Matahari sudah muncul ke permukaan, waktu menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku bergegas keluar dari kamar, bersiap untuk sarapan pagi.
"Loh, ko' kamu yang nyiapin sarapannya, Lis? Mbok Darmi kemana?" tanyaku pada Sulis yang sedang sibuk menata sarapan di meja makan.
"Mbok Narmi lagi nggak enak badan, Pak! Jadi, biar saya saja yang menyiapkan sarapan untuk Pak Anton dan Tuan besar!"
"Memangnya Wati kemana? Dia juga sakit?" ucapku menanyakan asisten rumah tangga yang lainnya.
"Tidak, Pak! Mbak Wati sedang beres-beres di dapur!" sahut Sulis, tangannya dengan cekatan menata setiap menu di meja.
"Ya sudah, kalau tugasmu sudah beres, kamu segera kembali ke kamar! Kamu harus fokus jagain Jannah. Saya tidak mau dia kenapa-kenapa! Tugas kamu disini 'kan sebagai pengasuhnya Jannah! Jadi sebaiknya tidak usah mengambil pekerjaan lain selain jagain Jannah!" jelasku padanya. Sulis pun mengangguk mengiyakan.
Suli
"Heh! Lo yang disuruh bokap untuk jemput gue, kan?" ucapnya dengan nada membentak. Ia berbicara dengan expresi wajah yang tidak menyenangkan."Maaf, anda siapa, ya?" tanyaku memastikan. Aku tidak ingin sampai salah orang."Gue Adelia Fransiska Sadewo!" sahutnya dengan penuh penekanan."Oh, berarti benar! Anda orang yang akan saya jemput!" sahutku berusaha seramah mungkin."Lo punya jam nggak, sih? Lo liat dong' ini jam berapa? Gue dari tadi nungguin lo sampai jamuran," Lagi-lagi ia berbicara dengan sewot."Maaf! Tadi dijalan ada kecelakaan, jadi terpaksa saya harus putar balik mencari jalan alternatif agar bisa sampai disini!" jawabku apa adanya."Alah, udah' deh! Gue nggak butuh penjelasan lo! Dimana mobilnya? Gue capek! Pengen segera pulang," cetus nya berlalu meninggalkan semua barang-barang bawaannya yang banyak ini."Hey! Tunggu! Ini barang-barang nya bagaimana?" teriakku memanggilnya. Tapi ia sama sekali tidak peduli. Dia berlal
Kulajukan mobilku menuju rumah sakit, aku harus segera berbicara dengan Emak. Jika sampai Emak nekat ingin membawa Nisa pulang kampung, bisa berabe!Kurang dari satu jam aku sampai di rumah sakit. Kulihat Emak sedang duduk di atas kursi, menemani Qila dan Fadlan yang tampak tertidur pulas."Assalamu'alaikum, Mak! Gimana kondisi, Emak? Sudah baikan?" tanyaku pada Emak. Ku cium punggung tanggalnya yang mulai keriput."Waalaikumsalam, Nak Anton! Akhirnya kamu datang juga! Alhamdulillah, Emak sudah baikan!""Yuli sama Rey kemana, Mak?" Aku menanyakan keberadaan kedua anak buah Ayah yang bertugas menemani Emak dan Nisa disini."Mereka sed
Sepertinya aku tidak perlu membalas pesan Ibu, saat ini perasaannya pasti tidak menentu. Lebih baik aku segera menemuinya."Mak, Anton pulang dulu, ya! Ada urusan dirumah, besok Anton kembali bersama Jannah! Emak jaga kesehatan dengan baik, jangan banyak pikiran! Anton pamit dulu, Assalamu'alaikum!" ucapku berpamitan pada Emak.Gegas ku menuju parkiran, mengambil mobil dan melesat menembus kemacetan Ibu kota.Di pertengahan jalan, aku mampir ke sebuah toko bunga. Aku ingin membawakan satu buket bunga mawar merah untuk Ibu. Ia begitu suka dengan bunga mawar. Semoga saja hatinya bisa luluh.**Sesampainya dirumah, aku segera masuk, karena pintu ruma
"Argh menyebalkan! Nenek lampir ini benar-benar menyusahkan. Kenapa dia harus muntah di bajuku?" gumamku kesal.Aku mendorong tubuhnya menjauh dariku. Seketika ia pun terjatuh duduk di paving sambil terus meracau.Beruntung aku selalu memakai baju kaos sebelum mengenakan kemeja. Segera kulepas satu per satu kancing kemejaku, dan menanggalkan kemeja yang sudah dipenuhi muntah berbau alkohol ini.Sedangkan Nenek lampir ini, dia terus berteriak tak karuan.Tak lama kemudian, dari dalam club, keluar segerombolan wanita dengan gaya sosialita yang sepertinya juga mabuk berat seperti Adel. Mereka menghampiri Adel yang terduduk di atas paving seperti orang gila."Ternyata lo disini, Del? Gue cari-cari di dalam nggak ada! Ngapain lo ngesot disini? Gue sama yang lain mau pulang, pala gue pusing! Nih, tas 'lo!" ucap salah seorang dari mereka sambil melempar tas berukuran cukup besar ke hadapan Adel."Tungguin gue, dong! Pala gue juga pusing, nih!" teri
"Udah jangan banyak omong! Cepet tutup mata, lo! Atau lo sengaja nggak mau nutup mata agar bisa ngintip gue ganti baju, hah?"Bener-bener nih cewek, bisa-bisanya dia mau ganti baju di dalam mobil. Padahal jelas-jelas ada cowok asing di sebelahnya.Aku pun segera memalingkan wajah ke lain arah dan menutup mata rapat-rapat. Beberapa saat kemudian baju dan rok mini yang ia kenakan sudah terlempar ke dashboard mobil.Lampu kembali ia nyalakan, tapi aku tetap dalam posisiku dengan perasaan yang cemas."Cepet bantuin gue!" ucapnya menepuk bahuku."Lo budeg, ya! Cepet bantuin gue!" kali ia berbicara sedikit berteriak.
Sebuah bra berwarna hitam dengan motif kupu-kupu di bagian belakangnya. Aku tidak habis pikir, kenapa bisa ada pakaian dalam perempuan di mobilku?Sepertinya benda ini milik si Nenek lampir yang menyebalkan itu. Bisa saja bra itu terjatuh dari tas nya saat ia mengganti baju. Benar-benar pembawa sial tuh orang, bikin aku malu saja di hadapan Sulis."A-anu! I-itu, sepertinya punya temen saya tertinggal! Kamu taruh saja disana! Biar nanti saya kasih tau temen saya!" ucapku salah tingkah. Aku benar-benar malu dihadapkan Sulis. Seketika Sulis pun mengangguk dengan ragu-ragu.Mudah-mudahan saja setelah menemukan pakaian dalam wanita di mobilku ia tidak berpikiran buruk tentangku."Sulis, sebaiknya kita langsung masuk
Sebuah pesan gambar yang memperlihatkan tubuhnya mengenakan balutan lingerie sexy dengan pose yang menggoda.[Aku sudah di hotel Alexis! Cepet kesini, ya' sayang!] tulisnya dalam keterangan foto itu.'Yang benar saja nih Nenek lampir, kenapa dia bisa senekat ini mengirimku pesan gambar yang vulgar seperti ini. Apa mungkin ia salah kirim pesan?'Tanganku menekan tombol keyboard, berniat untuk membalas pesannya dan menanyakan maksud dan tujuannya mengirimku gambar tak senonoh ini. Namun, belum sempat aku mengetikkan pesan di layar, tiba-tiba saja Nenek lampir itu menghapus pesan yang ia kirim.Benar dugaanku, sepertinya ia memang salah kirim pesan itu padaku. Dasar Nenek lampir tak punya etika, ganggu orang tidur saja!&
"Kamu apa-apa, Nis?" ucapku lalu mendorong tubuh Nisa menjauh dariku.Aku segera bangkit dari kasur dan berusaha keluar dari kamar. Namun, dengan cepat Nisa menahanku agar tidak keluar dan tetap di dalam kamar."Kenapa kamu dorong aku, Mas? Kamu nggak kangen sama aku?" ucapnya bertanya dengan polos."Kamu jangan ngaco, Nis! Sekarang kita bukan muhrim! Aku sudah bukan suamimu lagi. Kita berdua sudah resmi bercerai! Hakim sudah memutuskan perceraian kita!" tegas ku pada Nisa.Ia menggeleng tidak percaya, tangannya menjambak rambut frustasi. Kemudian ia berteriak histeris."Bohong! Kamu pasti bohong, Mas! Aku nggak mau bercerai sa