Sepertinya aku tidak perlu membalas pesan Ibu, saat ini perasaannya pasti tidak menentu. Lebih baik aku segera menemuinya.
"Mak, Anton pulang dulu, ya! Ada urusan dirumah, besok Anton kembali bersama Jannah! Emak jaga kesehatan dengan baik, jangan banyak pikiran! Anton pamit dulu, Assalamu'alaikum!" ucapku berpamitan pada Emak.
Gegas ku menuju parkiran, mengambil mobil dan melesat menembus kemacetan Ibu kota.
Di pertengahan jalan, aku mampir ke sebuah toko bunga. Aku ingin membawakan satu buket bunga mawar merah untuk Ibu. Ia begitu suka dengan bunga mawar. Semoga saja hatinya bisa luluh.
**
Sesampainya dirumah, aku segera masuk, karena pintu ruma
"Argh menyebalkan! Nenek lampir ini benar-benar menyusahkan. Kenapa dia harus muntah di bajuku?" gumamku kesal.Aku mendorong tubuhnya menjauh dariku. Seketika ia pun terjatuh duduk di paving sambil terus meracau.Beruntung aku selalu memakai baju kaos sebelum mengenakan kemeja. Segera kulepas satu per satu kancing kemejaku, dan menanggalkan kemeja yang sudah dipenuhi muntah berbau alkohol ini.Sedangkan Nenek lampir ini, dia terus berteriak tak karuan.Tak lama kemudian, dari dalam club, keluar segerombolan wanita dengan gaya sosialita yang sepertinya juga mabuk berat seperti Adel. Mereka menghampiri Adel yang terduduk di atas paving seperti orang gila."Ternyata lo disini, Del? Gue cari-cari di dalam nggak ada! Ngapain lo ngesot disini? Gue sama yang lain mau pulang, pala gue pusing! Nih, tas 'lo!" ucap salah seorang dari mereka sambil melempar tas berukuran cukup besar ke hadapan Adel."Tungguin gue, dong! Pala gue juga pusing, nih!" teri
"Udah jangan banyak omong! Cepet tutup mata, lo! Atau lo sengaja nggak mau nutup mata agar bisa ngintip gue ganti baju, hah?"Bener-bener nih cewek, bisa-bisanya dia mau ganti baju di dalam mobil. Padahal jelas-jelas ada cowok asing di sebelahnya.Aku pun segera memalingkan wajah ke lain arah dan menutup mata rapat-rapat. Beberapa saat kemudian baju dan rok mini yang ia kenakan sudah terlempar ke dashboard mobil.Lampu kembali ia nyalakan, tapi aku tetap dalam posisiku dengan perasaan yang cemas."Cepet bantuin gue!" ucapnya menepuk bahuku."Lo budeg, ya! Cepet bantuin gue!" kali ia berbicara sedikit berteriak.
Sebuah bra berwarna hitam dengan motif kupu-kupu di bagian belakangnya. Aku tidak habis pikir, kenapa bisa ada pakaian dalam perempuan di mobilku?Sepertinya benda ini milik si Nenek lampir yang menyebalkan itu. Bisa saja bra itu terjatuh dari tas nya saat ia mengganti baju. Benar-benar pembawa sial tuh orang, bikin aku malu saja di hadapan Sulis."A-anu! I-itu, sepertinya punya temen saya tertinggal! Kamu taruh saja disana! Biar nanti saya kasih tau temen saya!" ucapku salah tingkah. Aku benar-benar malu dihadapkan Sulis. Seketika Sulis pun mengangguk dengan ragu-ragu.Mudah-mudahan saja setelah menemukan pakaian dalam wanita di mobilku ia tidak berpikiran buruk tentangku."Sulis, sebaiknya kita langsung masuk
Sebuah pesan gambar yang memperlihatkan tubuhnya mengenakan balutan lingerie sexy dengan pose yang menggoda.[Aku sudah di hotel Alexis! Cepet kesini, ya' sayang!] tulisnya dalam keterangan foto itu.'Yang benar saja nih Nenek lampir, kenapa dia bisa senekat ini mengirimku pesan gambar yang vulgar seperti ini. Apa mungkin ia salah kirim pesan?'Tanganku menekan tombol keyboard, berniat untuk membalas pesannya dan menanyakan maksud dan tujuannya mengirimku gambar tak senonoh ini. Namun, belum sempat aku mengetikkan pesan di layar, tiba-tiba saja Nenek lampir itu menghapus pesan yang ia kirim.Benar dugaanku, sepertinya ia memang salah kirim pesan itu padaku. Dasar Nenek lampir tak punya etika, ganggu orang tidur saja!&
"Kamu apa-apa, Nis?" ucapku lalu mendorong tubuh Nisa menjauh dariku.Aku segera bangkit dari kasur dan berusaha keluar dari kamar. Namun, dengan cepat Nisa menahanku agar tidak keluar dan tetap di dalam kamar."Kenapa kamu dorong aku, Mas? Kamu nggak kangen sama aku?" ucapnya bertanya dengan polos."Kamu jangan ngaco, Nis! Sekarang kita bukan muhrim! Aku sudah bukan suamimu lagi. Kita berdua sudah resmi bercerai! Hakim sudah memutuskan perceraian kita!" tegas ku pada Nisa.Ia menggeleng tidak percaya, tangannya menjambak rambut frustasi. Kemudian ia berteriak histeris."Bohong! Kamu pasti bohong, Mas! Aku nggak mau bercerai sa
Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan Nisa. Aku merasa tak tenang, takut jika Nisa mencelakai Emak seperti di rumah sakit kemarin. Terlebih, kondisi Emak juga baru sembuh. Dia pasti belum bisa maximal mengurus Nisa.Setelah melewati jalan tol yang panjang, akhirnya aku tiba di Ibu kota.Drtt… Drt… Drt…Sebuah pesan whatsapp dari Ayah.[Anton! Kamu dimana? Ayah dan Om Tio menunggu kamu di kantor! Segeralah ke kantor! ] bunyi pesan dari Ayah.[Anton masih di jalan, Yah! Sebentar lagi sampai] balasku pada Ayah.Aku pun menambah la
"Ya sudah kalau begitu! Cepet ganti baju! Kita akan mulai makan malamnya!" seru Ayah padaku. Aku pun mengangguk dan bergegas masuk ke dalam kamar. Meninggalkan si Nenek lampir yang tampak shock. Terlihat kedua bola matanya membulat sempurna tak percaya melihatku disini.Selesai mengganti baju, gegas ku menghampiri mereka di meja makan. Menarik kursi dan duduk tepat dihadapkan Nenek lampir bar-bar itu."Ayo! Silahkan di cicipi hidangannya!" ucap Ayah mempersilahkan Om Tio dan istrinya untuk menikmati menu makan malam yang sudah dihidangkan di meja makan.Aneka menu yang tersaji begitu menggugah selera. Ayah menyiapkan jamuan yang sangat istimewa untuk Om Tio dan keluarganya.•"Anton! Bukannya Sulis
Kami semua sudah duduk di ruang tamu, menunggu si Nenek lampir itu keluar dari kamar Sulis. Kulihat, Tante Wina dan Om Tio sudah tak sabar menunggu putri semata wayangnya keluar.Mereka sepertinya benar-benar tidak enak hati pada Ayah karena ulah anaknya itu. Sejak tadi, Om Tio bahkan tak berani menatap wajah Ayah. Ia terus menunduk malu.Setelah lama menunggu akhirnya Sulis pun keluar dari kamar, di belakangnya si Nenek lampir itu berjalan mengekor dengan ragu-ragu."A-adel!" ucap Tante Wina melongo tak percaya, melihat anaknya keluar dari kamar mengenakan baju gamis yang menutupi seluruh auratnya.Begitupun dengan Om Tio, ia terlihat tak berkedip sedikitpun. Seolah terhipnotis oleh pe