Empat bulan sebelumnya ...."Kami tahu ini pasti sangat berat bagi Anda, tapi bagaimana pun juga kehidupan tetap berjalan, dan sudah tugas kita sebagai yang ditinggalkan untuk selalu mendoakan. Apalagi Bu Tika juga tetap harus kuat untuk janin di kandungan." Penuturan dokter selepas Tika sadar dari pingsan itu membuat isakkan perempuan itu tertahan. Ada tanda tanya besar yang menggelayut dalam benak, terkait tamu tak diundang yang kehadirannya jelas tak bisa disangkal maupun dihindari."Janin?" Tika bangkit dari posisi setengah berbaring. Dia tatapan dokter paruh baya yang berdiri di sisi kanannya, lalu Andri yang berada di sisi kirinya.Dengan anggukkan ringan lelaki berkacamata itu hanya bisa mengelus pundak Tika. Menenangkan."Ya, sudah jalan tujuh pekan.""Tapi sebulan lalu saya masih datang bulan, Dok. Walaupun cuma sedikit.""Itu namanya pendarahan implantasi, Bu. Pendarahan implantasi adalah keluarnya bercak pada masa awal kehamilan. Ketika mengalaminya, banyak wanita yang me
Tika menatap pantulan dirinya di cermin. Perut yang selama ini dia sembunyikan mulai menyembul dari balik daster yang dikenakan. Ucapan Andri terakhir kali berhasil melemparnya pada kenangan di mana dia nyaris mati karena tak sanggup menahan beban yang ditangguhkan. Apa pun yang terjadi janin ini salah satu alasan yang membuatnya kuat sampai berada di titik sekarang. Meskipun berasal dari benih lelaki bajingan. Namun, kehadirannya tak bisa dipungkiri sebagai pengobat pilu atas kepergian Akbar."Kuat, kuat di sana, ya, Nak. Kamu punya Bunda. Cuma Bunda, nggak ada yang lain. Pokoknya kita bertahan sampai akhir, sampai Allah bilang semua cobaannya udah selesai." Tika mengelus perutnya yang mulai membuncit dan bergumam. Perhatiannya kembali teralihkan ketika ponsel yang tergeletak di pembaringan berdering lagi.Tika meraih benda pipih itu, menatap nama Miftah yang terus tertera di layar. Sampai saat ponselnya kembali mati dan tiga panggilan tak terjawab terlihat di bar notifikasi, barulah
Di dalam kamar, di atas pembaringan, Tika memerhatikan dengan saksama tas yang diberikan Miftah, juga postingan FB yang Desi upload sebulan lalu. Berwarna kombinasi hitam dan merah. Kedua tas ini benar-benar sama persis.Perempuan itu meringis, tersenyum miring menatap betapa menyedihkannya mantan suaminya saat ini. Ingin terlihat royal, tapi sayangnya tak modal. Barang istri pun tak sungkan dia gasak untuk menyenangkan selingkuhan. Hal ini juga pernah dia lakukan pada Tika, selama tujuh tahun pernikahan mungkin Tika kehilangan lebih banyak daripada yang mampu Desi rasakan sekarang. Miftah sudah tidak bisa diselamatkan, beberapa orang bilang kalau selingkuh itu bukan hanya sekadar selingan, beberapa kasus membuktikan bahwa sebagian lelaki justru menjadikannya sebagai kebiasaan. Seolah tak puas hanya dengan satu orang. Selalu kurang, kurang, dan segala cara dihalalkan hanya untuk memenuhi hasrat yang seolah tak pernah terpuaskan. Tiba-tiba Tika merasa jijik, jika bisa memutar waktu s
Bu Nur baru saja kembali dari Padalarang saat melihat kondisi rumah tak ubahnya kapal pecah. Ditinggal tiga hari teras penuh debu dan kotoran ayam, cucian baju dan piring menggunung. Wajan dan teplon bekas pakai masih teronggok di atas kompor, bahkan ada yang sudah terjungkal bekas menyeduh mie instan."Astagfirullah, Des. Kamu ngapain aja sampe rumah mirip kandang kambing begini?" Buru-buru Bu Nur meletakkan bawaannya di atas meja makan, dan membereskan beberapa barang yang tercecer."Susah, Ma. Bila rewel terus. Belum malemnya aku kerja, Mama pikir aja sendiri mana sempat ngurusin rumah." Suara Desi terdengar angkuh dari arah kamar. Perempuan berambut panjang itu keluar sembari menggendong Bila."Ya ampun. kamu ini bener-bener nggak bisa diandelin, ya. Beda banget sama--""Si Tika," potong Desi dengan kesal."Kalau emang dia segalanya bisa diandelin, kenapa malah A Miftah tinggalin? Terus kenapa aku juga Mama restuin?"Bu Nur terbungkam, tak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan. T
"Ahmad tebak, Bu Nur pasti muak, terus usir Si Miftah sama istri belagunya." Di tengah perjalanan tiba-tiba Ahmad nyeletuk."Jangan suudzon," sahut Tika masih dengan sikap tenangnya."Nggak suudzon. Emang udah keliatan, Teh. Mereka nyesel banget pasti melepas berlian, buat butiran debu. Cantik doang, hobinya ngangkang.""Hus, gaboleh gitu. Udah biarin aja." Tika mencubit pelan perut Ahmad."Emang bener, kok. Bukannya Si Desi Hamidun? Dah jelas berarti, tuh cewek nggak bener. Bisa-bisanya dipertahanin. Ahmad nggak sabar nunggu Si Miftah bener-bener hancur ku pamolah sorangan (dengan kelakuannya sendiri)""Ya, Teteh juga nunggu saat itu, Mad," gumam Tika sembari menyandarkan kepala di punggung Ahmad, dan memeluk erat pinggang pemuda dua puluh empat tahun itu.***Suara gerbang yang dibuka, diikuti motor yang memasuki halaman terdengar saat Bu Nur asik menonton TV. Baru saja dia hendak membuka pintu, gerakan dari luar lebih cepat mendahului. Kebetulan pintu memang belum dikunci.Terlihat
Bu Nur hanya bisa geleng-geleng sembari menoleh pada Miftah yang hanya bisa meringis kecil. Mengucap maaf tanpa suara, karena kelakuan kasar dan tanpa adab istrinya."Liat? Gimana bisa kita tinggal seatap kalau kelakuan istrimu masih nggak beradab?" cibir Bu Nur, dengan suara dalam, seolah menekan emosi yang tertahan."Maaf, Ma. Miftah juga nggak tahu harus gimana lagi bilangin Desi, dia keras kepala."Bu Nur mengembuskan napas gusar. Sejenak dia menggaruk rambut yang tak gatal."Dini." Ada jeda sejenak, seolah Bu Nur ragu untuk melanjutkan. "Dia minta motornya balik, Mif! Soalnya setelah kalian pindah dia mau tinggal di sini lagi. Biar gampang pulang-pergi nggak perlu naik angkot katanya." Sembari mencuci beras di bak cuci piring, Bu Nur kembali melanjutkan."Terus Miftah kerja pake apa, Ma?" lirih kalimat itu terlontar.Bu Nur berdecak, selesai mencuci berat dan memasukkannya ke dalam wadah, dia langsung menekan tombol 'cook' pada alat penanak nasi."Nanti agak siang mama mau ke ban
Pandangan wanita paruh baya itu terlihat kosong saat menyusuri jalan Maleber menuju rumah minimalis berukuran 10 x 10 dengan pagar setinggi dua meter dan garasi yang hanya muat untuk menampung satu mobil.Tangannya terulur menyusuri pagar besi bercat hitam itu, sebelum terpaku pada tulisan 'Dijual' yang tertera di sebuah papan tripleks yang tergantung di atas sana."Mau ngapain ke sini, Bu? Teh Tika baru aja pindah tadi pagi," cetus salah seorang tetangga Tika dengan ketus. Dia tahu pasti apa yang terjadi malam itu. Sampai Tika nyaris bunuh diri.Bu Nur menoleh."Ke mana?" tanya Bu Nur dengan nada yang juga sama tak bersahabatnya."Mau ngapain? Belum puas liat Teh Tika menderita? Atau akhirnya nyesel setelah tahu kalau mantan menantu ibu levelnya bener-bener tinggi. Jangan-jangan mau minjem duit la--""Di mana Si Tika itu tinggal sekarang!" pekik Bu Nur yang membuat wanita berjilbab itu terlonjak kaget."Bu-Bumi Asri. Dia pindah ke Bumi Asri!" Setelah mendapat jawaban yang dia ingink
Jam menunjukkan hampir tengah malam saat dua anak remaja dan satu orang dewasa itu menjinjing botol air mineral berisi minuman bewarna ungu ke sebuah Pos Ronda yang kebetulan tak beroperasi malam ini.Mereka duduk melingkar, lalu mengeluarkan rokok dan kartu gaple yang siap dimainkan setelah sebelumnya menghabiskan waktu berjam-jam di tempat rental PS."A, bini sama Emak nggak akan nyariin A'a ke sini?" tanya salah satu remaja berusia tujuh belas tahunan berambut keriting agak gondrong."Sebodo amat, Ja. Pusing aing," sahut Miftah setengah teler. Ternyata minuman yang mereka bawa adalah alkohol yang dioplos dengan minuman energi."Emang lier kitu rumah tangga, teh? (Memangnya pusing gitu hidup berumah tangga?)" tanya remaja yang satunya."Pisan, (Banget) Dan. Tong coba-coba ngareuneuhan awewe lamun maneh teu boga gawe. Balangsak! (Jangan coba-coba menghamili perempuan kalau kamu belum punya kerjaan. Susah!)""Hehe. Teu niat oge, sih, A. Masih mending A'a mah kasep, lah urang modelan k
Berbagai kecamuk perasaan menghinggapi Tika saat dia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menuju ruang ICU. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan saat Bu Wulan mengatakan bahkan sudah berbulan-bulan Miftah menjalani pengobatan secara intensif setelah dokter mendiagnosis bahwa mantan suaminya itu mengidap Bronchitis, dan secara pribadi Bu Nur memohon padanya untuk menyampaikan pesan. Sebenarnya Tika sudah tak peduli dengan apa yang terjadi pada Miftah dan keluarganya, sebab tak ada lagi yang tersisa dari lelaki itu selain kenangan pahit yang masih kerap kali menjadi mimpi buruk di tiap tidurnya. Namun, saat Andri mengatakan bahwa mungkin itu adalah permintaan terakhir mantan suaminya, Tika benar-benar tak kuasa untuk menolaknya.Melihat seseorang hanya berdiri di depan pintu ruang ICU, sontak Bu Nur bangkit setelah menyuapi putranya yang sudah tak bisa melakukan apa-apa. "Makasih, makasih banyak udah sudi datang, Tik. Dua hari ini Miftah nggak mau makan
Tak ada luka yang benar-benar abadi, waktu selalu mampu memperbaiki situasi, meski yang tersisa dari memori kerapkali kali masih menyisakan sedikit nyeri dalam hati. Awan mendung tak berarti hujan turun, tapi Matahari selalu adil menerangi setiap inti bumi. Setiap duka pasti ada suka, setiap kehilangan pasti ada penggantinya, dan setiap yang ditanam pasti akan ada yang dituai, karena begitulah kehidupan berjalan.Hari berganti, bulan-bulan dilewati. Demi menjaga kewarasan diri dari bayang-bayang masa lalu, Andri bersedia mengikuti sang istri untuk menetap di Cianjur. Meski harus pulang-pergi Bandung-Cianjur seminggu dua kali, meski rindu kerap kali menghinggapi. Lelaki itu tak peduli dengan jarak, selama mereka bisa terus bersama sampai akhir hayat nanti. Setelah apa yang terjadi pada Tika pun Ahmad, perempuan itu seolah tak mau tahu lagi tentang mantan suam dan keluarga benalunya itu. Dia memilih melanjutkan usaha dari modal yang ditinggalkan orang tua, serta menata hidupnya kembali
Ternyata pribahasa darah lebih kental daripada air itu benar adanya. Ikatan persaudaraan yang erat membuat Tika tak kuasa menahan tangis, lelaki itu bersimpuh, menangis meraung di kaki Tika, dan mengakui bahwa dia memang telah salah selama empat tahun ini. Mengikuti hawa nafsu, tak peduli nasihat kakak kandung sendiri, terjebak dalam pernikahan dengan perempuan yang ternyata hanya ingin memanfaatkan harta bendanya. Madu yang dia tuang ternyata dibalas racun mematikan. Empat tahun menampung keluarga benalu membuat Ahmad benar-benar berhasil mempelajari banyak hal. Belajar tentang kegagalan Tika juga dirinya sekarang. "Maaf, hampura, Teh. Hampura Ahmad khilaf!" Ahmad masih bersimpuh di lantai memeluk kaki Tika. Sementara yang bersangkutan tampak masih shock setelah mendengar pengakuan sang adik tentang kondisi kehidupannya pasca pernikahan dengan Dini. Tika benar-benar tak menyangka, ternyata di balik kebungkaman, di balik komunikasi yang nyaris terputus selama empat tahun ini ada
Tok! Tok! Tok! "Buka pintunya, Nia! Jangan bikin papa hilang kesabaran, ya."Suara ketukan yang sudah berubah jadi gedoran itu terdengar di salah satu kamar dalam rumah milik mantan pejabat yang cukup disegani pada masanya. Sudah tiga hari sejak pria paruh baya tersebut mendapati sang putri mengurung diri. Hari ini kesabarannya sudah benar-benar habis. Dia seolah sudah lelah menghadapi satu-satunya putri yang tersisa, karena terlalu terobsesi pada mantan suaminya, Andri. "Kalau nggak dibuka juga papa dobrak pintunya, ya, Nia!"" .... " Tetap tak ada jawaban dari dalam. Hal itu membuatnya mulai dilingkupi perasaan khawatir."Dang, bawa kunci serep di gudang. Si Nia nggak mau keluar ini." Lelah menunggu dan penasaran dengan apa yang membuat putrinya mengurung diri sampai tiga hari. Papa Nia akhirnya meminta salah seorang tukang di rumahnya untuk mengambil kunci serep. Hanya beberapa menit setelah diminta, sopir yang juga tukang kebun itu datang membawa kunci cadangan. "Sial, nyang
Miftah kembali ke rumah saat dia melihat ibunya duduk mematung di atas kursi. Sementara Dini menangis meraung di kakinya. Syakil dan Bila yang melihat itu hanya bisa menatap kehadiran mereka dengan penuh kebingungan. Sebenarnya Bu Nur sudah tahu kalau Syakil adalah anak dari Rifky, mantan kekasih putrinya. Namun, dia tak menyangka kalau Dini masih menjalin hubungan dengan montir bengkel itu. Bertahun-tahun, di belakang Ahmad. Bahkan bisa dipastikan anak yang Dini kandung sekarang juga berasal dari benih Rifky. Sekali lagi kebodohan anaknya berhasil menjerumuskan. Akankah kesenangan yang sudah didapatkan selama empat tahun ini akan dicabut kembali? "Ada apa ini?" Miftah akhirnya bertanya setelah lama membaca situasi. Melihat tangisan adiknya serta beberapa barang yang dia bawa serta ke mari. Miftah mulai menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi antara rumah tangga Dini dan Ahmad. Mendengar kehadiran kakaknya, Dini langsung memburu Miftah, lalu bersimpuh di kakinya. "Tolongin Dini, A
Tika duduk bersedekap di atas sajadah. Mukena membalut tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Berbagai doa dia panjatkan sejak Magrib tadi. Memohon tak henti agar tak ada bala yang mendekati.Ketakutan mulai menyelimuti. Padahal selama empat tahun dilewati dia tak pernah merasakan hal semacam ini. Entah kenapa, selama Miftah dan keluarganya masih berpijak di bumi yang sama. Tika merasa tak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan lagi. "Buna ...." Panggilan pelan dari suara yang lembut itu menginterupsi zikirnya. Sejenak Tika seka air mata dengan mukena, lalu beralih pada Zahra yang malam ini dia tempatkan di satu kamar bersamanya. "Ya, Sayang.""Om gateng tadi siapa, Buna? Kenapa dia bilang Ayah Zahla."Tika terdiam sejenak dengan kebingungan yang menggelayutinya. Setelahnya napas panjang dia hela. "Bukan siapa-siapa, cuma orang iseng aja." Masih terbalut mukena Tika bangkit, lantas berjalan menghampiri Zahra yang duduk di tepi ranjang. "Kalo bukan siapa-siapa. Kenapa Buna mara
" ... aku muak, Miftah. Aku jijik!"Masih berdiri mematung di tempatnya. Kalimat itu terus menerus ternging-ngiang di telinga Miftah. Bahkan Berputar-putar di kepalanya. Ada yang menghantam dada saat melihat lirih suara sang mantan istri memaki, memerah matanya menahan murka dan amarah. Dan anehnya Miftah tak merasa tersinggung saat dia dihina dan dicaci-maki bahkan dilempar uang ke depan muka. Yang terasa justru sesak, sesak yang dirasa saat melihat sedemikian dalam Tika membenci, karena luka yang sudah dia torehkan selama ini. Apakah empat tahun di balik jeruji besi tanpa disadari justru membuatnya introspeksi? Atau ceramah serta nasehat yang dicekokki para pemuka agama yang datang ke lapas, membuatnya cukup mawas diri? Bahkan saat dia tak sengaja membunuh Desi atau mencaci-maki Tika tentang anak yang dikandungnya ia tak pernah merasa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana dengan empat tahun rencana matang yang sudah dia susun bersama Nia?"Pergi!" Jeritan itu menarik kesada
"Nggak apa-apa, kalau kita ketahuan. Aku yang bakal tanggung jawab," yakinnya. "Halah tanggung jawab apaan. Waktu aku hamil Syakil aja kamu pergi." "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri. Lagian saat itu aku belum ada kerjaan. Buktinya aku balik, tapi kamu malah milih nikah sama cowok yang nggak kamu cintai!" Dini memalingkan muka. Matanya kembali mengembun. "Karena aku nggak bisa hidup miskin, Ky. Aku nggak mau. Cuman dengan dia aku bisa hidup enak. Cuma dengan dia masa depan Syakil terjamin." Air mata Dini kembali tumpah. "Kalau kamu udah ngerasa bahagia, kenapa masih hubungin aku? Bahkan selama setahun ini kamu selalu datang saat butuh. Aku ngerasa kayak dimanfaatin. Padahal aku tulus cinta sama kamu."Dini menarik napas panjang. Dia menatap mata lelaki yang sampai detik ini masih merajai hati. "Karena cuma kamu yang aku cinta. Karena cuma kamu yang bisa menyenangkanku. Si Ahmad payah, Ky. Dia nggak pernah bisa kasih kepuasan batin buat aku kayak kamu. Hubungan kita hambar,
"Eh, Mad!" "Reza!" Langkah Ahmad terhenti di ambang pintu keluar resto saat dia berpapasan dengan sosok yang dikenal. Lelaki bernama Reza Anugerah itu adalah teman seprofesi Ahmad di Pabrik Kahatex sebagai pengawas. Sudah lama sejak mereka tak pernah lagi bertemu, karena Reza resign hanya sebulan setelah Dini mengundurkan diri.Hal itu jelas semakin mematik rasa curiga Ahmad akan hubungan mereka berdua yang terjadi sebelum kehamilan Dini. Sudah empat tahun berlalu, tetap dia masih belum juga tahu ayah biologis dari anak yang selama ini tinggal bersamanya.Sebenarnya saat memutuskan menikahi wanita itu Ahmad sudah menerima, akan tetapi rasa penasaran itu kerap kali hinggap saat dia tak sengaja memerhatikan Syakil. Sebenarnya dari benih siapa dia berasal? Apa benar dari benih lelaki di hadapannya ini, seperti yang dia duga selama ini?"Hampura teu bisa datang pas hajat. Sumpah sabenerna mah urang teu nyangka maneh ngawin si Dini, Mad. (Maaf nggak bisa datang saat resepsi. Sumpah seb