Tak perlu menunggu lama, Maura pun segera menjulurkan kedua tangannya untuk mengalung di leher Raven, sebelum ia memagut bibir pria itu dengan lembut. Raven membiarkan Maura yang lebih dulu bergerak, ingin tahu sejauh apa gadis ini bisa membuatnya terpikat. Maura menyambut perintah Raven dengan penuh suka cita. Kali ini Raven membiarkannya bebas bersikap, sesuai dengan dirinya yang memang seharusnya bersikap menggoda. Gadis itu menyesap bibir Raven dan menjilatinya, lalu menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Raven untuk merayu seluruh isinya. Satu tangannya yang semula berada di leher Raven, kini mulai merayap turun ke dada bidang yang dipenuhi otot keras, untuk diusap dengan lembut. "Aaah... Moora." Ledakan euforia mengisi benak Maura ketika mendengar alunan suara serak milik Raven yang telah diliputi oleh gairah. Gadis itu pun memutuskan untuk semakin berani bertindak. Ciumannya kini tak lagi lembut, namun menuntut. Maura telah banyak belajar dari Raven, dan kini saatnya ia
"Miss Maura... bangunlah." Maura merasakan sesuatu yang perlahan menyentuh lengannya, menyertai sebuah suara yang akhirnya membuatnya membuka kedua mata yang terasa berat. Berat sekali. Dan... sakit. Sekujur tubuhnya sakit. "Ah, syukurlah Anda akhirnya bangun juga." Maura menatap seorang pelayan yang sedang berdiri di samping tempat tidur dan tersenyum padanya. Manik gadis itu pun kembali mengerjap pelan. "Apakah Anda bisa bangun? Mari saya bantu untuk jalan ke kamar mandi." Maura mengangguk. Pelayan itu pun membantunya untuk bangun. Maura mendesis pelan saat ia berubah posisi menjadi duduk, dan tekanan di panggulnya memberikan tusukan nyeri di bagian bawah tubuhnya. "Maaf, saya sudah membuat Anda makin kesakitan ya?" Maura menggeleng. Tentu saja bukan pelayan ini yang membuatnya kesakitan, tapi... Raven. Yang ganas sekali saat melakukannya. Namun Maura tahu ia tak boleh mengeluh, karena sesungguhnya Maura sendiri yang memperbolehkan pria itu untuk lepas kendali.
"Aku seolah bisa 'melihat' perasaanmu kepada Moora ini. Kamu seperti sedang jatuh cinta pada 'Moora' yang ada di dunia nyata, lalu mencoba melukiskannya dalam rangkaian kata di dalam buku. Apa aku benar, Raven?" Shailene tak sadar bahwa ia telah melemparkan sebuah pertanyaan kritis yang telah membuat kehebohan bagi para penggemar Raven King, terutama para wanita. Pertanyaan yang juga membuat Stefan, pria berkacamata yang menjadi Manajer sekaligus editor Raven ikut meradang. Stefan juga berada di studio, ikut mendengarkan talk show dengan perasaan geram. Padahal sebelumnya ia telah mewanti-wanti Shailene agar tidak menanyakan hal pribadi kepada Raven! Untuk beberapa saat yang sangat sangat singkat, pertanyaan Shailene itu membuat ekspresi Raven sempat berubah. Namun karena pria itu terlalu lihai menyembunyikannya, bahkan Shailene yang berada di dekatnya pun sama sekali tidak menyadari perubahan itu. Raven masih tampak berwajah datar seperti biasa. "Wow, Shailene. Bukankah
Maura membuka mulutnya bermaksud untuk menjerit, namun salah satu tangan pria itu yang semula mencengkram pinggangnya kini telah berpindah ke mulutnya. Hingga membuat suara gadis itu teredam oleh telapak tangan yang besar. Maura hanya bisa membelalakkan maniknya yang beradu dengan pria yang wajahnya mirip dengan Raven. "Ssstt... jangan berisik," guman pelan pria itu. "Raven sangat posesif dengan segala sesuatu yang menjadi miliknya. Dia akan sangat murka jika mengetahui kita berduaan di tempat yang sepi ini, Nona. Kamu pasti sudah tahu kelakuannya jika sedang kesal kan?" Maura mengerjap dengan kelopak matanya yang bergetar, antara takut dengan pria asing di depannya, tapi juga memikirkan perkataannya yang tepat sekali menggambarkan sifat seorang Raven King. "Jika kamu berjanji tidak akan berteriak, maka aku akan melepaskan tanganku dari mulutmu," ucap pria itu lagi. Maura menganggukkan kepala, dan sedetik kemudian tangan besar itu pun lepas dari bibirnya. Untuk beberapa
"Hm? Apa ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan, Sugar Cookie?" Maura menggeleng pelan dengan kedua bibirnya yang terkatup rapat. Di dalam benaknya terngiang kembali perkataan Rhexton saat mereka masih di dalam gudang. [Ingat, pertemuan kita ini adalah rahasia. Jangan sampai Raven tahu jika kamu tidak ingin melihatnya benar-benar murka...] Ya, Maura merasa harus tetap merahasiakan pertemuannya dengan Rhexton dari Raven. "Begitu ya? Jadi kamu benar-benar telah menjadi gadis yang penurut selama kutinggalkan?" Raven terus bertanya dengan satu tangannya yang masih tetap meremas lembut dada Maura. "Uuh-huum...." Tak sengaja Maura mengiyakan dengan desahan. Gadis itu menggigit bibirnya saat ibu jari Raven mulai menggoda bagian puncak dadanya dari balik bajunya. Munafik sekali. Maura merasa menjadi wanita hipokrit, yang akan melakukan apa saja agar bisa menjauh dari Raven, namun juga tak mampu mengelak bahwa sentuhan pria ini membuat sekujur tubuhnya panas dingin. Momen perci
"Uhm..." Maura yang mulai terbangun, kini mengernyit sayu sambil menoleh ke samping ranjangnya. Dan sama seperti biasanya, sosok Raven pun sudah tidak ada lagi di sana. Sebenarnya bagus juga seperti ini, karena jujur ia masih rikuh jika harus menghadapi wajah pria itu setelah aktivitas panas mereka di ranjang semalam. Gadis bersurai gelap itu pun meringis pelan ketika ia bangkit dari ranjang. Ah, lagi-lagi ia harus menghadapi situasi dimana sekujur tubuhnya terasa pegal luar biasa dan lemas, akibat Raven yang menjamahnya hingga berkali-kali dalam semalam. Tampaknya ia mulai harus menyesuaikan diri dan terbiasa, apalagi sampai dengan sekarang tak tampak sama sekali Raven yang ingin melepasnya. Maura masih duduk di tempat tidur dengan selimut yang ia tahan di dada sambil melamun, ketika ia mendengar suara connecting door dari ruang kerja Raven yang tiba-tiba saja terbuka dari luar. Saat maniknya bertemu dengan manik asap kelabu milik Raven, Maura pun mengerjap pelan penuh ket
Air mata tampak semakin membanjiri manik bening yang sayu itu. Maura serasa ingin pingsan mendengar Raven yang hendak menggigit putus satu jarinya dengan wajah serius dan mengerikan. Maura merasa bahwa sosok Raven yang ada di hadapannya ini bukanlah manusia, melainkan entitas jahat yang akan menyakitinya hingga di luar batas rasional. "Raven... tidak..." Maura menggeleng dengan tenggorokan yang terasa tercekat. "Pilih salah satu, atau aku yang akan memilihkannya untukmu," potong Raven seraya mengamati jemari Maura dengan seksama. "Bagaimana jika jari manis? Bukankah itu jari yang paling tidak berguna? Kamu tidak akan pernah mengenakan cincin pernikahan dan menikah dengan pria mana pun, Moora. Karena hidupmu selamanya hanya untuk membuatku senang." Kalimat kejam namun diucapkan dengan santai itu membuat Maura semakin terisak kencang. Ya Tuhan. Ia takut sekali!! Raven lalu mengarahkan jari manis tangan kanan Maura ke bibirnya yang telah terbuka, dan memasukkan jari itu ke
***BEBERAPA SAAT SEBELUMNYA... Bola mata kelabu asap Raven sejak tadi tak berkedip memandangi wajah Maura yang sedang sibuk berkutat dengan kancing kemeja miliknya. Ia suka melihat bagaimana bola mata gelap dan bibir penuh menggiurkan itu menutup rapat dan sedikit mengerucut itu sedang fokus pada sesuatu. Raven menyuruh Maura untuk memakaikannya baju, lalu dengan patuh gadis itu pun melaksanakannya. "Kamu masih lelah?" Raven bertanya, mengacu pada aktivitas bercinta mereka sebelumnya di dalam kamar mandi yang berlangsung cukup lama, karena Raven yang tak pernah merasa cukup bercinta. Maura mendongakkan kepalanya hingga dirinya pun beradu tatap dengan bola mata kelabu berkilau yang menghipnotis itu, lalu kepalanya pun segera mengangguk. Tentu saja ia sangat lelah! Bahkan Maura masih tak berdaya dan tak bertenaga ketika akhirnya Raven selesai menjamahnya, hingga pria itu pun akhirnya menggendong tubuh Maura yang lemas keluar dari kamar mandi untuk dibaringkan di ranjang.
Maura membeku saat Rhexton mendadak menciumnya. Sentuhan itu datang begitu cepat dan begitu tiba-tiba, hingga otaknya butuh beberapa detik untuk memproses apa yang sedang terjadi. Bibir yang awalnya kaku perlahan merasakan tekanan yang semakin dalam dari bibir Rhexton. 'Tidak, ini tidak nyata', pikirnya. Tetapi sensasi lembut dan hangat di bibirnya itu membuktikan sebaliknya. Ini sungguh nyata. Ketika Maura mencoba untuk bergerak, Rhexton memegang erat bagian belakang kepalanya, membuatnya tak mampu menghindar. Kedua tangan Maura pun terangkat, berniat untuk mendorong tubuh pria itu menjauh. Tetapi Rhexton tidak bergeming sedikit pun. Pria itu seperti orang yang telah menahan diri begitu lama dan akhirnya menyerah pada dorongan hatinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maura. Ia mengerjap, merasakan panas yang mengalir di pipinya. Ia tidak menginginkan ini. Tidak seharusnya Rhexton menciumnya. Tapi ia juga tidak berdaya, kalah tenaga melawan genggaman kuat pria itu
Raven merasakan tubuhnya memanas, darahnya berdesir lebih cepat dari biasanya. Efek obat itu perlahan menguasainya, mengaburkan pikiran dan logikanya hanya dalam sekejap. Tapi seorang Raven King bukanlah pria biasa yang akan begitu mudahnya menyerah. Ia telah terlalu banyak bertarung dan berada di situasi under pressure, terlalu terlatih oleh Santiago yang membuatnya kuat sekaligus tak terkalahkan. Di balik tatapan kosong manik kelabunya itu, sesungguhnya otaknya tengah bekerja untuk mencoba mencari jalan keluar. Ia tahu satu hal pasti, bahwa wanita di depannya adalah kunci untuk kebebasannya. Wanita itu semakin mendekatkan wajahnya yang memulas senyuman penuh kemenangan. “Bagaimana rasanya, Raven? Menyerah pada sesuatu yang tak bisa kamu kendalikan?” Raven mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya dengan mata yang tampak berkilat antara amarah dan gairah. Ia sengaja membiarkan tatapannya berkabut, seolah dirinya benar-benar telah terjerumus nafsu dan tak mampu mengontrol diri
"Selamat, Nyonya. Hasil tes kesehatan Anda cukup sudah keluar, dan semuanya normal. Anda sekarang sudah boleh pulang," ucap ramah seorang pria paruh baya berkacamata yang mengenakan jas putih dokter. Maura duduk di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat lebih segar meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum kecil saat dokter menyatakan bahwa ia sudah boleh pulang, setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Namun perasaan lega itu pun dengan segera berubah menjadi perasaan rikuh, ketika Rhexton tiba-tiba muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam ruangan. Pria itu tersenyum dan menyapa sang Dokter, sambil menanyakan kondisi Maura. Raut wajahnya pun tampak gembira ketika mendengar kabar baik tentang kepulangan Maura. Untuk beberapa saat mereka masih berdiskusi, hingga akhirnya dokter pun permisi dan meninggalkan ruangan. “Aku akan menggendongmu ke kursi roda,” ujar Rhexton tegas dan tiba-tiba, tanpa sedikit pun memberi ruang kepada
Maura sedang duduk di depan laptop milik Raven, manik gelapnya terus menelusuri layar monitor dengan konsentrasi penuh. Jarinya dengan lincah bergerak di atas touchpad untuk membuka folder demi folder, dokumen demi dokumen, berharap menemukan secuil informasi yang bisa mengarahkan dirinya pada keberadaan tunangannya. Namun hampir dua jam berlalu dan hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada dokumen mencurigakan, tidak ada pesan tersembunyi, tidak ada yang mengindikasikan alasan mengapa Raven menghilang tanpa jejak. Maura menghela napas pelan, kedua tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut. Rasa frustrasi bercampur kelelahan perlahan-lahan menguasainya. Namun ia menolak menyerah. Ini bukan tentang dirinya lagi, tapi ini tentang Raven, pria yang begitu berarti baginya. “Aku harus menemukannya,” bisiknya lirih, seolah memberi dirinya semangat untuk terus berusaha. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Maura menoleh, membiarkan beberapa detik berlalu sebelum menjawab. “
Maura duduk diam di kursi belakang mobil yang meluncur perlahan di jalanan gelap. Kepalanya bersandar pada jendela, mata menatap kosong ke luar. Lewis yang bertindak menjadi pengawal sekaligus supirnya, melirik dari kaca spion dengan ekspresi prihatin. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bertanya. “Apakah ada informasi dari Tuan Tobias, Nona?” Maura menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah. “Tidak ada. Dia tampak sama terkejutnya dengan aku soal hilangnya Raven. Bahkan aku bisa merasakan, di balik ketenangannya, dia sedang mencoba mencerna situasi ini.” Lewis mengangguk pelan, tatapannya kembali ke jalan di depan. "Dan bagaimana dengan Mansion itu? Apa ada hal lain yang mencurigakan?” Maura menarik napas, mencoba merangkai kata-kata. "Mansion itu sekarang ada di tangan Rhexton. Dia tinggal di sana dan... dia akan menjabat sebagai CEO King Enterprise. Tobias bilang, itu keputusan yang terbaik untuk saat ini.” Lewis menoleh sedikit, seakan memastikan bahwa
"Turunkan dia." Suara berat yang memberikan perintah itu terdengar menggema di ruangan gelap dan lembab yang kini bercampur aroma darah. Seorang pria tampak menganggukkan kepalanya, lalu perlahan menarik tuas yang yang terhubung dengan tali yang mengikat kaki pria yang sedang digantung terbalik itu. Suara berderik yang nyaring dari besi tuas yang berkarat terdengar bagaikan jeritan makhluk kegelapan yang di tengah keheningan ini. Pria yang digantung terbalik itu sejak tadi diam tak bergeming, bahkan ketika tubuhnya kini telah turun dan terbaring di atas lantai yang kotor dan basah. "Ah, rupanya dia pingsan," ucap si suara berat itu sambil menyentuhkan ujung sepatunya ke kepala pria yang diam terbaring di lantai. "Atau jangan-jangan... dia sudah mati?" cetus pria bersuara berat itu lagi. Pria bersuara berat itu membungkuk sedikit, memperhatikan tubuh yang tergeletak di lantai dengan mata menyipit tajam. "Hei, periksa dia. Pastikan dia masih bernapas. Kalau dia mati,
Tobias King duduk di sofa mewah dengan postur yang tenang, namun tatapannya tajam, menyelidik setiap detail dari sosok Maura. Gadis itu terlihat jauh lebih sehat dibandingkan terakhir kali ia tiba ke mansion ini bersama Helen, ibunya. Wajah Maura yang sebelumnya pucat pasi kini tampak lebih cerah, dengan rona halus di pipinya. Bahkan tubuhnya terlihat lebih berisi, seolah-olah telah melalui masa pemulihan yang cukup baik. Namun perhatian Tobias tidak hanya berhenti di situ. Pandangannya tertuju pada bagian perut Maura yang tertutup oleh atasan longgar, mungkin untuk menutupi kehamilannya. Sebuah pertanyaan pun seketika muncul di dalam pikirannya. 'Apakah Maura tahu bahwa kami pernah bertemu sebelumnya?' Tobias tersenyum kecil, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. Saat terakhir kali Maura berada di mansion ini, kondisinya sangat kritis, bahkan nyaris tidak selamat. Rasanya tidak mungkin Maura mengingatnya, kecuali Raven yang menceritakan soal dirinya. Kalau pun Maura
Maura melangkahkan perlahan kakinya yang terasa berat perlahan ke dalam kamar, seolah beban emosionalnya turut membebani tubuhnya. Matanya yang sembab tampak masih merah karena air mata yang baru saja ia tahan di hadapan Lewis. Namun pemandangan di depan mata membuat napasnya tertahan sesaat. Ia menatap nanar pada nampan berisi segelas susu, beberapa kue, dan potongan buah tersaji rapi di atas meja kecil di dekat ranjang, "Raven." Nama itu pun seketika langsung terlintas di benaknya. Maura tahu, hanya Raven yang memiliki perhatian seperti ini. Tidak ada orang lain yang tahu kebiasaannya yang menyukai susu cokelat hangat disertai camilan ringan untuk menemaninya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Maura pun berjalan mendekati meja itu. Ia menyentuh gelas susu tersebut, tetapi rasa dingin segera merayap ke telapak tangannya. Susu itu telah lama berada di sini, kehangatannya telah hilang... sama seperti hatinya yang kini telah membeku karena kehilangan kehangatan yang
Di dalam kamar yang diterangi cahaya remang dari lampu di sudut ruangan, Maura berbaring di atas ranjang dengan tubuhnya diselimuti dalam kehangatan Raven. Napas pria itu berhembus dan terasa panas di lehernya, sementara jemarinya dengan lembut mengusap kulitnya yang terasa seperti sutra. Setiap sentuhan Raven membuat Maura tersentak dalam sensasi yang membakar, dengan desahannya yang penuh mengisi ruang di antara mereka. Raven menatap wajah Maura yang merona karena tak berdaya dalam gairah, lalu bibirnya pun melengkung membentuk senyuman puas. "Apa kamu tahu, Moora? Aku bisa menghabiskan seluruh hidupku hanya untuk memujamu seperti ini," bisiknya seraya mengecup lembut bibir Maura, yang dengan pasrah menerima ciumannya. Maura merintih lirih saat bibir panas Raven kini berpindah untuk mencium dadanya dengan penuh nafsu, lalu menggelitik lekukan lembut itu dengan usapan lidahnya. Ia sungguh tergila-gila oleh rasa manis serta aroma kulit Maura yang selalu terasa memabukkan.