Badan Ibu melemas, aku berusaha menguatkan nya. Aku memegang erat pundak Ibu. Ia menangis tergugu, tak kuasa menahan luka di hatinya.
"Apa yang kalian berdua lakukan di kamar hotel seperti ini? Bukannya tadi Bapak mau mengantar Nisa ke rumah sakit? Kenapa kalian bisa berada disini? Apa yang sebenarnya terjadi?" berbagai pertanyaan keluar dari mulut Ibu.
Perlahan Bapak mendekat, ia berusaha menenangkan Ibu, sedangkan Nisa, ia nampak panik mencari baju dan penutup kepalanya.
"Ibu jangan salah sangka dulu! Bapak bisa jelasin semuanya!" ucap Bapak, tangannya berusaha mengelus pundak Ibu. Namun, seketika Ibu menepis nya.
"Sudahlah, Pak! Ibu sudah melihat semuanya! Ibu benar-benar tak menyangka kalian berdua membohongi Ibu! Dan kamu, Nis! Apa kamu tidak malu, berpakaian seperti ini di hadapan mertuamu? Dimana Nisa yang Ibu kenal? Nisa yang selalu berpakai
Cahaya matahari yang masuk ke sela-sela jendela kamar, membangunkanku dari tidur. Rupanya semalaman aku tertidur di kamar Ibu. Ia-dari semalam Ibu terus gelisah, bahkan dadanya sempat sesak saat menjelang subuh. Aku tertidur dengan posisi duduk di kursi dan kepala menunduk di ranjang, persis seperti sedang berjaga di rumah sakit. Perlahan aku membuka mata, melihat sekeliling ruangan, mencari keberadaan Ibu. Kemana Ibu? Kenapa dia tidak ada di kasurnya?Segera aku beranjak, dan keluar dari kamar. Memanggil nama Ibu, aku khawatir jika Ibu kenapa-kenapa. Pasalnya kondisi Ibu sedang lemah saat ini."Ibu! Ibu dimana?" Teriakku memanggil Ibu. Aku berjalan ke dapur untuk mencari keberadaannya. Rupanya Ibu sedang membuat kopi susu di dapur."Loh, Ibu ngapain disini? Badan Ibu kan masih lemes!" tanyaku pada Ibu yang sedang mengaduk kopi."Kamu gak perlu khawatir! Ibu sudah baikkan, ini--Ibu sedang buatkan kopi susu kesukaanmu!" Ia menyodork
Ibu berlari dan mengunci diri di kamar. Aku tidak mungkin mendapatkan jawaban saat ini. Kulihat jam di dinding, sudah pukul 8 lewat. Aku harus segera ke kantor. Aku pun bergegas meninggalkan rumah dan pergi ke kantor.Sepanjang perjalanan, hanya kebingungan yang menggelayuti pikiranku. Jika benar surat perjanjian itu telah disepakati oleh Bapak dan Ibu. Berarti, aku tidak akan bisa menceraikan Nisa sebelum bayi itu lahir. Surat perjanjian yang sangat aneh. Kenapa Bapak begitu menginginkan anak dariku. Sampai-sampai harus ada perjanjian mengikat seperti itu.Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ke ruangan ku. Bergabung dengan rekan-rekan kerjaku yang lain. Seperti biasa, hari ini aku harus terjun ke lapangan untuk memasarkan produk perusahaan. Semenjak turun jabatan, beginilah pekerjaanku. Menghabiskan banyak waktu di lapangan daripada di kantor.Setelah mengambil barang-barang yang akan akun pasarkan, aku segera berkelil
"Apa maksud kamu, Anton!" teriak Bapak dengan wajah kikuk."Aku sudah tau semuanya, Pak! Aku bukan anak kandung Bapak, kan?" ucapku memicingkan mata. Bapak nampak tak bisa berkata-kata. Kulihat Ibu spontan menutup mulutnya dengan tangan. Ia tidak percaya aku mengetahui kebenaran yang mereka rahasiakan selama ini."Anton! Ka-kamu kenapa ngomong seperti itu? Pak Baskoro itu Bapak kandungmu Anton!" sahut Ibu berusaha meyakinkan ku."Ibu tak perlu menutup-nutupinya lagi! Anton sudah dewasa! Anton berhak tau, siapa Ayah kandung Anton yang sebenarnya!" Jelasku pada Ibu.Mereka semua terdiam dan saling pandang. Aku yakin, Bapak tidak akan mungkin mempertemukan ku dengan Ayah kandung ku yang sebenarnya. Aku tau dia begitu licik. Dia bisa menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai.Pasti ada rahasia besar yang ia sembunyikan dariku. Ia begitu menginginkan anak itu lahir dengan status sebagai anakku
Pagi ini aku bangun dengan perasaan tak menentu. Bukan karena aku sudah tidak sekamar dengan Nisa. Tapi, entah kenapa aku terus teringat ucapan Nisa semalam. Apa benar keputusanku untuk membiarkan Nisa tinggal dirumah kontrakan seorang diri? Ada perasaan khawatir, jika ia tinggal tanpa pendamping. Karena bisa saja ia semakin diperdaya oleh Bapak. Terus apa yang harus aku lakukan sekarang? Nisa sudah pindah, dan aku tak mungkin memintanya untuk kembali tinggal dirumah ini.Aku harus tetap mengawasi Nisa. Karena aku harus tau, siapa sebenarnya Ayah dari anak yang ia kandung. Karena sampai detik ini masih menjadi teka-teki yang sulit untuk dipecahkan. Seandainya Nisa mau berterus terang. Mungkin tidak akan sesulit ini untuk mencari tahu siapa sebenarnya orang itu. Walaupun Nisa tidur dengan banyak lelaki. Tapi dalam hati kecilku mengatakan, Bapak lah yang menanam benih di rahim Nisa. Tapi aku tak cukup banyak bukti untuk menyimpulkan bahwa dia lah Pelakunya.
Setelah mendapat penjelasan dari Ibu, setidaknya aku bisa lebih tenang. Karena aku tidak akan menerka-nerka lagi tentang identitasku yang sebenarnya. Kami segera menyudahi percakapan ini sebelum Bapak keluar dari kamarnya."Kalau begitu, Anton ke kamar dulu ya, Bu! Anton mau istirahat. Ibu lanjut aja nonton TV nya," ucapku lalu pergi meninggalkan Ibu di ruang TV.Ku hempaskan tubuhku di atas kasur sambil ku pandangi foto pemberian Ibu. Aku harus segera mencari tahu dimana keberadaan Ayahku saat ini. Walaupun Ibu tidak bisa memberiku petunjuk yang kuat. Setidaknya dengan foto dan surat rahasia yang kutemukan di laci kamar Ibu tempo hari, aku bisa mencari jejak nya saat ini.***
"Kamu sungguh-sungguh kan, Nis! Dengan apa yang kamu katakan?" tanyaku memastikan."Tentu, Mas! Aku tidak mungkin berbohong! Aku bicara yang sesungguhnya! Kamu ingat kan, Mas! Saat kamu akan pergi tugas ke luar kota, saat itu kamu meninggalkanku saat aku tengah datang bulan, dan setelah empat hari kamu pergi, datang bulanku selesai. Dan itu adalah masa-masa subur untuk ku. Disaat itulah Bapak mulai mempertamaiku. Disaat kau tidak ada dirumah karena tugas ke luar kota. Dan itu terjadi bukan hanya satu kali, Mas! Tapi hampir setiap kali selama kau tidak ada!" jelasnya padaku.Sesungguhnya tanpa dia menjelaskan hal itu padaku, hati kecilku sudah menduganya dari awal. Aku yakin, Bapak memang Ayah dari anak yang Nisa kandung!"Lantas! Kenapa kamu tidak berusaha menolaknya, Nis? Kalian malah terjerumus ke dalam prostitusi online yang menjijikan ini?" tanyaku menatap tajam wajah Nisa."Aku tidak ada pilihan lain, Mas! Bapak terus memaksak
Pov BapakAku harus segera menemui Nisa! Sudah 2 hari aku tidak dapat pemasukan darinya. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus mencari tahu, apa penyebab para tamu itu membatalkan transaksinya! Kalau seperti ini terus bisa-bisa aku kehilangan banyak rupiah.Segera kupacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Tak sabar rasanya ingin bertemu Nisa. Gara-gara preman sialan itu, aku jadi tidak bisa memantau semuanya. Awas saja! Jika aku bertemu lagi dengan mereka berdua, aku akan buat perhitungan dengan mereka.Pagi ini jalanan cukup macet, padat dan merayap. Entah ada apa di depan. Banyak polisi lalu lalang. Sudah hampir 2 jam aku terjebak kemacetan.Berulang kali menelpon Nisa. Tapi dia tidak mengangkatnya. Kemana wanita itu? Apa mungkin dia sedang bersama seseorang? Tapi siapa? Tidak mungkin dengan Anton. Karena jelas Anton sedang berada di rumah. Lantas, apa yang sedang dia lakukan, sampai tidak
Aku terus menatap layar ponsel, menunggu informasi dari anak buahku. Semoga saja mereka berhasil menjalankan tugasnya. Aku begitu khawatir kali ini. Bapak memang tidak punya hati. Dia bisa melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya, dia tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kondisi Nisa yang tengah berbadan dua."Kring! Kring!" Panggilan masuk dari anak buahku. Dengan cepat tangan ini menekan tombol hijau di layar."Halo Bos! Semuanya sudah beres! Saya sudah berhasil menggagalkan aksi pria hidung belang itu, dan saya jamin dia pasti jera dan tidak akan mengincar istri bos lagi!" ucapnya yakin."Bagus! Pastikan dia tidak akan mengadu pada Bapak saya! Ancam dia jika perlu! Jangan sampai dia mengadu dan melapor pada siapapun!""Siap, Bos! Kalau begitu sekarang saya antar istri bos dulu kembali ke rumah!""Silahkan! Antar dia dan pastikan dia aman sampai tujuan!""Baik bos! Laksanakan!" ucapnya lalu memutus s
Hallo semuanya 🥰🥰 Akhirnya setelah penantian dan proses yang cukup lama. Novel Vonis mandul ditengah kehamilan istriku atau disingkat menjadi (VMDKI) Ending juga 🥳🥳🥳Pertama-tama Saya mengucapkan terimakasih pada Tuhan Yang Maha Esa dan juga kepada Keluarga besar saya yang telah mendukung saya menjadi seorang Penulis. Dan yang paling spesial adalah terimakasih saya kepada seluruh pembaca setia novel VMDKI yang mengikuti novel ini dari awal terbit sampai tamat. 200 bab bukanlah jumlah yang sedikit, dan tentunya banyak diantara kalian semua yang sudah menghabiskan dana untuk membaca novel ini. Saya mohon maaf telah membuat kalian menghabiskan uang jajan atau bahkan uang dapur kalian untuk cerita ini. Semoga kalian bisa mendapat ganti yang berlipat ganda, semoga selalu di beri kesehatan, dan di lancarkan rezekinya. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan dan Typo di dalam Novel ini. Jika berkenan yuk, baca juga novel ottor yang lainnya. *Yang suka dr
***Setelah pertemuan itu mereka tidak lagi bertemu sampai acara pernikahan tiba. Anton dan Adelia hanya berkomunikasi lewat telepon dan watsap. Hari terus berganti, kedua keluarga semakin sibuk mempersiapkan acara sakral itu. Mereka ingin acara itu menjadi pernikahan termewah di Jakarta. Malam ini kedua keluarga mengadakan pertemuan tertutup. Dua pasangan paruh baya itu mengadakan jamuan di sebuah restoran VVIP untuk membahas persiapan pesta yang akan digelar besok. Mereka ingin memastikan jika semua persiapan sudah seratus persen. "Syukurlah jika semuanya sudah siap, saya sangat lega mendengarnya! Ini adalah momen spesial untuk kami," ucap Tuan Romy lega. "Iya, Pak. Kami pun begitu, rasanya tidak sabar untuk menunggu hari esok," jawab Pak Tio. "Kalau begitu, kita akhiri saja pertemuan ini, sepertinya sudah malam juga, sudah waktunya kita istirahat agar besok pagi tidak terlambat," ucapnya. Mereka p
***Dengan wajah memerah, Anton keluar dari minimarket membawa bungkusan berwarna merah muda itu. "Sial! Gara-gara Adel, aku jadi di ketawain anak-anak ABG tadi, mana jadi bahan olok-olokkan mereka lagi," cetus Anton menutup pintu mobilnya dengan kesal."Lagian, ngapain juga tuh kasir banyak tanya, pake acara nawarin merek lain segala lagi, memang dia pikir' saya ngerti apa dengan merek-merek pembalut? Aneh-aneh aja tuh orang," Anton menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan minimarket berlogo merah kuning itu.Sesampainya di rumah Adel, Anton pun langsung masuk ke dalam rumah yang tidak di kunci itu sesuai perintah Adel saat ia menelpon."Adel! Kamu dimana?""Gue di kamar! Lo sini aja! Gue nggak bisa turun nih," teriak Adel menyahut dari kejauhan."Jangan bercanda dong, Del! Di rumah kamu nggak ada siapa-siapa, ntar kalau tiba-tiba Papa dan Mama kamu datang dan melihat saya ada di k
🍀🍀🍀"Ibu langsung istirahat saja! Ibu pasti capek, kan? Barang-barangnya biar si Mbok dan Sulis yang urus!" ucap Anton saat mereka tiba di rumah sang Ayah. Wanita paruh baya itu pun mengangguk dan menuruti seruan anaknya. Sedangkan Anton segera masuk ke dalam kamarnya, ia pun merasa lelah setelah membantu memindahkan barang-barang ibunya.Kring! Kring! Ponsel Anton berdering, dengan cepat ia mengangkat panggilan masuk dari Lilis. "Halo, assalamualaikum' Mbak,""Waalaikumsalam, Mas. Maaf mengganggu, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih atas paket yang dikirim mas Anton. Anak-anak senang sekali, Mas,""Syukurlah kalau paketnya sudah sampai, Mbak. Semoga Fadlan dan Aqila menyukainya," ucap Anton lega. Tiga hari lalu Anton mengirim perlengkapan sekolah untuk kedua adik iparnya itu. Mulai dari baju seragam, sepatu, tas dan perlengkapan lainnya. "Suka banget, Mas. Dari tadi mereka nggak sabar ingin bilang terima
🍀🍀🍀Satu minggu sebelum pernikahan Anton di gelar, Tuan Romy dan Bu Minah pun melangsungkan acara pernikahan mereka di kediaman Tuan Romy, acaranya berlangsung khidmat dan sederhana sesuai permintaan Bu Aminah. Hanya kerabat dan orang-orang terdekat mereka yang menghadiri acara tersebut. Bu Aminah tampak begitu cantik dengan balutan kebaya Jawa, begitupun dengan Tuan Romy, pria lima puluh dua tahun itu tampak gagah dengan busana adat dan juga blangkon khas Jawa yang ia kenakanan. Pasangan paruh baya itu pun duduk di depan penghulu. "Bagaimana Pak Romy, sudah siap?" tanya penghulu itu memastikan. Tuan Romy pun langsung mengangguk yakin. Anton dan kekasihnya duduk di sebelah mereka, menyaksikan betapa sakralnya ijab kabul yang diucapkan sang Ayah. Suasana hening sejenak saat Tuan Romy dengan lugas dan lancar mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas."Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu memastikan."Sah!"
***Satu minggu setelah perdebatan itu, suasana kembali mencair. Bu Minah berusaha untuk menghilangkan kebenciannya kepada Jannah. Bagaimanapun anak itu memang tidak berdosa. Tidak mungkin ia harus menanggung beban atas perbuatan keji yang dilakukan kedua orang tuanya. Bu Minah berusaha meyakinkan dirinya, meski itu tidak semudah yang dipikirkan. Tapi ia yakin, lambat laun rasa sayang itu akan tumbuh dengan sendirinya. Kring! Kring! Dering ponselnya berbunyi. Nama Tuan Romy terpampang di layar. Dengan antusias Bu Minah segera menggeser tombol hijau dan berbicara dengan pria yang kini kembali mengisi kekosongan hatinya. "Halo, Mas. Sudah berangkat?" tanya Bu Minah saat seseorang memanggil namanya. "Sudah, Minah. Ini Mas sudah di jalan, sebentar lagi sampai. Kamu sudah siap' kan?" "Sudah, Mas. Saya tunggu di luar ya, biar kita langsung berangkat," Sahutnya sebelum memutus panggilan. Hari
Sore menjelang malam, mereka pun tiba di Jakarta. Setelah mengantar Adel sampai ke rumahnya, Anton pun bergegas pulang. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat Bu Minah ada di rumah sang Ayah dan menyambut dirinya dengan wajah tak bersahabat."Ibu? Sejak kapan ibu disini?" tanya Anton meraih tangan ibunya dan menciumnya takzim."Kamu dari mana saja Anton? Kenapa nomormu tidak bisa dihubungi?" tanya Bu Minah menatap tajam Anak sulungnya itu. Melihat raut wajah ibunya yang kesal, Anton pun bingung harus menjawab apa. "Kenapa diam saja Anton? Kamu tidak dengar apa yang ibu tanyakan?! Kamu dari mana saja? Kenapa pergi tidak pamit sama ibu?""Maaf kan Anton, Bu. Anton … Anton ada urusan,""Urusan? Urusan apa? Mengurus wanita jalang itu maksudmu?! Jawab Anton! Benarkan apa yang ibu katakan?" Mendengar cercaran pertanyaan dari ibunya, Anton pun hanya bisa mengangguk mengiyakan. Ia tidak mungkin berdebat dengan sang ibu d
Mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk pulang, Anton dan Adel mengantar Lilis terlebih dahulu sebelum mereka berdua kembali ke Jakarta. "Terimakasih, ya' Mas Anton, maaf sudah terlalu banyak merepotkan," ucap Lilis saat mereka tiba di rumahnya. "Tidak apa, Mbak. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya. Kalau begitu saya pamit dulu' ya, Mbak. Salam pada anak-anak," "Baik, Mas. Nanti saya sampaikan salam dari Mas Anton pada Qila dan Fadlan jika mereka sudah pulang dari sekolah. Mas Anton dan Mbak Adel hati-hati di jalan," sahut Lilis dan segera di anggukan oleh Anton maupun Adel. Dua sejoli itu pun akhirnya pergi meninggalkan kampung halaman Nisa.Tidak bisa dipungkiri, di kampung ini Anton sempat menjadi bagian dari keluarga besar Abah dan Emak. Kenangan masa lalu yang indah sempat terukir, walau hanya sesaat."Anton? Lo kenapa' sih? Ko malah ngelamun? Ayo jalan!" ucap Adel menegur kekasihnya yang masih dudu
"E-elo … nggak sedang bohongin gue kan?" tanya Adel terbata. Seketika ada perasaan bersalah karena telah menuduhnya yang tidak-tidak. "Untuk apa saya bohongin kamu, Del? Apa untungnya buat saya?" sahut Anton membuang nafas kasar. Ia tidak menyangka jika gadisnya itu bisa berpikiran buruk terhadapnya. "Lebih baik' sekarang kamu balik ke Jakarta! Kamu kesini diantar Pak Amin' kan? Biar saya bilang sama Pak Amin untuk bawa kamu pulang ke Jakarta," ucap Anton. Ia pun berjalan menuju mobil hendak menghampiri sang supir. Namun, seketika tangan Adel menghadangnya. "Gue nggak mau balik! Gue mau disini nemenin lo!" ujar Adel yakin."Tapi, Del! Disini saya repot dengan urusan Nisa. Saya tidak mungkin bisa jagain kamu! Dari pada nantinya kamu kesal, lebih baik kamu pulang. Jika urusan disini selesai, saya akan segera menyusul kamu ke Jakarta!" "Pokoknya gue nggak mau balik! Gue tidak akan kembali ke Jakarta tanpa lo! Gue mau nemenin lo sampai semua urusan