"Ja-jangan macam-macam, lo' ya! Lepasin tangan gue!" teriaknya ingin berontak.
"Sudahlah, Nona cantik! Jangan banyak bergerak, nanti handuk yang kamu pakai lepas! Dan itu artinya--saya akan semakin gampang untuk melahapmu!" ucapku menakuti nya.
"Jadi bagaimana? Non Adel? Hapus semua fotonya, atau anda siap untuk saya nikmati!"
Adel terdiam sesaat sebelum akhirnya ia pun kembali bersuara.
"Lo pikir gue takut, hah? Gue tau, lo' hanya menggertak gue' kan agar gue mau menghapus foto-foto si anak cacat lo itu? Laki-laki cupu kaya lo' mana mungkin berani menodai seorang wanita!" ujar nya mengentengkan ancaman ku.
"Oh … Sepertinya ka
Setelah acara makan siang bersama Ayah dan Om Tio, aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah Ibu. Kebetulan pekerjaanku di kantor juga sudah beres."Hati-hati di jalan, Anton! Sampaikan salam sama Ibumu!" ucap Ayah saat aku berpamitan padanya."Baik, Yah! Pasti Anton sampaikan pada ibu! Kalau begitu, Anton berangkat dulu, mari Om 'saya pulang duluan!" gegas ku pergi meninggalkan mereka berdua.**Dirumah, Ibu menyambutku dengan gembira. Ia begitu senang melihat kedatanganku yang tiba-tiba."Akhirnya kamu pulang juga, Anton! Bagaimana kerjaanmu? Lancar?""Alhamdulillah, Bu! Semuanya lancar! Ibu sendiri bagaimana? Sehat, kan? Maaf, ya' Bu. Satu minggu ini Anton sibuk banget, jadi nggak sempat jenguk Ibu,""Tidak apa! Ibu ngerti bagaimana sibuknya seorang direktur perusahaan besar seperti mu!" sahut Ibu menyodorkan kopi susu ke
"Emak? Apa yang terjadi? Kenapa Emak bisa seperti ini?" ucapku berjalan menghampiri nya. "Ceritanya panjang Nak Anton!" jawabnya parau. Dengan tertatih-tatih Enak berjalan menuju kursi. "Ceritakan pada Anton, apa yang sebenarnya terjadi, Mak?" Lagi-lagi aku mengulang pertanyaan ku. Emak terdiam, ia menatapku dengan bibir bergetar. Netranya mulai berembun, sepertinya sangat sulit untuk menjelaskannya padaku. "Emak … " aku memanggilnya dan menatapnya lekat. "Percaya pada Anton, Mak! Anton pasti akan membantu Emak. Emak nggak usah takut! Emak adalah tanggung jawab Anton. Anton harus tau apa yang sudah terjadi pada Emak!" "Ini semua gara-gara Mbak Nisa, Mas! Ia yang mencelakai Emak" ucap Aqila dengan polosnya. "Apa? Nisa?" "Iya, Mas! Mbak Nisa lah yang membuat Emak seperti ini! Dia sudah berubah jadi
"Bahu kamu kenapa, Nis? Kenapa bisa memar-memar seperti itu?" tanyaku khawatir. Namun, Nisa langsung menepis tanganku dan berusaha menutupi memar itu dengan bajunya."A-aku tidak apa-apa, Mas!" ucapnya berjalan menjauh dariku. Seolah menghindar dari pertanyaanku."Nis! Apa yang kamu sembunyikan? Mas yakin, pasti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan!""Tidak, Mas! Aku tidak menyembunyikan apapun! Kamu lihat sendiri, kan' barusan aku jatuh dari motor? Sudah jelas jika luka ini akibat jatuh ku barusan" jawab Nisa tanpa menoleh ke arahku. Ia terus menghindar, matanya enggan untuk menatapku.Aku yakin dia berbohong, aku lihat sendiri bagaimana posisi ia saat terjatuh. Jika pun memar seharusnya di ba
"Nisa! Kenapa kamu menamparku, Nis?" ucapku menatap wajahnya yang berderai air mata."Kamu tanya kenapa, Mas? Apa perlu aku jelaskan alasanku, hah?" sahutnya dengan nafas memburu. Sepertinya dia benar-benar marah padaku."Pergi dari sini, Mas! Cepat pergi dari sini!" teriaknya. Ia terisak dan kini bersimpuh di lantai beralaskan tanah ini.Ia terus menangis meratapi dirinya. Kali ini tangisannya terdengar pilu. Aku berjalan dan mencoba mendekatinya. Namun, ia terus menjauh dan berteriak mengusirku."Maafkan aku, Nis! Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu! Aku hanya tidak ingin kamu memberikan Emak dan adik-adikmu makan dari uang hasil---""Hasil apa, Mas? Hasil menjajakan tubuhku pada pria hidung belang? Hasil bekerja menjadi pelacur? Hasil dari menjual diri? Iya, kan' Mas? Itu yang ingin kamu katakan?" cecar Nisa penuh emosi."Nis! Maafkan aku jik
Setelah mendapat telepon dari Rahmat, aku segera bangkit dari kasur. Bergegas mandi dan membersihkan diri dari aroma alkohol yang menyengat ini.Setelah semalaman aku melayani beberapa tamu, aku belum sempat membersihkan tubuhku yang hina ini.Aku mengambil handuk yang tergeletak di atas kasur kapuk ini, lalu berjalan menuju kamar mandi. Selesai mandi aku kembalikan bersiap mengenakan pakaian terbuka sesuai perintah Rahmat."Nis! Kamu mau kemana lagi? Kamu, kan' baru datang! Masa mau pergi lagi?" tanya Emak padaku yang sudah bersiap untuk pergi."Nisa masih ada urusan, Mak! Nisa harus segera pergi!" jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
Aku mengambil satu butir pil KB itu, lalu meminumnya dengan harapan pil ini bisa berfungsi dengan baik.Di dalam kamar, tamu yang dimaksud oleh Rahmat sudah menungguku dengan antusias. Betapa terkejutnya aku saat yang ku lihat adalah seorang pemuda berusia belasan yang sepertinya masih berstatus sebagai pelajar. Terlihat dari celana yang ia kenakan. Celana dengan warna abu-abu khas anak sekolah."Akhirnya kamu datang juga!" ucapnya dengan wajah berbinar saat aku masuk ke dalam kamar. Sepertinya pemuda ini sudah tidak sabar untuk melampiaskan hasratnya padaku.Ia menarik tanganku dengan kasar, lalu mendorongku hingga terjatuh diatas kasur."Cepetan, Mbak! Aku sudah tidak sabar! Sudah lama menunggu Mbak dari tadi" ucap pemuda itu. Tangannya menjelajah sesuka hati. Ia melucuti seluruh kain yang menempel di tubuhnya, kemudian menarik bagian bawah pakaianku.
Aku pun segera pergi meninggalkan tempat kotor ini. Sepanjang jalan aku terus memikirkan ucapan Rahmat barusan. Semoga saja yang dimaksud Rahmat adalah melayani mereka berdua secara bergantian, bukan dalam waktu yang bersamaan. Aku tidak bisa membayangkan jika harus melayani mereka berdua secara bersamaan. Sesampainya di apotek, aku bergegas turun dari motor dan berjalan menuju apoteker untuk membeli salep dan obat anti nyeri untuk Emak. Setelah menyebutkan obat yang kuminta apoteker pun dengan gesit menyiapkan obatnya. "Totalnya 250 ribu, Mbak!" ucapnya sambil menyodorkan bungkusan obat yang ku pesan. Aku pun segera membayarnya dan membawa obat itu pulang. Emak pasti sudah menunggu di rumah, walaupun ia tidak memintaku untuk membelikan obatnya, tapi
"Stop! Berhenti! Cepet hentikan mobilnya sekarang juga! Kalau tidak, saya akan lompat dari mobil ini!" ucapku mengancam bocah yang terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi."Lompat aja kalau bisa! Pintunya sudah aku kunci! Mbak nggak akan bisa keluar dari mobil ini!" jawabnya dengan pasti.Astaga ini anak maunya apa, sih? Kenapa bisa senekat ini memaksa untuk mengantarku pulang?"Aku harus pastikan Mbak pulang ke rumah dengan keadaan baik! Aku nggak mau terjadi apa-apa dengan Mbak! Lebih baik sekarang Mbak bilang, dimana rumah Mbak, biar aku antar pulang ke sana!" ucapnya lagi padaku.'Tidak mungkin aku pulang ke rumah saat ini, itu sama saja aku cari mati!' gumamku dalam hati."Mbak! Ko' diem aja, sih? Cepat katakan dimana alamat rumah Mbak?"Kulihat jam yang melingkar di tangan sudah hampir jam 12. Itu berarti Rah