Maura pilih siapa hayooo... besok ya lanjutannya ♡♡
***BEBERAPA SAAT SEBELUMNYA... Bola mata kelabu asap Raven sejak tadi tak berkedip memandangi wajah Maura yang sedang sibuk berkutat dengan kancing kemeja miliknya. Ia suka melihat bagaimana bola mata gelap dan bibir penuh menggiurkan itu menutup rapat dan sedikit mengerucut itu sedang fokus pada sesuatu. Raven menyuruh Maura untuk memakaikannya baju, lalu dengan patuh gadis itu pun melaksanakannya. "Kamu masih lelah?" Raven bertanya, mengacu pada aktivitas bercinta mereka sebelumnya di dalam kamar mandi yang berlangsung cukup lama, karena Raven yang tak pernah merasa cukup bercinta. Maura mendongakkan kepalanya hingga dirinya pun beradu tatap dengan bola mata kelabu berkilau yang menghipnotis itu, lalu kepalanya pun segera mengangguk. Tentu saja ia sangat lelah! Bahkan Maura masih tak berdaya dan tak bertenaga ketika akhirnya Raven selesai menjamahnya, hingga pria itu pun akhirnya menggendong tubuh Maura yang lemas keluar dari kamar mandi untuk dibaringkan di ranjang.
Buntu dan bimbang. Itulah yang sedang dirasakan oleh Maura, ketika tiba-tiba saja Raven melontarkan dua pilihan sulit, antara berada di sisi pria itu ataukah bersama kembarannya, Rhexton. Logika yang biasa ia gunakan untuk menentukan pilihan terbaik seolah tak lagi berguna. Ia lelah dengan semuanya, lelah dengan semua tekanan-tekanan yang serasa menguras fisik serta jiwanya. Ia hanya ingin hidup sendiri, tenang dan damai. Sesulit itukah permintaannya? Namun realita hidup malah mempertemukannya dengan sosok Raven, yang bukan saja membuat Maura merasa terpenjara serta semakin terlontar jauh dari impiannya, tapi juga membuatnya seolah menjadi sebuah obyek penelitian. Maura sadar jika Raven sengaja memberikan semua pilihan-pilihan itu dengan sebuah maksud yang terselubung, dan gadis itu pun mengira-ngira bahwa alasannya adalah karena Maura telah ia jadikan tokoh utama di dalam bukunya. Raven ingin melihat reaksinya. Ingin menyelami dirinya, memahami semua pemikirannya untuk dit
"Apa Anda yakin dengan keputusan Anda, Tuan?" Raven mendengar suara dari arah belakangnya, namun pria itu tak jua mengalihkan pandangannya dari jendela dengan kedua tangan yang terlipat di dada. Manik kelabu asap itu tajam menatap ke lantai bawah, di mana sebuah helikopter dengan mesinnya yang menyala berada, dan dua orang yang tampak sedang berjalan untuk memasukinya. "Tentu saja aku yakin, "ucap pria itu setelah beberapa saat kemudian dengan melukis seuntai seringai samar penuh makna di wajahnya. "Tolong jaga dan pastikan keselamatan mereka berdua--paling tidak hingga helikopternya telah menyeberangi lautan dan sampai di pulau tujuan, Alberto," sambungnya lagi sambil menoleh ke arah belakangnya, dimana Alberto berada. Pandangan Raven pun lalu kembali lagi menatap ke balik jendela. "Karena setelah sampai di tujuannya, maka Moora adalah tanggung jawab Rhexton sepenuhnya." Alberto pun hanya mengangguk tanpa bersuara. "Apa Anda ingin Miss Maura tetap diawasi?" Raven tak
Maura mendesah pelan diam-diam, lalu menatap pria yang berada di sampingnya. Rhexton. Satu-satunya jalan keluar yang ia miliki adalah pria ini. Apakah kira-kira Rhexton bisa meminjamkannya uang yang cukup banyak untuk bisa pergi ke Grindelwald? Rhexton membawa Maura masuk melalui pintu berwarna putih, yang menuntun mereka ke tangga menurun menuju koridor yang terang namun sangat sepi. Pria itu masih tetap menggenggam tangan Maura di sepanjang perjalanan, dan Maura pun membiarkannya. Ada sebuah lift dengan pintu yang telah terbuka di ujung koridor itu, dan mereka pun langsung masuk ke dalamnya. "Kamu baik-baik saja?" Rhexton bertanya, saat menatap wajah Maura yang masih tampak pucat. Gadis itu mengangguk lemah. Ketegangan yang sedari tadi menyelimuti diri, kini perlahan mulai terasa sirna, menyisakan hanya lemas di sekujur tubuhnya. "Istirahatlah dulu di apartemenku, Maura. Kamu bebas untuk tinggal berapa lama, jangan pikirkan apa-apa lagi." Maura tak menjawab, nam
"Woa. Coba lihat siapa yang mendatangimu." Madamme Jane tersenyum miring dengan sorot penuh arti menatap ke arah Rhexton, yang berdiri beberapa meter di depan mobil. "Berhenti berontak, atau dia akan kutembak." Maura menahan napasnya kala melihat senjata yang berada di tangan Madamme Jane teracung lurus di kaca depan, terarah tepat ke sosok Rhexton! Sepertinya kaca mobil yang sangat gelap membuat pria itu tidak dapat melihat marabahaya yang tengah tertuju padanya. "MAURA! KAMU BAIK-BAIK SAJA?!" Kembali Rhexton pun berteriak. Kali ini dia mulai mengayunkan langkah, menuju sisi mobil dimana Maura berada. Maura merasakan cekikan di lehernya agak sedikit mengendur, membuatnya terbatuk-batuk dan berusaha meraup udara dengan rakus. Pandangan matanya mulai kabur karena titik-titik cairan bening yang mulai mengumpul. "Jangan terlalu bersemangat mencekiknya, Rebecca. Ingat, Tuan Daniel menginginkan Maura dalam keadaan utuh dan hidup," ucap Madamme Jane santai sambil melirik ke
'Siapa yang memanggil namaku?' Alis gelap yang melengkung indah itu pun saling bertaut, namun dengan kedua mata yang tetap masih terpejam. Seseorang telah menyebut namanya berulang kali serta menepuk-nepuk pipinya, namun entah kenapa ia sulit sekali membuka kelopak matanya yang terasa berat. "MAURA!" Nada yang menyentak itu membuatnya seketika tersadar dan berjuang untuk melihat dengan jelas seseorang yang memanggilnya. "Akhirnya kamu sadar juga." Mual dan pusing yang menyerangnya, membuat Maura mengerjap pelan dengan pandangan yang masih belum terlalu jelas. Siapa... itu? Tiba-tiba saja gadis itu merasakan dagunya dicengkram dengan kuat, lalu seraut wajah familier pun datang mendekat. "Tu... Tuan Daniel..." Maura pun berucap dengan suara tercekat, ketika seringai sinis dan keji di wajah pria paruh baya itu mulai terlihat. Kenapa ia bisa berada di tangan Daniel?? Maura bermaksud untuk bergerak, namun seluruh tubuhnya seperti membatu dan mati rasa. "Aku ta
Pasti ini kamarnya. Raven menatap dingin ke arah pintu yang berada tak begitu jauh dari tangga menuju ke lantai dua, menilik dengan manik kelabu asapnya dengan seksama, lalu mulai menganalisa. Jenis pintu geser elektrik, yang hanya bisa diaktifkan dengan scan sidik jari si pemilik. Fuck! Dia tidak punya banyak waktu untuk omong kosong semacam ini! Raven mengarahkan senjatanya ke bagian pengunci, lalu menembak sebanyak empat kali. Seketika terdengar alarm nyaring yang memekakkan telinga, namun pria itu tampak seperti tuli dan tidak peduli. Dengan satu kakinya, Raven pun menendang kuat pintu yang kini telah setengah hancur karena ia terus menembak dengan membabi-buta. BRAK! Dan pintu kamar yang terkunci itu pun akhirnya terbuka dari arah luar, rubuh dan tak berbentuk. Dengan senjata yang masih tergenggam di tangannya, pria itu bergegas menyerbu masuk. Waktunya semakin sempit, dan ia harus segera menemukan Maura secepatnya. Namun lagi-lagi ia mengutuk saat mengedarkan
Tiga hari telah berlalu sejak penyelamatan Maura oleh Raven, dan dalam tiga hari itu juga tubuh Maura yang terluka telah berangsur-angsur jauh lebih baik dari sebelumnya. Hari ini masih pagi, namun Raven telah kedatangan tamu yang sengaja jauh-jauh datang untuk menemuinya. Seorang pria kurus tinggi berkacamata yang juga manajer sekaligus editornya, Stefan. "Sudah kubilang, tidak!" Raven menatap Stefan dengan sorot gusar. "Jangan memaksaku lagi, Stefan." Pria yang duduk di sofa berhadapan dengan Raven itu pun menarik napas pelan mendengar penolakan tegasnya. "Raven, tolong pertimbangkanlah lebih dulu. Ini cuma satu kali wawancara serta tour di Mansion-mu, itu pun hanya dengan lokasi yang kamu inginkan," sergahnya berusaha membujuk. "Aku tidak peduli. Tidak akan ada yang bisa memasuki Mansion ini selain orang-orang yang kuinginkan. Dan kehidupan pribadiku bukanlah untuk menjadi konsumsi orang lain!" Seusai mengucapkan kalimat itu, Raven pun berdiri lalu berjalan menuju bar