Bab 2
Vonis mandul ditengah kehamilan istrikuAku masih duduk terpaku sambil memegang kertas ini, sedangkan dokter Temi nampaknya harus segera menerima pasien lain yang sudah menunggu diluar.
"Maaf Pak Anton, saya mengerti anda pasti masih kecewa dengan hasil tesnya, jika anda ragu dengan hasil tes dari rumah sakit ini, anda bisa mencoba memeriksakan kesuburan Anda di rumah sakit lain. Tapi saya yakin, hasilnya akan sama," ucap dokter Temi meyakinkan ku.
"Baiklah, dok! Terimakasih banyak. Kalau begitu saya permisi dulu!" sahutku, lalu keluar dari ruangan dokter Temi dengan membawa selembar kertas yang dari tadi tak henti-hentinya kupandangi.
****
"Kring!" dering ponselku berbunyi, sebuah panggilan masuk dari Ibu."Anton, kamu dimana? Ko lama sekali beli ayam gorengnya?" tanya Ibu di seberang telpon, Ibu pasti sudah menunggu dari tadi.
"Ma-af Bu, tadi Anton bertemu teman lama, jadi kami ngobrol dulu, sampai lupa waktu," jawabku berbohong pada Ibu.
"Ya udah, sekarang kamu cepat pulang, kasian Nisa, dari tadi pengen makan ayam goreng kentucky. Nanti kalau gak keturutan bayinya bisa ngiler, emangnya kamu mau, punya anak suka ngiler? uda cepat balik, Ibu tunggu!" ucap Ibu penuh tekanan, sepertinya Ibu mulai marah karena terlalu lama menungguku.
Aku pun segera pergi ke restoran cepat saji untuk membelikan ayam kentucky untuk Nisa. Setiap Nisa ngidam ingin makan sesuatu, dia tak pernah langsung memintanya padaku, dia lebih suka meminta pada Ibu, dan nantinya Ibu lah yang memintanya padaku.
****
Setelah membeli ayam kentucky aku pun segera pulang, tak sabar rasanya ingin mencari tau siapa laki-laki yang sudah tidur bersama Nisa selama ini. Laki-laki yang menabur benih di dalam rahim istriku.Sesampainya di rumah, Nisa langsung menyambutku, dia mencium tanganku takzim lalu mengambil bungkusan ayam yang kusodorkan padanya.
"Makasih ya Mas!" ucapnya lembut, lalu berjalan mengekor di belakang ku.
Melihat wajahnya yang polos dan alim rasanya hati ini panas dingin, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, ingin sekali aku langsung bertanya padanya tentang siapa ayah dari janin yang sedang ia kandung saat ini, tapi-apakah dia akan mengaku? Aku tidak yakin, dia pasti tidak akan mengakuinya, terlebih dia pasti akan mendapatkan pembelaan dari Ibu maupun Bapak, karena semua orang dirumah ini tau, Nisa adalah wanita baik-baik. Wanita se lugu dan se alim Nisa tidak mungkin berbuat kotor.
Kutarik nafas panjang, lalu membuangnya perlahan, aku tidak boleh gegabah, aku harus mengumpulkan banyak bukti, sebelum membongkar aib Nisa. Aku harus bermain cantik, dan mencari tahu siapa laki-laki itu. Dan setelah aku mengetahuinya aku akan segera membuat perhitungan pada mereka, dan kupastikan mereka akan menyesal.
"Ko lama banget, Ton! Kamu beli ayamnya dimana? Di Bandung?" Bentak Bapak sedikit kesal.
Dia memutar kursi rodanya mendekat ke arahku. Sudah satu tahun Bapak terkena stroke, dia tidak bisa berjalan dan harus dibantu oleh kursi roda. Laki-laki berusia 50 tahun ini masih terlihat gagah dan tampan walaupun harus duduk di kursi roda. Apa mungkin Bapaklah pelakunya? Tapi melihat kondisi Bapak yang seperti ini aku jadi tidak yakin, pasalnya untuk berpindah ke tempat tidur saja, Bapak harus dibantu. Mana mungkin dia bisa berzina dengan Nisa Sampai Nisa hamil.
"Anton! Kenapa diam saja?" tegur Bapak kesal.
"Mas, ko malah bengong? Itu Bapak bertanya, kenapa kamu gak jawab?" ucap Nisa mengguncang bahuku.
"I-iya, Pak! Bapak ngomong apa barusan? Maaf Anton tidak dengar!" jawabku terbata, membuat wajah Bapak semakin tidak bersahabat.
"Sudahlah, lupakan saja! Nisa cepet buka Ayamnya, Bapak juga sudah lapar!" cetus Bapak sambil mendorong kursi rodanya mendekat kepada Nisa.
Nisa terlihat begitu perhatian pada Bapak, bahkan dia membantu Bapak untuk menuangkan nasi dan Ayamnya ke piring.
****
Sore berganti malam, hari ini begitu melelahkan, entah kenapa aku tak bisa tenang, pikiranku terus mencari siapa laki-laki itu."Mas!" suara merdu itu berbisik di telingaku. Siapa lagi kalau bukan Nisa, dia menghampiriku yang sedang duduk di tepi ranjang, tangan kanannya membawa secangkir teh hangat kesukaan ku.
"Diminum tehnya Mas, mumpung masih hangat!" ucapnya mesra, suaranya terdengar mendesah dan manja. Perlahan dia membuka hijab yang menutupi kepalanya. Memperlihatkan rambutnya yang panjang dan lurus.
"Iya, makasih!" ucapku datar tanpa menoleh ke arahnya. Ia mendekat dari belakang lalu melingkarkan tangannya di pinggangku. Hembusan nafasnya terasa begitu hangat di telingaku.
"Mas, kamu gak kangen sama dedek bayi yang ada di perut? Dari kemarin belum kamu jenguk," ucapnya sambil terus bergelayut manja padaku, bibirnya perlahan mengecup leherku. Entah kenapa, kali ini aku jijik dengan sentuhannya yang dulu selalu ku nikmati.
Aku berusaha mengurai pelukannya, tapi nampaknya Nisa malah mempererat pelukannya.
"Mas, ayo!" ucapnya memberi kode, sepertinya ia ingin meminta nafkah batin dariku malam ini. Tapi, apa mungkin aku bisa memberinya setelah tau kenyataan yang menyakitkan bahwa Nisa telah berselingkuh dengan laki-laki lain.
"Jangan malam ini ya, Nis! Aku capek!" jawabku sambil terus berusaha mengurai pelukannya.
Mendengar jawabanku, seketika wajah Nisa terlihat kecewa, dia mencebik kesal lalu memalingkan wajahnya ke lain arah.
Selama kami menikah, aku memang tidak pernah menolaknya bercinta, sepertinya dia tersinggung dan merajuk mendengar penolakan ku. Tak lama kemudian ia bangkit dari ranjang, lalu menyambar kerudung yang tadi ia lepas, dan kembali memakainya.
"Kamu mau kemana, Nis?" tanyaku pada Nisa yang sudah berjalan mendekati pintu.
"Mau ke dapur! cari makan, laper!" jawabnya tanpa menoleh ke arahku, sepertinya dia benar-benar marah padaku.
Sudah 30 menit Nisa pergi ke dapur, namun tak kunjung kembali ke kamar. Kemana dia? Batinku bertanya-tanya. Akhirnya kuputuskan untuk menyusulnya ke dapur, namun didapur aku sama sekali tidak menemukan Nisa.
"Anton! Kamu ngapain malam-malam gini ke dapur? Lapar?" tanya Ibu padaku.
"Gak, Buk! Anton lagi cari Nisa, Ibu liat Nisa?" tanyaku pada Ibu yang sepertinya sedang mengambilkan air minum untuk Bapak.
"Ya ampun, Ton. Baru ditinggal 5 menit aja uda dicariin," jawab Ibu sedikit meledek.
Aku sama sekali tidak mengerti dengan jawaban Ibu, Nisa sudah setengah jam tidak kembali ke kamar, tapi kenapa Ibu bilang baru ditinggal 5 menit?."Maksud Ibu?"
"Nisa lagi mandi, katanya gerah banget di kamar! kasian istrimu, Ton. Sampai keringetan kayak gitu dikamar, makanya cepet beliin AC dikamar mu, biar istrimu itu gak perlu mandi malam-malam gini, dia itu lagi hamil, bawaannya pasti gerah terus, walaupun menurut kita biasa aja, tapi bagi orang hamil itu beda!" jawab Ibu menasehatiku, membuatku semakin bingung.
"Ya udah, Ibu mau ke kamar dulu! Bapakmu pasti uda nunggu, mau minum!" ucap Ibu berlalu meninggalkanku dengan membawa mug besar di tangan kanannya.
Terdengar bunyi ceburan gayung di dalam kamar mandi. Benarkah itu Nisa? udara dingin seperti ini, kenapa dia kepanasan, apalagi Ibu bilang Nisa bercucuran keringat. Apa jangan-jangan Nisa telah bergumul dengan laki-laki itu, tapi siapa dia? Sedangkan Bapak sedang dikamar bersama Ibu. Aku masih termenung duduk di meja makan sambil menunggu Nisa keluar dari kamar mandi.
Tak lama kemudian Arjuna keluar dari kamarnya bertelanjang dada. Dia berjalan menuju lemari es yang berada di samping meja makan, lalu tangannya mengambil botol air mineral dan menenggaknya sampai habis, sepertinya ia begitu haus dan kelelahan, tubuh kurusnya dipenuhi peluh bercucuran. Apa jangan-jangan, Arjuna lah yang menabur benih di rahim istriku?
Bab 3Vonis mandul ditengah kehamilan istrikuHatiku memanas seketika, setelah melihat Arjuna kelelahan seperti itu, habis ngapain dia, jika bukan habis bercinta dengan Nisa! Aku berusaha tetap tenang, aku tidak boleh gegabah."Jun! Kamu habis ngapain malam-malam gini keringatan kayak gitu?" tanyaku penuh selidik, aku benar-benar penasaran dengan jawaban dari anak ini."Eh Mas, belum tidur, Mas?" jawabnya santai, dia malah balik tanya kepadaku."Belum, belum ngantuk! Pertanyaan Mas, gak kamu jawab? kamu habis ngapain malam-malam gini gak Pake baju, keringat gitu?""Owh, aku habis push up, Mas! Olahraga, biar punya badan kayak Mas Anton," jawabnya santai. Dia sama sekali tidak terlihat panik maupun kikuk."Malam-malam gini olah raga, olah raga tuh pagi! biar sehat, bukan malam!" jawabku sedikit ketus, pasalnya aku tidak percaya dengan Jawaban Arjuna."Mas ngapain disini? Mau bikin mie instan juga, k
Bab 4Vonis mandul ditengah kehamilan istrikuJangan-jangan benar, Arjuna lah Ayah dari anak yang dikandung Nisa!“Anton! Ko lama banget kamu nyari sarungnya? uda ketemu apa belum?” teriak Ibu memanggilku dari luar. Membuatku terkejut dan langsung memasukan tali bra ini ke dalam saku celanaku. Aku pun bergegas keluar dari kamar Arjuna, dan langsung menyerahkan sarung yang kuambil kepada Ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar.“Kamu ini, ngambil sarung aja lama! bikin Bapakmu emosi aja pagi-pagi!” cetus Ibu padaku.Aku tak begitu menghiraukannya, karena Bapak memang sudah biasa marah-marah seperti ini. kulihat jam di tangan, waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi, aku harus segera bersiap-siap pergi ke kantor. Ku ambil handuk yang menggantung di belakang pintu kamar, aku pun bergegas untuk mandi.Selesai mandi aku kembali ke kamar, kulihat Nisa sudah tidak ada di kamar, kemana dia? Apa jangan-ja
Bab 5Vonis mandul ditengah kehamilan istriku"Ini lo, Bapakmu jatuh dari kursi roda!" jawab Ibu yang masih kesal."Ko bisa jatuh sih, Bu?" tanya Arjuna heran."Tau tuh, Mas mu! Bapak ditinggal di teras sendirian, uda tau lantainya masih licin!""Yaelah, Mas! Aneh-aneh aja, untung Bapak gak apa-apa, coba kalau sampai tergelincir dan bablas sampai ke jalan, kan bahaya, Bapak bisa ditabrak mobil, ih ngeri" sahut Arjuna lalu mulai memasang sepatu di kakinya.Ingin sekali rasanya aku bertanya mengenai tanda merah yang ada di lehernya. Tapi, aku tidak mungkin bertanya di depan Ibu dan Bapak."Ton! Anton!" lagi-lagi Ibu berteriak padaku."Ada apa lagi, Bu?""Kamu ini malah bengong! cepat antar Bapakmu ke dalam! Ibu mau bayar tukang sayur dulu, barusan keburu lari, jadi gak sempet bayar!""Biar Anton saja yang bayar, sekalian Anton juga mau berangk
"Ton, ngebut dong! Uda tau istrimu kesakitan gini, cepat ngebut!" wajah Ibu benar-benar panik karena Nisa terus kesakitan."Iya, Bu! Iya, Anton juga uda berusaha ngebut, tapi kan Ibu liat sendiri jalanan macet,""Emang gak ada jalan lain yang lebih cepat dan gak macet?""Gak ada, Bu! Ini jalan satu-satunya. Ibu tentang aja, jangan panik, agar Nisa nya juga gak semakin panik! Lebih baik Ibu berdoa saja, semoga tidak terjadi apa-apa dengan kandungan Nisa!" ucapku berusaha menenangkan Ibu.Setelah menembus kemacetan, akhirnya kita pun sampai di rumah sakit. Aku segera memanggil perawat untuk membawa Nisa ke ruang UGD, agar Nisa segera diberi pertolongan.Wajahnya semakin pucat, badannya mulai lemas. Kenapa sebenarnya Nisa? Apa yang telah dia lakukan s
Bab 7#RhienzVonis mandul ditengah kehamilan istriku"Bunda ayo, katanya mau ke kantor Ayah! Ayo dong Bunda, cepetan!" rengek anak perempuan yang terlihat begitu akrab dengan Desi itu."Iya sayang, sebentar ya!" jawab Desi lembut, tangannya membelai rambut ikal anak itu."Des! Ini anak siapa?" tanyaku penasaran."Ini anak sambung ku, Mas! Anak dari suami ku, namanya Acha. Ayo Acha sayang, salim dulu sama Om!" seru Desi menyuruh anak kecil yang usianya sekitar 3 tahun itu. Dengan cepat tangan mungilnya mengulur di hadapanku, ia pun mencium tanganku dengan sopan."Mas, maaf ya. Aku harus buru-buru pergi, aku pamit dulu ya, Mas!" Desi pun pergi karena anak tirinya terus saja merengek minta segera pulang. Padahal aku belum sempat meminta no HP nya."Anton! Mana wanita yang tengah hamil itu? Siapa dia?" tanya Ibu terpogoh-pogoh menghampiri ku. Ibu hanya melihat punggung De
Bab 8#RhienzVonis mandul ditengah kehamilan istriku"Ada apa sih, Mas? Baru datang ko teriak-teriak, bukannya salam?" Nisa terpogoh-pogoh menghampiriku, dia membawa keranjang berisi setumpuk baju."Kamu dari mana aja? Aku cari kemana-mana gak ada! Mana Bapak dan Arjuna!" Bentakan ku membuat Nisa ketakutan."Aku habis angkat jemuran, Mas! Kamu kenapa sih marah-marah?" Sahutnya dengan wajah sedih karena hentakan suaraku yang keras."Uda kamu jawab aja! Mana Bapak dan Arjuna? Dimana mereka bersembunyi, hah!" Aku benar-benar emosi, ingin rasanya kutampar wajah polosnya."Bapak dan Arjuna pergi jalan-jalan keliling komplek, Mas!" jawabnya menunduk ketakutan. Wanita ini, pintar sekali dia berbohong, mana mungkin panas-panas gini Bapak jalan-jalan keliling komplek, bersama Arjuna lagi! Dia pikir aku akan percaya dengan ucapannya!"Coba kamu lihat ini!" ser
Bab 9#RhienzVonis mandul ditengah kehamilan istriku"Sudah-sudah! Kalian ini malah bertengkar!" ucap Ibu berusaha mengalihkan percakapan ku dan Bapak. "Tapi, Bu! Kenapa Bapak bilang aku ini anak haram?" tanyaku pada Ibu."Sudahlah Anton! Bapakmu itu lagi emosi, jadi ngomongnya ngelantur! Lebih baik, sekarang kamu bujuk Nisa! Jangan sampai dia kekeh minta pulang kampung! Ibu gak mau kalau Nisa sampai ngadu sama orang tuanya!" ucap Ibu sambil menarik tanganku, menjauh dari Bapak.Baiklah, mungkin kali ini, aku masih harus mengalah, tapi tidak untuk hari-hari selanjutnya. Seperti tadi, aku terlalu cepat menyimpulkan tanpa bukti yang kuat, akhirnya malah berantakan. Bukannya kebenaran yang aku dapat melainkan teka-teki baru yang keluar dari mulut Bapak.Aku yakin, Bapak tidak salah bicara, tidak mungkin dia memanggilku anak haram, jika tidak ada sebabnya. Kalau hanya karena emosi, masa iya Ba
Perasaan tak tenang terus mengusik di benakku, setelah melihat rekaman CCTV tadi, ingin rasanya aku segera pulang dan melabrak Nisa dengan bukti yang sudah jelas. Berkali-kali aku melihat jam di ponselku, waktu masih menunjukan pukul 3 sore, masih 2 jam lagi menuju waktu pulang kantor.Gelisah dan terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki itu, kalau aku melihat sepintas perawakannya yang tidak jelas, sepertinya bukan Arjuna. Mungkinkah itu Bapak? Tapi--Bapak kan lumpuh! Apa sebenarnya Bapak hanya pura-pura lumpuh? Argh… aku menjambak rambutku frustasi.Aku bisa gila jika terus-menerus seperti ini, memecahkan teka-teki yang gak ada habisnya.***"Pak Anton! Bapak dipanggil Pak Surya ke ruangannya," ucap Tika, sekretaris Pak Surya, kepala cabang di kantor ini.Sejenak aku berpikir, tumben sekali Pak Surya memanggilku, biasanya jika tidak ada yang urgent, Pak Surya tidak pernah menyuruhku datang