Pikiranku semakin tak tenang. Aku segera menelpon Bapak, namun sayangnya nomor Bapak tidak aktif. Aku yakin, Bapak sengaja mematikan ponselnya agar tidak ada seorangpun yang bisa mengganggu mereka.
Sial! Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku mencari atau menyusul mereka ke pasar! Aku saja tidak tahu jalan dan arah pasar di kampung ini.
Dengan kecepatan tinggi, aku terus memacu mobilku. Agar segera sampai di rumah Emak. Berkali-kali kucoba menelpon Bapak, tapi nihil! Nomornya tetap saja tidak aktif. Hingga akhirnya aku pun sampai di depan rumah Emak. Sebuah mobil fortuner berwarna merah sudah terparkir di halaman rumah, itu berarti Bapak dan Nisa sudah datang.
Bergegas aku turun dari mobil, dan masuk ke rumah setelah memberi salam."Dari mana saja kamu, Nis!" seloroh ku tanpa memperdulikan orang-orang disekitar.
"Mas Anton! Ko gak bilang, mau datang malam ini?" tanya Nisa basa-basi.
Aku tak bisa men
"Sudahlah, Nis! Bangun! Jangan seperti ini! Percuma kamu nangis-nangis seperti ini, aku tak akan berubah pikiran!" ucapku pada Nisa yang masih bersimpuh memegang erat kaki ku."Sudah Nis, lepaskan!" Aku pun berusaha menarik kaki ku dari pelukannya. Seketika Nisa terjungkal dan terjengkang ke tanah.Aku begitu terkejut, saat melihatnya terlentang tak sadarkan diri."Nis! Bangun Nis! Kamu gak apa-apa, kan?" ucapku menepuk-nepuk pipi Nisa. Nisa tetap tak bergerak, sepertinya ia pingsan. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku menjelaskan semua ini pada Emak? Aku segera membopong tubuh Nisa, dan berjalan menuju ke rumah.Aku begitu khawatir dengan kondisinya, aku takut dia kenapa-kenapa. Aku tidak bermaksud menyakitinya, aku hanya ingin melepaskan kakiku dari pelukannya. Dengan perasaan cemas aku masuk ke dalam rumah, sesampainya di ruang tengah Emak begitu terkejut melihat ku menggendong Nisa dengan kondisi tak sadarkan diri.
Setelah berbalas pesan dengan akun facebook Nisa tadi malam. Pagi ini aku berencana akan membongkar semuanya di hadapan Ibu. Aku tahu, ini mungkin sangat berisiko untuk kesehatan Ibu. Tapi, aku rasa tidak ada pilihan lain, selain segera menghentikan perbuatan keji Bapak dan Nisa selama ini. Ibu juga harus tahu, bahwa Arjuna bukanlah Ayah dari janin yang dikandung Nisa.Aku membuka tas besar yang kubawa dari kampung kemarin, berniat mencari ponsel yang kurampas dari Nisa. Tapi sial! Ponselnya sudah tidak ada di dalam tas. Sepertinya Nisa mengambil ponsel itu secara diam-diam disaat aku sedang tertidur. Awas saja kau Nis! Hari ini tamat riwayatmu!Selesai mandi dan ganti baju kerja, aku segera menghampiri yang lain di meja makan. Mereka semua nampaknya sudah siap untuk menyantap menu sarapan yang dibuat Ibu. Ini pertama kalinya Ibu masak setelah lebih dari 1 minggu tidak masak karena sakit.Kulihat Nisa sudah cantik dan
Badan Ibu melemas, aku berusaha menguatkan nya. Aku memegang erat pundak Ibu. Ia menangis tergugu, tak kuasa menahan luka di hatinya."Apa yang kalian berdua lakukan di kamar hotel seperti ini? Bukannya tadi Bapak mau mengantar Nisa ke rumah sakit? Kenapa kalian bisa berada disini? Apa yang sebenarnya terjadi?" berbagai pertanyaan keluar dari mulut Ibu.Perlahan Bapak mendekat, ia berusaha menenangkan Ibu, sedangkan Nisa, ia nampak panik mencari baju dan penutup kepalanya."Ibu jangan salah sangka dulu! Bapak bisa jelasin semuanya!" ucap Bapak, tangannya berusaha mengelus pundak Ibu. Namun, seketika Ibu menepis nya."Sudahlah, Pak! Ibu sudah melihat semuanya! Ibu benar-benar tak menyangka kalian berdua membohongi Ibu! Dan kamu, Nis! Apa kamu tidak malu, berpakaian seperti ini di hadapan mertuamu? Dimana Nisa yang Ibu kenal? Nisa yang selalu berpakai
Cahaya matahari yang masuk ke sela-sela jendela kamar, membangunkanku dari tidur. Rupanya semalaman aku tertidur di kamar Ibu. Ia-dari semalam Ibu terus gelisah, bahkan dadanya sempat sesak saat menjelang subuh. Aku tertidur dengan posisi duduk di kursi dan kepala menunduk di ranjang, persis seperti sedang berjaga di rumah sakit. Perlahan aku membuka mata, melihat sekeliling ruangan, mencari keberadaan Ibu. Kemana Ibu? Kenapa dia tidak ada di kasurnya?Segera aku beranjak, dan keluar dari kamar. Memanggil nama Ibu, aku khawatir jika Ibu kenapa-kenapa. Pasalnya kondisi Ibu sedang lemah saat ini."Ibu! Ibu dimana?" Teriakku memanggil Ibu. Aku berjalan ke dapur untuk mencari keberadaannya. Rupanya Ibu sedang membuat kopi susu di dapur."Loh, Ibu ngapain disini? Badan Ibu kan masih lemes!" tanyaku pada Ibu yang sedang mengaduk kopi."Kamu gak perlu khawatir! Ibu sudah baikkan, ini--Ibu sedang buatkan kopi susu kesukaanmu!" Ia menyodork
Ibu berlari dan mengunci diri di kamar. Aku tidak mungkin mendapatkan jawaban saat ini. Kulihat jam di dinding, sudah pukul 8 lewat. Aku harus segera ke kantor. Aku pun bergegas meninggalkan rumah dan pergi ke kantor.Sepanjang perjalanan, hanya kebingungan yang menggelayuti pikiranku. Jika benar surat perjanjian itu telah disepakati oleh Bapak dan Ibu. Berarti, aku tidak akan bisa menceraikan Nisa sebelum bayi itu lahir. Surat perjanjian yang sangat aneh. Kenapa Bapak begitu menginginkan anak dariku. Sampai-sampai harus ada perjanjian mengikat seperti itu.Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ke ruangan ku. Bergabung dengan rekan-rekan kerjaku yang lain. Seperti biasa, hari ini aku harus terjun ke lapangan untuk memasarkan produk perusahaan. Semenjak turun jabatan, beginilah pekerjaanku. Menghabiskan banyak waktu di lapangan daripada di kantor.Setelah mengambil barang-barang yang akan akun pasarkan, aku segera berkelil
"Apa maksud kamu, Anton!" teriak Bapak dengan wajah kikuk."Aku sudah tau semuanya, Pak! Aku bukan anak kandung Bapak, kan?" ucapku memicingkan mata. Bapak nampak tak bisa berkata-kata. Kulihat Ibu spontan menutup mulutnya dengan tangan. Ia tidak percaya aku mengetahui kebenaran yang mereka rahasiakan selama ini."Anton! Ka-kamu kenapa ngomong seperti itu? Pak Baskoro itu Bapak kandungmu Anton!" sahut Ibu berusaha meyakinkan ku."Ibu tak perlu menutup-nutupinya lagi! Anton sudah dewasa! Anton berhak tau, siapa Ayah kandung Anton yang sebenarnya!" Jelasku pada Ibu.Mereka semua terdiam dan saling pandang. Aku yakin, Bapak tidak akan mungkin mempertemukan ku dengan Ayah kandung ku yang sebenarnya. Aku tau dia begitu licik. Dia bisa menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai.Pasti ada rahasia besar yang ia sembunyikan dariku. Ia begitu menginginkan anak itu lahir dengan status sebagai anakku
Pagi ini aku bangun dengan perasaan tak menentu. Bukan karena aku sudah tidak sekamar dengan Nisa. Tapi, entah kenapa aku terus teringat ucapan Nisa semalam. Apa benar keputusanku untuk membiarkan Nisa tinggal dirumah kontrakan seorang diri? Ada perasaan khawatir, jika ia tinggal tanpa pendamping. Karena bisa saja ia semakin diperdaya oleh Bapak. Terus apa yang harus aku lakukan sekarang? Nisa sudah pindah, dan aku tak mungkin memintanya untuk kembali tinggal dirumah ini.Aku harus tetap mengawasi Nisa. Karena aku harus tau, siapa sebenarnya Ayah dari anak yang ia kandung. Karena sampai detik ini masih menjadi teka-teki yang sulit untuk dipecahkan. Seandainya Nisa mau berterus terang. Mungkin tidak akan sesulit ini untuk mencari tahu siapa sebenarnya orang itu. Walaupun Nisa tidur dengan banyak lelaki. Tapi dalam hati kecilku mengatakan, Bapak lah yang menanam benih di rahim Nisa. Tapi aku tak cukup banyak bukti untuk menyimpulkan bahwa dia lah Pelakunya.
Setelah mendapat penjelasan dari Ibu, setidaknya aku bisa lebih tenang. Karena aku tidak akan menerka-nerka lagi tentang identitasku yang sebenarnya. Kami segera menyudahi percakapan ini sebelum Bapak keluar dari kamarnya."Kalau begitu, Anton ke kamar dulu ya, Bu! Anton mau istirahat. Ibu lanjut aja nonton TV nya," ucapku lalu pergi meninggalkan Ibu di ruang TV.Ku hempaskan tubuhku di atas kasur sambil ku pandangi foto pemberian Ibu. Aku harus segera mencari tahu dimana keberadaan Ayahku saat ini. Walaupun Ibu tidak bisa memberiku petunjuk yang kuat. Setidaknya dengan foto dan surat rahasia yang kutemukan di laci kamar Ibu tempo hari, aku bisa mencari jejak nya saat ini.***