"Oh, yang itu kue Robi, Sayang. Dia baru saja syukuran tujuh bulan istrinya dan bawain kue dan nasi kotak. Aku benar-benar lupa karena buru-buru tadi. Aku gak mau terlambat, Sayang. Maafin ya." Aku tersenyum kaku. Susah sekali untuk percaya Mas Galih disaat ia sudah pernah membuatku sangat patah hati. "Oh, sayang sekali kamu gak bawain, Mas. Padahal kalau nasi kotak syukuran gitu, pasti rasanya enak. Mungkin karena didoakan." Mas Galih tersenyum. Ia duduk sambil memijat kaki ini. "Nanti kita mau syukuran empat bulan atau mau tujuh bulan?" tanyanya. "Entahlah, Mas, masih awal sekali. Mungkin nanti saja tujuh bulan." Suamiku tersenyum sambil mengangguk. "Aku ke dapur dulu ya, lapar nih, mau makan." Aku mengangguk. Yang perlu aku lakukan saat ini adalah berusaha memercayai suamiku, meskipun belum sepenuhnya. Sambil terus mencari informasi apakah di luaran sana suamiku masih menjalin hubungan dengan Esti. Ngomong-ngomong Esti, aku lupa untuk mengecek bagaimana kabar pelakor itu. Aku
Aku menangis untuk hal sepele. Sungguh memalukan, tetapi ini mungkin efek dari kehamilanku. Usia kandunganku masih muda dan emosiku naik turun dan lagi-lagi Mas Galih tidak mau mengerti. Cemburu? Di mana dia saat dia menduakanku dan tidur dengan pembantu busuk menggunakan obat? Apa dia lupa? Aku yang terlalu sabar atau harusnya sejak awal aku tidak memaafkannya?Aku tidak melihatnya di kamar setelah aku selesai mandi. Acara mencari kado tidak jadi aku lakukan. Biarlah besok, saat jam istirahat aku pergi sebentar ke mall yang tidak jauh dari kantor. Tok! Tok!"Kikan.""Ya, Ma." Suara ibu mertuaku di balik pintu kamar yang masih aku tutup. "Masuk saja, Ma." Kenop pintu bergerak, kemudian daun pintu ikut bergerak terbuka. Ibu mertuaku tersenyum hangat. "Ini susunya." "Makasih, Ma. Padahal Kikan bisa bikin sendiri karena Kikan udah gak bedrest." Aku meraih gelas susu ibu hamil dari tangan mertuaku."Gak papa, menantu Mama pasti capek. Sini, biar Mama pijat kakinya!""Jangan, Ma, gak p
Galih"Kenapa, Bro? Muka lu asem banget," tanya Felix, koordinator divisi yang mejanya bersebelahan denganku. "Bini gue lembur terus. Gue pulang, dia belum pulang, gue berangkat, dia masih tidur." Felix tertawa. "Mumpung belum punya anak, biarin aja bini lu ngejar karir. Nanti kalau udah ada anak, baru suruh diem di rumah." Aku menghela napas. "Kerjaan rumah banyak yang terbengkalai. Bibik yang lama resign. Belum anter yang baru.""Udahlah, yang gitu ngapain lu ributin sih. Coba ini dah." Aku mengernyit saat melihat plastik bening berisi dua butir tablet yang diletakkan Felix di atas mejaku."Apa ini?" tanyaku heran."Gue gak lagi sakit, Bro.""Ini obat kuat. Gue dapat dari temen. Gue udh nyoba sama bini gue dan hasilnya bini gue minta terus. Gue bisa tahan lama. Biasanya paling lama lima belas menit.""Lah, terus, kalau minum ini jadi berapa lama?""Jadi satu jam, Galih. Meskipun lu udah dapat, tapi jagoan lu masih gagah. Bikin bini lu tambah cinta. Gue yakin. Nih, bawa dan coba n
Aku baru sadar saat Esti semakin kuat mencakar punggungku. Ia kesakitan dengan derai air mata yang tidak kunjung berhenti. "K-kamu masih perawan?" tanyaku di sela-sela napas yang terengah-engah. Gadis itu mengangguk pasrah. Gila, ini sudah satu jam dan aku masih kuat saja. Benar-benar tidak merasa kelelahan. Pukul satu dini hari aku naik ke kamar. Kikan masih tidur pulas. Aku sengaja membangunkannya, tetapi ia bergeming. "Sayang, katanya mau malam ini. Ayo, bangun!" Aku menciumi pipinya dengan gemas. "Mas, nanti aja, aku ngantuk berat. Besok pagi ya." Efek obat belum sepenuhnya hilang, sehingga aku tidak peduli walau Kikan menolak. "Sudah, Mas, aku capek! Kamu tumben sekali! Aku gak sanggup deh!" Kikan mendorongku karena ia merasa kelelahan dengan pergulatan kami malam ini. "Baiklah, Sayang, kamu tidur saja lagi." Aku pun membersihkan diri, lalu ikut berbaring di samping istriku. Sebuah hal menakutkan yang seumur hidup, baru kali ini aku lakukan. Esti, aku memerawani pembantu ba
Aku terus menghubungi suamiku, tetapi nomornya tidak tersambung. Ini sudah jam sebelas malam, mataku juga sudah sangat mengantuk. Aku putuskan tidur saja dan berharap, besok pagi-pagi sekali pembantu yang aku minta dari temanku, bisa datang dan menyelesaikan kekacauan di rumahku akibat ulah ipar. Jam empat kurang sepuluh menit aku bangun karena kelaparan. Sejak hamil, aku memang sering kali bangun sebelum subuh hanya untuk ngemil biskuit, roti, atau minum susu. Perut ini rasanya sangat keroncongan. Ibu mertuaku ada di dapur sedang merebus air. Ada sayuran untuk membuat sup sayuran dan juga ada beberapa butir baso sapi di atas meja."Pagi, Ma," sapaku datar. "Pagi." Ibu mertuaku sama sekali tidak menoleh. "Ma, hari ini akan ada pembantu yang nemenin saya di rumah. Mama jadi jangan capek-capek kerjakan ini dan itu, biar pembantu baru saja nanti." Ibu mertuaku menatapku dengan senyuman tipis."Mama harap ini kabar gembira buat Mama. Makasih ya. Semalam maafkan Mama emosi. Mama kesal
"Bu Kikan baik-baik aja'kan?" tanya Alya. Aku menyunggingkan senyum tipis, kemudian mengangguk. "Kalau ibu hamil memang suka enneg, Ya," komentar Muslim yang duduk persis di depanku. Kami naik mobil menuju pelabuhan merak, lalu menyebrang ke pelabuhan Bakauheni."Iya, apa lagi kalian malah nemenin ibu hamil duduk di depan sini. Yang ada itu bayinya kena angin laut. Udah, pada masuk di dalam. Saya pesankan pisang goreng dan ubi goreng. Langit gelap, kayak mau hujan. Semoga kita sampai di Bakauheni sebelum hujan." Pak Barata menyuruh kami semua masuk ke dalam dek kapal. Aku lebih banyak diam karena kepalaku penuh dengan berbagai masalah yang timbul, terutama sejak terbongkarnya perselingkuhan Mas Galih dan Esti. Belum lagi mertua dan ipar yang sangat menguras emosi. Aku harap bayiku baik-baik saja saat ia lahir ke dunia nanti. Ibunya terlalu stres dengan semua masalah yang datang silih berganti. "Suami kamu gak masalah kamu survei menginap?" tanya Pak Barata sambil mengulurkan ubi go
"Mas Galih, kamu ternyata ada di sini bersama pelacur ini. Ya ampun, bajingan sekali kalian berdua!" Aku berjalan mendekat pada keduanya. Tangan ini sudah terkepal kuat, siap menghantam wajah pucat milik Esti yang baru saja selesai melahirkan."K-kikan, ini-"Plak! Plak! Setelah dua tamparan melayang di wajah Mas Galih, aku mendorong tubuh suamiku dengan kuat. Entah dari mana tenaga ini tiba-tiba bisa menggesernya hingga Mas Galih jatuh duduk. Bugh! Sebuah tendangan aku layangkan pada bagian alat vital tidak tahu diri miliknya. Mas Galih meringis kesakitan."Gila kamu, Kikan! Tolong! Tolong!" suara Mas Galih tertahan karena ia saat ini juga harus menahan pedih pada alat vitalnya. Aku menatap sinis ke arah Esti. Tangannya mencoba meraih tombol panggilan perawat. Tangannya gemetar dan aku memukul tangan itu dengan sekuat tenaga. Aku jambak rambutnya, aku melepas jarum infus dengan brutal. Hingga Esti menangis."Ampun, Bu, sakit! Sakit! Jangan, Bu!" Dua tamparan lagi aku layangkan ke
Esti"Esti, ada Bu Endah." Aku meletakkan kembali setrika yang baru saja mau aku sambungkan kabelnya di colokan listrik. "Ya, Pak." Aku bergegas keluar dari kamar. Bu Endah adalah tetanggaku di kampung. Ia akan terlihat tiga bulan sekali saat libur bekerja dari majikannya di Jakarta. Bu Endah memang spesialisasi ART di kota, sedangkan aku yang tamatan SMP dan baru lulus kursus menjahit ini, hanya bisa diam di rumah sambil menerima permak baju dari tetangga, walau tidak banyak. "Eh, Bu Endah." Aku menyalaminya. Lalu mempersilakan wanita setengah baya itu duduk di kursi tamu."Lagi di rumah, Bu?" tanyaku berbasa-basi."Iya, saya ada perlu sama kamu, Es. Kamu mau gak kerja di Jakarta? Di rumah majikan saya.""Loh, emangnya Bu Endah mau ke mana? Kenapa berhenti?""Suami saya kan sakit jantung. Bolak-balik ke rumah sakit, gak ada yang anter. Anak-anak pada kerja. Jadinya saya yang berhenti, tapi majikan saya gak ijinin saya berhenti kalau saya gak cariin pengganti saya. Kamu mau gak, Est