Setelah ku angkat Ibu ke kasur, Ibu tak juga sadar. Aku benar-benar panik dan khawatir. Aku takut jika Ibu kenapa-kenapa. Akhirnya aku putuskan untuk membawa Ibu ke rumah sakit, aku dan Arjuna mengangkat Ibu ke dalam mobil, sedangkan Bapak, ia tetap tak bergeming. Mata hatinya seolah tertutup dengan keangkuhannya. Jika tidak memandang Ibu, ingin sekali ku maki pria paruh baya yang keras kepala ini.
"Jun! Kamu jagain Ibu di belakang! Biar Mas yang nyetir!" ucapku pada Arjuna yang juga nampak panik.
"Iya, Mas!" Jawabnya lalu masuk ke mobil, mendampingi Ibu yang tak sadarkan diri.
Sedangkan Nisa, tanpa disuruh ia langsung masuk ke dalam mobil, dan duduk di kursi depan, tepat di samping ku. Wajahnya nampak khawatir, berkali-kali ia mengelus perutnya, dari raut wajahnya sepertinya ia mulai kram lagi.
Ku lajukan mobil dengan kecepatan tinggi, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Ibu. Berkali-kali aku menerobos lampu merah, dan itu membuat Ni
Mataku terus memperhatikan layar benda pipih ini, berharap menemukan kejelasan dari apa yang sedang Bapak lakukan di kamarku. Apa yang ia cari di tumpukan pakaian dalam milik Nisa? Kenapa Bapak bisa selancang itu masuk dan mengobrak Abrik lemari baju Nisa. Kulihat Bapak berhenti sejenak, mengambil ponsel di saku bajunya. Sepertinya ia menelpon seseorang, apakah dia menelpon Nisa? Tapi-Nisa kan sedang di ruang rawat bersama Ibu.Aku segera berlari, mengecek keberadaan Nisa. Benarkah dia masih bersama Ibu atau sudah pergi. Sesampainya di depan pintu kamar inap, aku langsung mendorong daun pintu, dan ternyata Nisa sudah tidak ada di kamar. Disini hanya ada Ibu yang ditemani Arjuna. Lantas kemana Nisa? Benarkah yang Bapak telpon tadi itu Nisa?"Jun! Nisa mana?" tanyaku pada Arjuna."Mbak Nisa ke toilet, Mas!" jawab Arjuna datar. Dengan cepat aku menyusul Nisa ke toilet. Aku harus pastikan apa yang sedang
Setelah berbicara dengan Nisa di parkiran, aku kembali ke ruang rawat inap. Menemui Ibu yang kini tergolek lemah diranjang. Sesampainya di kamar Ibu, kulihat ia sedang tertidur pulas. Arjuna bilang, Ibu baru saja diperiksa dan diberi obat oleh perawat. "Jun! Kalau kamu mau pulang, pulang saja! Besok kamu harus sekolah, kan?" ucapku pada Arjuna yang masih fokus dengan ponselnya. "Terus, Ibu gimana?" tanya Arjuna. Kali ini ia menghentikan aktivitas bermain ponselnya, lalu berbicara padaku dengan serius. "Biar, Mas yang jaga Ibu disini! Kamu pulang saja, jangan sampai besok telat masuk sekolah!" Bagaimanapun juga Arjuna tidak boleh bolos sekolah. "Baiklah kalau gitu, Mas! Aku pulang dulu! Biar Mbak Nisa pulang bareng aku saja!" ucapnya membuatku sedikit mengerutkan dahi. "Nisa tidak pulang! Malam ini dia nginep disini! Ikut menjaga Ibu!" "Loh! Tadi Mbak Nisa bilang, dia mau pulang!" ucap Arjuna
Nisa terkejut, mendengar suara teriakanku. Ku tarik tubuh pria paruh baya yang sedang asik menikmati permainan menjijikan itu."Bug!" Satu pukulan mendarat di wajahnya. Awalnya kukira pria paruh baya ini adalah Bapak. Tapi, ternyata bukan. Aku tidak mengenal pria asing ini. Ia tersungkur ke lantai setelah menerima bogem mentah dari tanganku.Nisa yang terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba, langsung mengambil handuk kimono miliknya, dan dengan cepat ia pasangkan di tubuh polosnya."Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipinya."Dasar pelac*r! Wanita mur*han! Jadi begini kelakuanmu selama ini? Disaat aku tidak ada, ternyata kau bermain gila dengan pria asing di rumah ini!" Pekik ku kesal, aku benar-benar emosi. Bagaimana tidak, Nisa yang tengah hamil besar, malah bercinta dengan pria asing dirumah ini, padahal ia tahu betul bagaimana Kondisi kandungannya. Nisa menggeleng, ia masih tak pe
Aku dan Ibu segera menghampiri mereka."Apa maksud kamu, Jun?" tanyaku pada Arjuna. Arjuna dan Nisa tampak panik melihat kedatanganku dan ibu."Ma-Mas Anton! I-ibu! kalian berdua sudah pulang?" ucap Arjuna terbata. Wajahnya pucat, tingkahnya begitu kikuk, sepertinya ia benar-benar terkejut melihat kami."Mas mendengar apa yang kamu katakan barusan! Jadi, lebih baik kamu beri tahu kami, siapa Ayah dari anak yang dikandung Nisa!" tegasku menatap tajam Arjuna. Sedangkan Nisa, ia hanya mematung melihatku memaksa Arjuna untuk bicara."Ma-maaf, Mas! Aku cuma bercanda! Aku hanya… " Arjuna menggantung ucapannya."Hanya apa, Jun? Jelas-jelas Ibu dan Mas mu denger, apa yang kamu katakan barusan!" sambar Ibu dengan nafas tidak teratur."Mas! Kamu jangan salah paham, ini semua tidak seperti yang kamu bayangkan! Ta-tadi, Arjuna hanya memintaku untuk membuatkan mie instan! Dia tidak bicara apa-apa!" bela Nisa berbohong
Setelah kejadian tadi, aku memutuskan untuk menyendiri di kamar, bergegas aku masuk dan mengunci kamar dari dalam. Ku rebahkan tubuh ku di atas kasur, berusaha memejamkan mata. Aku ingin istirahat untuk melupakan masalah yang membelenggu hidupku ini.Lelah, itu yang aku rasakan saat ini. Diluar terdengar percakapan Ibu dan Bapak. Entah, apa yang mereka bicarakan. Sepertinya Bapak bicara dengan nada yang sangat tinggi dan menggebu-gebu. Rasa ngantuk membuatku tak ingin menghiraukan nya.Hampir saja mataku terpejam, suara ponselku berdering begitu nyaring di telinga. Dengan rasa lelah yang tak tertahan, terpaksa aku harus mengangkat panggilan yang masuk dari Bayu."Halo, Bro! Ada apa?" ucapku lesu."Halo, Ton! Lo dimana? Jam segini ko belum datang? Gak kerja lo?" tanya Bayu di seberang telpon."Gue izin bro! capek banget! Baru pulang dari rumah sakit. Ibu gue sakit, ini aja baru pulang kerumah!" sahutku
Nisa berdiri dan berlari menghampiri tubuh kaku Abah di atas brankar."Abah…." Teriak Nisa menangis histeris."Bah, ini Nisa sudah datang, Bah! Katanya Abah mau bertemu Nisa, ayo bangun Bah! Nisa sudah disini!" ucapnya histeris, berkali-kali Nisa mengguncang-guncang tubuh Abah."Nis! Yang sabar, Nak! Abah sudah tenang disana! Abah sudah tidak sesak lagi," ucap Emak parau. Ia mengusap kepala Nisa penuh haru.Suara tangis saling bersahutan, membuat suasana semakin menyayat hati. Aku tak menyangka akan secepat ini Abah pergi. Padahal kemarin saat aku berkunjung ke rumah Abah. Ia masih terlihat baik-baik saja, Abah masih bisa merespon ku. Ajal memang tidak bisa ditawar. Tuhan telah menentukan takdir hidup mati seseorang."Maaf, Bu! Bapak harus segera dipindahkan!" ucap salah satu perawat yang mendorong brankar.E
Bapak membuang nafas kesal, kemudian bangkit dari duduknya. Namun, belum sempat Bapak keluar. Terdengar suara orang memberi salam."Assalamualaikum!" Suara salam dari seorang pria."Waalaikumsalam," Jawab kami bersamaan. Seorang pria muda masuk ke dalam rumah, seketika Nisa terkejut melihatnya, ia spontan mencengkram erat tanganku.Rambut pria ini terlihat berantakan, kemeja dan celana yang ia pakai juga terlihat basah, seperti terkena percikan air. Siapa pria ini?"Nis! Aku turut berduka cita, ya! Semoga Abah husnul khatimah, kamu yang sabar ya!" ucapnya pada Nisa.Kuperhatikan baik-baik wajahnya, sepertinya aku pernah melihat pria ini, tapi dimana? Sesaat aku teringat saat membetulkan ban mobil ku yang kempes di bengkel, saat itu pegawai bengkel menunjuk seorang pria yang ia sebut, mantan pacar Nisa! Sepertinya betul, pria ini adalah mantan pacar Nisa yang pernah dibahas oleh pegawai bengkel tempo hari.
Pov Nisa"Lagian barusan aku mampir ke rumah Lela, untuk berbicara dengan Bapak melalui sambungan telepon milik Lela." Gumamku dalam hati. Hampir saja aku keceplosan berbicara pada Mas Anton. Ia gak boleh tau jika barusan Bapak menelpon ku.Aku masih belum siap untuk kehilangannya, terlebih aku benar-benar mencintainya. Walau aku tau, saat ini, mungkin Mas Anton merasa jijik padaku. Bagaimana tidak, terakhir dia memergoki ku sedang melayani tamu Bapak. Dan itu pasti membuat Mas Anton semakin membenci ku.Asal kau tau, Mas! Semua terpaksa aku lakukan demi kelangsungan hidup keluarga ku. Dan saat ini, aku pun membutuhkan banyak biaya sampai acara 40 hari meninggalnya Abah, tentu itu tidak sedikit. Aku tidak ingin terus-menerus merepotkanmu, Mas!. Kamu sudah membayar semua biaya rumah sakit dan biaya pemakaman Abah. Jadi, aku tidak mungkin memberatkan mu dengan biaya lainnya. Dan barusan, saat aku dapat telpon dari Bapak, entah kenapa aku me