Aku dan Ibu segera menghampiri mereka.
"Apa maksud kamu, Jun?" tanyaku pada Arjuna. Arjuna dan Nisa tampak panik melihat kedatanganku dan ibu.
"Ma-Mas Anton! I-ibu! kalian berdua sudah pulang?" ucap Arjuna terbata. Wajahnya pucat, tingkahnya begitu kikuk, sepertinya ia benar-benar terkejut melihat kami.
"Mas mendengar apa yang kamu katakan barusan! Jadi, lebih baik kamu beri tahu kami, siapa Ayah dari anak yang dikandung Nisa!" tegasku menatap tajam Arjuna. Sedangkan Nisa, ia hanya mematung melihatku memaksa Arjuna untuk bicara.
"Ma-maaf, Mas! Aku cuma bercanda! Aku hanya… " Arjuna menggantung ucapannya.
"Hanya apa, Jun? Jelas-jelas Ibu dan Mas mu denger, apa yang kamu katakan barusan!" sambar Ibu dengan nafas tidak teratur.
"Mas! Kamu jangan salah paham, ini semua tidak seperti yang kamu bayangkan! Ta-tadi, Arjuna hanya memintaku untuk membuatkan mie instan! Dia tidak bicara apa-apa!" bela Nisa berbohong
Setelah kejadian tadi, aku memutuskan untuk menyendiri di kamar, bergegas aku masuk dan mengunci kamar dari dalam. Ku rebahkan tubuh ku di atas kasur, berusaha memejamkan mata. Aku ingin istirahat untuk melupakan masalah yang membelenggu hidupku ini.Lelah, itu yang aku rasakan saat ini. Diluar terdengar percakapan Ibu dan Bapak. Entah, apa yang mereka bicarakan. Sepertinya Bapak bicara dengan nada yang sangat tinggi dan menggebu-gebu. Rasa ngantuk membuatku tak ingin menghiraukan nya.Hampir saja mataku terpejam, suara ponselku berdering begitu nyaring di telinga. Dengan rasa lelah yang tak tertahan, terpaksa aku harus mengangkat panggilan yang masuk dari Bayu."Halo, Bro! Ada apa?" ucapku lesu."Halo, Ton! Lo dimana? Jam segini ko belum datang? Gak kerja lo?" tanya Bayu di seberang telpon."Gue izin bro! capek banget! Baru pulang dari rumah sakit. Ibu gue sakit, ini aja baru pulang kerumah!" sahutku
Nisa berdiri dan berlari menghampiri tubuh kaku Abah di atas brankar."Abah…." Teriak Nisa menangis histeris."Bah, ini Nisa sudah datang, Bah! Katanya Abah mau bertemu Nisa, ayo bangun Bah! Nisa sudah disini!" ucapnya histeris, berkali-kali Nisa mengguncang-guncang tubuh Abah."Nis! Yang sabar, Nak! Abah sudah tenang disana! Abah sudah tidak sesak lagi," ucap Emak parau. Ia mengusap kepala Nisa penuh haru.Suara tangis saling bersahutan, membuat suasana semakin menyayat hati. Aku tak menyangka akan secepat ini Abah pergi. Padahal kemarin saat aku berkunjung ke rumah Abah. Ia masih terlihat baik-baik saja, Abah masih bisa merespon ku. Ajal memang tidak bisa ditawar. Tuhan telah menentukan takdir hidup mati seseorang."Maaf, Bu! Bapak harus segera dipindahkan!" ucap salah satu perawat yang mendorong brankar.E
Bapak membuang nafas kesal, kemudian bangkit dari duduknya. Namun, belum sempat Bapak keluar. Terdengar suara orang memberi salam."Assalamualaikum!" Suara salam dari seorang pria."Waalaikumsalam," Jawab kami bersamaan. Seorang pria muda masuk ke dalam rumah, seketika Nisa terkejut melihatnya, ia spontan mencengkram erat tanganku.Rambut pria ini terlihat berantakan, kemeja dan celana yang ia pakai juga terlihat basah, seperti terkena percikan air. Siapa pria ini?"Nis! Aku turut berduka cita, ya! Semoga Abah husnul khatimah, kamu yang sabar ya!" ucapnya pada Nisa.Kuperhatikan baik-baik wajahnya, sepertinya aku pernah melihat pria ini, tapi dimana? Sesaat aku teringat saat membetulkan ban mobil ku yang kempes di bengkel, saat itu pegawai bengkel menunjuk seorang pria yang ia sebut, mantan pacar Nisa! Sepertinya betul, pria ini adalah mantan pacar Nisa yang pernah dibahas oleh pegawai bengkel tempo hari.
Pov Nisa"Lagian barusan aku mampir ke rumah Lela, untuk berbicara dengan Bapak melalui sambungan telepon milik Lela." Gumamku dalam hati. Hampir saja aku keceplosan berbicara pada Mas Anton. Ia gak boleh tau jika barusan Bapak menelpon ku.Aku masih belum siap untuk kehilangannya, terlebih aku benar-benar mencintainya. Walau aku tau, saat ini, mungkin Mas Anton merasa jijik padaku. Bagaimana tidak, terakhir dia memergoki ku sedang melayani tamu Bapak. Dan itu pasti membuat Mas Anton semakin membenci ku.Asal kau tau, Mas! Semua terpaksa aku lakukan demi kelangsungan hidup keluarga ku. Dan saat ini, aku pun membutuhkan banyak biaya sampai acara 40 hari meninggalnya Abah, tentu itu tidak sedikit. Aku tidak ingin terus-menerus merepotkanmu, Mas!. Kamu sudah membayar semua biaya rumah sakit dan biaya pemakaman Abah. Jadi, aku tidak mungkin memberatkan mu dengan biaya lainnya. Dan barusan, saat aku dapat telpon dari Bapak, entah kenapa aku me
"Nisa! Apa yang kamu lakukan?" Suaraku membuat Nisa terkejut dan langsung menyembunyikan ponsel di saku gamisnya."Ma-mas Anton!" Wajahnya panik begitu melihat kehadiranku yang tiba-tiba."Itu HP siapa, Nis? Mana sini, Mas liat HP nya?" ucapku mencoba mengambil paksa ponsel yang ia sembunyikan."Jangan, Mas! Jangan! Ini bukan punyaku," Sahutnya. Dengan pakaian yang terbuka di bagian atas, ia terus berusaha menjaga ponsel itu agar tidak ku ambil."Mana ponselnya, Nis! Aku lihat! Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan?" Aku terus berusaha merebutnya dari Nisa. Namun, ia terus menghindar.Hatiku begitu panas, melihat pemandangan barusan. Di Tengah ramainya orang-orang yang sedang tahlil. Ia malah sibuk video call dengan melepas kancing bajunya."Ada apa ini? Ko malah ribut-ribut?" tanya Emak yang datang menghampiri kami."Ya Allah, Nis! Kamu ngapain pake buka kancing baju segala? Cepet rapikan bajumu!
Setelah menemukan kartu pasien milik Ibu, aku pun bergegas membereskan kembali laci dan segera keluar dari kamar, tak lupa kubawa dompet kecil berisi surat rahasia ini. Surat ini akan aku simpan, dan akan kujadikan sebuah petunjuk untuk mencari Ayah kandung ku sebenarnya.Aku langsung mengunci pintu rumah, dan segera kembali ke mobil, menemui Ibu yang sudah menunggu di dalam mobil."Gimana, Ton! Sudah ketemu kartunya?" tanya Ibu memastikan."Sudah, Bu! Ini kartunya, sebaiknya Ibu taruh di dalam dompet, biar tidak hilang dan gampang nyarinya!" ucapku pada Ibu, tak lupa ku sodorkan kartu pasien miliknya.Ku pacu mobil menuju rumah sakit. Dalam perjalanan, aku tak henti-hentinya berpikir, siapa Ayahku sebenarnya? Kenapa aku bisa tinggal bersama Bapak? Apa benar yang diucapkan Bapak selama ini, bahwa aku adalah anak haram!"Ton! Gim
"Ya sudah kalau begitu, Mak! Nanti tolong sampaikan pada Nisa, jika Anton telepon! Assalamu'alaikum!" ucapku lalu menutup panggilan telepon.Ya Allah, harus pakai cara apalagi untuk menegur Nisa agar berhenti melakukan perbuatan kotornya. Kenapa dia sangat sulit diatur! Berulang kali diingatkan, tetap saja ia melakukannya lagi. Sepertinya penyesalan yang selama ini ia ucapkan padaku, itu hanya pura-pura.Rasanya memang sudah tidak bisa jika ia diberitahu secara baik-baik. Baiklah Nis, jika memang ini maumu, aku akan melakukan cara lain untuk membuatmu jera!Aku merebahkan tubuhku diatas kasur, menatap langit-langit kamar, meratapi masalah yang datang bertubi-tubi. Aku berharap bisa segera menyelesaikan semua masalah yang menimpaku ini. Perlahan ku pejamkan mata, berusaha melupakan sejenak beban hidup yang berat ini, hingga akhirnya akupun tertidur.**Suara adzan maghrib berkumandang, membangun kan tidurku, bergegas ak
Pikiranku semakin tak tenang. Aku segera menelpon Bapak, namun sayangnya nomor Bapak tidak aktif. Aku yakin, Bapak sengaja mematikan ponselnya agar tidak ada seorangpun yang bisa mengganggu mereka.Sial! Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku mencari atau menyusul mereka ke pasar! Aku saja tidak tahu jalan dan arah pasar di kampung ini.Dengan kecepatan tinggi, aku terus memacu mobilku. Agar segera sampai di rumah Emak. Berkali-kali kucoba menelpon Bapak, tapi nihil! Nomornya tetap saja tidak aktif. Hingga akhirnya aku pun sampai di depan rumah Emak. Sebuah mobil fortuner berwarna merah sudah terparkir di halaman rumah, itu berarti Bapak dan Nisa sudah datang.Bergegas aku turun dari mobil, dan masuk ke rumah setelah memberi salam."Dari mana saja kamu, Nis!" seloroh ku tanpa memperdulikan orang-orang disekitar."Mas Anton! Ko gak bilang, mau datang malam ini?" tanya Nisa basa-basi.Aku tak bisa men