"Ibu-ibu semua tenang aja. Nanti kocokan berikutnya kalau aku yang dapat, nanti arisannya diadakan di rumah menantuku aja. Ya yang pasti lah ya, kalau rumah menantuku itu rumah gedongan dan gede. Untuk menampung satu kampung aja muat loh ibu-ibu."Bu Nuri sangat membanggakan rumah Selena. Bu Nuri dan Fatih mang belum pernah diajak Selena ke rumahnya. Akan tetapi, keduanya yakin jika rumah Selena pasti.snagat besar. Secara mobil yang dipakainya saja mewah dan juga seorang pemilik showroom. Rasanya sangat tidak mungkin jika rumahnya sederhana."Iya, Bu Nuri. Liat nanti aja, ya.""Iya, kalau gak sibuk kita pasti datang ya. Itu juga kalau kocokan berikutnya Bu Nuri yang naik sih."Awalnya para tetangga hanya mengiyakan perkataan Bu Nuri saja karena sebenarnya sudah muak dengan kesombongan Bu Nuri. Padahal sejatinya para tetangga tersebut senang karena Bu Nuri pergi dari komplek mereka. Artinya tidak ada lagi tetangga toxic yang suka menggibah dan juga sombong."Bu, ayo naik sekarang," uc
"Kamu kok gitu sih, Mas, sama ibu sendiri. Ibu ... harga rumah di dalam sana yang pasti milyaran, Bu. Ibu doain Mas Fatih biar banyak rejeki biar bisa beli satu rumah di sana untuk Ibu."Namun, seketika wajah senangnya itu berubah keheranan sebab Selena bukan membelokkan mobilnya ke komplek perumahan mewah itu, melainkan ke jalanan yang terlihat seperti jalanan kampung alias kavling."Eh, eh ... itu. Gerbangnya kok kelewatan. Gerbangnya di sana loh," tunjuk Bu Nuri ke arah perumahan mewah."Kenapa Bu?""Loh, kita mau kemana ini Selena?" tanya Bu Nuri keheranan. Melihat ke kiri dan kanan. Melihat kompleks perumahan mewah yang justru semakin menjauh. "Ya mau ke rumah aku lah, Bu."Sebenarnya Fatih juga cukup terkejut hanya saja dia tidak seheboh ibunya. Fatih juga kaget karena rumah Selena bukannya berada di kompleks perumahan mewah."Kok ke sini? Gak salah kamu Selena? Bukannya ke arah perumahan mewah itu?""Aku gak tinggal di situ. Rumahku di sini kok."Bu Nuri duduk terdiam di tempa
"Ih kamu kalau ngomong suka asal deh, Mas. Jangan bikin takut gitu dong.""Loh aku gak asal ngomong ya. Aku cuma ulangi apa yang ibu bilang.""Ibu lebih baik mati aja, Fatih.""Ah ibu jangan ngada-ngada ah. Tadi bilangnya gak punya muka dan sekarang mau mati. Sebenarnya ibu kenapa sih? Innalillahi?""Kamu itu, Mas, udah deh bantu angkat aja kan kasihan malah kamu ngomongnya gak jelas begitu.""Lah kan aku bener sih omonganku, apanya yang salah coba.""Ck, udah ahh buruan angkat. Terus ambilin minyak angin coba." Fatih pun melakukan apa yang dikatakan oleh Selena. Namun, saat mencari minyak angin seperti mintanya Selena, Fatih tidak menemukannya. "Sel, mana minyak anginnya?" "Itu di dalam kamar. Yang di sebelah ruang tamu ini. Coba kamu ambil di sana, ada di atas meja rias." Fatih mengangguk dan ia pun masuk ke dalam kamar yang ditunjuk oleh Selena. Hidung Fatih kembang kempis setelah masuk ke dalam kamar itu. Baunya seperti minyak nyong-nyong. "Ini kamarnya Selna? Ya ampun kenapa
"Ya gak dikasih apa-apa. Teh kan ya begitu itu memangnya apa yang mau aku kasih?""Fatih! Kenapa hidung Ibu tambah panas ini!""Mas, kamu tadi ngasih kminyak anginnya ke hidung Ibu?" Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Selena. "Ya ampun, Mas, itu kan minyak angin panas. Maksud aku tuh cuma dibau-bauin aja gak perlu sampe dioles.""Ya habisnya Ibu gak bangun-bangun. Jadi aku pikir ya aku olesin aja kan itu minyaknya ke hidung Ibu dan nyatanya Ibu langsung bangun kan?""Iya bangun tapi jadinya beliau kepanasan.""Astaga Fatih! Kamu kasih apa hidung Ibu inj!""M-maafkan Fatih, Bu, tadi pikir Fatih biar Ibu cepat bangub gitu makanya Fatih olesin ke wajahnya Ibu.""Dasar anak durhaka! Duh ini gimana dong jadi panas begini."Selena pun bergegas kembali lagi ke dalam kamar mandi dan mengambil air ke dalam baskom. Tanpa pikir panjang lagi Selena segera menyiramkan sebaskom air itu pda Bu Nuri hingga Bu Nuri bajunya menjadi basah. "Astaga Selena apa yang kamu lakukan! Kenapa kamu siram Ibu!
Setelah beberapa menit lamanya akhirnya Bu Nuri pun keluar juga dari dalam kamar mandi dan sudah berganti baju. Ia kembali mendudukkan tubuhnya di atas kursi yang juga terbuat dari kayu jati di rumah Selena itu. Bu Nuri tampak memijat pelipisnya karena masih merasa sangat pusing. "Bu, gimana badannya? Udah enakan?" tanya Selena yang duduk di samping Hu Nuri. "Hemm lumayan. Masih sedikit pusing.""Sebaiknya Ibu istirahat aja dulu. Biar nanti aku yang bereskan saja baju Ibu." Alih-alih mendengarkan ucapan Selena, Bu Nuri malah menatap Selena tajam. "Kenapa, Bu? Kok ngeliatin aku sampai sebegitunya?" tanya Selena. "Selena jawab Ibu, sebenarnya showroom mobil itu milik siapa?" Selena mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan dari Bu Nuri yang menurutnya konyol. "Kenapa Ibu nanya begitu?""Jawab saja, Sel. Showroom itu punya siapa?""Ya punya Selena dong memang punya siapa lagi? Lha itu pemilik tunggal nya ya Selena.""Kamu yakin?""Ya yakin memangnya kenapa sih kan itu yang bangun du
"Tapi kan, Sel, Ibu sudah terlanjur bilang ke teman-teman Ibu kalau mau pindah ke rumah gedongan bukan rumah model joglo begini. Yah meskipun materialnya lebih mahal tapi kan sama saja penampilannya tidak meyakinkan. Terlihat sangat jadul sekali.""Kalau Ibu mau tinggal di rumah gedongan ya Ibu beli saja sendiri. Itu pun kalau ada uangnya. Itu kan salah Ibu kenapa pakai acara berbohong dan sesumbar segala sama teman-teman Ibu. Bahkan, aku saja belum pernah kan mengatakan dan sesumbar sama kalian kalau rumahku itu gedongan? Jadi, kenapa kalian malah menyimpulkannya sendiri? Sudah ah, aku mau ke kamar. Mas kamu saja yang bereskan baju-baju Ibu kamu ya. aku capek."Selena pun pergi meninggalkan Bu Nuri dan juga Fatih yang masih tergugu di tempat mereka. "Fatih, gimana dong ini? Masa kita mau tinggal di rumah model kerajaan begini. Meskipun materialnya mahal tapi orang mana mau liat kan? Yang mereka tau ya rumah gedongan itu yang mahal." Bu Nuri menghembuskan napasnya kasar. Ia melipat t
"Astaga, manusia seperti apa si Selena ini? Kenapa dia pelit sekali? Bahkan untuk maka dirinya saja dia pelit," batin Bu Nuri. "Tapi, Sel, kalau begitu Ibu minta uang kerja nya si Fatih. Kan selama ini semenjak dekat denganmu Fatih juga bantu-bantu kamu di showroom. Pastilah ada dong uang gajinya." Bu Nuri tidak mau begitu saja menerima apa yang Selena katakan. Ia tetap harus mendapatkan sesuatu dari wanita itu. "Oh Ibu tenang aja, aku tetap akan membayar Mas Fatih selama dia bekerja denganku.""Wah, syukurlah. Kalau begitu berapa yang didapat Fatih? Sepuluh juta? Atau lima belas juta?" "Itu uang gaji apa? Tentu saja gak itu, Bum dikira Mas Fatih ini seorang pekerja kantoran dengan jabatan manajer?""Emmm kalau begitu lima juta kan? Gak masalah deh lima juta juga yang penting utuh dan uang makan kan ditanggung sama kamu. Jadi kesinikan uang gaji Fatih. Karena dia itu anak laki-laki Ibu dan wajib baginya menafkahi Ibunya yang sudah janda ini. sedangkan kamu kan berpenghasilan jadi
Hahahaha Bu Nuri dan Fatih kena zonk rupanya. Tubuh Bu Nuri mendoyong ke kanan dan ke kiri. Farih yang melihat itu sigap memegangi tubuh sang Ibu. "Lho, Bu, Ibu kenapa?" Bu Nuri kembali pingsan. Fatih kembali panik sementara itu Selena hanya menatapnya saja tanpa ingin membantunya lagi. Entahlah, wanita itu mulai jengah setelah Bu Nuri memintanya uang seperti tadi. "Sayang, bantuin dong. Kok kamu diam aja sih?!" "Males ah, Mas. Biarin aja lah nanti juga bangun sendiri. Toh tadi juga begitu kan? Masa baru beberapa jam udah pingsan lagi sih? Lebay banget deh." Selena mencebik saat melihat ada gurat kemarahan di wajah sang suami. Namun, ia tidak peduli. Selena justru kembali duduk dan hanya melihat saja saat Fatih kesusahan menggotong sang Ibu ke atas kursi. "Sudah, Mas? Ayo ah kita harus segera ke showroom. Di sana sudah menunggu pembeli mobil mana duitnya lumayan lagi."Fatih menoleh ke arah Selena. Tatapannya sangat tajam. Ingin sekali rasanya menampar wajah wanita yang tidak pun