Setelah membaca pesan dari nomor tidak dikenal itu, aku semakin penasaran dengan masa lalu Nisa. Selama ini dia selalu tertutup padaku, tak pernah sedikitpun bercerita tentang kehidupannya di masa lalu, bahkan tentang keluarga nya saja, Nisa terkesan tertutup. Aku sama sekali tidak pernah mendengar kabar tentang orang tuanya di kampung.
Setiap aku bertanya tentang keluarganya, Nisa selalu saja mengalihkan pembicaraan.Ku lihat jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam, tapi mata ini sulit untuk dipejamkan, bayang-bayang di video itu selalu saja menghantui pikiranku.
Aku memang headset di telingaku, memutar lagu klasik pengantar tidur, setidaknya dengan mendengarkan lagu-lagu ini, aku bisa lebih cepat tidur.***
Terdengar suara alarm berbunyi, tak lama kemudian suara adzan subuh pun berkumandang. Aku membuka mataku perlahan, ternyata Nisa sudah tidak ada disampingku. Kemana dia? Mungkinkah dia sudah ba
"Emak, Abah sakit apa? Kenapa bisa seperti ini?" tanyaku pada Emak. Wanita paruh bawa ini mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar seolah sulit untuk berucap."Mak…" panggil ku lagi. "Kenapa Nisa tidak pernah cerita, jika Abah sedang sakit parah seperti ini?""Maafkan kami, Nak Anton! Kami sudah berjanji pada Nisa, untuk tidak menghubungi Nak Anton! Kami takut akan merepotkan Nak Anton dan keluarga Pak Baskoro," ucapnya tersedu-sedu, butiran bening yang sudah tak bisa dibendung, akhirnya tumpah di wajahnya yang mulai keriput."Tapi, Mak! Kalau seperti ini, kasihan Abah. Kalau saya tau, Abah sakit parah seperti ini, mungkin-saya akan sering mengajak Nisa mengunjungi Emak dan Abah di kampung!""Tidak apa, Nak Anton. Selama ini, kami sudah banyak berhutang budi pada keluarga Nak Anton."Kucium punggung tangan Abah yang tergolek lemah di ranjang. Tatapan matanya kosong, tapi Abah mendengar suaraku. Saat aku bertanya, ia meng
"Tapi itu mah dulu, Kang! Sekarang mah dia uda insyaf. Terakhir saya lihat, dia sudah pake kerudung, uda gak pernah kumpul-kumpul lagi sama anak-anak disini!" paparnya padaku. "Oh ya? Sejak kapan dia insyaf, Kang?" tanyaku penasaran. "Uda lama, Kang! Uda hampir 2 tahun ini, pokoknya semenjak Abahnya sakit-sakitan, semenjak itu si Nisa uda gak pernah tuh nongkrong-nongkrong gak jelas," Mendengar penjelasan pegawai bengkel ini, aku mulai berfikir. Jika dia bilang Nisa Insyaf sudah hampir 2 tahun, berarti sebelum mengenalku dia sudah insyaf. Tapi, kenapa dia mau berbuat zina dengan pria lain di belakangku, padahal statusnya adalah istriku. "Tuh Kang, Liat! Itu tuh, cowok yang pakai jaket merah, dia itu mantan pacarnya si Nisa! Dulu mereka pacaran lama, tapi ya gitu Kang. Si Nisa nya kan sana sini masuk, malahan nih Kang, menurut gosip, si Nisa itu pernah melakukan aborsi!" ucapanya kali ini membuatku benar-benar terkejut. "Apa? Abor
Sedangkan Bapak hanya berdiri mematung, wajahnya yang tadi merah penuh amarah, kini berubah menjadi pucat pasi. "Pak! Sejak kapan Bapak bisa berdiri? Ko Bapak gak pernah bilang sama Ibu, jika Bapak sudah kuat berdiri sendiri?" Ibu terus saja memberondong Bapak dengan pertanyaan. "Kenapa diam saja, Pak? Bapak gak bisa jawab? Atau Bapak mau berpura-pura lagi di depan kami?" sahut ku penuh emosi. Rasanya aku sudah tidak bisa membendung emosi ku yang sudah terlanjur meluap. "Maksud kamu apa, Anton? Siapa yang pura-pura?" tanya Ibu padaku. "Ibu tanya saja pada Bapak! Sejak kapan dia sudah bisa berjalan! "Ba-bapak benar, sudah bisa jalan?" tanya Ibu yang masih bingung. Bapak merunduk, wajah garangnya tak mampu menatap Ibu yang berdiri di sampingnya. Aku tahu betul, saat ini Bapak pasti sedang berpikir, bagaimana caranya agar Ibu bisa percaya padanya
Setelah ku angkat Ibu ke kasur, Ibu tak juga sadar. Aku benar-benar panik dan khawatir. Aku takut jika Ibu kenapa-kenapa. Akhirnya aku putuskan untuk membawa Ibu ke rumah sakit, aku dan Arjuna mengangkat Ibu ke dalam mobil, sedangkan Bapak, ia tetap tak bergeming. Mata hatinya seolah tertutup dengan keangkuhannya. Jika tidak memandang Ibu, ingin sekali ku maki pria paruh baya yang keras kepala ini."Jun! Kamu jagain Ibu di belakang! Biar Mas yang nyetir!" ucapku pada Arjuna yang juga nampak panik."Iya, Mas!" Jawabnya lalu masuk ke mobil, mendampingi Ibu yang tak sadarkan diri.Sedangkan Nisa, tanpa disuruh ia langsung masuk ke dalam mobil, dan duduk di kursi depan, tepat di samping ku. Wajahnya nampak khawatir, berkali-kali ia mengelus perutnya, dari raut wajahnya sepertinya ia mulai kram lagi.Ku lajukan mobil dengan kecepatan tinggi, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Ibu. Berkali-kali aku menerobos lampu merah, dan itu membuat Ni
Mataku terus memperhatikan layar benda pipih ini, berharap menemukan kejelasan dari apa yang sedang Bapak lakukan di kamarku. Apa yang ia cari di tumpukan pakaian dalam milik Nisa? Kenapa Bapak bisa selancang itu masuk dan mengobrak Abrik lemari baju Nisa. Kulihat Bapak berhenti sejenak, mengambil ponsel di saku bajunya. Sepertinya ia menelpon seseorang, apakah dia menelpon Nisa? Tapi-Nisa kan sedang di ruang rawat bersama Ibu.Aku segera berlari, mengecek keberadaan Nisa. Benarkah dia masih bersama Ibu atau sudah pergi. Sesampainya di depan pintu kamar inap, aku langsung mendorong daun pintu, dan ternyata Nisa sudah tidak ada di kamar. Disini hanya ada Ibu yang ditemani Arjuna. Lantas kemana Nisa? Benarkah yang Bapak telpon tadi itu Nisa?"Jun! Nisa mana?" tanyaku pada Arjuna."Mbak Nisa ke toilet, Mas!" jawab Arjuna datar. Dengan cepat aku menyusul Nisa ke toilet. Aku harus pastikan apa yang sedang
Setelah berbicara dengan Nisa di parkiran, aku kembali ke ruang rawat inap. Menemui Ibu yang kini tergolek lemah diranjang. Sesampainya di kamar Ibu, kulihat ia sedang tertidur pulas. Arjuna bilang, Ibu baru saja diperiksa dan diberi obat oleh perawat. "Jun! Kalau kamu mau pulang, pulang saja! Besok kamu harus sekolah, kan?" ucapku pada Arjuna yang masih fokus dengan ponselnya. "Terus, Ibu gimana?" tanya Arjuna. Kali ini ia menghentikan aktivitas bermain ponselnya, lalu berbicara padaku dengan serius. "Biar, Mas yang jaga Ibu disini! Kamu pulang saja, jangan sampai besok telat masuk sekolah!" Bagaimanapun juga Arjuna tidak boleh bolos sekolah. "Baiklah kalau gitu, Mas! Aku pulang dulu! Biar Mbak Nisa pulang bareng aku saja!" ucapnya membuatku sedikit mengerutkan dahi. "Nisa tidak pulang! Malam ini dia nginep disini! Ikut menjaga Ibu!" "Loh! Tadi Mbak Nisa bilang, dia mau pulang!" ucap Arjuna
Nisa terkejut, mendengar suara teriakanku. Ku tarik tubuh pria paruh baya yang sedang asik menikmati permainan menjijikan itu."Bug!" Satu pukulan mendarat di wajahnya. Awalnya kukira pria paruh baya ini adalah Bapak. Tapi, ternyata bukan. Aku tidak mengenal pria asing ini. Ia tersungkur ke lantai setelah menerima bogem mentah dari tanganku.Nisa yang terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba, langsung mengambil handuk kimono miliknya, dan dengan cepat ia pasangkan di tubuh polosnya."Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipinya."Dasar pelac*r! Wanita mur*han! Jadi begini kelakuanmu selama ini? Disaat aku tidak ada, ternyata kau bermain gila dengan pria asing di rumah ini!" Pekik ku kesal, aku benar-benar emosi. Bagaimana tidak, Nisa yang tengah hamil besar, malah bercinta dengan pria asing dirumah ini, padahal ia tahu betul bagaimana Kondisi kandungannya. Nisa menggeleng, ia masih tak pe
Aku dan Ibu segera menghampiri mereka."Apa maksud kamu, Jun?" tanyaku pada Arjuna. Arjuna dan Nisa tampak panik melihat kedatanganku dan ibu."Ma-Mas Anton! I-ibu! kalian berdua sudah pulang?" ucap Arjuna terbata. Wajahnya pucat, tingkahnya begitu kikuk, sepertinya ia benar-benar terkejut melihat kami."Mas mendengar apa yang kamu katakan barusan! Jadi, lebih baik kamu beri tahu kami, siapa Ayah dari anak yang dikandung Nisa!" tegasku menatap tajam Arjuna. Sedangkan Nisa, ia hanya mematung melihatku memaksa Arjuna untuk bicara."Ma-maaf, Mas! Aku cuma bercanda! Aku hanya… " Arjuna menggantung ucapannya."Hanya apa, Jun? Jelas-jelas Ibu dan Mas mu denger, apa yang kamu katakan barusan!" sambar Ibu dengan nafas tidak teratur."Mas! Kamu jangan salah paham, ini semua tidak seperti yang kamu bayangkan! Ta-tadi, Arjuna hanya memintaku untuk membuatkan mie instan! Dia tidak bicara apa-apa!" bela Nisa berbohong