"Nisa! Apa yang kamu lakukan?" Suaraku membuat Nisa terkejut dan langsung menyembunyikan ponsel di saku gamisnya.
"Ma-mas Anton!" Wajahnya panik begitu melihat kehadiranku yang tiba-tiba.
"Itu HP siapa, Nis? Mana sini, Mas liat HP nya?" ucapku mencoba mengambil paksa ponsel yang ia sembunyikan.
"Jangan, Mas! Jangan! Ini bukan punyaku," Sahutnya. Dengan pakaian yang terbuka di bagian atas, ia terus berusaha menjaga ponsel itu agar tidak ku ambil.
"Mana ponselnya, Nis! Aku lihat! Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan?" Aku terus berusaha merebutnya dari Nisa. Namun, ia terus menghindar.
Hatiku begitu panas, melihat pemandangan barusan. Di Tengah ramainya orang-orang yang sedang tahlil. Ia malah sibuk video call dengan melepas kancing bajunya.
"Ada apa ini? Ko malah ribut-ribut?" tanya Emak yang datang menghampiri kami.
"Ya Allah, Nis! Kamu ngapain pake buka kancing baju segala? Cepet rapikan bajumu!
Setelah menemukan kartu pasien milik Ibu, aku pun bergegas membereskan kembali laci dan segera keluar dari kamar, tak lupa kubawa dompet kecil berisi surat rahasia ini. Surat ini akan aku simpan, dan akan kujadikan sebuah petunjuk untuk mencari Ayah kandung ku sebenarnya.Aku langsung mengunci pintu rumah, dan segera kembali ke mobil, menemui Ibu yang sudah menunggu di dalam mobil."Gimana, Ton! Sudah ketemu kartunya?" tanya Ibu memastikan."Sudah, Bu! Ini kartunya, sebaiknya Ibu taruh di dalam dompet, biar tidak hilang dan gampang nyarinya!" ucapku pada Ibu, tak lupa ku sodorkan kartu pasien miliknya.Ku pacu mobil menuju rumah sakit. Dalam perjalanan, aku tak henti-hentinya berpikir, siapa Ayahku sebenarnya? Kenapa aku bisa tinggal bersama Bapak? Apa benar yang diucapkan Bapak selama ini, bahwa aku adalah anak haram!"Ton! Gim
"Ya sudah kalau begitu, Mak! Nanti tolong sampaikan pada Nisa, jika Anton telepon! Assalamu'alaikum!" ucapku lalu menutup panggilan telepon.Ya Allah, harus pakai cara apalagi untuk menegur Nisa agar berhenti melakukan perbuatan kotornya. Kenapa dia sangat sulit diatur! Berulang kali diingatkan, tetap saja ia melakukannya lagi. Sepertinya penyesalan yang selama ini ia ucapkan padaku, itu hanya pura-pura.Rasanya memang sudah tidak bisa jika ia diberitahu secara baik-baik. Baiklah Nis, jika memang ini maumu, aku akan melakukan cara lain untuk membuatmu jera!Aku merebahkan tubuhku diatas kasur, menatap langit-langit kamar, meratapi masalah yang datang bertubi-tubi. Aku berharap bisa segera menyelesaikan semua masalah yang menimpaku ini. Perlahan ku pejamkan mata, berusaha melupakan sejenak beban hidup yang berat ini, hingga akhirnya akupun tertidur.**Suara adzan maghrib berkumandang, membangun kan tidurku, bergegas ak
Pikiranku semakin tak tenang. Aku segera menelpon Bapak, namun sayangnya nomor Bapak tidak aktif. Aku yakin, Bapak sengaja mematikan ponselnya agar tidak ada seorangpun yang bisa mengganggu mereka.Sial! Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku mencari atau menyusul mereka ke pasar! Aku saja tidak tahu jalan dan arah pasar di kampung ini.Dengan kecepatan tinggi, aku terus memacu mobilku. Agar segera sampai di rumah Emak. Berkali-kali kucoba menelpon Bapak, tapi nihil! Nomornya tetap saja tidak aktif. Hingga akhirnya aku pun sampai di depan rumah Emak. Sebuah mobil fortuner berwarna merah sudah terparkir di halaman rumah, itu berarti Bapak dan Nisa sudah datang.Bergegas aku turun dari mobil, dan masuk ke rumah setelah memberi salam."Dari mana saja kamu, Nis!" seloroh ku tanpa memperdulikan orang-orang disekitar."Mas Anton! Ko gak bilang, mau datang malam ini?" tanya Nisa basa-basi.Aku tak bisa men
"Sudahlah, Nis! Bangun! Jangan seperti ini! Percuma kamu nangis-nangis seperti ini, aku tak akan berubah pikiran!" ucapku pada Nisa yang masih bersimpuh memegang erat kaki ku."Sudah Nis, lepaskan!" Aku pun berusaha menarik kaki ku dari pelukannya. Seketika Nisa terjungkal dan terjengkang ke tanah.Aku begitu terkejut, saat melihatnya terlentang tak sadarkan diri."Nis! Bangun Nis! Kamu gak apa-apa, kan?" ucapku menepuk-nepuk pipi Nisa. Nisa tetap tak bergerak, sepertinya ia pingsan. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku menjelaskan semua ini pada Emak? Aku segera membopong tubuh Nisa, dan berjalan menuju ke rumah.Aku begitu khawatir dengan kondisinya, aku takut dia kenapa-kenapa. Aku tidak bermaksud menyakitinya, aku hanya ingin melepaskan kakiku dari pelukannya. Dengan perasaan cemas aku masuk ke dalam rumah, sesampainya di ruang tengah Emak begitu terkejut melihat ku menggendong Nisa dengan kondisi tak sadarkan diri.
Setelah berbalas pesan dengan akun facebook Nisa tadi malam. Pagi ini aku berencana akan membongkar semuanya di hadapan Ibu. Aku tahu, ini mungkin sangat berisiko untuk kesehatan Ibu. Tapi, aku rasa tidak ada pilihan lain, selain segera menghentikan perbuatan keji Bapak dan Nisa selama ini. Ibu juga harus tahu, bahwa Arjuna bukanlah Ayah dari janin yang dikandung Nisa.Aku membuka tas besar yang kubawa dari kampung kemarin, berniat mencari ponsel yang kurampas dari Nisa. Tapi sial! Ponselnya sudah tidak ada di dalam tas. Sepertinya Nisa mengambil ponsel itu secara diam-diam disaat aku sedang tertidur. Awas saja kau Nis! Hari ini tamat riwayatmu!Selesai mandi dan ganti baju kerja, aku segera menghampiri yang lain di meja makan. Mereka semua nampaknya sudah siap untuk menyantap menu sarapan yang dibuat Ibu. Ini pertama kalinya Ibu masak setelah lebih dari 1 minggu tidak masak karena sakit.Kulihat Nisa sudah cantik dan
Badan Ibu melemas, aku berusaha menguatkan nya. Aku memegang erat pundak Ibu. Ia menangis tergugu, tak kuasa menahan luka di hatinya."Apa yang kalian berdua lakukan di kamar hotel seperti ini? Bukannya tadi Bapak mau mengantar Nisa ke rumah sakit? Kenapa kalian bisa berada disini? Apa yang sebenarnya terjadi?" berbagai pertanyaan keluar dari mulut Ibu.Perlahan Bapak mendekat, ia berusaha menenangkan Ibu, sedangkan Nisa, ia nampak panik mencari baju dan penutup kepalanya."Ibu jangan salah sangka dulu! Bapak bisa jelasin semuanya!" ucap Bapak, tangannya berusaha mengelus pundak Ibu. Namun, seketika Ibu menepis nya."Sudahlah, Pak! Ibu sudah melihat semuanya! Ibu benar-benar tak menyangka kalian berdua membohongi Ibu! Dan kamu, Nis! Apa kamu tidak malu, berpakaian seperti ini di hadapan mertuamu? Dimana Nisa yang Ibu kenal? Nisa yang selalu berpakai
Cahaya matahari yang masuk ke sela-sela jendela kamar, membangunkanku dari tidur. Rupanya semalaman aku tertidur di kamar Ibu. Ia-dari semalam Ibu terus gelisah, bahkan dadanya sempat sesak saat menjelang subuh. Aku tertidur dengan posisi duduk di kursi dan kepala menunduk di ranjang, persis seperti sedang berjaga di rumah sakit. Perlahan aku membuka mata, melihat sekeliling ruangan, mencari keberadaan Ibu. Kemana Ibu? Kenapa dia tidak ada di kasurnya?Segera aku beranjak, dan keluar dari kamar. Memanggil nama Ibu, aku khawatir jika Ibu kenapa-kenapa. Pasalnya kondisi Ibu sedang lemah saat ini."Ibu! Ibu dimana?" Teriakku memanggil Ibu. Aku berjalan ke dapur untuk mencari keberadaannya. Rupanya Ibu sedang membuat kopi susu di dapur."Loh, Ibu ngapain disini? Badan Ibu kan masih lemes!" tanyaku pada Ibu yang sedang mengaduk kopi."Kamu gak perlu khawatir! Ibu sudah baikkan, ini--Ibu sedang buatkan kopi susu kesukaanmu!" Ia menyodork
Ibu berlari dan mengunci diri di kamar. Aku tidak mungkin mendapatkan jawaban saat ini. Kulihat jam di dinding, sudah pukul 8 lewat. Aku harus segera ke kantor. Aku pun bergegas meninggalkan rumah dan pergi ke kantor.Sepanjang perjalanan, hanya kebingungan yang menggelayuti pikiranku. Jika benar surat perjanjian itu telah disepakati oleh Bapak dan Ibu. Berarti, aku tidak akan bisa menceraikan Nisa sebelum bayi itu lahir. Surat perjanjian yang sangat aneh. Kenapa Bapak begitu menginginkan anak dariku. Sampai-sampai harus ada perjanjian mengikat seperti itu.Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ke ruangan ku. Bergabung dengan rekan-rekan kerjaku yang lain. Seperti biasa, hari ini aku harus terjun ke lapangan untuk memasarkan produk perusahaan. Semenjak turun jabatan, beginilah pekerjaanku. Menghabiskan banyak waktu di lapangan daripada di kantor.Setelah mengambil barang-barang yang akan akun pasarkan, aku segera berkelil
Hallo semuanya 🥰🥰 Akhirnya setelah penantian dan proses yang cukup lama. Novel Vonis mandul ditengah kehamilan istriku atau disingkat menjadi (VMDKI) Ending juga 🥳🥳🥳Pertama-tama Saya mengucapkan terimakasih pada Tuhan Yang Maha Esa dan juga kepada Keluarga besar saya yang telah mendukung saya menjadi seorang Penulis. Dan yang paling spesial adalah terimakasih saya kepada seluruh pembaca setia novel VMDKI yang mengikuti novel ini dari awal terbit sampai tamat. 200 bab bukanlah jumlah yang sedikit, dan tentunya banyak diantara kalian semua yang sudah menghabiskan dana untuk membaca novel ini. Saya mohon maaf telah membuat kalian menghabiskan uang jajan atau bahkan uang dapur kalian untuk cerita ini. Semoga kalian bisa mendapat ganti yang berlipat ganda, semoga selalu di beri kesehatan, dan di lancarkan rezekinya. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan dan Typo di dalam Novel ini. Jika berkenan yuk, baca juga novel ottor yang lainnya. *Yang suka dr
***Setelah pertemuan itu mereka tidak lagi bertemu sampai acara pernikahan tiba. Anton dan Adelia hanya berkomunikasi lewat telepon dan watsap. Hari terus berganti, kedua keluarga semakin sibuk mempersiapkan acara sakral itu. Mereka ingin acara itu menjadi pernikahan termewah di Jakarta. Malam ini kedua keluarga mengadakan pertemuan tertutup. Dua pasangan paruh baya itu mengadakan jamuan di sebuah restoran VVIP untuk membahas persiapan pesta yang akan digelar besok. Mereka ingin memastikan jika semua persiapan sudah seratus persen. "Syukurlah jika semuanya sudah siap, saya sangat lega mendengarnya! Ini adalah momen spesial untuk kami," ucap Tuan Romy lega. "Iya, Pak. Kami pun begitu, rasanya tidak sabar untuk menunggu hari esok," jawab Pak Tio. "Kalau begitu, kita akhiri saja pertemuan ini, sepertinya sudah malam juga, sudah waktunya kita istirahat agar besok pagi tidak terlambat," ucapnya. Mereka p
***Dengan wajah memerah, Anton keluar dari minimarket membawa bungkusan berwarna merah muda itu. "Sial! Gara-gara Adel, aku jadi di ketawain anak-anak ABG tadi, mana jadi bahan olok-olokkan mereka lagi," cetus Anton menutup pintu mobilnya dengan kesal."Lagian, ngapain juga tuh kasir banyak tanya, pake acara nawarin merek lain segala lagi, memang dia pikir' saya ngerti apa dengan merek-merek pembalut? Aneh-aneh aja tuh orang," Anton menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan minimarket berlogo merah kuning itu.Sesampainya di rumah Adel, Anton pun langsung masuk ke dalam rumah yang tidak di kunci itu sesuai perintah Adel saat ia menelpon."Adel! Kamu dimana?""Gue di kamar! Lo sini aja! Gue nggak bisa turun nih," teriak Adel menyahut dari kejauhan."Jangan bercanda dong, Del! Di rumah kamu nggak ada siapa-siapa, ntar kalau tiba-tiba Papa dan Mama kamu datang dan melihat saya ada di k
🍀🍀🍀"Ibu langsung istirahat saja! Ibu pasti capek, kan? Barang-barangnya biar si Mbok dan Sulis yang urus!" ucap Anton saat mereka tiba di rumah sang Ayah. Wanita paruh baya itu pun mengangguk dan menuruti seruan anaknya. Sedangkan Anton segera masuk ke dalam kamarnya, ia pun merasa lelah setelah membantu memindahkan barang-barang ibunya.Kring! Kring! Ponsel Anton berdering, dengan cepat ia mengangkat panggilan masuk dari Lilis. "Halo, assalamualaikum' Mbak,""Waalaikumsalam, Mas. Maaf mengganggu, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih atas paket yang dikirim mas Anton. Anak-anak senang sekali, Mas,""Syukurlah kalau paketnya sudah sampai, Mbak. Semoga Fadlan dan Aqila menyukainya," ucap Anton lega. Tiga hari lalu Anton mengirim perlengkapan sekolah untuk kedua adik iparnya itu. Mulai dari baju seragam, sepatu, tas dan perlengkapan lainnya. "Suka banget, Mas. Dari tadi mereka nggak sabar ingin bilang terima
🍀🍀🍀Satu minggu sebelum pernikahan Anton di gelar, Tuan Romy dan Bu Minah pun melangsungkan acara pernikahan mereka di kediaman Tuan Romy, acaranya berlangsung khidmat dan sederhana sesuai permintaan Bu Aminah. Hanya kerabat dan orang-orang terdekat mereka yang menghadiri acara tersebut. Bu Aminah tampak begitu cantik dengan balutan kebaya Jawa, begitupun dengan Tuan Romy, pria lima puluh dua tahun itu tampak gagah dengan busana adat dan juga blangkon khas Jawa yang ia kenakanan. Pasangan paruh baya itu pun duduk di depan penghulu. "Bagaimana Pak Romy, sudah siap?" tanya penghulu itu memastikan. Tuan Romy pun langsung mengangguk yakin. Anton dan kekasihnya duduk di sebelah mereka, menyaksikan betapa sakralnya ijab kabul yang diucapkan sang Ayah. Suasana hening sejenak saat Tuan Romy dengan lugas dan lancar mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas."Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu memastikan."Sah!"
***Satu minggu setelah perdebatan itu, suasana kembali mencair. Bu Minah berusaha untuk menghilangkan kebenciannya kepada Jannah. Bagaimanapun anak itu memang tidak berdosa. Tidak mungkin ia harus menanggung beban atas perbuatan keji yang dilakukan kedua orang tuanya. Bu Minah berusaha meyakinkan dirinya, meski itu tidak semudah yang dipikirkan. Tapi ia yakin, lambat laun rasa sayang itu akan tumbuh dengan sendirinya. Kring! Kring! Dering ponselnya berbunyi. Nama Tuan Romy terpampang di layar. Dengan antusias Bu Minah segera menggeser tombol hijau dan berbicara dengan pria yang kini kembali mengisi kekosongan hatinya. "Halo, Mas. Sudah berangkat?" tanya Bu Minah saat seseorang memanggil namanya. "Sudah, Minah. Ini Mas sudah di jalan, sebentar lagi sampai. Kamu sudah siap' kan?" "Sudah, Mas. Saya tunggu di luar ya, biar kita langsung berangkat," Sahutnya sebelum memutus panggilan. Hari
Sore menjelang malam, mereka pun tiba di Jakarta. Setelah mengantar Adel sampai ke rumahnya, Anton pun bergegas pulang. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat Bu Minah ada di rumah sang Ayah dan menyambut dirinya dengan wajah tak bersahabat."Ibu? Sejak kapan ibu disini?" tanya Anton meraih tangan ibunya dan menciumnya takzim."Kamu dari mana saja Anton? Kenapa nomormu tidak bisa dihubungi?" tanya Bu Minah menatap tajam Anak sulungnya itu. Melihat raut wajah ibunya yang kesal, Anton pun bingung harus menjawab apa. "Kenapa diam saja Anton? Kamu tidak dengar apa yang ibu tanyakan?! Kamu dari mana saja? Kenapa pergi tidak pamit sama ibu?""Maaf kan Anton, Bu. Anton … Anton ada urusan,""Urusan? Urusan apa? Mengurus wanita jalang itu maksudmu?! Jawab Anton! Benarkan apa yang ibu katakan?" Mendengar cercaran pertanyaan dari ibunya, Anton pun hanya bisa mengangguk mengiyakan. Ia tidak mungkin berdebat dengan sang ibu d
Mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk pulang, Anton dan Adel mengantar Lilis terlebih dahulu sebelum mereka berdua kembali ke Jakarta. "Terimakasih, ya' Mas Anton, maaf sudah terlalu banyak merepotkan," ucap Lilis saat mereka tiba di rumahnya. "Tidak apa, Mbak. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya. Kalau begitu saya pamit dulu' ya, Mbak. Salam pada anak-anak," "Baik, Mas. Nanti saya sampaikan salam dari Mas Anton pada Qila dan Fadlan jika mereka sudah pulang dari sekolah. Mas Anton dan Mbak Adel hati-hati di jalan," sahut Lilis dan segera di anggukan oleh Anton maupun Adel. Dua sejoli itu pun akhirnya pergi meninggalkan kampung halaman Nisa.Tidak bisa dipungkiri, di kampung ini Anton sempat menjadi bagian dari keluarga besar Abah dan Emak. Kenangan masa lalu yang indah sempat terukir, walau hanya sesaat."Anton? Lo kenapa' sih? Ko malah ngelamun? Ayo jalan!" ucap Adel menegur kekasihnya yang masih dudu
"E-elo … nggak sedang bohongin gue kan?" tanya Adel terbata. Seketika ada perasaan bersalah karena telah menuduhnya yang tidak-tidak. "Untuk apa saya bohongin kamu, Del? Apa untungnya buat saya?" sahut Anton membuang nafas kasar. Ia tidak menyangka jika gadisnya itu bisa berpikiran buruk terhadapnya. "Lebih baik' sekarang kamu balik ke Jakarta! Kamu kesini diantar Pak Amin' kan? Biar saya bilang sama Pak Amin untuk bawa kamu pulang ke Jakarta," ucap Anton. Ia pun berjalan menuju mobil hendak menghampiri sang supir. Namun, seketika tangan Adel menghadangnya. "Gue nggak mau balik! Gue mau disini nemenin lo!" ujar Adel yakin."Tapi, Del! Disini saya repot dengan urusan Nisa. Saya tidak mungkin bisa jagain kamu! Dari pada nantinya kamu kesal, lebih baik kamu pulang. Jika urusan disini selesai, saya akan segera menyusul kamu ke Jakarta!" "Pokoknya gue nggak mau balik! Gue tidak akan kembali ke Jakarta tanpa lo! Gue mau nemenin lo sampai semua urusan