Aku mengambil Kia dari gendongannya."Orang macam mereka ini jangan diladeni bisa sama gilanya, Ta. Ada apa rupanya sampai kau itu seperti kesetanan?" tanyanya.Mas Danu akhirnya menceritakan semuanya bahwa dia mau mengambil sertifikat kebun karet miliknya. Bukan dikasih malah sudah dijual."Gila kau memang! Hak orang main ambil. Begini saja Dan, kamu panggil RT atau pamong desa buat beresin masalah ini." usulnya.Mas Danu mengiyakan dan akan membawa masalah ini ke jalur hukum."Jangan, Dan. Ibu berjanji akan menggantinya, sebentar." Susah payah ibu berjalan ke kamarnya tidak lama kemudian memberikan map coklat setelah kami periksa itu sertifikat kebun karet milik ibu."Baik aku terima ini, Bu, meski ukurannya masih kalah jauh dengan milikku. Aku akan minta pada Wak Tono sisanya." Ibu melongo saja mungkin dia sangat menyesal sudah menjual miliki orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya."Kami permisi," ucapku. Mereka tidak menyahut. Baru saja melangkah ke luar pintu langsung dibantin
"Wei, bengong aja. Awas kesambet jin cantik baru tahu rasa, lo!" tegur Joko, teman baik Mas Danu.Aku yang sedang buat adonan bolu pisang pesanan Bu RT untuk siang nanti juga merasa heran, sejak pulang dari rumah ibu tadi Mas Danu banyak diam. Jika tidak kutanya dia akan diam saja biasanya dia selalu menggodaku.Kia yang berceloteh di samping Mas Danu juga hanya ditanggapi sesekali. Mungkin Mas Danu sedang memikirkan nasib keluarganya."Bisa aja, Jok. Ada apa, nih?" Kudengarkan obrolan mereka."Enggak ada apa-apa pingin main aja. Kayaknya lagi banyak masalah kelihatan banget dari raut wajahmu yang kusut macam orang kalah main judi," ujar Joko."Ha-ha beginilah, Jok. malahan lebih dari itu," kelakar Mas Danu."Seriusan?""Iya, kalau jadi orang bod*h seperti aku ya begini dibohongi sana sini dan diakali sana sini," keluh Mas Danu."Berat banget kayaknya masalah kamu, baru kali ini aku punya kawan yang kaya masalah.""Benar, sepertinya memang hanya aku yang kaya masalah," jawab Mas Danu
"Ayo, bantu aku baca ayat kursi, kita bakar benda-benda laknat ini," perintah Joko. Kami membaca ayat kursi khusuk sekali aku tidak lagi mempedulikan Kia yang menangis menjerit-jerit karena aku tahu itu bukan Kia."Alhamdulillah bisa terbakar. Insya Allah setelah ini Kia bisa tidur nyenyak lagi, dan tidak ada gangguan apa-apa lagi," terang Joko.Joko adalah salah satu teman Mas Danu yang punya kelebihan bisa melihat barang ghaib. Anak Indomie kata bahasa gaulnya. Eh, indigo."Makasih, ya, Jok, sudah bantu," ucap Mas Danu tulus. Joko hanya tersenyum saja."Ta, pisau ini sebelum kamu pakai cuci dulu sambil baca ayat kursi 7 kali ya. Kalau masih ada kejadian aneh-aneh lagi kalian jangan sungkan untuk bilang padaku.""Jok, apa yang mengirim akan terkena imbasnya setelah sihir itu dibakar?" tanya Mas Danu."Bisa jadi bisa juga enggak," jawab Joko singkat.Kemudian Joko pulang aku dan Mas Danu merasa lega dan senang sekali. Satu urusan selesai meski aku tidak tahu siapa yang mengirim itu un
"Maaf, Bapak ini siapa, ya?" tanya Mas Danu."Panggil Wak saja, Nak.""Oh, iya, maaf. Wak ini siapa, ya?""Ratno, kamu bisa panggil Wak Ratno. Ya Allah Danu kamu masih hidup rupanya." Aku dan Mas Danu saling berpandangan. Tidak mengerti apa yang beliau ucapkan."Wak, kenal dengan Mas Danu?" tanyaku."Kenal, Nak. Hanya saja karena rumah kami jauhan di luar kota jadi tidak pernah bertemu Danu lagi," jawab beliau antusias."Danu, tadi aku sudah sedikit ngobrol dengan beliau. Waktu Ratno kaget waktu melihatmu masuk tadi, ternyata Ibu menjual kebun karetmu pada Wak Ratno. Iya, kan, Wak?" kata Mas Eko."Iya, benar. Aku tidak menyangka Ibumu dan juga Wakmu itu berbohong padaku.""Maksudnya Wak, bohong bagaimana?" tanya Mas Danu belum mengerti alur pembicaraan Wak Ratno ini."Ya, bohong! Mereka bilang kamu sudah meninggal dan menjual kebun karet itu padaku. Mereka pakai surat kuasa atas nama kamu."Astaghfirullah ...." Aku dan Mas Danu bersamaan istighfar."Jahat sekali." Tes! Aku menangis me
#Baiklah aku akan menjelaskan sedikit tentang tanah kuburan yang di episode 25. Di sana aku bilang tanah kuburannya langsung to the poin, tapi ada yang sangat teliti . Maka dari itu aku akan jelaskan setahuku ya?jadi, tanah untuk media sihir itu bukan sembarang tanah. Harus tanah kuburan. Aku dapat informasi ini dari teman yang indigo. Selain tanah kuburan katanya tidak bisa.🌸🌸🌸Kami pulang naik mobil Wak Ratno Mobil silver tadi ternyata mobil Wak Ratno. Mobil yang putih dibawa anaknya.Sepanjang jalan Wak Ratno terus saja mengumpat tindakan Wak Tono dan ibu."Aku ini, Dan, ikut jimpitan dari zaman kamu orang masih kecil sampai detik ini enggak pernah menikmati uang jimpitan itu. Setiap aku tanya dijawabnya mereka aman, untuk saudara-saudara kita yang membutuhkan.""Wak, kami sudah keluar dari jimpitan bulan ini, karena tidak sanggup bayar, kami tidak punya uang. Sewaktu aku ke sana minta bagian yang 35% tidak dikasih malah dicaci maki. Kemarin Wak Tono ke rumah malah nagih hut
Aku dan Mas Danu terperangah melihat rumah Wak Ratno. Rumah beliau bak istana. Ukurannya besar bertingkat dengan gaya klasik modern. Seumur-umur aku baru lihat rumah sebagus ini selain di TV."MasyaAllah Wak, ini rumah apa istana?" ujar Danu. Wak Tono hanya terkekeh saja."Wak, cuma sendiri tinggal di rumah sebesar ini?" tanyaku penasaran."Enggak, anak-anak Wak semuanya tinggal jadi satu di sini. Mereka sudah punya rumah, tapi karena wasiat Ibunya mereka memutuskan untuk tinggal di sini sama-sama. Kalau tinggal sendiri ya, Wak, kesepian," jawabnya sambil menyuruh kami duduk."Sofanya bagus banget, Mas," bisikku pada Mas Danu."Iya, ssstt ... jangan kuat-kuat nanti malu kalau didengar sama Wak,""Nah, kalian mau minum apa biar dibuatkan sama Mbak yang kerja.""Apa aja, Wak," jawab kami serempak."Tunggu, ya, Wak mau ganti baju sekalian mau ambil sertifikat kebun kamu." Kami mengangguk."Kalau kalian mau keliling lihat-lihat juga enggak apa-apa, siapa tahu rumah Wak bisa jadi inspiras
Plak!Aku membalas tamparan Mbak Lili. Dia pikir aku tidak punya perasaan yang bisa seenak jidat dia perlakukan semena-mena.“Jangan asal tuduh jika tidak ada bukti, Mbak!” Mbak Lili memegangi pipinya menangis histeris dan terduduk di tanah. Mas Danu dan Wak Ratno berjalan ke arahku.Dalam pelukan Mas Danu aku menangis sejadi-jadinya. Rumahku, uangku, baju-baju Kia. Semua aku tangisi karena hanya itulah harta kami.Tangisku dan Mbak Lili saling bersahutan. Pilu bagi siapa pun yang mendengarnya. Meski beda versi cerita kami. Entah lah ini Mbak Lili kenapa jadi ikutan nangis di sini ditonton para warga.Ibu datang tergesa, beliau memeluk Mbak Lili."Kita akan balas perbuatan Eko, Nak, tenang saja. Ibu siap mati untukmu," ucap ibu. Aku sedih sih, mendengar itu. Wanita mana yang rela di duakan. Ibu mana yang tega anaknya disakiti. Jika aku di posisi ibu pasti aku pun akan marah.“Sabar, Nak, sudah jangan menangis begitu seperti menangisi kematian. Insya Allah ada hikmah dibalik musibah in
“Aku kurang paham, Bu. Dia menyalahkanku atas pernikahan suaminya. Mas Eko menikah lagi seminggu yang lalu,” jawabku jujur.Bu RT terperangah, terkejut sampai menutup mulutnya sendiri.“Yang benar Mbak Ita? Mas Eko orangnya baik loh, memang apa masalahnya?” tanya Bu RT tidak percaya.“Kalau masalah itu aku tidak tahu, Bu,” jawabku.“Duh! Ibu jadi kasihan gini ya, sama Lili. Walau bagaimanapun Mbak Lili manusia biasa. Dia seperti itu pasti karena kurangnya bimbingan dari orang tua dan juga suami. Kalau istri salah ya, ditegur dan dibimbing bukan ditinggal menikah lagi, yang namanya suami menikah lagi pasti membuat trauma, Mbak,” jelas Bu RT.Aku setuju dengan pendapat beliau, Mas Eko harusnya bimbing Mbak Lili dulu, bukan malah ditinggal menikah lagi mencari wanita yang lebih sempurna.Suami istri itu ibarat baju, jadi harus dicuci jika kotor, digosok dan di rapikan.“Tapi, Mbak, kenapa itu Lili marahnya sama kamu?” tanya Bu RT lagi.“Mungkin dia kesal padaku, Bu. Aku sudah mengetahui