"Ton, ngebut dong! Uda tau istrimu kesakitan gini, cepat ngebut!" wajah Ibu benar-benar panik karena Nisa terus kesakitan.
"Iya, Bu! Iya, Anton juga uda berusaha ngebut, tapi kan Ibu liat sendiri jalanan macet,"
"Emang gak ada jalan lain yang lebih cepat dan gak macet?"
"Gak ada, Bu! Ini jalan satu-satunya. Ibu tentang aja, jangan panik, agar Nisa nya juga gak semakin panik! Lebih baik Ibu berdoa saja, semoga tidak terjadi apa-apa dengan kandungan Nisa!" ucapku berusaha menenangkan Ibu.
Setelah menembus kemacetan, akhirnya kita pun sampai di rumah sakit. Aku segera memanggil perawat untuk membawa Nisa ke ruang UGD, agar Nisa segera diberi pertolongan.
Wajahnya semakin pucat, badannya mulai lemas. Kenapa sebenarnya Nisa? Apa yang telah dia lakukan s
Bab 7#RhienzVonis mandul ditengah kehamilan istriku"Bunda ayo, katanya mau ke kantor Ayah! Ayo dong Bunda, cepetan!" rengek anak perempuan yang terlihat begitu akrab dengan Desi itu."Iya sayang, sebentar ya!" jawab Desi lembut, tangannya membelai rambut ikal anak itu."Des! Ini anak siapa?" tanyaku penasaran."Ini anak sambung ku, Mas! Anak dari suami ku, namanya Acha. Ayo Acha sayang, salim dulu sama Om!" seru Desi menyuruh anak kecil yang usianya sekitar 3 tahun itu. Dengan cepat tangan mungilnya mengulur di hadapanku, ia pun mencium tanganku dengan sopan."Mas, maaf ya. Aku harus buru-buru pergi, aku pamit dulu ya, Mas!" Desi pun pergi karena anak tirinya terus saja merengek minta segera pulang. Padahal aku belum sempat meminta no HP nya."Anton! Mana wanita yang tengah hamil itu? Siapa dia?" tanya Ibu terpogoh-pogoh menghampiri ku. Ibu hanya melihat punggung De
Bab 8#RhienzVonis mandul ditengah kehamilan istriku"Ada apa sih, Mas? Baru datang ko teriak-teriak, bukannya salam?" Nisa terpogoh-pogoh menghampiriku, dia membawa keranjang berisi setumpuk baju."Kamu dari mana aja? Aku cari kemana-mana gak ada! Mana Bapak dan Arjuna!" Bentakan ku membuat Nisa ketakutan."Aku habis angkat jemuran, Mas! Kamu kenapa sih marah-marah?" Sahutnya dengan wajah sedih karena hentakan suaraku yang keras."Uda kamu jawab aja! Mana Bapak dan Arjuna? Dimana mereka bersembunyi, hah!" Aku benar-benar emosi, ingin rasanya kutampar wajah polosnya."Bapak dan Arjuna pergi jalan-jalan keliling komplek, Mas!" jawabnya menunduk ketakutan. Wanita ini, pintar sekali dia berbohong, mana mungkin panas-panas gini Bapak jalan-jalan keliling komplek, bersama Arjuna lagi! Dia pikir aku akan percaya dengan ucapannya!"Coba kamu lihat ini!" ser
Bab 9#RhienzVonis mandul ditengah kehamilan istriku"Sudah-sudah! Kalian ini malah bertengkar!" ucap Ibu berusaha mengalihkan percakapan ku dan Bapak. "Tapi, Bu! Kenapa Bapak bilang aku ini anak haram?" tanyaku pada Ibu."Sudahlah Anton! Bapakmu itu lagi emosi, jadi ngomongnya ngelantur! Lebih baik, sekarang kamu bujuk Nisa! Jangan sampai dia kekeh minta pulang kampung! Ibu gak mau kalau Nisa sampai ngadu sama orang tuanya!" ucap Ibu sambil menarik tanganku, menjauh dari Bapak.Baiklah, mungkin kali ini, aku masih harus mengalah, tapi tidak untuk hari-hari selanjutnya. Seperti tadi, aku terlalu cepat menyimpulkan tanpa bukti yang kuat, akhirnya malah berantakan. Bukannya kebenaran yang aku dapat melainkan teka-teki baru yang keluar dari mulut Bapak.Aku yakin, Bapak tidak salah bicara, tidak mungkin dia memanggilku anak haram, jika tidak ada sebabnya. Kalau hanya karena emosi, masa iya Ba
Perasaan tak tenang terus mengusik di benakku, setelah melihat rekaman CCTV tadi, ingin rasanya aku segera pulang dan melabrak Nisa dengan bukti yang sudah jelas. Berkali-kali aku melihat jam di ponselku, waktu masih menunjukan pukul 3 sore, masih 2 jam lagi menuju waktu pulang kantor.Gelisah dan terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki itu, kalau aku melihat sepintas perawakannya yang tidak jelas, sepertinya bukan Arjuna. Mungkinkah itu Bapak? Tapi--Bapak kan lumpuh! Apa sebenarnya Bapak hanya pura-pura lumpuh? Argh… aku menjambak rambutku frustasi.Aku bisa gila jika terus-menerus seperti ini, memecahkan teka-teki yang gak ada habisnya.***"Pak Anton! Bapak dipanggil Pak Surya ke ruangannya," ucap Tika, sekretaris Pak Surya, kepala cabang di kantor ini.Sejenak aku berpikir, tumben sekali Pak Surya memanggilku, biasanya jika tidak ada yang urgent, Pak Surya tidak pernah menyuruhku datang
Setelah mendengar percakapan Nisa dan Ibunya ditelpon, rasa penasaranku semakin berkecamuk, aku pun memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar."Nis, kamu lagi apa?" tanyaku pada Nisa yang sedang duduk terlentang di atas kasur, seketika Nisa terkejut dan langsung mematikan ponsel jadul yang ia pakai untuk mengobrol dengan keluarganya."Ma-Mas, Anton! Ko tidak mengucapkan salam, Mas?" ucap Nisa terbata, wajahnya nampak panik melihatku masuk kamar tiba-tiba.Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mendekat dan duduk di sampingnya. Kulihat wajahnya begitu pucat, sepertinya Nisa kelelahan. Raut wajahnya sama seperti saat ia dibawa ke rumah sakit kemarin. Apa sebenarnya Nisa kelelahan karena melayani nafsu Bapak? Tapi, jika itu benar, dimana Ibu saat itu? Tidakkah dia curiga?"Kamu pucat, Nis! Uda minum obat?" tanyaku khawatir, bagaimanapun juga, di perutnya ada janin yang harus selalu mendapat nutrisi dari Ibunya
Aku pun segera mengantongi bungkus obat kuat itu, dan bergegas melipat kursi roda, kemudian memasukkannya ke dalam bagasi belakang mobil.Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku tidak banyak bicara pada Bapak maupun Ibu, mereka berdua duduk di kursi belakang, sesekali ku perhatikan wajah Bapak, parasnya memang masih tampan, dan kharismatik, tidak hanya itu. Bapak juga memiliki tubuh yang cukup atletis meskipun usianya sudah 50 tahun. Kekurangan Bapak hanya satu, yaitu lumpuh. Mungkin, jika Bapak tidak lumpuh, dia masih gagah dan energik.Tapi, setelah melihat ciri-ciri dari pria yang bercinta dengan Nisa di Video CCTV itu, mengapa aku jadi ragu, apakah Bapak benar-benar lumpuh atau hanya bersandiwara.Aku yakin, jika ini hanya sandiwara lambat laun pasti akan terbongkar. Aku akan Pastikan itu. Aku pun terus memacu mobil dengan cepat, berharap segera sampai rumah. Aku ingin segera mencocokkan bungkus obat kuat ini dengan nota yang kutemukan di dekat tem
Setelah membaca pesan dari nomor tidak dikenal itu, aku semakin penasaran dengan masa lalu Nisa. Selama ini dia selalu tertutup padaku, tak pernah sedikitpun bercerita tentang kehidupannya di masa lalu, bahkan tentang keluarga nya saja, Nisa terkesan tertutup. Aku sama sekali tidak pernah mendengar kabar tentang orang tuanya di kampung.Setiap aku bertanya tentang keluarganya, Nisa selalu saja mengalihkan pembicaraan.Ku lihat jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam, tapi mata ini sulit untuk dipejamkan, bayang-bayang di video itu selalu saja menghantui pikiranku.Aku memang headset di telingaku, memutar lagu klasik pengantar tidur, setidaknya dengan mendengarkan lagu-lagu ini, aku bisa lebih cepat tidur.***Terdengar suara alarm berbunyi, tak lama kemudian suara adzan subuh pun berkumandang. Aku membuka mataku perlahan, ternyata Nisa sudah tidak ada disampingku. Kemana dia? Mungkinkah dia sudah ba
"Emak, Abah sakit apa? Kenapa bisa seperti ini?" tanyaku pada Emak. Wanita paruh bawa ini mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar seolah sulit untuk berucap."Mak…" panggil ku lagi. "Kenapa Nisa tidak pernah cerita, jika Abah sedang sakit parah seperti ini?""Maafkan kami, Nak Anton! Kami sudah berjanji pada Nisa, untuk tidak menghubungi Nak Anton! Kami takut akan merepotkan Nak Anton dan keluarga Pak Baskoro," ucapnya tersedu-sedu, butiran bening yang sudah tak bisa dibendung, akhirnya tumpah di wajahnya yang mulai keriput."Tapi, Mak! Kalau seperti ini, kasihan Abah. Kalau saya tau, Abah sakit parah seperti ini, mungkin-saya akan sering mengajak Nisa mengunjungi Emak dan Abah di kampung!""Tidak apa, Nak Anton. Selama ini, kami sudah banyak berhutang budi pada keluarga Nak Anton."Kucium punggung tangan Abah yang tergolek lemah di ranjang. Tatapan matanya kosong, tapi Abah mendengar suaraku. Saat aku bertanya, ia meng