Perasaan tak tenang terus mengusik di benakku, setelah melihat rekaman CCTV tadi, ingin rasanya aku segera pulang dan melabrak Nisa dengan bukti yang sudah jelas. Berkali-kali aku melihat jam di ponselku, waktu masih menunjukan pukul 3 sore, masih 2 jam lagi menuju waktu pulang kantor.
Gelisah dan terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki itu, kalau aku melihat sepintas perawakannya yang tidak jelas, sepertinya bukan Arjuna. Mungkinkah itu Bapak? Tapi--Bapak kan lumpuh! Apa sebenarnya Bapak hanya pura-pura lumpuh? Argh… aku menjambak rambutku frustasi. Aku bisa gila jika terus-menerus seperti ini, memecahkan teka-teki yang gak ada habisnya. ***"Pak Anton! Bapak dipanggil Pak Surya ke ruangannya," ucap Tika, sekretaris Pak Surya, kepala cabang di kantor ini.
Sejenak aku berpikir, tumben sekali Pak Surya memanggilku, biasanya jika tidak ada yang urgent, Pak Surya tidak pernah menyuruhku datang
Setelah mendengar percakapan Nisa dan Ibunya ditelpon, rasa penasaranku semakin berkecamuk, aku pun memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar."Nis, kamu lagi apa?" tanyaku pada Nisa yang sedang duduk terlentang di atas kasur, seketika Nisa terkejut dan langsung mematikan ponsel jadul yang ia pakai untuk mengobrol dengan keluarganya."Ma-Mas, Anton! Ko tidak mengucapkan salam, Mas?" ucap Nisa terbata, wajahnya nampak panik melihatku masuk kamar tiba-tiba.Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mendekat dan duduk di sampingnya. Kulihat wajahnya begitu pucat, sepertinya Nisa kelelahan. Raut wajahnya sama seperti saat ia dibawa ke rumah sakit kemarin. Apa sebenarnya Nisa kelelahan karena melayani nafsu Bapak? Tapi, jika itu benar, dimana Ibu saat itu? Tidakkah dia curiga?"Kamu pucat, Nis! Uda minum obat?" tanyaku khawatir, bagaimanapun juga, di perutnya ada janin yang harus selalu mendapat nutrisi dari Ibunya
Aku pun segera mengantongi bungkus obat kuat itu, dan bergegas melipat kursi roda, kemudian memasukkannya ke dalam bagasi belakang mobil.Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku tidak banyak bicara pada Bapak maupun Ibu, mereka berdua duduk di kursi belakang, sesekali ku perhatikan wajah Bapak, parasnya memang masih tampan, dan kharismatik, tidak hanya itu. Bapak juga memiliki tubuh yang cukup atletis meskipun usianya sudah 50 tahun. Kekurangan Bapak hanya satu, yaitu lumpuh. Mungkin, jika Bapak tidak lumpuh, dia masih gagah dan energik.Tapi, setelah melihat ciri-ciri dari pria yang bercinta dengan Nisa di Video CCTV itu, mengapa aku jadi ragu, apakah Bapak benar-benar lumpuh atau hanya bersandiwara.Aku yakin, jika ini hanya sandiwara lambat laun pasti akan terbongkar. Aku akan Pastikan itu. Aku pun terus memacu mobil dengan cepat, berharap segera sampai rumah. Aku ingin segera mencocokkan bungkus obat kuat ini dengan nota yang kutemukan di dekat tem
Setelah membaca pesan dari nomor tidak dikenal itu, aku semakin penasaran dengan masa lalu Nisa. Selama ini dia selalu tertutup padaku, tak pernah sedikitpun bercerita tentang kehidupannya di masa lalu, bahkan tentang keluarga nya saja, Nisa terkesan tertutup. Aku sama sekali tidak pernah mendengar kabar tentang orang tuanya di kampung.Setiap aku bertanya tentang keluarganya, Nisa selalu saja mengalihkan pembicaraan.Ku lihat jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam, tapi mata ini sulit untuk dipejamkan, bayang-bayang di video itu selalu saja menghantui pikiranku.Aku memang headset di telingaku, memutar lagu klasik pengantar tidur, setidaknya dengan mendengarkan lagu-lagu ini, aku bisa lebih cepat tidur.***Terdengar suara alarm berbunyi, tak lama kemudian suara adzan subuh pun berkumandang. Aku membuka mataku perlahan, ternyata Nisa sudah tidak ada disampingku. Kemana dia? Mungkinkah dia sudah ba
"Emak, Abah sakit apa? Kenapa bisa seperti ini?" tanyaku pada Emak. Wanita paruh bawa ini mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar seolah sulit untuk berucap."Mak…" panggil ku lagi. "Kenapa Nisa tidak pernah cerita, jika Abah sedang sakit parah seperti ini?""Maafkan kami, Nak Anton! Kami sudah berjanji pada Nisa, untuk tidak menghubungi Nak Anton! Kami takut akan merepotkan Nak Anton dan keluarga Pak Baskoro," ucapnya tersedu-sedu, butiran bening yang sudah tak bisa dibendung, akhirnya tumpah di wajahnya yang mulai keriput."Tapi, Mak! Kalau seperti ini, kasihan Abah. Kalau saya tau, Abah sakit parah seperti ini, mungkin-saya akan sering mengajak Nisa mengunjungi Emak dan Abah di kampung!""Tidak apa, Nak Anton. Selama ini, kami sudah banyak berhutang budi pada keluarga Nak Anton."Kucium punggung tangan Abah yang tergolek lemah di ranjang. Tatapan matanya kosong, tapi Abah mendengar suaraku. Saat aku bertanya, ia meng
"Tapi itu mah dulu, Kang! Sekarang mah dia uda insyaf. Terakhir saya lihat, dia sudah pake kerudung, uda gak pernah kumpul-kumpul lagi sama anak-anak disini!" paparnya padaku. "Oh ya? Sejak kapan dia insyaf, Kang?" tanyaku penasaran. "Uda lama, Kang! Uda hampir 2 tahun ini, pokoknya semenjak Abahnya sakit-sakitan, semenjak itu si Nisa uda gak pernah tuh nongkrong-nongkrong gak jelas," Mendengar penjelasan pegawai bengkel ini, aku mulai berfikir. Jika dia bilang Nisa Insyaf sudah hampir 2 tahun, berarti sebelum mengenalku dia sudah insyaf. Tapi, kenapa dia mau berbuat zina dengan pria lain di belakangku, padahal statusnya adalah istriku. "Tuh Kang, Liat! Itu tuh, cowok yang pakai jaket merah, dia itu mantan pacarnya si Nisa! Dulu mereka pacaran lama, tapi ya gitu Kang. Si Nisa nya kan sana sini masuk, malahan nih Kang, menurut gosip, si Nisa itu pernah melakukan aborsi!" ucapanya kali ini membuatku benar-benar terkejut. "Apa? Abor
Sedangkan Bapak hanya berdiri mematung, wajahnya yang tadi merah penuh amarah, kini berubah menjadi pucat pasi. "Pak! Sejak kapan Bapak bisa berdiri? Ko Bapak gak pernah bilang sama Ibu, jika Bapak sudah kuat berdiri sendiri?" Ibu terus saja memberondong Bapak dengan pertanyaan. "Kenapa diam saja, Pak? Bapak gak bisa jawab? Atau Bapak mau berpura-pura lagi di depan kami?" sahut ku penuh emosi. Rasanya aku sudah tidak bisa membendung emosi ku yang sudah terlanjur meluap. "Maksud kamu apa, Anton? Siapa yang pura-pura?" tanya Ibu padaku. "Ibu tanya saja pada Bapak! Sejak kapan dia sudah bisa berjalan! "Ba-bapak benar, sudah bisa jalan?" tanya Ibu yang masih bingung. Bapak merunduk, wajah garangnya tak mampu menatap Ibu yang berdiri di sampingnya. Aku tahu betul, saat ini Bapak pasti sedang berpikir, bagaimana caranya agar Ibu bisa percaya padanya
Setelah ku angkat Ibu ke kasur, Ibu tak juga sadar. Aku benar-benar panik dan khawatir. Aku takut jika Ibu kenapa-kenapa. Akhirnya aku putuskan untuk membawa Ibu ke rumah sakit, aku dan Arjuna mengangkat Ibu ke dalam mobil, sedangkan Bapak, ia tetap tak bergeming. Mata hatinya seolah tertutup dengan keangkuhannya. Jika tidak memandang Ibu, ingin sekali ku maki pria paruh baya yang keras kepala ini."Jun! Kamu jagain Ibu di belakang! Biar Mas yang nyetir!" ucapku pada Arjuna yang juga nampak panik."Iya, Mas!" Jawabnya lalu masuk ke mobil, mendampingi Ibu yang tak sadarkan diri.Sedangkan Nisa, tanpa disuruh ia langsung masuk ke dalam mobil, dan duduk di kursi depan, tepat di samping ku. Wajahnya nampak khawatir, berkali-kali ia mengelus perutnya, dari raut wajahnya sepertinya ia mulai kram lagi.Ku lajukan mobil dengan kecepatan tinggi, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Ibu. Berkali-kali aku menerobos lampu merah, dan itu membuat Ni
Mataku terus memperhatikan layar benda pipih ini, berharap menemukan kejelasan dari apa yang sedang Bapak lakukan di kamarku. Apa yang ia cari di tumpukan pakaian dalam milik Nisa? Kenapa Bapak bisa selancang itu masuk dan mengobrak Abrik lemari baju Nisa. Kulihat Bapak berhenti sejenak, mengambil ponsel di saku bajunya. Sepertinya ia menelpon seseorang, apakah dia menelpon Nisa? Tapi-Nisa kan sedang di ruang rawat bersama Ibu.Aku segera berlari, mengecek keberadaan Nisa. Benarkah dia masih bersama Ibu atau sudah pergi. Sesampainya di depan pintu kamar inap, aku langsung mendorong daun pintu, dan ternyata Nisa sudah tidak ada di kamar. Disini hanya ada Ibu yang ditemani Arjuna. Lantas kemana Nisa? Benarkah yang Bapak telpon tadi itu Nisa?"Jun! Nisa mana?" tanyaku pada Arjuna."Mbak Nisa ke toilet, Mas!" jawab Arjuna datar. Dengan cepat aku menyusul Nisa ke toilet. Aku harus pastikan apa yang sedang
Hallo semuanya 🥰🥰 Akhirnya setelah penantian dan proses yang cukup lama. Novel Vonis mandul ditengah kehamilan istriku atau disingkat menjadi (VMDKI) Ending juga 🥳🥳🥳Pertama-tama Saya mengucapkan terimakasih pada Tuhan Yang Maha Esa dan juga kepada Keluarga besar saya yang telah mendukung saya menjadi seorang Penulis. Dan yang paling spesial adalah terimakasih saya kepada seluruh pembaca setia novel VMDKI yang mengikuti novel ini dari awal terbit sampai tamat. 200 bab bukanlah jumlah yang sedikit, dan tentunya banyak diantara kalian semua yang sudah menghabiskan dana untuk membaca novel ini. Saya mohon maaf telah membuat kalian menghabiskan uang jajan atau bahkan uang dapur kalian untuk cerita ini. Semoga kalian bisa mendapat ganti yang berlipat ganda, semoga selalu di beri kesehatan, dan di lancarkan rezekinya. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan dan Typo di dalam Novel ini. Jika berkenan yuk, baca juga novel ottor yang lainnya. *Yang suka dr
***Setelah pertemuan itu mereka tidak lagi bertemu sampai acara pernikahan tiba. Anton dan Adelia hanya berkomunikasi lewat telepon dan watsap. Hari terus berganti, kedua keluarga semakin sibuk mempersiapkan acara sakral itu. Mereka ingin acara itu menjadi pernikahan termewah di Jakarta. Malam ini kedua keluarga mengadakan pertemuan tertutup. Dua pasangan paruh baya itu mengadakan jamuan di sebuah restoran VVIP untuk membahas persiapan pesta yang akan digelar besok. Mereka ingin memastikan jika semua persiapan sudah seratus persen. "Syukurlah jika semuanya sudah siap, saya sangat lega mendengarnya! Ini adalah momen spesial untuk kami," ucap Tuan Romy lega. "Iya, Pak. Kami pun begitu, rasanya tidak sabar untuk menunggu hari esok," jawab Pak Tio. "Kalau begitu, kita akhiri saja pertemuan ini, sepertinya sudah malam juga, sudah waktunya kita istirahat agar besok pagi tidak terlambat," ucapnya. Mereka p
***Dengan wajah memerah, Anton keluar dari minimarket membawa bungkusan berwarna merah muda itu. "Sial! Gara-gara Adel, aku jadi di ketawain anak-anak ABG tadi, mana jadi bahan olok-olokkan mereka lagi," cetus Anton menutup pintu mobilnya dengan kesal."Lagian, ngapain juga tuh kasir banyak tanya, pake acara nawarin merek lain segala lagi, memang dia pikir' saya ngerti apa dengan merek-merek pembalut? Aneh-aneh aja tuh orang," Anton menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan minimarket berlogo merah kuning itu.Sesampainya di rumah Adel, Anton pun langsung masuk ke dalam rumah yang tidak di kunci itu sesuai perintah Adel saat ia menelpon."Adel! Kamu dimana?""Gue di kamar! Lo sini aja! Gue nggak bisa turun nih," teriak Adel menyahut dari kejauhan."Jangan bercanda dong, Del! Di rumah kamu nggak ada siapa-siapa, ntar kalau tiba-tiba Papa dan Mama kamu datang dan melihat saya ada di k
🍀🍀🍀"Ibu langsung istirahat saja! Ibu pasti capek, kan? Barang-barangnya biar si Mbok dan Sulis yang urus!" ucap Anton saat mereka tiba di rumah sang Ayah. Wanita paruh baya itu pun mengangguk dan menuruti seruan anaknya. Sedangkan Anton segera masuk ke dalam kamarnya, ia pun merasa lelah setelah membantu memindahkan barang-barang ibunya.Kring! Kring! Ponsel Anton berdering, dengan cepat ia mengangkat panggilan masuk dari Lilis. "Halo, assalamualaikum' Mbak,""Waalaikumsalam, Mas. Maaf mengganggu, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih atas paket yang dikirim mas Anton. Anak-anak senang sekali, Mas,""Syukurlah kalau paketnya sudah sampai, Mbak. Semoga Fadlan dan Aqila menyukainya," ucap Anton lega. Tiga hari lalu Anton mengirim perlengkapan sekolah untuk kedua adik iparnya itu. Mulai dari baju seragam, sepatu, tas dan perlengkapan lainnya. "Suka banget, Mas. Dari tadi mereka nggak sabar ingin bilang terima
🍀🍀🍀Satu minggu sebelum pernikahan Anton di gelar, Tuan Romy dan Bu Minah pun melangsungkan acara pernikahan mereka di kediaman Tuan Romy, acaranya berlangsung khidmat dan sederhana sesuai permintaan Bu Aminah. Hanya kerabat dan orang-orang terdekat mereka yang menghadiri acara tersebut. Bu Aminah tampak begitu cantik dengan balutan kebaya Jawa, begitupun dengan Tuan Romy, pria lima puluh dua tahun itu tampak gagah dengan busana adat dan juga blangkon khas Jawa yang ia kenakanan. Pasangan paruh baya itu pun duduk di depan penghulu. "Bagaimana Pak Romy, sudah siap?" tanya penghulu itu memastikan. Tuan Romy pun langsung mengangguk yakin. Anton dan kekasihnya duduk di sebelah mereka, menyaksikan betapa sakralnya ijab kabul yang diucapkan sang Ayah. Suasana hening sejenak saat Tuan Romy dengan lugas dan lancar mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas."Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu memastikan."Sah!"
***Satu minggu setelah perdebatan itu, suasana kembali mencair. Bu Minah berusaha untuk menghilangkan kebenciannya kepada Jannah. Bagaimanapun anak itu memang tidak berdosa. Tidak mungkin ia harus menanggung beban atas perbuatan keji yang dilakukan kedua orang tuanya. Bu Minah berusaha meyakinkan dirinya, meski itu tidak semudah yang dipikirkan. Tapi ia yakin, lambat laun rasa sayang itu akan tumbuh dengan sendirinya. Kring! Kring! Dering ponselnya berbunyi. Nama Tuan Romy terpampang di layar. Dengan antusias Bu Minah segera menggeser tombol hijau dan berbicara dengan pria yang kini kembali mengisi kekosongan hatinya. "Halo, Mas. Sudah berangkat?" tanya Bu Minah saat seseorang memanggil namanya. "Sudah, Minah. Ini Mas sudah di jalan, sebentar lagi sampai. Kamu sudah siap' kan?" "Sudah, Mas. Saya tunggu di luar ya, biar kita langsung berangkat," Sahutnya sebelum memutus panggilan. Hari
Sore menjelang malam, mereka pun tiba di Jakarta. Setelah mengantar Adel sampai ke rumahnya, Anton pun bergegas pulang. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat Bu Minah ada di rumah sang Ayah dan menyambut dirinya dengan wajah tak bersahabat."Ibu? Sejak kapan ibu disini?" tanya Anton meraih tangan ibunya dan menciumnya takzim."Kamu dari mana saja Anton? Kenapa nomormu tidak bisa dihubungi?" tanya Bu Minah menatap tajam Anak sulungnya itu. Melihat raut wajah ibunya yang kesal, Anton pun bingung harus menjawab apa. "Kenapa diam saja Anton? Kamu tidak dengar apa yang ibu tanyakan?! Kamu dari mana saja? Kenapa pergi tidak pamit sama ibu?""Maaf kan Anton, Bu. Anton … Anton ada urusan,""Urusan? Urusan apa? Mengurus wanita jalang itu maksudmu?! Jawab Anton! Benarkan apa yang ibu katakan?" Mendengar cercaran pertanyaan dari ibunya, Anton pun hanya bisa mengangguk mengiyakan. Ia tidak mungkin berdebat dengan sang ibu d
Mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk pulang, Anton dan Adel mengantar Lilis terlebih dahulu sebelum mereka berdua kembali ke Jakarta. "Terimakasih, ya' Mas Anton, maaf sudah terlalu banyak merepotkan," ucap Lilis saat mereka tiba di rumahnya. "Tidak apa, Mbak. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya. Kalau begitu saya pamit dulu' ya, Mbak. Salam pada anak-anak," "Baik, Mas. Nanti saya sampaikan salam dari Mas Anton pada Qila dan Fadlan jika mereka sudah pulang dari sekolah. Mas Anton dan Mbak Adel hati-hati di jalan," sahut Lilis dan segera di anggukan oleh Anton maupun Adel. Dua sejoli itu pun akhirnya pergi meninggalkan kampung halaman Nisa.Tidak bisa dipungkiri, di kampung ini Anton sempat menjadi bagian dari keluarga besar Abah dan Emak. Kenangan masa lalu yang indah sempat terukir, walau hanya sesaat."Anton? Lo kenapa' sih? Ko malah ngelamun? Ayo jalan!" ucap Adel menegur kekasihnya yang masih dudu
"E-elo … nggak sedang bohongin gue kan?" tanya Adel terbata. Seketika ada perasaan bersalah karena telah menuduhnya yang tidak-tidak. "Untuk apa saya bohongin kamu, Del? Apa untungnya buat saya?" sahut Anton membuang nafas kasar. Ia tidak menyangka jika gadisnya itu bisa berpikiran buruk terhadapnya. "Lebih baik' sekarang kamu balik ke Jakarta! Kamu kesini diantar Pak Amin' kan? Biar saya bilang sama Pak Amin untuk bawa kamu pulang ke Jakarta," ucap Anton. Ia pun berjalan menuju mobil hendak menghampiri sang supir. Namun, seketika tangan Adel menghadangnya. "Gue nggak mau balik! Gue mau disini nemenin lo!" ujar Adel yakin."Tapi, Del! Disini saya repot dengan urusan Nisa. Saya tidak mungkin bisa jagain kamu! Dari pada nantinya kamu kesal, lebih baik kamu pulang. Jika urusan disini selesai, saya akan segera menyusul kamu ke Jakarta!" "Pokoknya gue nggak mau balik! Gue tidak akan kembali ke Jakarta tanpa lo! Gue mau nemenin lo sampai semua urusan