“Aamiin ...” sahut Mas Danu.“Kamu rupanya sudah misah, Ta?” tanya Mbak Nur, kakakku nomor dua.“Alhamdulillah sudah, Mbak. Belajar ceker sendiri ini,” jawabku.“Kok, Mbak Nur tahu sih, kalau Ita sudah misah?” tanya Mbak Susi penasaran.“Tahulah, Sus. Lihat saja itu background rumah Ita geribik sama papan kalau dia masih di rumah mertuanya kan, bagus temboknya warna hijau,” jawab Mbak Nur sambil tergelak disambut Mbak Susi dan Mbak Ning yang juga ikut tertawa. Entah mengapa aku tersentil dengan ucapan Mbak Nur. Kulihat senyum ibu juga langsung pudar.“Eh, iya, Ibu masak apa?” tanya Mbak Ning.“Ibu enggak masak, Nak, tadi dapat punjungan dua rantang,” jawab ibu sambil membenarkan posisi duduknya.“Banyak amat, Bu. Lempar sini satu,” pinta Mbak Nur.“Mau untuk apa, Mbak? Ujung-ujungnya juga enggak kamu makan mubazir aja, mending kasih ke Ita aja dia pasti hari ini masak daun singkong,” timpal Mbak Susi.“He, iya sudah macam kambing saja, ya? Subur nanti kamu Ta,” timpal Mbak Susi. Kem
“Mas, maaf ya, tadi saudara-saudaraku kelewatan,” ucapku pada Mas Danu dan aku berusaha untuk tersenyum semanis mungkin, aku tahu rasanya dikucilkan karena aku pun merasakannya.“Sudah biasa, Dik. Kamu enggak usah merasa tidak enak begitu ini kan, bukan salahmu? Sini peluk Mas dulu.” Aku tahu meski bibir Mas Danu berucap demikian, tapi tidak dengan hatinya.Dipeluk kekasih halalku rasanya nyaman sekali, tidak mengapa aku miskin harta asalkan kami saling sayang dan melengkapi semoga suatu hari nanti aku bisa seperti mereka kaya harta.“Woi, asyik sekali siang-siang sayang-sayangan. Kerja Dan, usaha tuh, gimana caranya biar kakimu sembuh terus kerja dapat duit banyak. Ingat hutangmu sama kami masih ada,” ucap Wak Toni tiba-tiba dia sudah di ambang pintu depan.Aku dan Mas Danu saling berpandangan tak mengerti kapan kami berhutang.“Maaf Wak, kalau masuk rumah apa lagi rumah orang lain sebaiknya salam terlebih dahulu biar setannya enggak ikut masuk,” kataku kesal sekali.“Beh, sudah bera
“Dik ... bangun sudah azan asar,” panggilan Mas Danu samar kudengar, tapi entah kenapa badanku susah sekali untuk bangun.Mataku susah terbuka padahal aku sudah berusaha untuk melek, tangisan Kia juga terdengar. Perasaanku ada yang memegangi tangan dan kakiku dadaku juga sesak berasa ditindih beban berat puluhan kilo sampai sesak nafasku.Sekelebat bayangan hitam terbang dari pintu tengah ke pintu depan kemudian terbang lagi ke arahku. Lalu hilang. Kakiku seketika seperti ada yang menyayat sakit sekali.Sekali lagi mendengar panggilan Mas Danu, tapi aku tidak bisa terbangun aku sudah berusaha minta tolong sama Mas Danu, tapi tenggorokanku tercekat.Aku pasrah jika harus pergi, tapi tangisan Kia menyadarkanku. Allah ... Allah. Perlahan rasa sesak di dada berkurang.Allah ... Allah. Aku tidak bisa mengucapkan kata-kata lain selain Allah lalu kubaca ayat kursi dalam hati, sampai kalimat ... wasi’akurshiyuhussamawati walarldi ... sakit di sekujur tubuhmu makin terasa. Aku ulangi sampai t
“Ada apa ini di kamar mandi teriak-teriak tidak jelas!” bentak ibu.“Ini Bu, bajuku basah. Gara-gara menantu Ibu yang bod*h ini. Dia mau numpang mandi tidak mau ngisi bak Ibu dengan alasan kita ada sanyo,” jawab Mbak Lili menuding-nuding wajahku.“Makin hari bukannya makin bener malah gini kamu, Ta! Kalau numpang itu tahu diri!” bentak ibu padaku. Gayung yang dipegang Mbak Lili direbut lalu dipukulkan ke pundakku. Sakit sekali.“Cukup! Aku bukan boneka yang bisa kalian perintah seenak sendiri. Ibu, aku bisa saja membalas pukulan Ibu, tapi aku masih punya otak yang waras. Jadi, aku tidak ada waktu untuk meladi orang enggak waras seperti kalian berdua,” teriakku tak kalah kencang dengan teriakan Mbak Lili tadi.“Pergi sana! Pergi! Jangan kamu pakai sumur ini lagi!” Usir ibu.“Aku tidak akan pergi dari sini, Bu. Sumur ini yang buat bapaknya Mas Danu dulu. Aku menantu beliau jadi aku berhak untuk memakai sumur ini,” jawabku tegas. Ibu gelagapan lalu menarik tangan Mbak Lili untuk pergi d
"Emmp! Emmp!" Napasku sesak sekali, aku sudah berontak, tapi kalah tenaga. Badanku sudah diseret mendekati pintu keluar. Aku mulai nangis bayangan yang tidak-tidak sudah memenuhi isi kepalaku."Emmp! Kubuka mulut lalu kugigit telapak tangannya kuat-kuat. Berhasil tangan yang menekan leherku sedikit longgar. Dengan gerakan cepat aku menyikut perutnya. Dia mengerang kesakitan dan melemparku ke tanah. Aku terlepas."Mas Danu!" teriakku sekuat tenaga.Mendengarku berteriak orang ini panik dan hendak kabur. Aku yang terjatuh tepat di bawah kakinya tidak menyia-nyiakan kesempatan segera kutendang selakangannya dan tepat sasaran mengenai benda pusakanya.Dia terjatuh meringkuk memegangi senjatanya."Mas Danu!" teriakku lagi."Tolong!""Iya, Dik, ada apa!" sahut Mas Danu.Orang itu mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan mengancamku sambil tertatih dia berdiri lalu kabur lewat pintu dapurTergopoh-gopoh Mas Danu menghampiriku. Dia heran melihatku menangis duduk di tanah."Kamu kenapa, Dik?
Kita juga harus punya bukti, Dik. Kita selidiki dulu. Jika memang benar maka tidak segan-segan aku akan patahkan kakinya," jawab Mas Danu."Iya, Mas, betul kita harus selidiki dulu. Dia orang yang pandai bersilat lidah. Meski kita ada di pihak yang benar tetap saja kita kalah," kataku kesal dan mengingat kembali saat aku mau minta uang jimpitan bukannya memberi malah masih menganggap kami punya hutang."Sabar ya, sayang, nanti setelah kebun karet Kakek laku kita akan merubah hidup kita. Oh, iya tadi Kia bangun sudah Mas kasih makan dan minum tajin, dia tidur lagi. Mungkin karena semalam dia sangat rewel.""Iya, Mas. Kasihan ya, Kia. Mas, apa sebaiknya kita pindah saja dari sini," usulku."Iya, nanti kita pindah kalau kebun karet Kakek yang kita jual laku. Mas, juga sudah tidak betah berlama-lama di sini. Berharap hidup berdampingan dengan keluarga akan mudah dan saling bantu malah jadinya begini." Mas Danu seperti menerawang jauh matanya berkaca-kaca. Kasihan suamiku dia dari dulu sud
"Wah, bagus yaa, rapih banget anyamannya. Harganya berapa, Mbak Ita?""Ikut harga pasaran saja Mbak, karena Mbak Siti adalah pelanggan pertama kami maka kami kasih harga separuh saja." Mbak Siti tampak berbinar senang. Dia memberiku uang 100 ribu rupiah."Ini susuknya, Mbak?""Enggak usah, sudah simpan saja untuk beli jajan Dedek Kia," tolaknya halus. Terjadilah adegan tidak saling mau menerima kembalian uang itu."Kalau Mbak Ita enggak mau, besok-besok aku enggak mau lagi beli di sini." Ancamnya. Akhirnya aku terima uangnya. Alhamdulillah, bisa untuk makan lima harian."Oh, iya ini Mbak Ita, aku bawain pecel sekalian icip-icip, ya, kasih tahu aku kurangnya apa biar nanti aku perbaiki lagi bumbunya." Aku mengiyakan. Rasanya malu sekali masih sering mengeluh padahal masih ada orang yang baik dan sayang pada kami. Mbak Siti pamit pulang aku mengantarnya sampai depan."Mbak Ita, itu Mbak Asih, kan?" tanyanya saat melihat ibu dan Mbak Asih ada di pintu dapur mereka."Iya, benar. Apa Mbak
🌸🌸🌸Sejak kejadian adegan aku melempari pintu dapur ibu, mereka kompak mendiamkanku. Syukurlah ini jauh lebih baik dari pada mereka bertingkah bar-bar.Malam ini aku berkutat dengan adonan donat dan bolu pisang ditemani Mas Danu. Dia takut akan terjadi kejadian seperti kemarin malam.Saat sedang menggoreng donat menjelang azan subuh tubuhku rasanya panas sekali padahal aku menggoreng pakai kompor bukan tungku.Brugh!Suara seperti benda jatuh sangat jelas terdengar dari arah belakang rumah."Ita! Danu!" Terdengar panggilan Mak Manurung dari pintu depan sampai beliau menggedor-gedor."Sabar, Mak. Ada apa Mak, sampai ngos-ngosan begitu subuh-subuh. Ayo masuk dulu," ajakku pada Mak Manurung. Beliau mengikuti langkah kakiku."Mak, kayak habis nyangkul sawah sehektar subuh-subuh minum air putih sekali teguk gitu langsung habis," godaku."Ini bukan sekedar lari jauh puluhan kilometer, Ta, lebih dari itu karena jantung juga rasanya mau copot.""Memang ada apa, Mak?" tanya Mas Danu."Emak,
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop