"Bahu kamu kenapa, Nis? Kenapa bisa memar-memar seperti itu?" tanyaku khawatir. Namun, Nisa langsung menepis tanganku dan berusaha menutupi memar itu dengan bajunya.
"A-aku tidak apa-apa, Mas!" ucapnya berjalan menjauh dariku. Seolah menghindar dari pertanyaanku.
"Nis! Apa yang kamu sembunyikan? Mas yakin, pasti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan!"
"Tidak, Mas! Aku tidak menyembunyikan apapun! Kamu lihat sendiri, kan' barusan aku jatuh dari motor? Sudah jelas jika luka ini akibat jatuh ku barusan" jawab Nisa tanpa menoleh ke arahku. Ia terus menghindar, matanya enggan untuk menatapku.
Aku yakin dia berbohong, aku lihat sendiri bagaimana posisi ia saat terjatuh. Jika pun memar seharusnya di ba
"Nisa! Kenapa kamu menamparku, Nis?" ucapku menatap wajahnya yang berderai air mata."Kamu tanya kenapa, Mas? Apa perlu aku jelaskan alasanku, hah?" sahutnya dengan nafas memburu. Sepertinya dia benar-benar marah padaku."Pergi dari sini, Mas! Cepat pergi dari sini!" teriaknya. Ia terisak dan kini bersimpuh di lantai beralaskan tanah ini.Ia terus menangis meratapi dirinya. Kali ini tangisannya terdengar pilu. Aku berjalan dan mencoba mendekatinya. Namun, ia terus menjauh dan berteriak mengusirku."Maafkan aku, Nis! Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu! Aku hanya tidak ingin kamu memberikan Emak dan adik-adikmu makan dari uang hasil---""Hasil apa, Mas? Hasil menjajakan tubuhku pada pria hidung belang? Hasil bekerja menjadi pelacur? Hasil dari menjual diri? Iya, kan' Mas? Itu yang ingin kamu katakan?" cecar Nisa penuh emosi."Nis! Maafkan aku jik
Setelah mendapat telepon dari Rahmat, aku segera bangkit dari kasur. Bergegas mandi dan membersihkan diri dari aroma alkohol yang menyengat ini.Setelah semalaman aku melayani beberapa tamu, aku belum sempat membersihkan tubuhku yang hina ini.Aku mengambil handuk yang tergeletak di atas kasur kapuk ini, lalu berjalan menuju kamar mandi. Selesai mandi aku kembalikan bersiap mengenakan pakaian terbuka sesuai perintah Rahmat."Nis! Kamu mau kemana lagi? Kamu, kan' baru datang! Masa mau pergi lagi?" tanya Emak padaku yang sudah bersiap untuk pergi."Nisa masih ada urusan, Mak! Nisa harus segera pergi!" jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
Aku mengambil satu butir pil KB itu, lalu meminumnya dengan harapan pil ini bisa berfungsi dengan baik.Di dalam kamar, tamu yang dimaksud oleh Rahmat sudah menungguku dengan antusias. Betapa terkejutnya aku saat yang ku lihat adalah seorang pemuda berusia belasan yang sepertinya masih berstatus sebagai pelajar. Terlihat dari celana yang ia kenakan. Celana dengan warna abu-abu khas anak sekolah."Akhirnya kamu datang juga!" ucapnya dengan wajah berbinar saat aku masuk ke dalam kamar. Sepertinya pemuda ini sudah tidak sabar untuk melampiaskan hasratnya padaku.Ia menarik tanganku dengan kasar, lalu mendorongku hingga terjatuh diatas kasur."Cepetan, Mbak! Aku sudah tidak sabar! Sudah lama menunggu Mbak dari tadi" ucap pemuda itu. Tangannya menjelajah sesuka hati. Ia melucuti seluruh kain yang menempel di tubuhnya, kemudian menarik bagian bawah pakaianku.
Aku pun segera pergi meninggalkan tempat kotor ini. Sepanjang jalan aku terus memikirkan ucapan Rahmat barusan. Semoga saja yang dimaksud Rahmat adalah melayani mereka berdua secara bergantian, bukan dalam waktu yang bersamaan. Aku tidak bisa membayangkan jika harus melayani mereka berdua secara bersamaan. Sesampainya di apotek, aku bergegas turun dari motor dan berjalan menuju apoteker untuk membeli salep dan obat anti nyeri untuk Emak. Setelah menyebutkan obat yang kuminta apoteker pun dengan gesit menyiapkan obatnya. "Totalnya 250 ribu, Mbak!" ucapnya sambil menyodorkan bungkusan obat yang ku pesan. Aku pun segera membayarnya dan membawa obat itu pulang. Emak pasti sudah menunggu di rumah, walaupun ia tidak memintaku untuk membelikan obatnya, tapi
"Stop! Berhenti! Cepet hentikan mobilnya sekarang juga! Kalau tidak, saya akan lompat dari mobil ini!" ucapku mengancam bocah yang terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi."Lompat aja kalau bisa! Pintunya sudah aku kunci! Mbak nggak akan bisa keluar dari mobil ini!" jawabnya dengan pasti.Astaga ini anak maunya apa, sih? Kenapa bisa senekat ini memaksa untuk mengantarku pulang?"Aku harus pastikan Mbak pulang ke rumah dengan keadaan baik! Aku nggak mau terjadi apa-apa dengan Mbak! Lebih baik sekarang Mbak bilang, dimana rumah Mbak, biar aku antar pulang ke sana!" ucapnya lagi padaku.'Tidak mungkin aku pulang ke rumah saat ini, itu sama saja aku cari mati!' gumamku dalam hati."Mbak! Ko' diem aja, sih? Cepat katakan dimana alamat rumah Mbak?"Kulihat jam yang melingkar di tangan sudah hampir jam 12. Itu berarti Rah
Sesampainya di depan wanteg, aku segera turun dari mobil bocah menyebalkan ini. Gegasku masuk ke warung bercat putih itu dan duduk di bangku paling pojok."Kamu ngapain ikut saya masuk?" tanyaku pada bocah menyebalkan yang mengekor dibelakangku.Bocah itu tidak menjawab, ia hanya tersenyum kemudian duduk di samping ku."Tugasmu sudah selesai, kan? Kenapa masih disini?" tanyaku padanya. Lagi-lagi ia tidak menjawab. Dasar bocah menyebalkan!"Lebih baik kamu segera pergi dari sini, sebelum teman atau saudara kamu melihat kamu makan di warteg dengan seorang pelacur seperti saya!" ucapku menatap lekat wajahnya."Hahaha… Mbak ini aneh-aneh aja! Mana mungkin teman dan saudara saya bisa lihat saya disini! Mbak ini ngaco!" sahutnya menggelengkan kepala sambil tertawa seolah mengejekku."Kenapa kamu tertawa? Memangnya ucapan saya lucu?""Ya jelas lucu lah Mbak! Keluarga dan teman-teman saya semuanya di jakarta! Mana mungkin mereka nyasar
Pov AntonSetelah menempuh perjalanan hampir empat jam karena terjebak kemacetan yang panjang di pintu tol, akhirnya aku pun sampai di kantor. Gegas ku menemui Ayah dan Om Tio di ruangannya."Akhirnya kamu datang juga, Anton! Kami sudah menunggumu dari tadi. Kamu dari mana saja? Pagi-pagi sudah menghilang tanpa kabar!" ucap Ayah saat aku menghampirinya."Maaf Ayah, Anton ada urusan pribadi! Anton lupa tidak mengabari Ayah terlebih dahulu! Maaf sudah membuat Ayah dan Om Tio lama menunggu!""Ya sudah! Tidak apa-apa. Yang penting sekarang kamu sudah datang! Ada hal yang ingin kami sampaikan sama kamu, Anton," ucap Ayah menatapku serius."Hal penting apa, Yah?" tanyaku penasaran."Besok pagi kamu harus terbang ke Singapore! Ada pekerjaan yang harus kamu handle!" ucap Ayah padaku."Ma-maksudnya?"&nbs
Malam semakin larut, aku masih saja memikirkan Nisa. Aku benar-benar khawatir dengan kondisinya saat ini. Kasihan Nisa, ia pasti sangat depresi dan terpukul karena beban hidup yang bertubi-tubi.Aku yakin, keputusannya untuk kembali menjadi pelacur adalah keterpaksaan. Entah kenapa aku begitu merasa bersalah padanya. 'Maafkan aku, Nis! Aku tidak bisa menjagamu dengan baik! Aku janji, suatu saat nanti aku akan membawamu kembali kejalan yang benar!'**pagi hariAyah sudah menungguku untuk sarapan. Ia terlihat nampak bersemangat menyambutku yang sudah siap untuk berangkat."Bagaimana, Anton? Semua yang kamu butuhkan sudah siap?" tanya Ayah padaku.