"Ya sudah kalau begitu! Cepet ganti baju! Kita akan mulai makan malamnya!" seru Ayah padaku. Aku pun mengangguk dan bergegas masuk ke dalam kamar. Meninggalkan si Nenek lampir yang tampak shock. Terlihat kedua bola matanya membulat sempurna tak percaya melihatku disini.
Selesai mengganti baju, gegas ku menghampiri mereka di meja makan. Menarik kursi dan duduk tepat dihadapkan Nenek lampir bar-bar itu.
"Ayo! Silahkan di cicipi hidangannya!" ucap Ayah mempersilahkan Om Tio dan istrinya untuk menikmati menu makan malam yang sudah dihidangkan di meja makan.
Aneka menu yang tersaji begitu menggugah selera. Ayah menyiapkan jamuan yang sangat istimewa untuk Om Tio dan keluarganya.
"Anton! Bukannya Sulis
Kami semua sudah duduk di ruang tamu, menunggu si Nenek lampir itu keluar dari kamar Sulis. Kulihat, Tante Wina dan Om Tio sudah tak sabar menunggu putri semata wayangnya keluar.Mereka sepertinya benar-benar tidak enak hati pada Ayah karena ulah anaknya itu. Sejak tadi, Om Tio bahkan tak berani menatap wajah Ayah. Ia terus menunduk malu.Setelah lama menunggu akhirnya Sulis pun keluar dari kamar, di belakangnya si Nenek lampir itu berjalan mengekor dengan ragu-ragu."A-adel!" ucap Tante Wina melongo tak percaya, melihat anaknya keluar dari kamar mengenakan baju gamis yang menutupi seluruh auratnya.Begitupun dengan Om Tio, ia terlihat tak berkedip sedikitpun. Seolah terhipnotis oleh pe
"Stop! Hentikan! Jangan macam-macam, kamu!" ucapku. Berusaha mundur dan menjauh darinya. Tapi si nenek lampir itu semakin mendekat. Sepertinya dia sengaja membuatku gugup seperti ini."Kenapa? Lo' takut?" ucapnya mendorong tubuhku ke tembok, mendekatkan wajahnya dengan wajahku."Masuk ke kamar gue, adalah kesalahan fatal yang sudah lo lakukan! Dan itu artinya, lo' harus Terima konsekuensinya!" ancam nya dengan senyuman licik.Kurang ajar, nih' nenek lampir! Beraninya dia memancing emosiku."Mundur dan menjauh dari saya! Kalau tidak--""Kalau tidak, lo 'mau apa, hah? Jangan pernah macam-macam sama gue!" ucapnya melotot penuh percaya diri. "Mau lo apa teriak-teriak masuk ke kamar orang seenaknya?""Saya ingin membuat perhitungan sama kamu! Apa maksud kamu mengedit foto anak saya seperti itu, hah? Kamu pikir lelucon itu bagus? Dimana hati nuranimu sebagai seorang wanita? Sampai hati kamu mengolok-olok dan menjadikan foto anak saya sebagai
"Ja-jangan macam-macam, lo' ya! Lepasin tangan gue!" teriaknya ingin berontak."Sudahlah, Nona cantik! Jangan banyak bergerak, nanti handuk yang kamu pakai lepas! Dan itu artinya--saya akan semakin gampang untuk melahapmu!" ucapku menakuti nya."Jadi bagaimana? Non Adel? Hapus semua fotonya, atau anda siap untuk saya nikmati!"Adel terdiam sesaat sebelum akhirnya ia pun kembali bersuara."Lo pikir gue takut, hah? Gue tau, lo' hanya menggertak gue' kan agar gue mau menghapus foto-foto si anak cacat lo itu? Laki-laki cupu kaya lo' mana mungkin berani menodai seorang wanita!" ujar nya mengentengkan ancaman ku."Oh … Sepertinya ka
Setelah acara makan siang bersama Ayah dan Om Tio, aku memutuskan untuk langsung pulang ke rumah Ibu. Kebetulan pekerjaanku di kantor juga sudah beres."Hati-hati di jalan, Anton! Sampaikan salam sama Ibumu!" ucap Ayah saat aku berpamitan padanya."Baik, Yah! Pasti Anton sampaikan pada ibu! Kalau begitu, Anton berangkat dulu, mari Om 'saya pulang duluan!" gegas ku pergi meninggalkan mereka berdua.**Dirumah, Ibu menyambutku dengan gembira. Ia begitu senang melihat kedatanganku yang tiba-tiba."Akhirnya kamu pulang juga, Anton! Bagaimana kerjaanmu? Lancar?""Alhamdulillah, Bu! Semuanya lancar! Ibu sendiri bagaimana? Sehat, kan? Maaf, ya' Bu. Satu minggu ini Anton sibuk banget, jadi nggak sempat jenguk Ibu,""Tidak apa! Ibu ngerti bagaimana sibuknya seorang direktur perusahaan besar seperti mu!" sahut Ibu menyodorkan kopi susu ke
"Emak? Apa yang terjadi? Kenapa Emak bisa seperti ini?" ucapku berjalan menghampiri nya. "Ceritanya panjang Nak Anton!" jawabnya parau. Dengan tertatih-tatih Enak berjalan menuju kursi. "Ceritakan pada Anton, apa yang sebenarnya terjadi, Mak?" Lagi-lagi aku mengulang pertanyaan ku. Emak terdiam, ia menatapku dengan bibir bergetar. Netranya mulai berembun, sepertinya sangat sulit untuk menjelaskannya padaku. "Emak … " aku memanggilnya dan menatapnya lekat. "Percaya pada Anton, Mak! Anton pasti akan membantu Emak. Emak nggak usah takut! Emak adalah tanggung jawab Anton. Anton harus tau apa yang sudah terjadi pada Emak!" "Ini semua gara-gara Mbak Nisa, Mas! Ia yang mencelakai Emak" ucap Aqila dengan polosnya. "Apa? Nisa?" "Iya, Mas! Mbak Nisa lah yang membuat Emak seperti ini! Dia sudah berubah jadi
"Bahu kamu kenapa, Nis? Kenapa bisa memar-memar seperti itu?" tanyaku khawatir. Namun, Nisa langsung menepis tanganku dan berusaha menutupi memar itu dengan bajunya."A-aku tidak apa-apa, Mas!" ucapnya berjalan menjauh dariku. Seolah menghindar dari pertanyaanku."Nis! Apa yang kamu sembunyikan? Mas yakin, pasti ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan!""Tidak, Mas! Aku tidak menyembunyikan apapun! Kamu lihat sendiri, kan' barusan aku jatuh dari motor? Sudah jelas jika luka ini akibat jatuh ku barusan" jawab Nisa tanpa menoleh ke arahku. Ia terus menghindar, matanya enggan untuk menatapku.Aku yakin dia berbohong, aku lihat sendiri bagaimana posisi ia saat terjatuh. Jika pun memar seharusnya di ba
"Nisa! Kenapa kamu menamparku, Nis?" ucapku menatap wajahnya yang berderai air mata."Kamu tanya kenapa, Mas? Apa perlu aku jelaskan alasanku, hah?" sahutnya dengan nafas memburu. Sepertinya dia benar-benar marah padaku."Pergi dari sini, Mas! Cepat pergi dari sini!" teriaknya. Ia terisak dan kini bersimpuh di lantai beralaskan tanah ini.Ia terus menangis meratapi dirinya. Kali ini tangisannya terdengar pilu. Aku berjalan dan mencoba mendekatinya. Namun, ia terus menjauh dan berteriak mengusirku."Maafkan aku, Nis! Aku tidak bermaksud untuk menyakitimu! Aku hanya tidak ingin kamu memberikan Emak dan adik-adikmu makan dari uang hasil---""Hasil apa, Mas? Hasil menjajakan tubuhku pada pria hidung belang? Hasil bekerja menjadi pelacur? Hasil dari menjual diri? Iya, kan' Mas? Itu yang ingin kamu katakan?" cecar Nisa penuh emosi."Nis! Maafkan aku jik
Setelah mendapat telepon dari Rahmat, aku segera bangkit dari kasur. Bergegas mandi dan membersihkan diri dari aroma alkohol yang menyengat ini.Setelah semalaman aku melayani beberapa tamu, aku belum sempat membersihkan tubuhku yang hina ini.Aku mengambil handuk yang tergeletak di atas kasur kapuk ini, lalu berjalan menuju kamar mandi. Selesai mandi aku kembalikan bersiap mengenakan pakaian terbuka sesuai perintah Rahmat."Nis! Kamu mau kemana lagi? Kamu, kan' baru datang! Masa mau pergi lagi?" tanya Emak padaku yang sudah bersiap untuk pergi."Nisa masih ada urusan, Mak! Nisa harus segera pergi!" jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
Hallo semuanya 🥰🥰 Akhirnya setelah penantian dan proses yang cukup lama. Novel Vonis mandul ditengah kehamilan istriku atau disingkat menjadi (VMDKI) Ending juga 🥳🥳🥳Pertama-tama Saya mengucapkan terimakasih pada Tuhan Yang Maha Esa dan juga kepada Keluarga besar saya yang telah mendukung saya menjadi seorang Penulis. Dan yang paling spesial adalah terimakasih saya kepada seluruh pembaca setia novel VMDKI yang mengikuti novel ini dari awal terbit sampai tamat. 200 bab bukanlah jumlah yang sedikit, dan tentunya banyak diantara kalian semua yang sudah menghabiskan dana untuk membaca novel ini. Saya mohon maaf telah membuat kalian menghabiskan uang jajan atau bahkan uang dapur kalian untuk cerita ini. Semoga kalian bisa mendapat ganti yang berlipat ganda, semoga selalu di beri kesehatan, dan di lancarkan rezekinya. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan dan Typo di dalam Novel ini. Jika berkenan yuk, baca juga novel ottor yang lainnya. *Yang suka dr
***Setelah pertemuan itu mereka tidak lagi bertemu sampai acara pernikahan tiba. Anton dan Adelia hanya berkomunikasi lewat telepon dan watsap. Hari terus berganti, kedua keluarga semakin sibuk mempersiapkan acara sakral itu. Mereka ingin acara itu menjadi pernikahan termewah di Jakarta. Malam ini kedua keluarga mengadakan pertemuan tertutup. Dua pasangan paruh baya itu mengadakan jamuan di sebuah restoran VVIP untuk membahas persiapan pesta yang akan digelar besok. Mereka ingin memastikan jika semua persiapan sudah seratus persen. "Syukurlah jika semuanya sudah siap, saya sangat lega mendengarnya! Ini adalah momen spesial untuk kami," ucap Tuan Romy lega. "Iya, Pak. Kami pun begitu, rasanya tidak sabar untuk menunggu hari esok," jawab Pak Tio. "Kalau begitu, kita akhiri saja pertemuan ini, sepertinya sudah malam juga, sudah waktunya kita istirahat agar besok pagi tidak terlambat," ucapnya. Mereka p
***Dengan wajah memerah, Anton keluar dari minimarket membawa bungkusan berwarna merah muda itu. "Sial! Gara-gara Adel, aku jadi di ketawain anak-anak ABG tadi, mana jadi bahan olok-olokkan mereka lagi," cetus Anton menutup pintu mobilnya dengan kesal."Lagian, ngapain juga tuh kasir banyak tanya, pake acara nawarin merek lain segala lagi, memang dia pikir' saya ngerti apa dengan merek-merek pembalut? Aneh-aneh aja tuh orang," Anton menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan minimarket berlogo merah kuning itu.Sesampainya di rumah Adel, Anton pun langsung masuk ke dalam rumah yang tidak di kunci itu sesuai perintah Adel saat ia menelpon."Adel! Kamu dimana?""Gue di kamar! Lo sini aja! Gue nggak bisa turun nih," teriak Adel menyahut dari kejauhan."Jangan bercanda dong, Del! Di rumah kamu nggak ada siapa-siapa, ntar kalau tiba-tiba Papa dan Mama kamu datang dan melihat saya ada di k
🍀🍀🍀"Ibu langsung istirahat saja! Ibu pasti capek, kan? Barang-barangnya biar si Mbok dan Sulis yang urus!" ucap Anton saat mereka tiba di rumah sang Ayah. Wanita paruh baya itu pun mengangguk dan menuruti seruan anaknya. Sedangkan Anton segera masuk ke dalam kamarnya, ia pun merasa lelah setelah membantu memindahkan barang-barang ibunya.Kring! Kring! Ponsel Anton berdering, dengan cepat ia mengangkat panggilan masuk dari Lilis. "Halo, assalamualaikum' Mbak,""Waalaikumsalam, Mas. Maaf mengganggu, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih atas paket yang dikirim mas Anton. Anak-anak senang sekali, Mas,""Syukurlah kalau paketnya sudah sampai, Mbak. Semoga Fadlan dan Aqila menyukainya," ucap Anton lega. Tiga hari lalu Anton mengirim perlengkapan sekolah untuk kedua adik iparnya itu. Mulai dari baju seragam, sepatu, tas dan perlengkapan lainnya. "Suka banget, Mas. Dari tadi mereka nggak sabar ingin bilang terima
🍀🍀🍀Satu minggu sebelum pernikahan Anton di gelar, Tuan Romy dan Bu Minah pun melangsungkan acara pernikahan mereka di kediaman Tuan Romy, acaranya berlangsung khidmat dan sederhana sesuai permintaan Bu Aminah. Hanya kerabat dan orang-orang terdekat mereka yang menghadiri acara tersebut. Bu Aminah tampak begitu cantik dengan balutan kebaya Jawa, begitupun dengan Tuan Romy, pria lima puluh dua tahun itu tampak gagah dengan busana adat dan juga blangkon khas Jawa yang ia kenakanan. Pasangan paruh baya itu pun duduk di depan penghulu. "Bagaimana Pak Romy, sudah siap?" tanya penghulu itu memastikan. Tuan Romy pun langsung mengangguk yakin. Anton dan kekasihnya duduk di sebelah mereka, menyaksikan betapa sakralnya ijab kabul yang diucapkan sang Ayah. Suasana hening sejenak saat Tuan Romy dengan lugas dan lancar mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas."Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu memastikan."Sah!"
***Satu minggu setelah perdebatan itu, suasana kembali mencair. Bu Minah berusaha untuk menghilangkan kebenciannya kepada Jannah. Bagaimanapun anak itu memang tidak berdosa. Tidak mungkin ia harus menanggung beban atas perbuatan keji yang dilakukan kedua orang tuanya. Bu Minah berusaha meyakinkan dirinya, meski itu tidak semudah yang dipikirkan. Tapi ia yakin, lambat laun rasa sayang itu akan tumbuh dengan sendirinya. Kring! Kring! Dering ponselnya berbunyi. Nama Tuan Romy terpampang di layar. Dengan antusias Bu Minah segera menggeser tombol hijau dan berbicara dengan pria yang kini kembali mengisi kekosongan hatinya. "Halo, Mas. Sudah berangkat?" tanya Bu Minah saat seseorang memanggil namanya. "Sudah, Minah. Ini Mas sudah di jalan, sebentar lagi sampai. Kamu sudah siap' kan?" "Sudah, Mas. Saya tunggu di luar ya, biar kita langsung berangkat," Sahutnya sebelum memutus panggilan. Hari
Sore menjelang malam, mereka pun tiba di Jakarta. Setelah mengantar Adel sampai ke rumahnya, Anton pun bergegas pulang. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat Bu Minah ada di rumah sang Ayah dan menyambut dirinya dengan wajah tak bersahabat."Ibu? Sejak kapan ibu disini?" tanya Anton meraih tangan ibunya dan menciumnya takzim."Kamu dari mana saja Anton? Kenapa nomormu tidak bisa dihubungi?" tanya Bu Minah menatap tajam Anak sulungnya itu. Melihat raut wajah ibunya yang kesal, Anton pun bingung harus menjawab apa. "Kenapa diam saja Anton? Kamu tidak dengar apa yang ibu tanyakan?! Kamu dari mana saja? Kenapa pergi tidak pamit sama ibu?""Maaf kan Anton, Bu. Anton … Anton ada urusan,""Urusan? Urusan apa? Mengurus wanita jalang itu maksudmu?! Jawab Anton! Benarkan apa yang ibu katakan?" Mendengar cercaran pertanyaan dari ibunya, Anton pun hanya bisa mengangguk mengiyakan. Ia tidak mungkin berdebat dengan sang ibu d
Mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk pulang, Anton dan Adel mengantar Lilis terlebih dahulu sebelum mereka berdua kembali ke Jakarta. "Terimakasih, ya' Mas Anton, maaf sudah terlalu banyak merepotkan," ucap Lilis saat mereka tiba di rumahnya. "Tidak apa, Mbak. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya. Kalau begitu saya pamit dulu' ya, Mbak. Salam pada anak-anak," "Baik, Mas. Nanti saya sampaikan salam dari Mas Anton pada Qila dan Fadlan jika mereka sudah pulang dari sekolah. Mas Anton dan Mbak Adel hati-hati di jalan," sahut Lilis dan segera di anggukan oleh Anton maupun Adel. Dua sejoli itu pun akhirnya pergi meninggalkan kampung halaman Nisa.Tidak bisa dipungkiri, di kampung ini Anton sempat menjadi bagian dari keluarga besar Abah dan Emak. Kenangan masa lalu yang indah sempat terukir, walau hanya sesaat."Anton? Lo kenapa' sih? Ko malah ngelamun? Ayo jalan!" ucap Adel menegur kekasihnya yang masih dudu
"E-elo … nggak sedang bohongin gue kan?" tanya Adel terbata. Seketika ada perasaan bersalah karena telah menuduhnya yang tidak-tidak. "Untuk apa saya bohongin kamu, Del? Apa untungnya buat saya?" sahut Anton membuang nafas kasar. Ia tidak menyangka jika gadisnya itu bisa berpikiran buruk terhadapnya. "Lebih baik' sekarang kamu balik ke Jakarta! Kamu kesini diantar Pak Amin' kan? Biar saya bilang sama Pak Amin untuk bawa kamu pulang ke Jakarta," ucap Anton. Ia pun berjalan menuju mobil hendak menghampiri sang supir. Namun, seketika tangan Adel menghadangnya. "Gue nggak mau balik! Gue mau disini nemenin lo!" ujar Adel yakin."Tapi, Del! Disini saya repot dengan urusan Nisa. Saya tidak mungkin bisa jagain kamu! Dari pada nantinya kamu kesal, lebih baik kamu pulang. Jika urusan disini selesai, saya akan segera menyusul kamu ke Jakarta!" "Pokoknya gue nggak mau balik! Gue tidak akan kembali ke Jakarta tanpa lo! Gue mau nemenin lo sampai semua urusan