"Ceu, kemarin saya liat mantan menantu Eceu. Bawa mobil bagus. Makin cantik, glowing, terus berisi."Bu Nur berusaha tak mendengar ocehan tetangganya saat mereka tengah merujak di teras rumah."Paling juga dapet kredit," sahut Bu Nur sekenanya."Maenya atuh? (Masa, sih?) Bukannya si Tika, teh punya kontrakan. PNS lagi. Nggak mungkin kredit, sih.""Jangan liat cuma dari satu sisi atuh, Ceu. Emang dia punya duit sebanyak apa sampe bisa beli mobil cash?" balas Bu Nur, sembari mencoel potongan buah muda pada sambal rujak."Ya, siapa tahu. Denger-denger rumahnya yang di Maleber mau dijual, terus mau pindah ke perumahan di Bumi Asri."Bu Nur tertegun, setelah beberapa lama acuh tak acuh, akhirnya Bu Nur mulai tertarik dengan pembahasan ini."Begitu, ya?""Iya. Ada yang pernah liat dia keluar dari Resto Panghegar sama laki-laki, bukan sekali. Lebih dari tiga kali malah!"Bu Nur tak menanggapi, tapi otaknya mulai berasumsi."Sebenernya saya nggak mau suudzon, gimana kalau tanpa sepengetahuan
Empat bulan sebelumnya ...."Kami tahu ini pasti sangat berat bagi Anda, tapi bagaimana pun juga kehidupan tetap berjalan, dan sudah tugas kita sebagai yang ditinggalkan untuk selalu mendoakan. Apalagi Bu Tika juga tetap harus kuat untuk janin di kandungan." Penuturan dokter selepas Tika sadar dari pingsan itu membuat isakkan perempuan itu tertahan. Ada tanda tanya besar yang menggelayut dalam benak, terkait tamu tak diundang yang kehadirannya jelas tak bisa disangkal maupun dihindari."Janin?" Tika bangkit dari posisi setengah berbaring. Dia tatapan dokter paruh baya yang berdiri di sisi kanannya, lalu Andri yang berada di sisi kirinya.Dengan anggukkan ringan lelaki berkacamata itu hanya bisa mengelus pundak Tika. Menenangkan."Ya, sudah jalan tujuh pekan.""Tapi sebulan lalu saya masih datang bulan, Dok. Walaupun cuma sedikit.""Itu namanya pendarahan implantasi, Bu. Pendarahan implantasi adalah keluarnya bercak pada masa awal kehamilan. Ketika mengalaminya, banyak wanita yang me
Tika menatap pantulan dirinya di cermin. Perut yang selama ini dia sembunyikan mulai menyembul dari balik daster yang dikenakan. Ucapan Andri terakhir kali berhasil melemparnya pada kenangan di mana dia nyaris mati karena tak sanggup menahan beban yang ditangguhkan. Apa pun yang terjadi janin ini salah satu alasan yang membuatnya kuat sampai berada di titik sekarang. Meskipun berasal dari benih lelaki bajingan. Namun, kehadirannya tak bisa dipungkiri sebagai pengobat pilu atas kepergian Akbar."Kuat, kuat di sana, ya, Nak. Kamu punya Bunda. Cuma Bunda, nggak ada yang lain. Pokoknya kita bertahan sampai akhir, sampai Allah bilang semua cobaannya udah selesai." Tika mengelus perutnya yang mulai membuncit dan bergumam. Perhatiannya kembali teralihkan ketika ponsel yang tergeletak di pembaringan berdering lagi.Tika meraih benda pipih itu, menatap nama Miftah yang terus tertera di layar. Sampai saat ponselnya kembali mati dan tiga panggilan tak terjawab terlihat di bar notifikasi, barulah
Di dalam kamar, di atas pembaringan, Tika memerhatikan dengan saksama tas yang diberikan Miftah, juga postingan FB yang Desi upload sebulan lalu. Berwarna kombinasi hitam dan merah. Kedua tas ini benar-benar sama persis.Perempuan itu meringis, tersenyum miring menatap betapa menyedihkannya mantan suaminya saat ini. Ingin terlihat royal, tapi sayangnya tak modal. Barang istri pun tak sungkan dia gasak untuk menyenangkan selingkuhan. Hal ini juga pernah dia lakukan pada Tika, selama tujuh tahun pernikahan mungkin Tika kehilangan lebih banyak daripada yang mampu Desi rasakan sekarang. Miftah sudah tidak bisa diselamatkan, beberapa orang bilang kalau selingkuh itu bukan hanya sekadar selingan, beberapa kasus membuktikan bahwa sebagian lelaki justru menjadikannya sebagai kebiasaan. Seolah tak puas hanya dengan satu orang. Selalu kurang, kurang, dan segala cara dihalalkan hanya untuk memenuhi hasrat yang seolah tak pernah terpuaskan. Tiba-tiba Tika merasa jijik, jika bisa memutar waktu s
Bu Nur baru saja kembali dari Padalarang saat melihat kondisi rumah tak ubahnya kapal pecah. Ditinggal tiga hari teras penuh debu dan kotoran ayam, cucian baju dan piring menggunung. Wajan dan teplon bekas pakai masih teronggok di atas kompor, bahkan ada yang sudah terjungkal bekas menyeduh mie instan."Astagfirullah, Des. Kamu ngapain aja sampe rumah mirip kandang kambing begini?" Buru-buru Bu Nur meletakkan bawaannya di atas meja makan, dan membereskan beberapa barang yang tercecer."Susah, Ma. Bila rewel terus. Belum malemnya aku kerja, Mama pikir aja sendiri mana sempat ngurusin rumah." Suara Desi terdengar angkuh dari arah kamar. Perempuan berambut panjang itu keluar sembari menggendong Bila."Ya ampun. kamu ini bener-bener nggak bisa diandelin, ya. Beda banget sama--""Si Tika," potong Desi dengan kesal."Kalau emang dia segalanya bisa diandelin, kenapa malah A Miftah tinggalin? Terus kenapa aku juga Mama restuin?"Bu Nur terbungkam, tak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan. T
"Ahmad tebak, Bu Nur pasti muak, terus usir Si Miftah sama istri belagunya." Di tengah perjalanan tiba-tiba Ahmad nyeletuk."Jangan suudzon," sahut Tika masih dengan sikap tenangnya."Nggak suudzon. Emang udah keliatan, Teh. Mereka nyesel banget pasti melepas berlian, buat butiran debu. Cantik doang, hobinya ngangkang.""Hus, gaboleh gitu. Udah biarin aja." Tika mencubit pelan perut Ahmad."Emang bener, kok. Bukannya Si Desi Hamidun? Dah jelas berarti, tuh cewek nggak bener. Bisa-bisanya dipertahanin. Ahmad nggak sabar nunggu Si Miftah bener-bener hancur ku pamolah sorangan (dengan kelakuannya sendiri)""Ya, Teteh juga nunggu saat itu, Mad," gumam Tika sembari menyandarkan kepala di punggung Ahmad, dan memeluk erat pinggang pemuda dua puluh empat tahun itu.***Suara gerbang yang dibuka, diikuti motor yang memasuki halaman terdengar saat Bu Nur asik menonton TV. Baru saja dia hendak membuka pintu, gerakan dari luar lebih cepat mendahului. Kebetulan pintu memang belum dikunci.Terlihat
Bu Nur hanya bisa geleng-geleng sembari menoleh pada Miftah yang hanya bisa meringis kecil. Mengucap maaf tanpa suara, karena kelakuan kasar dan tanpa adab istrinya."Liat? Gimana bisa kita tinggal seatap kalau kelakuan istrimu masih nggak beradab?" cibir Bu Nur, dengan suara dalam, seolah menekan emosi yang tertahan."Maaf, Ma. Miftah juga nggak tahu harus gimana lagi bilangin Desi, dia keras kepala."Bu Nur mengembuskan napas gusar. Sejenak dia menggaruk rambut yang tak gatal."Dini." Ada jeda sejenak, seolah Bu Nur ragu untuk melanjutkan. "Dia minta motornya balik, Mif! Soalnya setelah kalian pindah dia mau tinggal di sini lagi. Biar gampang pulang-pergi nggak perlu naik angkot katanya." Sembari mencuci beras di bak cuci piring, Bu Nur kembali melanjutkan."Terus Miftah kerja pake apa, Ma?" lirih kalimat itu terlontar.Bu Nur berdecak, selesai mencuci berat dan memasukkannya ke dalam wadah, dia langsung menekan tombol 'cook' pada alat penanak nasi."Nanti agak siang mama mau ke ban
Pandangan wanita paruh baya itu terlihat kosong saat menyusuri jalan Maleber menuju rumah minimalis berukuran 10 x 10 dengan pagar setinggi dua meter dan garasi yang hanya muat untuk menampung satu mobil.Tangannya terulur menyusuri pagar besi bercat hitam itu, sebelum terpaku pada tulisan 'Dijual' yang tertera di sebuah papan tripleks yang tergantung di atas sana."Mau ngapain ke sini, Bu? Teh Tika baru aja pindah tadi pagi," cetus salah seorang tetangga Tika dengan ketus. Dia tahu pasti apa yang terjadi malam itu. Sampai Tika nyaris bunuh diri.Bu Nur menoleh."Ke mana?" tanya Bu Nur dengan nada yang juga sama tak bersahabatnya."Mau ngapain? Belum puas liat Teh Tika menderita? Atau akhirnya nyesel setelah tahu kalau mantan menantu ibu levelnya bener-bener tinggi. Jangan-jangan mau minjem duit la--""Di mana Si Tika itu tinggal sekarang!" pekik Bu Nur yang membuat wanita berjilbab itu terlonjak kaget."Bu-Bumi Asri. Dia pindah ke Bumi Asri!" Setelah mendapat jawaban yang dia ingink