Bab 3
Vonis mandul ditengah kehamilan istrikuHatiku memanas seketika, setelah melihat Arjuna kelelahan seperti itu, habis ngapain dia, jika bukan habis bercinta dengan Nisa! Aku berusaha tetap tenang, aku tidak boleh gegabah.
"Jun! Kamu habis ngapain malam-malam gini keringatan kayak gitu?" tanyaku penuh selidik, aku benar-benar penasaran dengan jawaban dari anak ini.
"Eh Mas, belum tidur, Mas?" jawabnya santai, dia malah balik tanya kepadaku.
"Belum, belum ngantuk! Pertanyaan Mas, gak kamu jawab? kamu habis ngapain malam-malam gini gak Pake baju, keringat gitu?"
"Owh, aku habis push up, Mas! Olahraga, biar punya badan kayak Mas Anton," jawabnya santai. Dia sama sekali tidak terlihat panik maupun kikuk.
"Malam-malam gini olah raga, olah raga tuh pagi! biar sehat, bukan malam!" jawabku sedikit ketus, pasalnya aku tidak percaya dengan Jawaban Arjuna.
"Mas ngapain disini? Mau bikin mie instan juga, kayak Mbak Nisa? Ko gak sekalian aja tadi makan bareng Mbak Nisa, Mas?" Aku terdiam sesaat, berpikir apa maksud dari ucapan Arjuna, apa dari tadi Nisa di dapur untuk bikin mie instan, terus habis makan dia langsung mandi? Aku memang melihat mangkuk bekas mie instan di atas meja makan, apakah ini mangkok bekas Nisa? Ah-entahlah, saat ini aku memang tidak bisa berpikir jernih.
"Mas! Ditanya kok bengong?" ucap Arjuna membangunkan lamunanku.
"Gak, Mas lagi ngadem aja disini! uda malam, cepet tidur! besok kan kamu harus sekolah!" sahutku pada Arjuna, ia pun mengangguk dan segera kembali ke kamarnya.
Tak lama kemudian Nisa keluar dari kamar mandi, dengan rambut basahnya.
"Mas? Ko kamu disini? Ngapain?" tanya Nisa terkejut melihat ku dihadapannya.
"Mas nyariin kamu, kamu kemana aja dari tadi? Terus kamu ngapain keramas malam-malam gini, emangnya gak dingin?" tanyaku penuh selidik.
"Ba-barusan aku habis makan mie instan, terus keringetan, gerah! jadi aku mandi aja daripada gak bisa tidur semalaman, kamu tau sendiri kan orang hamil bawaannya gerah terus!" jawabnya sedikit terbata. Aku yakin Nisa pasti berbohong.
"Ya sudah, cepet masuk kamar, keringkan rambutnya biar gak masuk angin!" ucapku mengajaknya ke kamar.
Di dalam kamar Nisa mulai memakai satu persatu pakaiannya, namun ada sesuatu yang membuat dadaku semakin sesak, aku melihat tanda merah di bagian dada kirinya, tanda itu sepertinya masih baru, karena warna merahnya masih terang. Sedangkan aku dan Nisa terakhir kali berhubungan 3 hari yang lalu. Aku yakin ini adalah perbuatannya laki-laki itu.
Seperti biasa dia akan memakai daster panjang untuk tidur. Dia memang wanita yang sangat menjaga auratnya, bahkan walaupun seharian dirumah, dia tetap mengenakan gamis dan kerudungnya.
Aku berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar dengan berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam hatiku. Selesai memakai baju dan mengeringkan rambut dengan hairdryer, Nisa pun segera berbaring di sampingku, wajahnya begitu lugu dan sendu.
"Cepet tidur, Mas! cepet istirahat," ucapnya, lalu mengecup keningku. Itu memang sudah menjadi kebiasaannya setiap malam sebelum tidur.
Malam semakin larut, tapi mataku sulit untuk terpejam. Hingga sampai adzan subuh berkumandang aku masih terjaga.
Segera aku bangkit dari kasur, berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
"Mas, ko tumben kamu sudah bangun?" tanya Nisa yang baru bangun dari tidurnya.
"Iya, Nis! Mas harus berangkat pagi ke kantor!" jawabku berbohong.
"Ya sudah kalau begitu, mumpung kamu bangunannya subuh, kita sholat berjamaah ya!" ajaknya padaku, Nisa memang biasa bangun subuh, sedangkan aku jarang sekali bisa bangun dan sholat subuh. Sholat subuh ku sering kali bolong.
Aku mengangguk mengiyakan ajakan Nisa, kami pun sholat subuh berjamaah. Setelah shalat Nisa kembali ke kamar, dia mengeluh perutnya kram. Aku pun menyuruhnya untuk beristirahat di kamar.
***
"Ton, kamu Uda bangun?" tanya Ibu padaku yang sedang duduk di depan televisi."Uda, Bu!" jawabku singkat.
Semenjak Nisa menjadi istriku, peran Ibu dirumah ini jadi lebih dominan, Ibu yang memasak dan membersihkan rumah ini. Padahal dulu saat Desi yang masih menjadi istriku, semua pekerjaan rumah Desi lah yang mengerjakan. Ibu hanya tinggal makan dan nonton TV.
Ibu juga tidak pernah bangun sepagi ini untuk membuat sarapan. Karena semuanya telah disiapkan oleh Desi. Tapi semenjak Nisa yang menggantikan posisi Desi menjadi menantu di rumah ini, semua itu kini telah berubah.
Ibu begitu menyayangi dan memanjakan Nisa, perlakuannya pada Nisa berbanding terbalik dengan perlakuannya pada Desi dulu.
****
Matahari mulai naik kepermukaan, Bapak mulai keluar dari kamarnya. Seperti biasa, dia akan keluar dengan raut wajah galaknya."Bu! Ibu!" Teriak Bapak memanggil Ibu di dapur.
"Ada apa, sih Pak?" jawab Ibu berlari terpogoh-pogoh menghampiri Bapak.
"Nisa mana?" tanya Bapak pada Ibu, matanya menyisir seluruh ruangan mencari keberadaan Nisa.
"Nisa masih dikamar, Pak!" sahutku mendahului Ibu.
"Emang Bapak mau ngapain nyariin Nisa?" tanya Ibu pada Bapak.
"Sarung Bapak yang warna merah mana? Kemarin Bapak lihat Nisa yang mengangkatnya dari jemuran, Bapak uda cari di kamar gak ada!" jawab Bapak yang masih duduk di kursi rodanya.
"Oalah Pak, Ibu gak tau! Anton, coba kamu tanya Nisa, dimana dia menaruh sarung Bapak!" suruh Ibu padaku. Aku pun bergegas ke kamar untuk menanyakannya pada Nisa. Kuliat Nisa masih tertidur nyenyak, sepertinya dia begitu kelelahan.
"Nis, sarung Bapak yang kemarin kamu angkat dari jemuran, kamu taruh dimana?" tanyaku pada Nisa. Dia menggeliat lalu membuka sedikit matanya.
"Ada apa, Mas!" jawabnya dengan suara khas orang ngantuk.
"Bapak nyariin sarungnya, katanya kamu yang angkat dari jemuran! Kamu taruh dimana?" jawabku mengulang pertanyaan.
"Coba cari di kamar Arjuna, Mas! Kemarin Juna yang ambil saat aku melipat baju," sahutnya dengan mata tertutup. Dia pun kembali lelap dengan guling dipelukannya.
Setelah mendapat jawaban dari Nisa aku pun segera keluar dari kamar.
"Mana sarungnya, Ton?" tanya Bapak dengan raut wajah tegasnya.
"Di kamar Juna, Pah! Nisa bilang, kemarin Juna yang ambil saat Nisa melipat baju!" jawabku sesuai dengan apa yang disampaikan Nisa.
"Tolong kamu cariin di kamar Juna, Ton! Ibu lagi repot!" teriak Ibu dari dapur.
Dengan cepat aku melangkahkan kakiku berjalan menuju ke kamar Arjuna, aku tidak boleh membuat Bapak semakin marah karena harus menunggu, Bapak paling tidak suka menunggu lama, dia bisa ngamuk walaupun karena hal sepele seperti ini.
Kubuka pintu kamar yang tidak terkunci ini, Arjuna masih tertidur dengan posisi tengkurap, kondisi kamar yang sangat berantakan, baju dan buku pelajaran berserakan di mana-mana, begitupun dengan puntung rokok yang tercecer di atas nakas. Arjuna memang malas untuk membereskan kamarnya sendiri, dulu Desi lah yang tiap hari membereskan kamar Arjuna.
"Jun! Bangun,Udah siang! Kamu gak sekolah?" ucapku menepuk punggung kurusnya. Tapi Arjuna sama sekali tidak merespon.
"Jun, mana sarung Bapak yang warna merah? Kata Nisa, kamu yang ambil!" ucapku sedikit berteriak di telinga Arjuna.
"Cari aja di tumpukan baju di atas kursi itu, Mas!" ucapnya sambil menunjuk ke sembarang arah, karena dia berbicara sambil tertidur.
Aku pun segera mencari sarung itu di tumpukan baju yang dimaksud. Entah ini baju kotor atau bersih, tak bisa dibedakan. Arjuna benar-benar jorok, tak bisa rapi sedikit pun. Lama aku mencari akhirnya aku menemukan sarung yang di minta Bapak, namun saat tanganku ingin menarik sarungnya dari tumpukan baju, tiba-tiba saja sebuah benda kecil jatuh tepat di atas kakiku, aku membungkuk lalu mengambilnya, namun betapa terkejutnya aku, saat yang ku ambil adalah tali pakaian dalam wanita yang sangat familiar di mataku.
Sebuah tali berwarna merah muda dengan pengait di kedua ujungnya, sama persis seperti tali bra yang dimiliki Nisa. Hah! jangan-jangan?
Bab 4Vonis mandul ditengah kehamilan istrikuJangan-jangan benar, Arjuna lah Ayah dari anak yang dikandung Nisa!“Anton! Ko lama banget kamu nyari sarungnya? uda ketemu apa belum?” teriak Ibu memanggilku dari luar. Membuatku terkejut dan langsung memasukan tali bra ini ke dalam saku celanaku. Aku pun bergegas keluar dari kamar Arjuna, dan langsung menyerahkan sarung yang kuambil kepada Ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar.“Kamu ini, ngambil sarung aja lama! bikin Bapakmu emosi aja pagi-pagi!” cetus Ibu padaku.Aku tak begitu menghiraukannya, karena Bapak memang sudah biasa marah-marah seperti ini. kulihat jam di tangan, waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi, aku harus segera bersiap-siap pergi ke kantor. Ku ambil handuk yang menggantung di belakang pintu kamar, aku pun bergegas untuk mandi.Selesai mandi aku kembali ke kamar, kulihat Nisa sudah tidak ada di kamar, kemana dia? Apa jangan-ja
Bab 5Vonis mandul ditengah kehamilan istriku"Ini lo, Bapakmu jatuh dari kursi roda!" jawab Ibu yang masih kesal."Ko bisa jatuh sih, Bu?" tanya Arjuna heran."Tau tuh, Mas mu! Bapak ditinggal di teras sendirian, uda tau lantainya masih licin!""Yaelah, Mas! Aneh-aneh aja, untung Bapak gak apa-apa, coba kalau sampai tergelincir dan bablas sampai ke jalan, kan bahaya, Bapak bisa ditabrak mobil, ih ngeri" sahut Arjuna lalu mulai memasang sepatu di kakinya.Ingin sekali rasanya aku bertanya mengenai tanda merah yang ada di lehernya. Tapi, aku tidak mungkin bertanya di depan Ibu dan Bapak."Ton! Anton!" lagi-lagi Ibu berteriak padaku."Ada apa lagi, Bu?""Kamu ini malah bengong! cepat antar Bapakmu ke dalam! Ibu mau bayar tukang sayur dulu, barusan keburu lari, jadi gak sempet bayar!""Biar Anton saja yang bayar, sekalian Anton juga mau berangk
"Ton, ngebut dong! Uda tau istrimu kesakitan gini, cepat ngebut!" wajah Ibu benar-benar panik karena Nisa terus kesakitan."Iya, Bu! Iya, Anton juga uda berusaha ngebut, tapi kan Ibu liat sendiri jalanan macet,""Emang gak ada jalan lain yang lebih cepat dan gak macet?""Gak ada, Bu! Ini jalan satu-satunya. Ibu tentang aja, jangan panik, agar Nisa nya juga gak semakin panik! Lebih baik Ibu berdoa saja, semoga tidak terjadi apa-apa dengan kandungan Nisa!" ucapku berusaha menenangkan Ibu.Setelah menembus kemacetan, akhirnya kita pun sampai di rumah sakit. Aku segera memanggil perawat untuk membawa Nisa ke ruang UGD, agar Nisa segera diberi pertolongan.Wajahnya semakin pucat, badannya mulai lemas. Kenapa sebenarnya Nisa? Apa yang telah dia lakukan s
Bab 7#RhienzVonis mandul ditengah kehamilan istriku"Bunda ayo, katanya mau ke kantor Ayah! Ayo dong Bunda, cepetan!" rengek anak perempuan yang terlihat begitu akrab dengan Desi itu."Iya sayang, sebentar ya!" jawab Desi lembut, tangannya membelai rambut ikal anak itu."Des! Ini anak siapa?" tanyaku penasaran."Ini anak sambung ku, Mas! Anak dari suami ku, namanya Acha. Ayo Acha sayang, salim dulu sama Om!" seru Desi menyuruh anak kecil yang usianya sekitar 3 tahun itu. Dengan cepat tangan mungilnya mengulur di hadapanku, ia pun mencium tanganku dengan sopan."Mas, maaf ya. Aku harus buru-buru pergi, aku pamit dulu ya, Mas!" Desi pun pergi karena anak tirinya terus saja merengek minta segera pulang. Padahal aku belum sempat meminta no HP nya."Anton! Mana wanita yang tengah hamil itu? Siapa dia?" tanya Ibu terpogoh-pogoh menghampiri ku. Ibu hanya melihat punggung De
Bab 8#RhienzVonis mandul ditengah kehamilan istriku"Ada apa sih, Mas? Baru datang ko teriak-teriak, bukannya salam?" Nisa terpogoh-pogoh menghampiriku, dia membawa keranjang berisi setumpuk baju."Kamu dari mana aja? Aku cari kemana-mana gak ada! Mana Bapak dan Arjuna!" Bentakan ku membuat Nisa ketakutan."Aku habis angkat jemuran, Mas! Kamu kenapa sih marah-marah?" Sahutnya dengan wajah sedih karena hentakan suaraku yang keras."Uda kamu jawab aja! Mana Bapak dan Arjuna? Dimana mereka bersembunyi, hah!" Aku benar-benar emosi, ingin rasanya kutampar wajah polosnya."Bapak dan Arjuna pergi jalan-jalan keliling komplek, Mas!" jawabnya menunduk ketakutan. Wanita ini, pintar sekali dia berbohong, mana mungkin panas-panas gini Bapak jalan-jalan keliling komplek, bersama Arjuna lagi! Dia pikir aku akan percaya dengan ucapannya!"Coba kamu lihat ini!" ser
Bab 9#RhienzVonis mandul ditengah kehamilan istriku"Sudah-sudah! Kalian ini malah bertengkar!" ucap Ibu berusaha mengalihkan percakapan ku dan Bapak. "Tapi, Bu! Kenapa Bapak bilang aku ini anak haram?" tanyaku pada Ibu."Sudahlah Anton! Bapakmu itu lagi emosi, jadi ngomongnya ngelantur! Lebih baik, sekarang kamu bujuk Nisa! Jangan sampai dia kekeh minta pulang kampung! Ibu gak mau kalau Nisa sampai ngadu sama orang tuanya!" ucap Ibu sambil menarik tanganku, menjauh dari Bapak.Baiklah, mungkin kali ini, aku masih harus mengalah, tapi tidak untuk hari-hari selanjutnya. Seperti tadi, aku terlalu cepat menyimpulkan tanpa bukti yang kuat, akhirnya malah berantakan. Bukannya kebenaran yang aku dapat melainkan teka-teki baru yang keluar dari mulut Bapak.Aku yakin, Bapak tidak salah bicara, tidak mungkin dia memanggilku anak haram, jika tidak ada sebabnya. Kalau hanya karena emosi, masa iya Ba
Perasaan tak tenang terus mengusik di benakku, setelah melihat rekaman CCTV tadi, ingin rasanya aku segera pulang dan melabrak Nisa dengan bukti yang sudah jelas. Berkali-kali aku melihat jam di ponselku, waktu masih menunjukan pukul 3 sore, masih 2 jam lagi menuju waktu pulang kantor.Gelisah dan terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki itu, kalau aku melihat sepintas perawakannya yang tidak jelas, sepertinya bukan Arjuna. Mungkinkah itu Bapak? Tapi--Bapak kan lumpuh! Apa sebenarnya Bapak hanya pura-pura lumpuh? Argh… aku menjambak rambutku frustasi.Aku bisa gila jika terus-menerus seperti ini, memecahkan teka-teki yang gak ada habisnya.***"Pak Anton! Bapak dipanggil Pak Surya ke ruangannya," ucap Tika, sekretaris Pak Surya, kepala cabang di kantor ini.Sejenak aku berpikir, tumben sekali Pak Surya memanggilku, biasanya jika tidak ada yang urgent, Pak Surya tidak pernah menyuruhku datang
Setelah mendengar percakapan Nisa dan Ibunya ditelpon, rasa penasaranku semakin berkecamuk, aku pun memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar."Nis, kamu lagi apa?" tanyaku pada Nisa yang sedang duduk terlentang di atas kasur, seketika Nisa terkejut dan langsung mematikan ponsel jadul yang ia pakai untuk mengobrol dengan keluarganya."Ma-Mas, Anton! Ko tidak mengucapkan salam, Mas?" ucap Nisa terbata, wajahnya nampak panik melihatku masuk kamar tiba-tiba.Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mendekat dan duduk di sampingnya. Kulihat wajahnya begitu pucat, sepertinya Nisa kelelahan. Raut wajahnya sama seperti saat ia dibawa ke rumah sakit kemarin. Apa sebenarnya Nisa kelelahan karena melayani nafsu Bapak? Tapi, jika itu benar, dimana Ibu saat itu? Tidakkah dia curiga?"Kamu pucat, Nis! Uda minum obat?" tanyaku khawatir, bagaimanapun juga, di perutnya ada janin yang harus selalu mendapat nutrisi dari Ibunya