah seorang tukang di rumahnya untuk mengambil kunci serep. Hanya beberapa menit setelah diminta, sopir yang juga tukang kebun itu datang membawa kunci cadangan. "Sial, nyang
Miftah kembali ke rumah saat dia melihat ibunya duduk mematung di atas kursi. Sementara Dini menangis meraung di kakinya. Syakil dan Bila yang melihat itu hanya bisa menatap kehadiran mereka dengan penuh kebingungan. Sebenarnya Bu Nur sudah tahu kalau Syakil adalah anak dari Rifky, mantan kekasih putrinya. Namun, dia tak menyangka kalau Dini masih menjalin hubungan dengan montir bengkel itu. Bertahun-tahun, di belakang Ahmad. Bahkan bisa dipastikan anak yang Dini kandung sekarang juga berasal dari benih Rifky. Sekali lagi kebodohan anaknya berhasil menjerumuskan. Akankah kesenangan yang sudah didapatkan selama empat tahun ini akan dicabut kembali? "Ada apa ini?" Miftah akhirnya bertanya setelah lama membaca situasi. Melihat tangisan adiknya serta beberapa barang yang dia bawa serta ke mari. Miftah mulai menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi antara rumah tangga Dini dan Ahmad. Mendengar kehadiran kakaknya, Dini langsung memburu Miftah, lalu bersimpuh di kakinya. "Tolongin Dini, A
Tika duduk bersedekap di atas sajadah. Mukena membalut tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Berbagai doa dia panjatkan sejak Magrib tadi. Memohon tak henti agar tak ada bala yang mendekati.Ketakutan mulai menyelimuti. Padahal selama empat tahun dilewati dia tak pernah merasakan hal semacam ini. Entah kenapa, selama Miftah dan keluarganya masih berpijak di bumi yang sama. Tika merasa tak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan lagi. "Buna ...." Panggilan pelan dari suara yang lembut itu menginterupsi zikirnya. Sejenak Tika seka air mata dengan mukena, lalu beralih pada Zahra yang malam ini dia tempatkan di satu kamar bersamanya. "Ya, Sayang.""Om gateng tadi siapa, Buna? Kenapa dia bilang Ayah Zahla."Tika terdiam sejenak dengan kebingungan yang menggelayutinya. Setelahnya napas panjang dia hela. "Bukan siapa-siapa, cuma orang iseng aja." Masih terbalut mukena Tika bangkit, lantas berjalan menghampiri Zahra yang duduk di tepi ranjang. "Kalo bukan siapa-siapa. Kenapa Buna mara
" ... aku muak, Miftah. Aku jijik!"Masih berdiri mematung di tempatnya. Kalimat itu terus menerus ternging-ngiang di telinga Miftah. Bahkan Berputar-putar di kepalanya. Ada yang menghantam dada saat melihat lirih suara sang mantan istri memaki, memerah matanya menahan murka dan amarah. Dan anehnya Miftah tak merasa tersinggung saat dia dihina dan dicaci-maki bahkan dilempar uang ke depan muka. Yang terasa justru sesak, sesak yang dirasa saat melihat sedemikian dalam Tika membenci, karena luka yang sudah dia torehkan selama ini. Apakah empat tahun di balik jeruji besi tanpa disadari justru membuatnya introspeksi? Atau ceramah serta nasehat yang dicekokki para pemuka agama yang datang ke lapas, membuatnya cukup mawas diri? Bahkan saat dia tak sengaja membunuh Desi atau mencaci-maki Tika tentang anak yang dikandungnya ia tak pernah merasa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana dengan empat tahun rencana matang yang sudah dia susun bersama Nia?"Pergi!" Jeritan itu menarik kesada
"Nggak apa-apa, kalau kita ketahuan. Aku yang bakal tanggung jawab," yakinnya. "Halah tanggung jawab apaan. Waktu aku hamil Syakil aja kamu pergi." "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri. Lagian saat itu aku belum ada kerjaan. Buktinya aku balik, tapi kamu malah milih nikah sama cowok yang nggak kamu cintai!" Dini memalingkan muka. Matanya kembali mengembun. "Karena aku nggak bisa hidup miskin, Ky. Aku nggak mau. Cuman dengan dia aku bisa hidup enak. Cuma dengan dia masa depan Syakil terjamin." Air mata Dini kembali tumpah. "Kalau kamu udah ngerasa bahagia, kenapa masih hubungin aku? Bahkan selama setahun ini kamu selalu datang saat butuh. Aku ngerasa kayak dimanfaatin. Padahal aku tulus cinta sama kamu."Dini menarik napas panjang. Dia menatap mata lelaki yang sampai detik ini masih merajai hati. "Karena cuma kamu yang aku cinta. Karena cuma kamu yang bisa menyenangkanku. Si Ahmad payah, Ky. Dia nggak pernah bisa kasih kepuasan batin buat aku kayak kamu. Hubungan kita hambar,
"Eh, Mad!" "Reza!" Langkah Ahmad terhenti di ambang pintu keluar resto saat dia berpapasan dengan sosok yang dikenal. Lelaki bernama Reza Anugerah itu adalah teman seprofesi Ahmad di Pabrik Kahatex sebagai pengawas. Sudah lama sejak mereka tak pernah lagi bertemu, karena Reza resign hanya sebulan setelah Dini mengundurkan diri.Hal itu jelas semakin mematik rasa curiga Ahmad akan hubungan mereka berdua yang terjadi sebelum kehamilan Dini. Sudah empat tahun berlalu, tetap dia masih belum juga tahu ayah biologis dari anak yang selama ini tinggal bersamanya.Sebenarnya saat memutuskan menikahi wanita itu Ahmad sudah menerima, akan tetapi rasa penasaran itu kerap kali hinggap saat dia tak sengaja memerhatikan Syakil. Sebenarnya dari benih siapa dia berasal? Apa benar dari benih lelaki di hadapannya ini, seperti yang dia duga selama ini?"Hampura teu bisa datang pas hajat. Sumpah sabenerna mah urang teu nyangka maneh ngawin si Dini, Mad. (Maaf nggak bisa datang saat resepsi. Sumpah seb