[ Neng, punya uang simpanan lima juta nggak? A'a baru dapet musibah kecolongan di toko. Mana saldo cuma tinggal tiga ratus ribu, ditambah akhir bulan lagi. ]
Kutatap layar ponsel dalam genggaman yang menunjukkan spam chat dari A Miftah, suamiku. Sudah dua hari sejak ponselnya tak bisa dihubungi, hari ini pesannya tiba-tiba datang tanpa menanyakan kabar dan langsung meminjam uang.[ Sebenarnya ada, tapi buat biaya check up, Akbar, A. Dua hari dia sempat demam, aku sampe harus ambil cuti, pulang-pergi sendiri nemenin anak kita yang sempet tantrum sampe bikin heboh di rumah sakit. ]Aku memang tak bisa bohong tentang apa pun pada A Miftah. Khususnya masalah keuangan. Kalau ada pasti aku katakan, begitu pun sebaliknya. Itulahh komitmen yang selalu aku jaga selama tujuh tahun pernikahan kita.Sejenak kutolehkan pandangan pada bocah berusia lima tahun yang tengah menonton tayangan kartun di TV, bersama pengasuhnya Bi Tati. Anak spesial kami, buah cintaku dan A Miftah yang kala itu selalu kami nanti. Dia hadir di tahun kedua pernikahan kami. Lahir dengan berat dan panjang di bawa rata-rata dan dalam keadaan down sindrom. Muhammad Akbar Maulana, meskipun terlahir spesial, bagiku dia tetap anugerah dari Tuhan yang tak terhingga. Perlu kesabaran extra dalam membimbing dan membesarkannya, apalagi dua tahun terakhir aku berjuang sendiri, ditengah kesibukan sebagai pegawai negeri di kecamatan Bandung Kulon, karena suamiku dipindahtugaskan dari Buah Batu ke Karawang sampai saat ini.A Miftah bekerja sebagai staf di sebuah Toserba yang cukup terkemuka, gajinya sekitar tujuh jutaan sebulan, selisih sedikit dengan gajiku sebagai PNS tingkat IV dengan gaji yang berkisar lima jutaan belum termasuk tunjangan. Sejak dipindahtugaskan dia kos di Karawang dan pulang seminggu sampai dua minggu sekali. Seharusnya komunikasi kami berjalan setiap hari. Namun, entah kenapa akhir-akhir ini dia sulit dihubungi dan selalu beralasan bila aku tanya tentang perubahan yang terjadi.[ Check up Akbar, kan bisa nanti lagi. A'a janji bulan depan pasti diganti. Maaf, ya, Sayang. Soalnya penting banget ini. ]Helaan napas panjang menandakan keputusanku saat ini. Sekali lagi, aku tak bisa menolak bila A Miftah sudah menyisipkan kata maaf dan janji di tengah kalimatnya.[ Ya, udah. Aku transfer sekarang. Lain kali kalo ada apa-apa langsung hubungin lebih awal. Aku nggak suka kalau A'a chat cuma ada butuhnya aja. Kalau bisa minggu ini pulang! Akbar udah nanyain terus. Habis hampir sebulan A'a nggak pulang. ][ Siap, Sayang. A'a pasti pulang minggu ini. Nanti kita maen ke Gazibu, ya! ]Kuabaikan pesan terakhirnya, dan langsung beralih menuju aplikasi m-banking. Men-tranfer nominal yang diinginkan A Miftah, dan menyisakan saldo sejuta rupiah untuk kebutuhan seminggu ke depan, sebelum gajihan. Setelah itu, kuletakkan ponsel di atas meja ruang tamu. Melepas jilbab yang masih melekat, sebab langsung memeriksa ponsel begitu sampai. Kemudian menghampiri Bi Tika dan Akbar."Bibi pulang aja! Nanti Akbar biar saya yang mandiin!" titahku sesaat setelah duduk di samping Akbar sembari memainkan rambut lebatnya.Wanita paruh baya berjilbab itu terlihat begitu senang."Waduh makasih banget, Neng Tika. Kebetulan Bibi baru dikasih kabar kalau anak Bibi si Teddy kecelakaan jatuh dari motor.""Innalillahi. Tapi, nggak kenapa-napa, kan, Bi?""Alhamdulillah nggak terlalu parah. Cuma lututnya sobek, perlu dijait. Kalau Neng nggak keberatan mah Bibi boleh kasbon dulu?" Memelas wajah Bi Tati membuatku tak tega untuk mengatakan tidak. Walau bagaimana pun beliau yang selalu ada di samping Akbar saat aku tengah sibuk bekerja.Kualihkan pandangan menatap tas yang bertengger di atas kursi ruang tamu. Aku baru ingat kalau tadi pagi ada yang baru bayar kontrakan. Mungkin itu memang rezekinya Bi Tati."Sebentar, ya, Bi!" Aku beranjak untuk mengambil tas di kursi. Merogoh amplop berisi uang lima ratus ribu yang tadinya hendak ditabung. "Ini! Semoga Teddy cepet sembuh, ya, Bi.""Hatur nuhun pisan, Neng. Kalau begitu bibi pamit dulu." Aku mengangguk menatap kepergian Bi Tati.***"Assalamualaikum.""Punteun, Teh Tika!"Suara ketukan pintu diiringi salam dan panggilan terdengar sesaat setelah aku selesai memandikan Akbar. Suaranya terdengar familiar."Tunggu sebentar, ya, Sayang!" Kuselimuti tubuh Akbar dengan dua handuk tebal, sebelum beranjak menuju pintu.Ceklek!"Dini." Kutatap gadis berambut bob yang masih mengenakan seragam SMA-nya di balik pintu. Dia adalah adik kandung A Miftah. Mereka dua bersaudara. Berbeda denganku yang yatim-piatu, Dini dan A Miftah masih punya seorang ibu. "Ada apa, Din?""Maaf kalau nggak sopan dan terkesan buru-buru. Bisa pinjam uang lima ratus ribu? Tapi jangan bilang A'a sama ibu.""Buat apa?" Kutatap gadis berkulit putih itu dengan penuh selidik. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Dini datang meminta uang dengan dalih pinjam. Dia tahu aku bekerja dengan gaji yang lumayan. Makanya anak itu sering sengaja datang dari Bandung Kabupaten ke Bandung Kota hanya saat ada butuhnya."Buat ganti rugi motor orang yang nggak segaja kutabrak."Kuhela napas gusar. Dini memang terkenal sebagai anak yang cukup bengal di sekolahnya. Aku tahu kelakuannya dari rekan kantor yang anaknya selalu dibully Dini."Please, Teh. Dini harus minta sama siapa lagi coba? Ibu mana ada duit. Minta A Miftah yang ada aku habis diomelin." Gadis itu memelas sembari menyatukan kedua tangan. Sesekali dia menarik-narik tanganku.Untuk ke sekian kalinya aku menghela napas panjang hari ini. "Ck, ya udah rekening masih yang itu, kan?""Masih. Makasih banyak, ya, Teh," ucapnya semringah."Udah, tuh. Lain kali jangan terlalu liar, Din. Kamu itu anak perempuan yang lagi dalam masa pendewasaan. Usahain hindarin bergaul yang keterlaluan. Kalau bukan teteh yang ingetin, siapa lagi?" Nasehatku entah didengar atau tidak, yang pasti gadis itu hanya mangut-mangut sembari memeriksa ponselnya."Sip, udah masuk. Sekali lagi makasih, ya, Teh. Aku pamit du--""Nggak mampir dulu? Ada Akbar di dalam?"Dia hanya melirik Akbar sekilas, lalu melambaikan tangan sedikit enggan."Ng, nggak, deh. Lain kali aja, ya."Gadis itu dan motor matix-nya pun berlalu begitu saja.Kupijat pelipis yang tiba-tiba terasa pening. Dalam sehari uang lima setengah juta pergi begitu saja. Padahal kebutuhanku dan Akbar untuk seminggu ke depan masih kurang. Dari mana lagi aku bisa dapat uang?Dering ponsel di saku daster berhasil menarikku dari lamunan. Nama Bu Susi K.1 tertera di layar. Beliau adalah penghuni kontrakanku yang sudah lebih dari tiga tahun menetap di Cijerah."Halo assalamualaikum.""Waalaikumsallam.""Neng, ada yang tanya-tanya kontrakan di sebelah ibu. Kayaknya suami-istri. Katanya mau langsung sewa buat sepuluh bulan ke depan. Bayar dimuka!"Mataku sontak melebar. Mungkin ini yang dinamakan rezeki yang datang dengan cara yang tidak disangka-sangka."MasyaAllah. Kebetulan saya lagi butuh uang, Bu. Makasih banyak, ya. Saya berangkat sekarang."Tanpa banyak berbasa-basi, meski lelah menggerogoti diri, sesaat setelah sambungan telepon terputus, setengah berlari aku masuk ke dalam. Menciumi Akbar, sebelum mengenakannya pakaian yang cukup rapi untuk pergi keluar. Motor yang semula sudah masuk garasi langsung aku keluarkan lagi. Setelah selesai bersiap-siap aku langsung menuntun Akbar untuk naik ke atas kendaraan roda dua yang selalu setia menemani. Sejenak ku-cek ponsel sebagai kebiasaan sebelum memulai perjalanan.Sebuah notifikasi pesan yang mengambang di bar status tiba-tiba menarik perhatian. Sontak motor yang sudah siap berjalan, kembali kustandarkan.[ Teh Tika! Ahmad ketemu A Miftah sama wanita hamil, lagi liat-liat kontrakan Teteh yang ada di Cijerah! ]Deg![ Ah, salah liat mungkin kamu, Mad. Suami teteh, kan udah pindah tugas di Karawang. Lagian kalau dia tiba-tiba ada keperluan pasti mampir ke sini dulu, ngapain jauh-jauh dateng cuma buat cari kontrakan? Lagian A Miftah, kan nggak pernah tahu kalau selama ini teteh punya rumah kontrakan yang disewakan.]*Foto*[ Tuh, Teteh liat aja sendiri! Beneran A Miftah, kan? Ahmad fotonya diem-diem. Dia lagi ngobrol sama tetangga yang udah lebih dulu sewa. ]Refleks aku mencengkeram ponsel yang sejak tadi digunakan untuk berkirim pesan dengan adik lelakiku itu, saat melihat foto yang dia kirimkan sudah cukup membuktikan bahwa Miftahul Hamid, suamiku yang satu jam lalu meminjam uang, ternyata tengah ada di Bandung bersama seorang wanita muda yang tengah berbadan dua...Bersambung.[ Teh Tika! Ahmad ketemu A Miftah sama wanita hamil, lagi liat-liat kontrakan Teteh yang ada di Cijerah! ]Deg! [ Ah, salah liat mungkin kamu, Mad. Suami teteh, kan udah pindah tugas di Karawang. Lagian kalau dia tiba-tiba ada keperluan pasti mampir ke sini dulu, ngapain jauh-jauh dateng cuma buat cari kontrakan? Lagian A Miftah, kan nggak pernah tahu kalau selama ini teteh punya rumah kontrakan yang disewakan.]*Foto*[ Tuh, Teteh liat aja sendiri! Beneran A Miftah, kan? Ahmad fotonya diem-diem. Dia lagi ngobrol sama tetangga yang udah lebih dulu sewa. ]Tiga pesan yang datang berurutan bersama dengan foto yang dikirimkan, membuat kesenangan yang baru sesaat hinggap, langsung menguap. Lokasi rumah kontrakan yang Ahmad fotokan memang tempat yang sama dengan kontrakan kosong yang Bu Susi infokan tadi. Terletak di daerah Cijerah, sekitar lima ratus meter dari pasar. Kontrakan lima pintu peninggalan ibu diwariskan padaku dan Ahmad, sejak beliau berpulang menyusul bapak tiga tahun lalu
"Maksud mama bukan gitu, Tik. Takutnya terjadi sesuatu yang nggak diinginkan. Perselingkuhan lagi menjamur sekarang, kalau kita nggak pandai-pandai rawat diri, orang nggak tahu diri nantinya malah menyalahkan pihak istri. Ya, walaupun mama percaya Miftah nggak mungkin begitu."Kutatap pantulan diri dalam cermin. Memerhatikan wajah kusamku dengan beberapa jerawat di dagu dan dahi. Hidung mungil, serta kulit sawo matang yang terlihat kering. Sebelumnya aku tak pernah se-overthinking ini. Namun, setelah mama mengatakan hal demikian aku jadi mulai kepikiran. Bicara tentang fisik memang seringkali membuatku minder, apalagi melihat penampilan A Miftah yang hampir mendekati sempurna sebagai seorang lelaki. Tubuh tinggi tegapnya, kulit bersih, hidung mancung, serta rahang kokoh yang mempertegas proporsi wajahnya. Tak jarang beberapa teman mencandai, menanyai pelet apa yang kuberikan hingga bisa mendapatkan suami setampan dirinya. Awalnya candaan itu terasa biasa, tapi lama kelamaan makin t
Kuparkirkan motor serampang di halaman, dengan tergesa membuka kunci rumah yang beberapa kali terjatuh karena tidak pas pada lubangnya. Sakit dan perih itu langsung datang bersamaan. Kacau, pikiranku benar-benar kacau sekarang. Seluruh tubuh terasa lemas, tak ada daya untuk menopang kaki yang serasa melayang. Terrnyata ini adalah efek dahsyat yang ditimbulkan, kepercayaan yang selama tujuh tahun kusematkan luruh bersama dengan pengkhianatan besar yang dia lakukan. Apa yang kurang? Apa yang salah? Padahal sebagai seorang istri aku tak pernah menuntut banyak, tak pernah meminta sesuatu diluar kemampuan A Miftah? Kenapa hanya wanita yang harus dituntun untuk sempurna? Kenapa lelaki tak pernah bersyukur dengan apa yang dia punya? Kuempaskan tubuh ke atas kasur, menangis sejadinya. Setidaknya aku butuh waktu untuk meluapkan semuanya sebelum berpikir jernih dan mulai mencari solusi atas semua permasalahan ini. Ternyata benar, menjadi istri yang baik, penurut, dan tak pernah menuntut tak
Aku berlalu meninggalkan A Miftah yang masih terpaku di tempat, menghampiri kamar Akbar yang letaknya bersebelahan. Kuraih long cardi yang tergantung untuk menutup baju dinas malam yang memang sengaja digunakan untuk menyambutnya pulang. Setelah itu memilih tidur di samping putraku yang sudah lebih dulu lelap. Suara benda yang menghantam tembok terdengar. Pintu yang dibanting keras pun menyusul setelahnya. Kupejamkan mata tak peduli apa yang terjadi di sana. Sudah cukup aku diam, sudah cukup aku sabar. Untuk apa jadi istri pengertian kalau suaminya kurang ajar?Mungkin A Miftah tak sadar, bahwa kucing jinak juga bisa mengigit pada sang pemilik, bilamana ekornya diinjak. ***Subuh menjelang, aku beranjak bangun. Menuju kamar mandi untuk mengambil wudu kemudian menunaikan salat. Setelah mencuci beberapa buah piring dan gelas kotor, kulanjutkan memasak nasi, lalu membersihkan rumah serta menyapu halaman. Tak terasa waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Terlihat handle pintu kamar bergera
Setelah pertengkaran itu aku dan A Miftah sama-sama tak saling bicara. Weekend yang harusnya menjadi momen keluarga malah kami gunakan untuk memperdebatkan masalah yang seharusnya bisa dengan mudah kita selesaikan bersama. Semua ini jelas tak akan terjadi kalau bukan karena dia yang memulai, juga wanita yang disembunyikannya di kontrakan. Aku lupa kapan terakhir kali hal seperti ini terjadi. Mungkin dua atau tiga tahun lalu, itu pun dia langsung memelukku hingga pertengkaran kami tak berlarut panjang. Ternyata wanita muda itu membawa pengaruh besar pada perubahan diri A Miftah. Nyaris tak kutemukan sosok yang dulu pengertian, perhatian, dan penyayang. Sejak kepulangannya kemarin malam, sampai siang ini aku bahkan tak mendapatinya menghampiri Akbar, padahal sudah lebih dari sebulan mereka tak berjumpa."Bun, A-ah, Bun." Akbar menarik-narik ujung dasterku saat kami tengah menonton TV di ruang tamu, telunjuk mungilnya terulur ke arah kamar di mana A Miftah keluar dengan kaos dan celana
"Apa kabar, Tik? Udah lama, ya." Lelaki dalam setelan formal itu mengulurkan tangan. Kutatap lekat wajahnya yang nyaris tak berubah sejak terakhir kali kita berjumpa, kemudian menjabat tangannya.Andri Septian, dia adalah kakak kelasku semasa SMA, hubungan kami dekat sejak tergabung dalam kegiatan OSIS sekolah.Sampai lulus pun komunikasi kami tak pernah terputus, beberapa kali berganti nomor selalu ada sosial media yang menghubungkan kita. Lima tahun lalu dia menikah dengan sahabatku Nia, kebetulan aku yang mengenalkan mereka. Sejak saat itulah komunikasi kami terputus sebab Nia bisa dibilang tipe yang pencemburu berat, padahal jelas tak pernah ada hubungan apa pun di antara kita. Dalam lima tahun bisa terhitung berapa kali mereka mengunjungi kami. Saat Akbar lahir, khitan, dan terakhir syukuran milad yang ketiga.Sebenarnya seminggu lalu aku sempat ragu untuk menghubunginya. Walaupun niatku murni hanya untuk menanyakan tentang A Miftah. Karena sejak masuk ke Gema Toserba, A Andrilah
Senja berpendar menutup awan pekat yang semula menggumpal, malam beranjak kian dekat saat suara Azan Maghrib terdengar. Ketika kupikir hujan akan turun membawa serta perasaan dongkol yang bercokol, rupanya guntur datang hanya untuk mempermainkan, lalu pergi meninggalkan resah yang sulit digambarkan.Ibu mertua dan adik iparku masih terjaga. Kebungkaman mereka cukup menjelaskan kebingungan keduanya akan perubahan sikapku yang tiba-tiba. Keheningan panjang itu cukup untuk membuat A Miftah mematung dengan perasaan yang entah. Dua kantong kresek besar yang dia bawa entah sejak kapan sudah diletakkan di atas meja."Istri kamu kenapa, sih?" Mama bertanya setelah sekian lama. Wanita paruh baya yang menyemir rambutnya menjadi kemerahaan itu mendelik dengan bibir mencebik. Sungguh ekspresi yang sama sekali tak pantas untuk ditunjukkan seorang mertua."Nggak apa-apa, Tika kayaknya cuma kecapean aja. Mending Mama sama Dini pulang dulu! Persediaan pangan udah Miftah beliin tadi sekalian. Nanti ua
"Neng ...." Sentuhan lembut seringan bulu membuyarkan semua lamunan yang sempat memporak-porandakan hati dan pikiran. Tanpa sadar kami sudah berhenti di depan sebuah komedi putar. "Akbar mau naik ini katanya."Aku hanya mengangguk mengiyakan. Setelahnya A Miftah pergi ke loker tiket, lalu kembali untuk memberikannya pada petugas. Terlihat Akbar cukup antusias saat memilih duduk di sebuah Kuda Zebra. Tangannya melambai pada kami, ketika mesin mulai menyala, dan komedi putar dijalankan.Tanpa sadar senyumku tersungging. Sebuah kebahagiaan sederhana yang membuatku sesaat lupa akan beban berat yang sedang menimpa. Ternyata memasang topeng tebal tak terlalu sulit bagiku yang sudah lama berteman dengan rasa sakit."Senin ini alhamdulillah A'a udah dipindahkan ke Subang. Jadi, A'a bisa lebih sering pulang, dan kita bertiga bisa lebih gampang menghabiskan waktu bersama, kayak dulu."Aku tertegun sejenak, lalu menoleh menatap manik mata pekat yang dulu selalu berhasil membuatku terpesona. Namu
Berbagai kecamuk perasaan menghinggapi Tika saat dia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menuju ruang ICU. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan saat Bu Wulan mengatakan bahkan sudah berbulan-bulan Miftah menjalani pengobatan secara intensif setelah dokter mendiagnosis bahwa mantan suaminya itu mengidap Bronchitis, dan secara pribadi Bu Nur memohon padanya untuk menyampaikan pesan. Sebenarnya Tika sudah tak peduli dengan apa yang terjadi pada Miftah dan keluarganya, sebab tak ada lagi yang tersisa dari lelaki itu selain kenangan pahit yang masih kerap kali menjadi mimpi buruk di tiap tidurnya. Namun, saat Andri mengatakan bahwa mungkin itu adalah permintaan terakhir mantan suaminya, Tika benar-benar tak kuasa untuk menolaknya.Melihat seseorang hanya berdiri di depan pintu ruang ICU, sontak Bu Nur bangkit setelah menyuapi putranya yang sudah tak bisa melakukan apa-apa. "Makasih, makasih banyak udah sudi datang, Tik. Dua hari ini Miftah nggak mau makan
Tak ada luka yang benar-benar abadi, waktu selalu mampu memperbaiki situasi, meski yang tersisa dari memori kerapkali kali masih menyisakan sedikit nyeri dalam hati. Awan mendung tak berarti hujan turun, tapi Matahari selalu adil menerangi setiap inti bumi. Setiap duka pasti ada suka, setiap kehilangan pasti ada penggantinya, dan setiap yang ditanam pasti akan ada yang dituai, karena begitulah kehidupan berjalan.Hari berganti, bulan-bulan dilewati. Demi menjaga kewarasan diri dari bayang-bayang masa lalu, Andri bersedia mengikuti sang istri untuk menetap di Cianjur. Meski harus pulang-pergi Bandung-Cianjur seminggu dua kali, meski rindu kerap kali menghinggapi. Lelaki itu tak peduli dengan jarak, selama mereka bisa terus bersama sampai akhir hayat nanti. Setelah apa yang terjadi pada Tika pun Ahmad, perempuan itu seolah tak mau tahu lagi tentang mantan suam dan keluarga benalunya itu. Dia memilih melanjutkan usaha dari modal yang ditinggalkan orang tua, serta menata hidupnya kembali
Ternyata pribahasa darah lebih kental daripada air itu benar adanya. Ikatan persaudaraan yang erat membuat Tika tak kuasa menahan tangis, lelaki itu bersimpuh, menangis meraung di kaki Tika, dan mengakui bahwa dia memang telah salah selama empat tahun ini. Mengikuti hawa nafsu, tak peduli nasihat kakak kandung sendiri, terjebak dalam pernikahan dengan perempuan yang ternyata hanya ingin memanfaatkan harta bendanya. Madu yang dia tuang ternyata dibalas racun mematikan. Empat tahun menampung keluarga benalu membuat Ahmad benar-benar berhasil mempelajari banyak hal. Belajar tentang kegagalan Tika juga dirinya sekarang. "Maaf, hampura, Teh. Hampura Ahmad khilaf!" Ahmad masih bersimpuh di lantai memeluk kaki Tika. Sementara yang bersangkutan tampak masih shock setelah mendengar pengakuan sang adik tentang kondisi kehidupannya pasca pernikahan dengan Dini. Tika benar-benar tak menyangka, ternyata di balik kebungkaman, di balik komunikasi yang nyaris terputus selama empat tahun ini ada
Tok! Tok! Tok! "Buka pintunya, Nia! Jangan bikin papa hilang kesabaran, ya."Suara ketukan yang sudah berubah jadi gedoran itu terdengar di salah satu kamar dalam rumah milik mantan pejabat yang cukup disegani pada masanya. Sudah tiga hari sejak pria paruh baya tersebut mendapati sang putri mengurung diri. Hari ini kesabarannya sudah benar-benar habis. Dia seolah sudah lelah menghadapi satu-satunya putri yang tersisa, karena terlalu terobsesi pada mantan suaminya, Andri. "Kalau nggak dibuka juga papa dobrak pintunya, ya, Nia!"" .... " Tetap tak ada jawaban dari dalam. Hal itu membuatnya mulai dilingkupi perasaan khawatir."Dang, bawa kunci serep di gudang. Si Nia nggak mau keluar ini." Lelah menunggu dan penasaran dengan apa yang membuat putrinya mengurung diri sampai tiga hari. Papa Nia akhirnya meminta salah seorang tukang di rumahnya untuk mengambil kunci serep. Hanya beberapa menit setelah diminta, sopir yang juga tukang kebun itu datang membawa kunci cadangan. "Sial, nyang
Miftah kembali ke rumah saat dia melihat ibunya duduk mematung di atas kursi. Sementara Dini menangis meraung di kakinya. Syakil dan Bila yang melihat itu hanya bisa menatap kehadiran mereka dengan penuh kebingungan. Sebenarnya Bu Nur sudah tahu kalau Syakil adalah anak dari Rifky, mantan kekasih putrinya. Namun, dia tak menyangka kalau Dini masih menjalin hubungan dengan montir bengkel itu. Bertahun-tahun, di belakang Ahmad. Bahkan bisa dipastikan anak yang Dini kandung sekarang juga berasal dari benih Rifky. Sekali lagi kebodohan anaknya berhasil menjerumuskan. Akankah kesenangan yang sudah didapatkan selama empat tahun ini akan dicabut kembali? "Ada apa ini?" Miftah akhirnya bertanya setelah lama membaca situasi. Melihat tangisan adiknya serta beberapa barang yang dia bawa serta ke mari. Miftah mulai menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi antara rumah tangga Dini dan Ahmad. Mendengar kehadiran kakaknya, Dini langsung memburu Miftah, lalu bersimpuh di kakinya. "Tolongin Dini, A
Tika duduk bersedekap di atas sajadah. Mukena membalut tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Berbagai doa dia panjatkan sejak Magrib tadi. Memohon tak henti agar tak ada bala yang mendekati.Ketakutan mulai menyelimuti. Padahal selama empat tahun dilewati dia tak pernah merasakan hal semacam ini. Entah kenapa, selama Miftah dan keluarganya masih berpijak di bumi yang sama. Tika merasa tak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan lagi. "Buna ...." Panggilan pelan dari suara yang lembut itu menginterupsi zikirnya. Sejenak Tika seka air mata dengan mukena, lalu beralih pada Zahra yang malam ini dia tempatkan di satu kamar bersamanya. "Ya, Sayang.""Om gateng tadi siapa, Buna? Kenapa dia bilang Ayah Zahla."Tika terdiam sejenak dengan kebingungan yang menggelayutinya. Setelahnya napas panjang dia hela. "Bukan siapa-siapa, cuma orang iseng aja." Masih terbalut mukena Tika bangkit, lantas berjalan menghampiri Zahra yang duduk di tepi ranjang. "Kalo bukan siapa-siapa. Kenapa Buna mara
" ... aku muak, Miftah. Aku jijik!"Masih berdiri mematung di tempatnya. Kalimat itu terus menerus ternging-ngiang di telinga Miftah. Bahkan Berputar-putar di kepalanya. Ada yang menghantam dada saat melihat lirih suara sang mantan istri memaki, memerah matanya menahan murka dan amarah. Dan anehnya Miftah tak merasa tersinggung saat dia dihina dan dicaci-maki bahkan dilempar uang ke depan muka. Yang terasa justru sesak, sesak yang dirasa saat melihat sedemikian dalam Tika membenci, karena luka yang sudah dia torehkan selama ini. Apakah empat tahun di balik jeruji besi tanpa disadari justru membuatnya introspeksi? Atau ceramah serta nasehat yang dicekokki para pemuka agama yang datang ke lapas, membuatnya cukup mawas diri? Bahkan saat dia tak sengaja membunuh Desi atau mencaci-maki Tika tentang anak yang dikandungnya ia tak pernah merasa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana dengan empat tahun rencana matang yang sudah dia susun bersama Nia?"Pergi!" Jeritan itu menarik kesada
"Nggak apa-apa, kalau kita ketahuan. Aku yang bakal tanggung jawab," yakinnya. "Halah tanggung jawab apaan. Waktu aku hamil Syakil aja kamu pergi." "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri. Lagian saat itu aku belum ada kerjaan. Buktinya aku balik, tapi kamu malah milih nikah sama cowok yang nggak kamu cintai!" Dini memalingkan muka. Matanya kembali mengembun. "Karena aku nggak bisa hidup miskin, Ky. Aku nggak mau. Cuman dengan dia aku bisa hidup enak. Cuma dengan dia masa depan Syakil terjamin." Air mata Dini kembali tumpah. "Kalau kamu udah ngerasa bahagia, kenapa masih hubungin aku? Bahkan selama setahun ini kamu selalu datang saat butuh. Aku ngerasa kayak dimanfaatin. Padahal aku tulus cinta sama kamu."Dini menarik napas panjang. Dia menatap mata lelaki yang sampai detik ini masih merajai hati. "Karena cuma kamu yang aku cinta. Karena cuma kamu yang bisa menyenangkanku. Si Ahmad payah, Ky. Dia nggak pernah bisa kasih kepuasan batin buat aku kayak kamu. Hubungan kita hambar,
"Eh, Mad!" "Reza!" Langkah Ahmad terhenti di ambang pintu keluar resto saat dia berpapasan dengan sosok yang dikenal. Lelaki bernama Reza Anugerah itu adalah teman seprofesi Ahmad di Pabrik Kahatex sebagai pengawas. Sudah lama sejak mereka tak pernah lagi bertemu, karena Reza resign hanya sebulan setelah Dini mengundurkan diri.Hal itu jelas semakin mematik rasa curiga Ahmad akan hubungan mereka berdua yang terjadi sebelum kehamilan Dini. Sudah empat tahun berlalu, tetap dia masih belum juga tahu ayah biologis dari anak yang selama ini tinggal bersamanya.Sebenarnya saat memutuskan menikahi wanita itu Ahmad sudah menerima, akan tetapi rasa penasaran itu kerap kali hinggap saat dia tak sengaja memerhatikan Syakil. Sebenarnya dari benih siapa dia berasal? Apa benar dari benih lelaki di hadapannya ini, seperti yang dia duga selama ini?"Hampura teu bisa datang pas hajat. Sumpah sabenerna mah urang teu nyangka maneh ngawin si Dini, Mad. (Maaf nggak bisa datang saat resepsi. Sumpah seb