Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan Nisa. Aku merasa tak tenang, takut jika Nisa mencelakai Emak seperti di rumah sakit kemarin. Terlebih, kondisi Emak juga baru sembuh. Dia pasti belum bisa maximal mengurus Nisa.
Setelah melewati jalan tol yang panjang, akhirnya aku tiba di Ibu kota.
Drtt… Drt… Drt…
Sebuah pesan whatsapp dari Ayah.
[Anton! Kamu dimana? Ayah dan Om Tio menunggu kamu di kantor! Segeralah ke kantor! ] bunyi pesan dari Ayah.
[Anton masih di jalan, Yah! Sebentar lagi sampai] balasku pada Ayah.
Aku pun menambah la
"Ya sudah kalau begitu! Cepet ganti baju! Kita akan mulai makan malamnya!" seru Ayah padaku. Aku pun mengangguk dan bergegas masuk ke dalam kamar. Meninggalkan si Nenek lampir yang tampak shock. Terlihat kedua bola matanya membulat sempurna tak percaya melihatku disini.Selesai mengganti baju, gegas ku menghampiri mereka di meja makan. Menarik kursi dan duduk tepat dihadapkan Nenek lampir bar-bar itu."Ayo! Silahkan di cicipi hidangannya!" ucap Ayah mempersilahkan Om Tio dan istrinya untuk menikmati menu makan malam yang sudah dihidangkan di meja makan.Aneka menu yang tersaji begitu menggugah selera. Ayah menyiapkan jamuan yang sangat istimewa untuk Om Tio dan keluarganya.•"Anton! Bukannya Sulis
Kami semua sudah duduk di ruang tamu, menunggu si Nenek lampir itu keluar dari kamar Sulis. Kulihat, Tante Wina dan Om Tio sudah tak sabar menunggu putri semata wayangnya keluar.Mereka sepertinya benar-benar tidak enak hati pada Ayah karena ulah anaknya itu. Sejak tadi, Om Tio bahkan tak berani menatap wajah Ayah. Ia terus menunduk malu.Setelah lama menunggu akhirnya Sulis pun keluar dari kamar, di belakangnya si Nenek lampir itu berjalan mengekor dengan ragu-ragu."A-adel!" ucap Tante Wina melongo tak percaya, melihat anaknya keluar dari kamar mengenakan baju gamis yang menutupi seluruh auratnya.Begitupun dengan Om Tio, ia terlihat tak berkedip sedikitpun. Seolah terhipnotis oleh pe
"Stop! Hentikan! Jangan macam-macam, kamu!" ucapku. Berusaha mundur dan menjauh darinya. Tapi si nenek lampir itu semakin mendekat. Sepertinya dia sengaja membuatku gugup seperti ini."Kenapa? Lo' takut?" ucapnya mendorong tubuhku ke tembok, mendekatkan wajahnya dengan wajahku."Masuk ke kamar gue, adalah kesalahan fatal yang sudah lo lakukan! Dan itu artinya, lo' harus Terima konsekuensinya!" ancam nya dengan senyuman licik.Kurang ajar, nih' nenek lampir! Beraninya dia memancing emosiku."Mundur dan menjauh dari saya! Kalau tidak--""Kalau tidak, lo 'mau apa, hah? Jangan pernah macam-macam sama gue!" ucapnya melotot penuh percaya diri. "Mau lo apa teriak-teriak masuk ke kamar orang seenaknya?""Saya ingin membuat perhitungan sama kamu! Apa maksud kamu mengedit foto anak saya seperti itu, hah? Kamu pikir lelucon itu bagus? Dimana hati nuranimu sebagai seorang wanita? Sampai hati kamu mengolok-olok dan menjadikan foto anak saya sebagai
"Ja-jangan macam-macam, lo' ya! Lepasin tangan gue!" teriaknya ingin berontak."Sudahlah, Nona cantik! Jangan banyak bergerak, nanti handuk yang kamu pakai lepas! Dan itu artinya--saya akan semakin gampang untuk melahapmu!" ucapku menakuti nya."Jadi bagaimana? Non Adel? Hapus semua fotonya, atau anda siap untuk saya nikmati!"Adel terdiam sesaat sebelum akhirnya ia pun kembali bersuara."Lo pikir gue takut, hah? Gue tau, lo' hanya menggertak gue' kan agar gue mau menghapus foto-foto si anak cacat lo itu? Laki-laki cupu kaya lo' mana mungkin berani menodai seorang wanita!" ujar nya mengentengkan ancaman ku."Oh … Sepertinya ka
Setelah acara makan siang bersama Ayah dan Om Tio, aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah Ibu. Kebetulan pekerjaanku di kantor juga sudah beres."Hati-hati di jalan, Anton! Sampaikan salam sama Ibumu!" ucap Ayah saat aku berpamitan padanya."Baik, Yah! Pasti Anton sampaikan pada ibu! Kalau begitu, Anton berangkat dulu, mari Om 'saya pulang duluan!" gegas ku pergi meninggalkan mereka berdua.**Dirumah, Ibu menyambutku dengan gembira. Ia begitu senang melihat kedatanganku yang tiba-tiba."Akhirnya kamu pulang juga, Anton! Bagaimana kerjaanmu? Lancar?""Alhamdulillah, Bu! Semuanya lancar! Ibu sendiri bagaimana? Sehat, kan? Maaf, ya' Bu. Satu minggu ini Anton sibuk banget, jadi nggak sempat jenguk Ibu,""Tidak apa! Ibu ngerti bagaimana sibuknya seorang direktur perusahaan besar seperti mu!" sahut Ibu menyodorkan kopi susu ke
"Emak? Apa yang terjadi? Kenapa Emak bisa seperti ini?" ucapku berjalan menghampiri nya. "Ceritanya panjang Nak Anton!" jawabnya parau. Dengan tertatih-tatih Enak berjalan menuju kursi. "Ceritakan pada Anton, apa yang sebenarnya terjadi, Mak?" Lagi-lagi aku mengulang pertanyaan ku. Emak terdiam, ia menatapku dengan bibir bergetar. Netranya mulai berembun, sepertinya sangat sulit untuk menjelaskannya padaku. "Emak … " aku memanggilnya dan menatapnya lekat. "Percaya pada Anton, Mak! Anton pasti akan membantu Emak. Emak nggak usah takut! Emak adalah tanggung jawab Anton. Anton harus tau apa yang sudah terjadi pada Emak!" "Ini semua gara-gara Mbak Nisa, Mas! Ia yang mencelakai Emak" ucap Aqila dengan polosnya. "Apa? Nisa?" "Iya, Mas! Mbak Nisa lah yang membuat Emak seperti ini! Dia sudah berubah jadi
"Bahu kamu kenapa, Nis? Kenapa bisa memar-memar seperti itu?" tanyaku khawatir. Namun, Nisa langsung menepis tanganku dan berusaha menutupi memar itu dengan bajunya."A-aku tidak apa-apa, Mas!" ucapnya berjalan menjauh dariku. Seolah menghindar dari pertanyaanku."Nis! Apa yang kamu sembunyikan? Mas yakin, pasti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan!""Tidak, Mas! Aku tidak menyembunyikan apapun! Kamu lihat sendiri, kan' barusan aku jatuh dari motor? Sudah jelas jika luka ini akibat jatuh ku barusan" jawab Nisa tanpa menoleh ke arahku. Ia terus menghindar, matanya enggan untuk menatapku.Aku yakin dia berbohong, aku lihat sendiri bagaimana posisi ia saat terjatuh. Jika pun memar seharusnya di ba
"Nisa! Kenapa kamu menamparku, Nis?" ucapku menatap wajahnya yang berderai air mata."Kamu tanya kenapa, Mas? Apa perlu aku jelaskan alasanku, hah?" sahutnya dengan nafas memburu. Sepertinya dia benar-benar marah padaku."Pergi dari sini, Mas! Cepat pergi dari sini!" teriaknya. Ia terisak dan kini bersimpuh di lantai beralaskan tanah ini.Ia terus menangis meratapi dirinya. Kali ini tangisannya terdengar pilu. Aku berjalan dan mencoba mendekatinya. Namun, ia terus menjauh dan berteriak mengusirku."Maafkan aku, Nis! Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu! Aku hanya tidak ingin kamu memberikan Emak dan adik-adikmu makan dari uang hasil---""Hasil apa, Mas? Hasil menjajakan tubuhku pada pria hidung belang? Hasil bekerja menjadi pelacur? Hasil dari menjual diri? Iya, kan' Mas? Itu yang ingin kamu katakan?" cecar Nisa penuh emosi."Nis! Maafkan aku jik