Bab 9
#RhienzVonis mandul ditengah kehamilan istriku
"Sudah-sudah! Kalian ini malah bertengkar!" ucap Ibu berusaha mengalihkan percakapan ku dan Bapak.
"Tapi, Bu! Kenapa Bapak bilang aku ini anak haram?" tanyaku pada Ibu."Sudahlah Anton! Bapakmu itu lagi emosi, jadi ngomongnya ngelantur! Lebih baik, sekarang kamu bujuk Nisa! Jangan sampai dia kekeh minta pulang kampung! Ibu gak mau kalau Nisa sampai ngadu sama orang tuanya!" ucap Ibu sambil menarik tanganku, menjauh dari Bapak.Baiklah, mungkin kali ini, aku masih harus mengalah, tapi tidak untuk hari-hari selanjutnya. Seperti tadi, aku terlalu cepat menyimpulkan tanpa bukti yang kuat, akhirnya malah berantakan. Bukannya kebenaran yang aku dapat melainkan teka-teki baru yang keluar dari mulut Bapak.
Aku yakin, Bapak tidak salah bicara, tidak mungkin dia memanggilku anak haram, jika tidak ada sebabnya. Kalau hanya karena emosi, masa iya Ba
Perasaan tak tenang terus mengusik di benakku, setelah melihat rekaman CCTV tadi, ingin rasanya aku segera pulang dan melabrak Nisa dengan bukti yang sudah jelas. Berkali-kali aku melihat jam di ponselku, waktu masih menunjukan pukul 3 sore, masih 2 jam lagi menuju waktu pulang kantor.Gelisah dan terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki itu, kalau aku melihat sepintas perawakannya yang tidak jelas, sepertinya bukan Arjuna. Mungkinkah itu Bapak? Tapi--Bapak kan lumpuh! Apa sebenarnya Bapak hanya pura-pura lumpuh? Argh… aku menjambak rambutku frustasi.Aku bisa gila jika terus-menerus seperti ini, memecahkan teka-teki yang gak ada habisnya.***"Pak Anton! Bapak dipanggil Pak Surya ke ruangannya," ucap Tika, sekretaris Pak Surya, kepala cabang di kantor ini.Sejenak aku berpikir, tumben sekali Pak Surya memanggilku, biasanya jika tidak ada yang urgent, Pak Surya tidak pernah menyuruhku datang
Setelah mendengar percakapan Nisa dan Ibunya ditelpon, rasa penasaranku semakin berkecamuk, aku pun memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar."Nis, kamu lagi apa?" tanyaku pada Nisa yang sedang duduk terlentang di atas kasur, seketika Nisa terkejut dan langsung mematikan ponsel jadul yang ia pakai untuk mengobrol dengan keluarganya."Ma-Mas, Anton! Ko tidak mengucapkan salam, Mas?" ucap Nisa terbata, wajahnya nampak panik melihatku masuk kamar tiba-tiba.Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mendekat dan duduk di sampingnya. Kulihat wajahnya begitu pucat, sepertinya Nisa kelelahan. Raut wajahnya sama seperti saat ia dibawa ke rumah sakit kemarin. Apa sebenarnya Nisa kelelahan karena melayani nafsu Bapak? Tapi, jika itu benar, dimana Ibu saat itu? Tidakkah dia curiga?"Kamu pucat, Nis! Uda minum obat?" tanyaku khawatir, bagaimanapun juga, di perutnya ada janin yang harus selalu mendapat nutrisi dari Ibunya
Aku pun segera mengantongi bungkus obat kuat itu, dan bergegas melipat kursi roda, kemudian memasukkannya ke dalam bagasi belakang mobil.Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku tidak banyak bicara pada Bapak maupun Ibu, mereka berdua duduk di kursi belakang, sesekali ku perhatikan wajah Bapak, parasnya memang masih tampan, dan kharismatik, tidak hanya itu. Bapak juga memiliki tubuh yang cukup atletis meskipun usianya sudah 50 tahun. Kekurangan Bapak hanya satu, yaitu lumpuh. Mungkin, jika Bapak tidak lumpuh, dia masih gagah dan energik.Tapi, setelah melihat ciri-ciri dari pria yang bercinta dengan Nisa di Video CCTV itu, mengapa aku jadi ragu, apakah Bapak benar-benar lumpuh atau hanya bersandiwara.Aku yakin, jika ini hanya sandiwara lambat laun pasti akan terbongkar. Aku akan Pastikan itu. Aku pun terus memacu mobil dengan cepat, berharap segera sampai rumah. Aku ingin segera mencocokkan bungkus obat kuat ini dengan nota yang kutemukan di dekat tem
Setelah membaca pesan dari nomor tidak dikenal itu, aku semakin penasaran dengan masa lalu Nisa. Selama ini dia selalu tertutup padaku, tak pernah sedikitpun bercerita tentang kehidupannya di masa lalu, bahkan tentang keluarga nya saja, Nisa terkesan tertutup. Aku sama sekali tidak pernah mendengar kabar tentang orang tuanya di kampung.Setiap aku bertanya tentang keluarganya, Nisa selalu saja mengalihkan pembicaraan.Ku lihat jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam, tapi mata ini sulit untuk dipejamkan, bayang-bayang di video itu selalu saja menghantui pikiranku.Aku memang headset di telingaku, memutar lagu klasik pengantar tidur, setidaknya dengan mendengarkan lagu-lagu ini, aku bisa lebih cepat tidur.***Terdengar suara alarm berbunyi, tak lama kemudian suara adzan subuh pun berkumandang. Aku membuka mataku perlahan, ternyata Nisa sudah tidak ada disampingku. Kemana dia? Mungkinkah dia sudah ba
"Emak, Abah sakit apa? Kenapa bisa seperti ini?" tanyaku pada Emak. Wanita paruh bawa ini mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar seolah sulit untuk berucap."Mak…" panggil ku lagi. "Kenapa Nisa tidak pernah cerita, jika Abah sedang sakit parah seperti ini?""Maafkan kami, Nak Anton! Kami sudah berjanji pada Nisa, untuk tidak menghubungi Nak Anton! Kami takut akan merepotkan Nak Anton dan keluarga Pak Baskoro," ucapnya tersedu-sedu, butiran bening yang sudah tak bisa dibendung, akhirnya tumpah di wajahnya yang mulai keriput."Tapi, Mak! Kalau seperti ini, kasihan Abah. Kalau saya tau, Abah sakit parah seperti ini, mungkin-saya akan sering mengajak Nisa mengunjungi Emak dan Abah di kampung!""Tidak apa, Nak Anton. Selama ini, kami sudah banyak berhutang budi pada keluarga Nak Anton."Kucium punggung tangan Abah yang tergolek lemah di ranjang. Tatapan matanya kosong, tapi Abah mendengar suaraku. Saat aku bertanya, ia meng
"Tapi itu mah dulu, Kang! Sekarang mah dia uda insyaf. Terakhir saya lihat, dia sudah pake kerudung, uda gak pernah kumpul-kumpul lagi sama anak-anak disini!" paparnya padaku. "Oh ya? Sejak kapan dia insyaf, Kang?" tanyaku penasaran. "Uda lama, Kang! Uda hampir 2 tahun ini, pokoknya semenjak Abahnya sakit-sakitan, semenjak itu si Nisa uda gak pernah tuh nongkrong-nongkrong gak jelas," Mendengar penjelasan pegawai bengkel ini, aku mulai berfikir. Jika dia bilang Nisa Insyaf sudah hampir 2 tahun, berarti sebelum mengenalku dia sudah insyaf. Tapi, kenapa dia mau berbuat zina dengan pria lain di belakangku, padahal statusnya adalah istriku. "Tuh Kang, Liat! Itu tuh, cowok yang pakai jaket merah, dia itu mantan pacarnya si Nisa! Dulu mereka pacaran lama, tapi ya gitu Kang. Si Nisa nya kan sana sini masuk, malahan nih Kang, menurut gosip, si Nisa itu pernah melakukan aborsi!" ucapanya kali ini membuatku benar-benar terkejut. "Apa? Abor
Sedangkan Bapak hanya berdiri mematung, wajahnya yang tadi merah penuh amarah, kini berubah menjadi pucat pasi. "Pak! Sejak kapan Bapak bisa berdiri? Ko Bapak gak pernah bilang sama Ibu, jika Bapak sudah kuat berdiri sendiri?" Ibu terus saja memberondong Bapak dengan pertanyaan. "Kenapa diam saja, Pak? Bapak gak bisa jawab? Atau Bapak mau berpura-pura lagi di depan kami?" sahut ku penuh emosi. Rasanya aku sudah tidak bisa membendung emosi ku yang sudah terlanjur meluap. "Maksud kamu apa, Anton? Siapa yang pura-pura?" tanya Ibu padaku. "Ibu tanya saja pada Bapak! Sejak kapan dia sudah bisa berjalan! "Ba-bapak benar, sudah bisa jalan?" tanya Ibu yang masih bingung. Bapak merunduk, wajah garangnya tak mampu menatap Ibu yang berdiri di sampingnya. Aku tahu betul, saat ini Bapak pasti sedang berpikir, bagaimana caranya agar Ibu bisa percaya padanya
Setelah ku angkat Ibu ke kasur, Ibu tak juga sadar. Aku benar-benar panik dan khawatir. Aku takut jika Ibu kenapa-kenapa. Akhirnya aku putuskan untuk membawa Ibu ke rumah sakit, aku dan Arjuna mengangkat Ibu ke dalam mobil, sedangkan Bapak, ia tetap tak bergeming. Mata hatinya seolah tertutup dengan keangkuhannya. Jika tidak memandang Ibu, ingin sekali ku maki pria paruh baya yang keras kepala ini."Jun! Kamu jagain Ibu di belakang! Biar Mas yang nyetir!" ucapku pada Arjuna yang juga nampak panik."Iya, Mas!" Jawabnya lalu masuk ke mobil, mendampingi Ibu yang tak sadarkan diri.Sedangkan Nisa, tanpa disuruh ia langsung masuk ke dalam mobil, dan duduk di kursi depan, tepat di samping ku. Wajahnya nampak khawatir, berkali-kali ia mengelus perutnya, dari raut wajahnya sepertinya ia mulai kram lagi.Ku lajukan mobil dengan kecepatan tinggi, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Ibu. Berkali-kali aku menerobos lampu merah, dan itu membuat Ni