Aku berlalu meninggalkan A Miftah yang masih terpaku di tempat, menghampiri kamar Akbar yang letaknya bersebelahan. Kuraih long cardi yang tergantung untuk menutup baju dinas malam yang memang sengaja digunakan untuk menyambutnya pulang. Setelah itu memilih tidur di samping putraku yang sudah lebih dulu lelap.
Suara benda yang menghantam tembok terdengar. Pintu yang dibanting keras pun menyusul setelahnya. Kupejamkan mata tak peduli apa yang terjadi di sana.Sudah cukup aku diam, sudah cukup aku sabar. Untuk apa jadi istri pengertian kalau suaminya kurang ajar?Mungkin A Miftah tak sadar, bahwa kucing jinak juga bisa mengigit pada sang pemilik, bilamana ekornya diinjak.***Subuh menjelang, aku beranjak bangun. Menuju kamar mandi untuk mengambil wudu kemudian menunaikan salat. Setelah mencuci beberapa buah piring dan gelas kotor, kulanjutkan memasak nasi, lalu membersihkan rumah serta menyapu halaman.Tak terasa waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Terlihat handle pintu kamar bergerak dan A Miftah keluar dari dalamnya masih dalam keadaan sarungan."Neng, totebag yang A'a bawa kenapa masih belum disentuh? Kok, nggak ngerhargain, sih kamu! Padahal tas itu sengaja A'a beli dari hasil nyisihin gaji, harganya setengah juta!" Sedikit membanting dia meletakkan totebag sedang yang dibawa semalam di atas meja makan yang tengah aku bersihkan, di hadapan.Aku menoleh, mengernyitkan dahi kemudian merogoh tas yang dia katakan seharga 500-an itu."Oh, ini buat aku?" Kubekap mulut berpura-pura terkejut sekaligus senang. "Kirain buat Mama atau siapa ... gitu. Ma-ka-sih, ya, A. Ya, walaupun aku udah punya yang hampir sama dan harganya betulan setengah juta." Kutekankan kata terima kasih yang membuatnya berjengit jengkel."Kamu ngeraguin A'a? Itu beneran lima ratus ribu, loh?" Alis tebalnya menyatu. Kentara sekali dia menahan kesal."Oh, ya? Tapi kenapa dibandrolnya cuma 189K? Kalau beli di Andir ini bahkan masih bisa ditawar seratus lima puluh ribu. Sebentar, biar aku tunjukkin yang harganya beneran setengah juta." Aku berlalu ke kamar. Lalu kembali dengan tas yang modelnya hampir sama dengan yang A Miftah bawa, tapi warna berbeda. "Yang ini aku beli di King, masih ada struknya."A Miftah menyambar tas tersebut, lalu meneliti struknya. "Oh, jadi sekarang kamu udah bisa foya-foya. Duit lima ratus ribu ludes cuma buat beli tas model beginian doang." Kuhela napas panjang. Lihat, betapa mudahnya dia memutarbalikkan keadaan seolah aku yang salah di sini."Maaf, A. Bukannya aku nggak ngehargain pemberian. Seharusnya A'a jujur aja dari awal, nggak perlu dikasih tahu nominalnya aku aja udah seneng. Kalau begini kentara banget sok pedulinya, padahal udah lebih lima tahun dari terakhir kali A'a beliin aku barang. Kalau begini aku jadi ngerasa A'a beliin barang cuma saat ada maunya, biar aku nggak ungkit tentang uang lima juta yang A'a pinjem seminggu lalu, kan?" Dia terbungkam dengan rahang mengatup rapat. Sepertinya apa yang kukatakan kembali tepat sasaran, ekspresinya sangat menunjukkan ketersinggungan. "Yang perlu ditekankan, mau aku foya-foya, beli barang-barang mahal, atau lain-lain. Aku pake duit sendiri, nggak pernah pake duit A'a. Kalau boleh jujur, duit yang A'a kasih bahkan nggak cukup buat nutup biaya sehari-hari. Kita punya setoran, terus anak spesial yang harus rutin dibawa ke terapis. Dari mana nutup semua itu kalau bukan dari gajiku!"Untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun pernikahan, aku mengungkit hal yang sebenarnya ikhlas kulakukan. Selama tujuh tahun aku bahkan tak henti bersyukur atas nafkah yang dia berikan berapa pun nominalnya. Namun, karena sikapnya mulai kurang ajar, tak ada lagi pilihan selain menyerang mentalnya.Lelaki memiliki harga diri yang tinggi, aku yakin setegas-tegasnya mereka, tetap tak akan berkutik bila sudah disinggung prihal penghasilan....Bersambung.Setelah pertengkaran itu aku dan A Miftah sama-sama tak saling bicara. Weekend yang harusnya menjadi momen keluarga malah kami gunakan untuk memperdebatkan masalah yang seharusnya bisa dengan mudah kita selesaikan bersama. Semua ini jelas tak akan terjadi kalau bukan karena dia yang memulai, juga wanita yang disembunyikannya di kontrakan. Aku lupa kapan terakhir kali hal seperti ini terjadi. Mungkin dua atau tiga tahun lalu, itu pun dia langsung memelukku hingga pertengkaran kami tak berlarut panjang. Ternyata wanita muda itu membawa pengaruh besar pada perubahan diri A Miftah. Nyaris tak kutemukan sosok yang dulu pengertian, perhatian, dan penyayang. Sejak kepulangannya kemarin malam, sampai siang ini aku bahkan tak mendapatinya menghampiri Akbar, padahal sudah lebih dari sebulan mereka tak berjumpa."Bun, A-ah, Bun." Akbar menarik-narik ujung dasterku saat kami tengah menonton TV di ruang tamu, telunjuk mungilnya terulur ke arah kamar di mana A Miftah keluar dengan kaos dan celana
"Apa kabar, Tik? Udah lama, ya." Lelaki dalam setelan formal itu mengulurkan tangan. Kutatap lekat wajahnya yang nyaris tak berubah sejak terakhir kali kita berjumpa, kemudian menjabat tangannya.Andri Septian, dia adalah kakak kelasku semasa SMA, hubungan kami dekat sejak tergabung dalam kegiatan OSIS sekolah.Sampai lulus pun komunikasi kami tak pernah terputus, beberapa kali berganti nomor selalu ada sosial media yang menghubungkan kita. Lima tahun lalu dia menikah dengan sahabatku Nia, kebetulan aku yang mengenalkan mereka. Sejak saat itulah komunikasi kami terputus sebab Nia bisa dibilang tipe yang pencemburu berat, padahal jelas tak pernah ada hubungan apa pun di antara kita. Dalam lima tahun bisa terhitung berapa kali mereka mengunjungi kami. Saat Akbar lahir, khitan, dan terakhir syukuran milad yang ketiga.Sebenarnya seminggu lalu aku sempat ragu untuk menghubunginya. Walaupun niatku murni hanya untuk menanyakan tentang A Miftah. Karena sejak masuk ke Gema Toserba, A Andrilah
Senja berpendar menutup awan pekat yang semula menggumpal, malam beranjak kian dekat saat suara Azan Maghrib terdengar. Ketika kupikir hujan akan turun membawa serta perasaan dongkol yang bercokol, rupanya guntur datang hanya untuk mempermainkan, lalu pergi meninggalkan resah yang sulit digambarkan.Ibu mertua dan adik iparku masih terjaga. Kebungkaman mereka cukup menjelaskan kebingungan keduanya akan perubahan sikapku yang tiba-tiba. Keheningan panjang itu cukup untuk membuat A Miftah mematung dengan perasaan yang entah. Dua kantong kresek besar yang dia bawa entah sejak kapan sudah diletakkan di atas meja."Istri kamu kenapa, sih?" Mama bertanya setelah sekian lama. Wanita paruh baya yang menyemir rambutnya menjadi kemerahaan itu mendelik dengan bibir mencebik. Sungguh ekspresi yang sama sekali tak pantas untuk ditunjukkan seorang mertua."Nggak apa-apa, Tika kayaknya cuma kecapean aja. Mending Mama sama Dini pulang dulu! Persediaan pangan udah Miftah beliin tadi sekalian. Nanti ua
"Neng ...." Sentuhan lembut seringan bulu membuyarkan semua lamunan yang sempat memporak-porandakan hati dan pikiran. Tanpa sadar kami sudah berhenti di depan sebuah komedi putar. "Akbar mau naik ini katanya."Aku hanya mengangguk mengiyakan. Setelahnya A Miftah pergi ke loker tiket, lalu kembali untuk memberikannya pada petugas. Terlihat Akbar cukup antusias saat memilih duduk di sebuah Kuda Zebra. Tangannya melambai pada kami, ketika mesin mulai menyala, dan komedi putar dijalankan.Tanpa sadar senyumku tersungging. Sebuah kebahagiaan sederhana yang membuatku sesaat lupa akan beban berat yang sedang menimpa. Ternyata memasang topeng tebal tak terlalu sulit bagiku yang sudah lama berteman dengan rasa sakit."Senin ini alhamdulillah A'a udah dipindahkan ke Subang. Jadi, A'a bisa lebih sering pulang, dan kita bertiga bisa lebih gampang menghabiskan waktu bersama, kayak dulu."Aku tertegun sejenak, lalu menoleh menatap manik mata pekat yang dulu selalu berhasil membuatku terpesona. Namu
"Motor kita? Perhiasanku? A'a udah gila?!" Kusentak kedua tangannya, lalu berteriak tanpa sadar.Aku langsung berlari menuju lemari dan mengacak-acak isi pakaian sampai kutemukan perhiasan peninggalan ibu yang memang sengaja kusimpan di dalam satu kotak yang sama. Terdiri dari kalung, gelang, dan beberapa cincin yang bila ditotalkan berkisar 10 jutaan. Tubuhku langsung roboh ke lantai mendapati benda peninggalan yang mungkin tak akan dijual sudah raib dari jangkauan, hingga menyisakan kotak hitam beludru berbentuk hati."Neng, dengerin dulu!" Dia berusaha meraih tanganku. "A'a janji pasti bakal ganti, tapi nggak sekara--""Diem, Sialan!" Tatapan nyalangku sukses membuatnya terdiam. "Motor itu kubeli dengan hasil jerih payah sendiri, dan semua perhiasan yang kusimpan adalah peninggalan ibu. Sudah cukup kesabaranku menghadapi suami nggak tahu diri sepertimu, Miftah!"Pupil matanya melebar. Terkejut bukan main tentunya."Neng ....""Jangan karena alasan sebagai istri yang harus mengabdi
Entah di mana lagi harus kusimpan semua rasa malu beserta semua rasa sakit yang menikam ulu, saat melihat lelaki itu berlalu membawa jalangnya pergi bersama mobil yang kami perjuangkan sama-sama. Diikuti dengan tatapan para tetangga yang menatapku dengan berbagai ekspresi berbeda. Ada yang menatap iba, merekam, bahkan terang-terangan mengolok-olok kedua belah belah pihak tanpa mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.Ternyata pondasi rumah tangga yang tujuh tahun kami bangun tak cukup kuat untuk menahannya tetap tinggal di sisi. Tujuh tahun kebersamaan tak berarti dengan kehadiran wanita yang baru-baru ini hadir dan menempati tahta tertinggi di hati A Miftah. Ternyata aku terlalu percaya diri ketika berpikir dia akan berlutut, lalu mengusir wanita itu pergi. Bahkan saat aku berteriak meminta keduanya pergi tak ada sedikit pun kata maaf yang terlontar dari mulutnya yang seringkali berkata manis tiap kali menginginkan sesuatu. "Neng!" Suara lirih itu membuyarkan semua lamunan. Kulihat Bu
"Teh!" Ahmad memanggilku yang sejak tadi hanya terbungkam sembari mengompres beberapa lebam di wajahnya. "Kalau teteh butuh waktu sendiri, Ahmad izin pulang!" sambungnya hati-hati."Nggak usah, Mad. Temenin teteh di sini. Soalnya pikiran teteh lagi kacau. Jadi, cuma pisau, gunting, sama baigon yang menarik saat ini."Mendengar itu Ahmad langsung menyambar gunting yang semula kugunakan untuk memotong plester, lalu dia sembunyikan di belakang tubuh.Beberapa saat hanyut dalam keheningan suara ponsel yang berdering di atas meja, menginterupsi kami. Nama Bi Tati tertera di layar. Sebelum pergi ke Cijerah aku memang sempat menitipkannya."Halo, assalamualaikum.""Wa'alaikumsallam. Ada apa, Bi.""Den Akbar, Neng!" Suara Bi Tati terdengar lirih dan panik."Akbar kenapa, Bi!" Aku langsung bangkit berdiri sembari mencengkeram ponsel di genggaman tangan."Tadi Den Akbar sempet tantrum habis itu malah demam tinggi, sampe kejang. Ini udah coba bibi kompres berkali-kali tapi belum turun juga. Mana
Selama dua puluh tujuh tahun hidup di dunia, aku baru merasakan yang namanya cobaan yang sebenar-benarnya. Akhirnya aku merasakan apa yang sering orang katakan sebagai titik terendah kehidupan ketika roda yang berputar telah sampai pada porosnya. Ketika air mata tak lagi berarti untuk menggambarkan apa yang dirasa, ketika teriakan tak cukup mampu meluapkan kecamuk emosi yang bercokol dalam dada.Sungguh, aku tak bisa menangis saat mengantar Akbar ke tempat peristirahan terakhirnya, ke sisi Tuhan, ke pelukan kakek dan neneknya. Kuikhlaskan dia meninggalkan dunia yang kejam ini, kuikhlaskan dia pergi tanpa pamit pada ayah, nenek, dan, tantenya yang sering kali tak menganggapnya ada. Bunda yakin, Nak. Tempat yang sudah Tuhan persiapkan di sana jauh lebih baik daripada di sini. Di sisi Bunda, dalam bayang-bayang Ayahmu yang lebih memilih pergi bersama istri barunya, bersama adikmu yang mungkin lebih mampu dia perhatikan sepenuh hati. Di sana kamu tak akan pernah merasa cemburu bila Ayahm
Berbagai kecamuk perasaan menghinggapi Tika saat dia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menuju ruang ICU. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan saat Bu Wulan mengatakan bahkan sudah berbulan-bulan Miftah menjalani pengobatan secara intensif setelah dokter mendiagnosis bahwa mantan suaminya itu mengidap Bronchitis, dan secara pribadi Bu Nur memohon padanya untuk menyampaikan pesan. Sebenarnya Tika sudah tak peduli dengan apa yang terjadi pada Miftah dan keluarganya, sebab tak ada lagi yang tersisa dari lelaki itu selain kenangan pahit yang masih kerap kali menjadi mimpi buruk di tiap tidurnya. Namun, saat Andri mengatakan bahwa mungkin itu adalah permintaan terakhir mantan suaminya, Tika benar-benar tak kuasa untuk menolaknya.Melihat seseorang hanya berdiri di depan pintu ruang ICU, sontak Bu Nur bangkit setelah menyuapi putranya yang sudah tak bisa melakukan apa-apa. "Makasih, makasih banyak udah sudi datang, Tik. Dua hari ini Miftah nggak mau makan
Tak ada luka yang benar-benar abadi, waktu selalu mampu memperbaiki situasi, meski yang tersisa dari memori kerapkali kali masih menyisakan sedikit nyeri dalam hati. Awan mendung tak berarti hujan turun, tapi Matahari selalu adil menerangi setiap inti bumi. Setiap duka pasti ada suka, setiap kehilangan pasti ada penggantinya, dan setiap yang ditanam pasti akan ada yang dituai, karena begitulah kehidupan berjalan.Hari berganti, bulan-bulan dilewati. Demi menjaga kewarasan diri dari bayang-bayang masa lalu, Andri bersedia mengikuti sang istri untuk menetap di Cianjur. Meski harus pulang-pergi Bandung-Cianjur seminggu dua kali, meski rindu kerap kali menghinggapi. Lelaki itu tak peduli dengan jarak, selama mereka bisa terus bersama sampai akhir hayat nanti. Setelah apa yang terjadi pada Tika pun Ahmad, perempuan itu seolah tak mau tahu lagi tentang mantan suam dan keluarga benalunya itu. Dia memilih melanjutkan usaha dari modal yang ditinggalkan orang tua, serta menata hidupnya kembali
Ternyata pribahasa darah lebih kental daripada air itu benar adanya. Ikatan persaudaraan yang erat membuat Tika tak kuasa menahan tangis, lelaki itu bersimpuh, menangis meraung di kaki Tika, dan mengakui bahwa dia memang telah salah selama empat tahun ini. Mengikuti hawa nafsu, tak peduli nasihat kakak kandung sendiri, terjebak dalam pernikahan dengan perempuan yang ternyata hanya ingin memanfaatkan harta bendanya. Madu yang dia tuang ternyata dibalas racun mematikan. Empat tahun menampung keluarga benalu membuat Ahmad benar-benar berhasil mempelajari banyak hal. Belajar tentang kegagalan Tika juga dirinya sekarang. "Maaf, hampura, Teh. Hampura Ahmad khilaf!" Ahmad masih bersimpuh di lantai memeluk kaki Tika. Sementara yang bersangkutan tampak masih shock setelah mendengar pengakuan sang adik tentang kondisi kehidupannya pasca pernikahan dengan Dini. Tika benar-benar tak menyangka, ternyata di balik kebungkaman, di balik komunikasi yang nyaris terputus selama empat tahun ini ada
Tok! Tok! Tok! "Buka pintunya, Nia! Jangan bikin papa hilang kesabaran, ya."Suara ketukan yang sudah berubah jadi gedoran itu terdengar di salah satu kamar dalam rumah milik mantan pejabat yang cukup disegani pada masanya. Sudah tiga hari sejak pria paruh baya tersebut mendapati sang putri mengurung diri. Hari ini kesabarannya sudah benar-benar habis. Dia seolah sudah lelah menghadapi satu-satunya putri yang tersisa, karena terlalu terobsesi pada mantan suaminya, Andri. "Kalau nggak dibuka juga papa dobrak pintunya, ya, Nia!"" .... " Tetap tak ada jawaban dari dalam. Hal itu membuatnya mulai dilingkupi perasaan khawatir."Dang, bawa kunci serep di gudang. Si Nia nggak mau keluar ini." Lelah menunggu dan penasaran dengan apa yang membuat putrinya mengurung diri sampai tiga hari. Papa Nia akhirnya meminta salah seorang tukang di rumahnya untuk mengambil kunci serep. Hanya beberapa menit setelah diminta, sopir yang juga tukang kebun itu datang membawa kunci cadangan. "Sial, nyang
Miftah kembali ke rumah saat dia melihat ibunya duduk mematung di atas kursi. Sementara Dini menangis meraung di kakinya. Syakil dan Bila yang melihat itu hanya bisa menatap kehadiran mereka dengan penuh kebingungan. Sebenarnya Bu Nur sudah tahu kalau Syakil adalah anak dari Rifky, mantan kekasih putrinya. Namun, dia tak menyangka kalau Dini masih menjalin hubungan dengan montir bengkel itu. Bertahun-tahun, di belakang Ahmad. Bahkan bisa dipastikan anak yang Dini kandung sekarang juga berasal dari benih Rifky. Sekali lagi kebodohan anaknya berhasil menjerumuskan. Akankah kesenangan yang sudah didapatkan selama empat tahun ini akan dicabut kembali? "Ada apa ini?" Miftah akhirnya bertanya setelah lama membaca situasi. Melihat tangisan adiknya serta beberapa barang yang dia bawa serta ke mari. Miftah mulai menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi antara rumah tangga Dini dan Ahmad. Mendengar kehadiran kakaknya, Dini langsung memburu Miftah, lalu bersimpuh di kakinya. "Tolongin Dini, A
Tika duduk bersedekap di atas sajadah. Mukena membalut tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Berbagai doa dia panjatkan sejak Magrib tadi. Memohon tak henti agar tak ada bala yang mendekati.Ketakutan mulai menyelimuti. Padahal selama empat tahun dilewati dia tak pernah merasakan hal semacam ini. Entah kenapa, selama Miftah dan keluarganya masih berpijak di bumi yang sama. Tika merasa tak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan lagi. "Buna ...." Panggilan pelan dari suara yang lembut itu menginterupsi zikirnya. Sejenak Tika seka air mata dengan mukena, lalu beralih pada Zahra yang malam ini dia tempatkan di satu kamar bersamanya. "Ya, Sayang.""Om gateng tadi siapa, Buna? Kenapa dia bilang Ayah Zahla."Tika terdiam sejenak dengan kebingungan yang menggelayutinya. Setelahnya napas panjang dia hela. "Bukan siapa-siapa, cuma orang iseng aja." Masih terbalut mukena Tika bangkit, lantas berjalan menghampiri Zahra yang duduk di tepi ranjang. "Kalo bukan siapa-siapa. Kenapa Buna mara
" ... aku muak, Miftah. Aku jijik!"Masih berdiri mematung di tempatnya. Kalimat itu terus menerus ternging-ngiang di telinga Miftah. Bahkan Berputar-putar di kepalanya. Ada yang menghantam dada saat melihat lirih suara sang mantan istri memaki, memerah matanya menahan murka dan amarah. Dan anehnya Miftah tak merasa tersinggung saat dia dihina dan dicaci-maki bahkan dilempar uang ke depan muka. Yang terasa justru sesak, sesak yang dirasa saat melihat sedemikian dalam Tika membenci, karena luka yang sudah dia torehkan selama ini. Apakah empat tahun di balik jeruji besi tanpa disadari justru membuatnya introspeksi? Atau ceramah serta nasehat yang dicekokki para pemuka agama yang datang ke lapas, membuatnya cukup mawas diri? Bahkan saat dia tak sengaja membunuh Desi atau mencaci-maki Tika tentang anak yang dikandungnya ia tak pernah merasa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana dengan empat tahun rencana matang yang sudah dia susun bersama Nia?"Pergi!" Jeritan itu menarik kesada
"Nggak apa-apa, kalau kita ketahuan. Aku yang bakal tanggung jawab," yakinnya. "Halah tanggung jawab apaan. Waktu aku hamil Syakil aja kamu pergi." "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri. Lagian saat itu aku belum ada kerjaan. Buktinya aku balik, tapi kamu malah milih nikah sama cowok yang nggak kamu cintai!" Dini memalingkan muka. Matanya kembali mengembun. "Karena aku nggak bisa hidup miskin, Ky. Aku nggak mau. Cuman dengan dia aku bisa hidup enak. Cuma dengan dia masa depan Syakil terjamin." Air mata Dini kembali tumpah. "Kalau kamu udah ngerasa bahagia, kenapa masih hubungin aku? Bahkan selama setahun ini kamu selalu datang saat butuh. Aku ngerasa kayak dimanfaatin. Padahal aku tulus cinta sama kamu."Dini menarik napas panjang. Dia menatap mata lelaki yang sampai detik ini masih merajai hati. "Karena cuma kamu yang aku cinta. Karena cuma kamu yang bisa menyenangkanku. Si Ahmad payah, Ky. Dia nggak pernah bisa kasih kepuasan batin buat aku kayak kamu. Hubungan kita hambar,
"Eh, Mad!" "Reza!" Langkah Ahmad terhenti di ambang pintu keluar resto saat dia berpapasan dengan sosok yang dikenal. Lelaki bernama Reza Anugerah itu adalah teman seprofesi Ahmad di Pabrik Kahatex sebagai pengawas. Sudah lama sejak mereka tak pernah lagi bertemu, karena Reza resign hanya sebulan setelah Dini mengundurkan diri.Hal itu jelas semakin mematik rasa curiga Ahmad akan hubungan mereka berdua yang terjadi sebelum kehamilan Dini. Sudah empat tahun berlalu, tetap dia masih belum juga tahu ayah biologis dari anak yang selama ini tinggal bersamanya.Sebenarnya saat memutuskan menikahi wanita itu Ahmad sudah menerima, akan tetapi rasa penasaran itu kerap kali hinggap saat dia tak sengaja memerhatikan Syakil. Sebenarnya dari benih siapa dia berasal? Apa benar dari benih lelaki di hadapannya ini, seperti yang dia duga selama ini?"Hampura teu bisa datang pas hajat. Sumpah sabenerna mah urang teu nyangka maneh ngawin si Dini, Mad. (Maaf nggak bisa datang saat resepsi. Sumpah seb