Bu Nur baru saja kembali dari Padalarang saat melihat kondisi rumah tak ubahnya kapal pecah. Ditinggal tiga hari teras penuh debu dan kotoran ayam, cucian baju dan piring menggunung. Wajan dan teplon bekas pakai masih teronggok di atas kompor, bahkan ada yang sudah terjungkal bekas menyeduh mie instan."Astagfirullah, Des. Kamu ngapain aja sampe rumah mirip kandang kambing begini?" Buru-buru Bu Nur meletakkan bawaannya di atas meja makan, dan membereskan beberapa barang yang tercecer."Susah, Ma. Bila rewel terus. Belum malemnya aku kerja, Mama pikir aja sendiri mana sempat ngurusin rumah." Suara Desi terdengar angkuh dari arah kamar. Perempuan berambut panjang itu keluar sembari menggendong Bila."Ya ampun. kamu ini bener-bener nggak bisa diandelin, ya. Beda banget sama--""Si Tika," potong Desi dengan kesal."Kalau emang dia segalanya bisa diandelin, kenapa malah A Miftah tinggalin? Terus kenapa aku juga Mama restuin?"Bu Nur terbungkam, tak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan. T
"Ahmad tebak, Bu Nur pasti muak, terus usir Si Miftah sama istri belagunya." Di tengah perjalanan tiba-tiba Ahmad nyeletuk."Jangan suudzon," sahut Tika masih dengan sikap tenangnya."Nggak suudzon. Emang udah keliatan, Teh. Mereka nyesel banget pasti melepas berlian, buat butiran debu. Cantik doang, hobinya ngangkang.""Hus, gaboleh gitu. Udah biarin aja." Tika mencubit pelan perut Ahmad."Emang bener, kok. Bukannya Si Desi Hamidun? Dah jelas berarti, tuh cewek nggak bener. Bisa-bisanya dipertahanin. Ahmad nggak sabar nunggu Si Miftah bener-bener hancur ku pamolah sorangan (dengan kelakuannya sendiri)""Ya, Teteh juga nunggu saat itu, Mad," gumam Tika sembari menyandarkan kepala di punggung Ahmad, dan memeluk erat pinggang pemuda dua puluh empat tahun itu.***Suara gerbang yang dibuka, diikuti motor yang memasuki halaman terdengar saat Bu Nur asik menonton TV. Baru saja dia hendak membuka pintu, gerakan dari luar lebih cepat mendahului. Kebetulan pintu memang belum dikunci.Terlihat
Bu Nur hanya bisa geleng-geleng sembari menoleh pada Miftah yang hanya bisa meringis kecil. Mengucap maaf tanpa suara, karena kelakuan kasar dan tanpa adab istrinya."Liat? Gimana bisa kita tinggal seatap kalau kelakuan istrimu masih nggak beradab?" cibir Bu Nur, dengan suara dalam, seolah menekan emosi yang tertahan."Maaf, Ma. Miftah juga nggak tahu harus gimana lagi bilangin Desi, dia keras kepala."Bu Nur mengembuskan napas gusar. Sejenak dia menggaruk rambut yang tak gatal."Dini." Ada jeda sejenak, seolah Bu Nur ragu untuk melanjutkan. "Dia minta motornya balik, Mif! Soalnya setelah kalian pindah dia mau tinggal di sini lagi. Biar gampang pulang-pergi nggak perlu naik angkot katanya." Sembari mencuci beras di bak cuci piring, Bu Nur kembali melanjutkan."Terus Miftah kerja pake apa, Ma?" lirih kalimat itu terlontar.Bu Nur berdecak, selesai mencuci berat dan memasukkannya ke dalam wadah, dia langsung menekan tombol 'cook' pada alat penanak nasi."Nanti agak siang mama mau ke ban
Pandangan wanita paruh baya itu terlihat kosong saat menyusuri jalan Maleber menuju rumah minimalis berukuran 10 x 10 dengan pagar setinggi dua meter dan garasi yang hanya muat untuk menampung satu mobil.Tangannya terulur menyusuri pagar besi bercat hitam itu, sebelum terpaku pada tulisan 'Dijual' yang tertera di sebuah papan tripleks yang tergantung di atas sana."Mau ngapain ke sini, Bu? Teh Tika baru aja pindah tadi pagi," cetus salah seorang tetangga Tika dengan ketus. Dia tahu pasti apa yang terjadi malam itu. Sampai Tika nyaris bunuh diri.Bu Nur menoleh."Ke mana?" tanya Bu Nur dengan nada yang juga sama tak bersahabatnya."Mau ngapain? Belum puas liat Teh Tika menderita? Atau akhirnya nyesel setelah tahu kalau mantan menantu ibu levelnya bener-bener tinggi. Jangan-jangan mau minjem duit la--""Di mana Si Tika itu tinggal sekarang!" pekik Bu Nur yang membuat wanita berjilbab itu terlonjak kaget."Bu-Bumi Asri. Dia pindah ke Bumi Asri!" Setelah mendapat jawaban yang dia ingink
Jam menunjukkan hampir tengah malam saat dua anak remaja dan satu orang dewasa itu menjinjing botol air mineral berisi minuman bewarna ungu ke sebuah Pos Ronda yang kebetulan tak beroperasi malam ini.Mereka duduk melingkar, lalu mengeluarkan rokok dan kartu gaple yang siap dimainkan setelah sebelumnya menghabiskan waktu berjam-jam di tempat rental PS."A, bini sama Emak nggak akan nyariin A'a ke sini?" tanya salah satu remaja berusia tujuh belas tahunan berambut keriting agak gondrong."Sebodo amat, Ja. Pusing aing," sahut Miftah setengah teler. Ternyata minuman yang mereka bawa adalah alkohol yang dioplos dengan minuman energi."Emang lier kitu rumah tangga, teh? (Memangnya pusing gitu hidup berumah tangga?)" tanya remaja yang satunya."Pisan, (Banget) Dan. Tong coba-coba ngareuneuhan awewe lamun maneh teu boga gawe. Balangsak! (Jangan coba-coba menghamili perempuan kalau kamu belum punya kerjaan. Susah!)""Hehe. Teu niat oge, sih, A. Masih mending A'a mah kasep, lah urang modelan k
Saat kembali, Bu Nur mendapati Miftah tengah rebahan di ruang tengah sembari menyalakan TV. Sementara tangisan Bila terdengar nyaring dari dalam kamar. Entah apa yang ada dipikiran lelaki yang baru genap berusia tiga puluh tahun itu, saat ini.Dia mulai tak peduli dengan suara tangisan sang bayi, dan malah sibuk bergelut dengan pikiran sendiri. Penampilannya sangat berantakan setelah pulang malam tadi. Kebiasaan merawat diri yang biasa digeluti kini tak lagi menjadi prioritas utama. Mandi sehari sekali pun sudah patut disyukuri."Miftah! Itu Bila kenapa kamu biarin nangis, sih? Gendong, kek, kasih susu, atau ajak keluar dulu! Udah siang begini masih aja leha-leha depan TV, bukannya siap-siap kerja," tegur Bu Nur sembari menghampiri Bila ke kamar, lalu kembali menghadap putranya yang seolah tak peduli."Males, ah, Ma. Hari ini Miftah ambil cuti lagi. Pengen istirahat. Cape!" Miftah mengubah posisi menyamping. Beralaskan karpet plastik bermotif bunga itu dia terbaring memunggungi, berba
Waktu bergulir, hari berganti, tetapi bayangan tentang kejadian hari itu masih terekam kuat dalam benak Bu Nur sampai sekarang. Tak menyangka dia, anak yang dididik sedari dini, dibesarkan sepenuh hati, serta dibangga-banggakan sejauh ini, menjadi sangat tak terkendali.Miftah kadang pulang dalam keadaan teler, penampilan berantakan, bahkan tak lagi mau menggendong anaknya sendiri. Hari-hari yang dihabiskan hanya nongkrong bersama para remaja tanggung di kampungnya. Main PS, merokok, ngoplos, juga main gaple. Dia tak lagi menanyakan Desi yang entah di mana rimbanya. Maupun keadaan Tika yang sudah dia hina habis-habisan. Dia hanya tahu cara menghabiskan uang yang mantan istrinya berikan, lalu bersenang-senang. "Miftah!" Bu Nur menyingkap selimut yang menutupi tubuh putranya di siang bolong begini. Setelah kesabaran selama ini Bu Nur akhirnya benar-benar lelah menghadapi sikap Miftah. "Mau sampai kapan begini, hah? Udah lebih dari seminggu kamu bolos kerja, kabar Si Desi pun sampai sek
Suara pintu kamar mandi yang dibuka, menginterupsi Bu Nur dan Dini. Mereka melihat Miftah berlalu menuju kamar, lalu kembali dengan sebuah anting dan gelang."Ini punya Si Desi. Kalian jual aja!" cetusnya tiba-tiba.Dini mengambil alih perhiasan emas itu dari tangan kakaknya."Kok, bisa dia minggat nggak bawa barang berharga?" tanya Bu Nur heran."Mungkin masih ada sedikit kesadaran di otaknya saat ninggalin anaknya di sini." Miftah menatap Bila dalam gendongan Bu Nur. Ekspresinya tak terbaca."Ya udah aku jual dulu, daripada motor disita." Dini memasukkan anting dan gelang tersebut ke dalam tas kecilnya. Kemudian berlalu untuk mencari penjual di jalanan pasar atau Alun-Alun Kota yang biasa menerima emas tanpa surat-suratnya.Dini mungkin tak akan sepanik ini bila BPKP motornya digadaikan ke bank. Namun, saat mendapati yang datang menagih uang ternyata seorang dept collector bengis, dia tak lagi bisa tinggal diam mengingat motor kesayangan juga nyawanya terancam hanya karena nominal u