"Neng ...." Sentuhan lembut seringan bulu membuyarkan semua lamunan yang sempat memporak-porandakan hati dan pikiran. Tanpa sadar kami sudah berhenti di depan sebuah komedi putar. "Akbar mau naik ini katanya."Aku hanya mengangguk mengiyakan. Setelahnya A Miftah pergi ke loker tiket, lalu kembali untuk memberikannya pada petugas. Terlihat Akbar cukup antusias saat memilih duduk di sebuah Kuda Zebra. Tangannya melambai pada kami, ketika mesin mulai menyala, dan komedi putar dijalankan.Tanpa sadar senyumku tersungging. Sebuah kebahagiaan sederhana yang membuatku sesaat lupa akan beban berat yang sedang menimpa. Ternyata memasang topeng tebal tak terlalu sulit bagiku yang sudah lama berteman dengan rasa sakit."Senin ini alhamdulillah A'a udah dipindahkan ke Subang. Jadi, A'a bisa lebih sering pulang, dan kita bertiga bisa lebih gampang menghabiskan waktu bersama, kayak dulu."Aku tertegun sejenak, lalu menoleh menatap manik mata pekat yang dulu selalu berhasil membuatku terpesona. Namu
"Motor kita? Perhiasanku? A'a udah gila?!" Kusentak kedua tangannya, lalu berteriak tanpa sadar.Aku langsung berlari menuju lemari dan mengacak-acak isi pakaian sampai kutemukan perhiasan peninggalan ibu yang memang sengaja kusimpan di dalam satu kotak yang sama. Terdiri dari kalung, gelang, dan beberapa cincin yang bila ditotalkan berkisar 10 jutaan. Tubuhku langsung roboh ke lantai mendapati benda peninggalan yang mungkin tak akan dijual sudah raib dari jangkauan, hingga menyisakan kotak hitam beludru berbentuk hati."Neng, dengerin dulu!" Dia berusaha meraih tanganku. "A'a janji pasti bakal ganti, tapi nggak sekara--""Diem, Sialan!" Tatapan nyalangku sukses membuatnya terdiam. "Motor itu kubeli dengan hasil jerih payah sendiri, dan semua perhiasan yang kusimpan adalah peninggalan ibu. Sudah cukup kesabaranku menghadapi suami nggak tahu diri sepertimu, Miftah!"Pupil matanya melebar. Terkejut bukan main tentunya."Neng ....""Jangan karena alasan sebagai istri yang harus mengabdi
Entah di mana lagi harus kusimpan semua rasa malu beserta semua rasa sakit yang menikam ulu, saat melihat lelaki itu berlalu membawa jalangnya pergi bersama mobil yang kami perjuangkan sama-sama. Diikuti dengan tatapan para tetangga yang menatapku dengan berbagai ekspresi berbeda. Ada yang menatap iba, merekam, bahkan terang-terangan mengolok-olok kedua belah belah pihak tanpa mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.Ternyata pondasi rumah tangga yang tujuh tahun kami bangun tak cukup kuat untuk menahannya tetap tinggal di sisi. Tujuh tahun kebersamaan tak berarti dengan kehadiran wanita yang baru-baru ini hadir dan menempati tahta tertinggi di hati A Miftah. Ternyata aku terlalu percaya diri ketika berpikir dia akan berlutut, lalu mengusir wanita itu pergi. Bahkan saat aku berteriak meminta keduanya pergi tak ada sedikit pun kata maaf yang terlontar dari mulutnya yang seringkali berkata manis tiap kali menginginkan sesuatu. "Neng!" Suara lirih itu membuyarkan semua lamunan. Kulihat Bu
"Teh!" Ahmad memanggilku yang sejak tadi hanya terbungkam sembari mengompres beberapa lebam di wajahnya. "Kalau teteh butuh waktu sendiri, Ahmad izin pulang!" sambungnya hati-hati."Nggak usah, Mad. Temenin teteh di sini. Soalnya pikiran teteh lagi kacau. Jadi, cuma pisau, gunting, sama baigon yang menarik saat ini."Mendengar itu Ahmad langsung menyambar gunting yang semula kugunakan untuk memotong plester, lalu dia sembunyikan di belakang tubuh.Beberapa saat hanyut dalam keheningan suara ponsel yang berdering di atas meja, menginterupsi kami. Nama Bi Tati tertera di layar. Sebelum pergi ke Cijerah aku memang sempat menitipkannya."Halo, assalamualaikum.""Wa'alaikumsallam. Ada apa, Bi.""Den Akbar, Neng!" Suara Bi Tati terdengar lirih dan panik."Akbar kenapa, Bi!" Aku langsung bangkit berdiri sembari mencengkeram ponsel di genggaman tangan."Tadi Den Akbar sempet tantrum habis itu malah demam tinggi, sampe kejang. Ini udah coba bibi kompres berkali-kali tapi belum turun juga. Mana
Selama dua puluh tujuh tahun hidup di dunia, aku baru merasakan yang namanya cobaan yang sebenar-benarnya. Akhirnya aku merasakan apa yang sering orang katakan sebagai titik terendah kehidupan ketika roda yang berputar telah sampai pada porosnya. Ketika air mata tak lagi berarti untuk menggambarkan apa yang dirasa, ketika teriakan tak cukup mampu meluapkan kecamuk emosi yang bercokol dalam dada.Sungguh, aku tak bisa menangis saat mengantar Akbar ke tempat peristirahan terakhirnya, ke sisi Tuhan, ke pelukan kakek dan neneknya. Kuikhlaskan dia meninggalkan dunia yang kejam ini, kuikhlaskan dia pergi tanpa pamit pada ayah, nenek, dan, tantenya yang sering kali tak menganggapnya ada. Bunda yakin, Nak. Tempat yang sudah Tuhan persiapkan di sana jauh lebih baik daripada di sini. Di sisi Bunda, dalam bayang-bayang Ayahmu yang lebih memilih pergi bersama istri barunya, bersama adikmu yang mungkin lebih mampu dia perhatikan sepenuh hati. Di sana kamu tak akan pernah merasa cemburu bila Ayahm
"Percaya, deh, Tik. Kamu itu beruntung. Selain ganteng Miftah juga perhatian dan pekerja keras. Kebanyakan laki yang modal tampang, nggak mau kerja, kadang cuma numpang idup sama bininya yang lebih mapan."Aku hanya bisa tertawa mengingat kalimat yang seringkali teman-temanku ucapkan tiap kali ada kesempatan. Setelah apa yang terjadi masihkah mereka berkata demikian atau justru berbalik merutuki?Terkadang lebih mudah mengomentari daripada melihatnya langsung dari dua sisi. Memang lebih mudah mengatur binatang liar, daripada menahan mulut-mulut manusia agar tak berkata yang mampu menyakiti hati."Minggu ini katanya Neng ada reuni? A'a ikut, ya. Siapa tahu kamu butuh baby sitter buat ngurusin Akbar kalau lagi ngobrol sama temen-temen.""Neng, A'a liat ada undangan acara di kecamatan, kok nggak bilang? Kan, kita bisa berangkat bareng."Sekarang aku tahu alasan tiap dia semangat mengikuti kegiatan yang sebenarnya malas untuk kuhadiri. Apalagi kalau bukan tebar pesona dan menjadi pusat pe
Di kampung, tempat pelosok yang jauh dari kota-kota besar, kekayaan bukan ditonjolkan dari seberapa banyak harta dan benda yang ditunjukkan ke publik. Rumah besar, mobil mewah, perhiasan yang berderet sampai sikut, atau pakaian bagus yang selalu berganti tiap pergi. Memang tidak semua, tapi kebanyakan yang mengedepan gengsi, justru mereka yang perekomiannya pas-pasan, bergaya dengan cara berutang, lalu memamerkannya sebagai bentuk kebahagian diri sendiri, padahal ada hal lebih penting yang seharusnya diutamakan.Cianjur, adalah kota kelahiranku dan Ahmad, tempat kami dikenal sebagai cucu seorang juragan beras dengan luas sawah mencakup dua hektare. Panen melimpah, tiap tiga bulan sekali yang selalu menghasilkan beras dengan kualitas tinggi yang sering kali diekspor ke luar negeri.Selain sawah, investasi yang Abah gunakan juga mencakup jual beli tanah, juga kontrakan. Ibu adalah satu-satunya anak Abah. Otomatis semua aset yang dimilikinya jatuh ke tangan ibu, sebelum akhirnya diturun
Kuparkirkan motor di depan halaman rumah mertua yang sejak lama tak pernah kuinjak lagi. Ternyata dugaanku benar. Alih-alih mencari kontrakan lagi, mereka justru numpang di rumah Bu Nur.Mobil A Miftah rupanya juga masih terparkir di halaman. Besar kemungkinan dia sengaja mengambil cuti. Di samping rumah kulihat Bu Nur juga sedang mencuci beberapa pakaian bayi. Luar biasa, aku tak ingat dulu dia pernah menyentuh sehelai pun pakaian Akbar, setelah lahir.Sebelum sempat melangkahkan kaki, lebih dulu kulihat pintu rumah dibuka dari dalam. A Miftah keluar dengan kaus putih lusuh dan celana boxer kesayangannya yang biasa selalu rapi, karena rutin kusetrika, tapi kini terlihat kusut masai. Dia terlihat menggendong bayi yang baru berumur sepuluh hari untuk kemudian menjemurnya di terik matahari pagi.Pemandangan macam apa ini? Saat ayah dan mertua mengurus bayi, ibunya malah kelayapan di restoran."Tika." Tatapan kami tiba-tiba bertemu. Dia terlihat sedikit malu, hingga menarik diri. "Mau a
Berbagai kecamuk perasaan menghinggapi Tika saat dia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menuju ruang ICU. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan saat Bu Wulan mengatakan bahkan sudah berbulan-bulan Miftah menjalani pengobatan secara intensif setelah dokter mendiagnosis bahwa mantan suaminya itu mengidap Bronchitis, dan secara pribadi Bu Nur memohon padanya untuk menyampaikan pesan. Sebenarnya Tika sudah tak peduli dengan apa yang terjadi pada Miftah dan keluarganya, sebab tak ada lagi yang tersisa dari lelaki itu selain kenangan pahit yang masih kerap kali menjadi mimpi buruk di tiap tidurnya. Namun, saat Andri mengatakan bahwa mungkin itu adalah permintaan terakhir mantan suaminya, Tika benar-benar tak kuasa untuk menolaknya.Melihat seseorang hanya berdiri di depan pintu ruang ICU, sontak Bu Nur bangkit setelah menyuapi putranya yang sudah tak bisa melakukan apa-apa. "Makasih, makasih banyak udah sudi datang, Tik. Dua hari ini Miftah nggak mau makan
Tak ada luka yang benar-benar abadi, waktu selalu mampu memperbaiki situasi, meski yang tersisa dari memori kerapkali kali masih menyisakan sedikit nyeri dalam hati. Awan mendung tak berarti hujan turun, tapi Matahari selalu adil menerangi setiap inti bumi. Setiap duka pasti ada suka, setiap kehilangan pasti ada penggantinya, dan setiap yang ditanam pasti akan ada yang dituai, karena begitulah kehidupan berjalan.Hari berganti, bulan-bulan dilewati. Demi menjaga kewarasan diri dari bayang-bayang masa lalu, Andri bersedia mengikuti sang istri untuk menetap di Cianjur. Meski harus pulang-pergi Bandung-Cianjur seminggu dua kali, meski rindu kerap kali menghinggapi. Lelaki itu tak peduli dengan jarak, selama mereka bisa terus bersama sampai akhir hayat nanti. Setelah apa yang terjadi pada Tika pun Ahmad, perempuan itu seolah tak mau tahu lagi tentang mantan suam dan keluarga benalunya itu. Dia memilih melanjutkan usaha dari modal yang ditinggalkan orang tua, serta menata hidupnya kembali
Ternyata pribahasa darah lebih kental daripada air itu benar adanya. Ikatan persaudaraan yang erat membuat Tika tak kuasa menahan tangis, lelaki itu bersimpuh, menangis meraung di kaki Tika, dan mengakui bahwa dia memang telah salah selama empat tahun ini. Mengikuti hawa nafsu, tak peduli nasihat kakak kandung sendiri, terjebak dalam pernikahan dengan perempuan yang ternyata hanya ingin memanfaatkan harta bendanya. Madu yang dia tuang ternyata dibalas racun mematikan. Empat tahun menampung keluarga benalu membuat Ahmad benar-benar berhasil mempelajari banyak hal. Belajar tentang kegagalan Tika juga dirinya sekarang. "Maaf, hampura, Teh. Hampura Ahmad khilaf!" Ahmad masih bersimpuh di lantai memeluk kaki Tika. Sementara yang bersangkutan tampak masih shock setelah mendengar pengakuan sang adik tentang kondisi kehidupannya pasca pernikahan dengan Dini. Tika benar-benar tak menyangka, ternyata di balik kebungkaman, di balik komunikasi yang nyaris terputus selama empat tahun ini ada
Tok! Tok! Tok! "Buka pintunya, Nia! Jangan bikin papa hilang kesabaran, ya."Suara ketukan yang sudah berubah jadi gedoran itu terdengar di salah satu kamar dalam rumah milik mantan pejabat yang cukup disegani pada masanya. Sudah tiga hari sejak pria paruh baya tersebut mendapati sang putri mengurung diri. Hari ini kesabarannya sudah benar-benar habis. Dia seolah sudah lelah menghadapi satu-satunya putri yang tersisa, karena terlalu terobsesi pada mantan suaminya, Andri. "Kalau nggak dibuka juga papa dobrak pintunya, ya, Nia!"" .... " Tetap tak ada jawaban dari dalam. Hal itu membuatnya mulai dilingkupi perasaan khawatir."Dang, bawa kunci serep di gudang. Si Nia nggak mau keluar ini." Lelah menunggu dan penasaran dengan apa yang membuat putrinya mengurung diri sampai tiga hari. Papa Nia akhirnya meminta salah seorang tukang di rumahnya untuk mengambil kunci serep. Hanya beberapa menit setelah diminta, sopir yang juga tukang kebun itu datang membawa kunci cadangan. "Sial, nyang
Miftah kembali ke rumah saat dia melihat ibunya duduk mematung di atas kursi. Sementara Dini menangis meraung di kakinya. Syakil dan Bila yang melihat itu hanya bisa menatap kehadiran mereka dengan penuh kebingungan. Sebenarnya Bu Nur sudah tahu kalau Syakil adalah anak dari Rifky, mantan kekasih putrinya. Namun, dia tak menyangka kalau Dini masih menjalin hubungan dengan montir bengkel itu. Bertahun-tahun, di belakang Ahmad. Bahkan bisa dipastikan anak yang Dini kandung sekarang juga berasal dari benih Rifky. Sekali lagi kebodohan anaknya berhasil menjerumuskan. Akankah kesenangan yang sudah didapatkan selama empat tahun ini akan dicabut kembali? "Ada apa ini?" Miftah akhirnya bertanya setelah lama membaca situasi. Melihat tangisan adiknya serta beberapa barang yang dia bawa serta ke mari. Miftah mulai menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi antara rumah tangga Dini dan Ahmad. Mendengar kehadiran kakaknya, Dini langsung memburu Miftah, lalu bersimpuh di kakinya. "Tolongin Dini, A
Tika duduk bersedekap di atas sajadah. Mukena membalut tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Berbagai doa dia panjatkan sejak Magrib tadi. Memohon tak henti agar tak ada bala yang mendekati.Ketakutan mulai menyelimuti. Padahal selama empat tahun dilewati dia tak pernah merasakan hal semacam ini. Entah kenapa, selama Miftah dan keluarganya masih berpijak di bumi yang sama. Tika merasa tak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan lagi. "Buna ...." Panggilan pelan dari suara yang lembut itu menginterupsi zikirnya. Sejenak Tika seka air mata dengan mukena, lalu beralih pada Zahra yang malam ini dia tempatkan di satu kamar bersamanya. "Ya, Sayang.""Om gateng tadi siapa, Buna? Kenapa dia bilang Ayah Zahla."Tika terdiam sejenak dengan kebingungan yang menggelayutinya. Setelahnya napas panjang dia hela. "Bukan siapa-siapa, cuma orang iseng aja." Masih terbalut mukena Tika bangkit, lantas berjalan menghampiri Zahra yang duduk di tepi ranjang. "Kalo bukan siapa-siapa. Kenapa Buna mara
" ... aku muak, Miftah. Aku jijik!"Masih berdiri mematung di tempatnya. Kalimat itu terus menerus ternging-ngiang di telinga Miftah. Bahkan Berputar-putar di kepalanya. Ada yang menghantam dada saat melihat lirih suara sang mantan istri memaki, memerah matanya menahan murka dan amarah. Dan anehnya Miftah tak merasa tersinggung saat dia dihina dan dicaci-maki bahkan dilempar uang ke depan muka. Yang terasa justru sesak, sesak yang dirasa saat melihat sedemikian dalam Tika membenci, karena luka yang sudah dia torehkan selama ini. Apakah empat tahun di balik jeruji besi tanpa disadari justru membuatnya introspeksi? Atau ceramah serta nasehat yang dicekokki para pemuka agama yang datang ke lapas, membuatnya cukup mawas diri? Bahkan saat dia tak sengaja membunuh Desi atau mencaci-maki Tika tentang anak yang dikandungnya ia tak pernah merasa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana dengan empat tahun rencana matang yang sudah dia susun bersama Nia?"Pergi!" Jeritan itu menarik kesada
"Nggak apa-apa, kalau kita ketahuan. Aku yang bakal tanggung jawab," yakinnya. "Halah tanggung jawab apaan. Waktu aku hamil Syakil aja kamu pergi." "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri. Lagian saat itu aku belum ada kerjaan. Buktinya aku balik, tapi kamu malah milih nikah sama cowok yang nggak kamu cintai!" Dini memalingkan muka. Matanya kembali mengembun. "Karena aku nggak bisa hidup miskin, Ky. Aku nggak mau. Cuman dengan dia aku bisa hidup enak. Cuma dengan dia masa depan Syakil terjamin." Air mata Dini kembali tumpah. "Kalau kamu udah ngerasa bahagia, kenapa masih hubungin aku? Bahkan selama setahun ini kamu selalu datang saat butuh. Aku ngerasa kayak dimanfaatin. Padahal aku tulus cinta sama kamu."Dini menarik napas panjang. Dia menatap mata lelaki yang sampai detik ini masih merajai hati. "Karena cuma kamu yang aku cinta. Karena cuma kamu yang bisa menyenangkanku. Si Ahmad payah, Ky. Dia nggak pernah bisa kasih kepuasan batin buat aku kayak kamu. Hubungan kita hambar,
"Eh, Mad!" "Reza!" Langkah Ahmad terhenti di ambang pintu keluar resto saat dia berpapasan dengan sosok yang dikenal. Lelaki bernama Reza Anugerah itu adalah teman seprofesi Ahmad di Pabrik Kahatex sebagai pengawas. Sudah lama sejak mereka tak pernah lagi bertemu, karena Reza resign hanya sebulan setelah Dini mengundurkan diri.Hal itu jelas semakin mematik rasa curiga Ahmad akan hubungan mereka berdua yang terjadi sebelum kehamilan Dini. Sudah empat tahun berlalu, tetap dia masih belum juga tahu ayah biologis dari anak yang selama ini tinggal bersamanya.Sebenarnya saat memutuskan menikahi wanita itu Ahmad sudah menerima, akan tetapi rasa penasaran itu kerap kali hinggap saat dia tak sengaja memerhatikan Syakil. Sebenarnya dari benih siapa dia berasal? Apa benar dari benih lelaki di hadapannya ini, seperti yang dia duga selama ini?"Hampura teu bisa datang pas hajat. Sumpah sabenerna mah urang teu nyangka maneh ngawin si Dini, Mad. (Maaf nggak bisa datang saat resepsi. Sumpah seb