"Obsesiku itu kamu! Jika aku tak mampu memilikimu, sebaiknya dunia menelanmu."
- Sean Varza Nasution
——
Sean menendang guci mahal yang ada di ruang tamu, hingga menjadi pecahan-pecahan tidak berbentuk. Emosinya naik seketika lantaran terlalu kesal kepada lelaki yang sedang berdiri berkacak pinggang di depannya, dan merupakan papanya itu.
Lelaki berumur 50 tahun itu, memaksa Sean untuk bekerja di perusahaan, membantu mengelola agar lebih maju lagi.
Namun, Sean menolak. Ia tidak ingin waktunya bersama Velin terganggu. Jika bekerja, otomatis Velin akan menjadi prioritas kedua.
Sean benci itu!
Menyebalkan!
Baginya, hidup itu ya ... Velin. Velin, Velin, Velin dan Velin, tidak ada yang lain.
"Papa hanya meminta waktumu sedikit saja, Sean," tukas Hardan dengan nada memelas. Dia menginginkan Sean dalam hal yang menyangkut perusahaan, ia ingin itu.
Sean mendengkus. " Sedikit?
"Yang aku tahu cinta itu sesuatu yang harus di miliki!" — Sean Varza Nasution"Cinta yang kamu maksud itu lebih tepatnya petaka. Secara tak wajar! Dan, pada akhirnya ... aku mati tanpa air mata."— Velin Ashakira———Sean berjalan mengendap-endap, layaknya seorang mata-mata agen rahasia. Mengikuti target tanpa jejak, lalu mengintai dari jarak paling aman. Pakaian yang ia kenakan menyempurnakan segalanya. Semua serba berwarna hitam, mulai dari jaket kulit, celana jeans, masker hingga kacamata.Satu-satunya yang berbeda warna adalah sepatu. Sean lebih memilih warna putih!"Sial!" Sean mengepalkan tangannya saat dua orang targetnya memasuki toko pakaian wanita dan saling bergandeng tangan.Velin dan Arga!Emosi Sean kembali memuncak.Sean memejam sesaat. Seandainya bukan di tempat umum, ia pasti mendatangi keduanya, dan menghajar Arga tanpa belas kasih sama sekali."Ingin mati ternyata!" Seringai Sean begitu menakutkan. Sudah menj
"Membencimu, seperti berada di antara dilema!"— Velin Ashakira——Lagu milik Judika ‘cinta karena cinta’ mengalun indah dari ponsel milik Sean yang terletak di sofa. Sedang pemiliknya sedang asyik menata makanan di atas meja sembari mengikuti alunan merdu itu.Sesekali ia menggoyangkan kakinya untuk menyempurnakan kebahagiaannya.Suaranya tidak terlalu buruk. Sean memiliki bakat menyanyi dan juga menari. Ia bisa saja menjadi penyanyi atau aktor berhubung wajahnya sangat mendukung untuk itu. Hanya saja, ia terlalu malas, bagi Sean menjadi pengangguran adalah langkah awal untuk mendapatkan Velin. Ya, Velin dan Velin. Hidupnya hanya untuk perempuan cantik itu.Prinsip hidup yang bodoh!"Selesai." Wajah semringah tercipta begitu saja setelah berhasil menciptakan menu makanan sederhana untuk makan malam.Tidak ada yang istimewa, hanya telur dadar atau orang kaya menyebutnya omelet ditambah nasi putih dan tidak lupa saus ekstra pedas.Tadinya,
Tawamu adalah obat bagiku. Dan air matamu adalah racun yang membuatku mati dalam hitungan detik."—Sean Varza Nasution——Mobil yang dikendarai oleh Hafiz berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana, tempat praktik seorang dokter. Hafiz menoleh ke belakang di mana Sean terus memeluk Velin yang masih pingsan.“Kita sudah sampai?” Seira yang duduk di samping Hafiz bertanya lantaran mobil telah berhenti.Hafiz mengangguk. Namun, tatapannya masih fokus ke Sean.“Brother, sebaiknya kita segera masuk,” saran Hafiz.Kini giliran Sean yang mengangguk. Kemudian pintu belakang terbuka, pelakunya tentu saja Seira. Perempuan itu lebih dulu keluar dari mobil, tepatnya setelah Hafiz menjawab pertanyaannya tadi.Dengan pelan Sean keluar dari mobil sembari menggendong Velin layaknya di drama Korea, dibantu oleh Seira. Sedang Hafiz sudah lebih dulu jalan di depan.Hafiz mendorong pintu kaca, lalu menahan menggunakan punggungnya, membi
"Kenangan itu secuil rindu yang tak ingin di tuju. Akan terkubur dalam lautan nestapa, menjadikannya buih yang hilang tanpa jejak."—Seira Virza Nasution——"Pelecehan seksual," cicit Seira pelan.Sontak, Natasya dan Hafiz terdiam. Tidak ada pembicaraan dalam beberapa menit. Seira mengunci mulutnya rapat, meskipun netranya mulai berembun. Ada bulir-bulir kristal bening mendesak ingin keluar dari sana.Hafiz yang mengetahui perubahan mimik Seira, menggenggam erat tangan itu. Masih belum berani untuk mengeluarkan sepatah kata. Di otaknya, beberapa pertanyaan seperti menari-nari mendesak ingin segera dilontarkan.Mengingat situasi, Hafiz mengendalikan mulutnya untuk sementara.Lain halnya dengan Natasya. Dokter cantik itu menggigit ujung pulpennya. Ia masih mencari waktu yang tepat untuk kembali bertanya. Sumpah, ia sangat penasaran tentang apa yang dikatakan oleh Seira barusan."Saat kami pulang dari makam Mama, tiga orang pr
"Kenyataannya adalah kamu yang terluka dan aku yang menderita."—Velin Ashakira—Velin membungkam mulutnya menggunakan kedua tangan. Matanya memanas dan hatinya teriris mendengar segala hal yang dibicarakan oleh 3 orang yang berbeda usia dan jenis kelamin itu. Ia mendengar dengan sangat jelas meskipun tidak semua. Mungkin pertengahan dari cerita utuh yang berlangsung.Sean mengidap OLD!Ya Tuhan.Meskipun Velin bukan seorang yang hebat dalam ilmu psikolog, tapi ia masih tahu apa yang dimaksud dengan penyakit gangguan kejiwaan itu.Pantas saja sifat Sean itu aneh. Kadang baik, kadang menakutkan dan kadang menyakiti dirinya tanpa iba, sehingga Velin ingin sekali mengakhiri nyawa lelaki itu.Namun, yang menjadi pertanyaan yang membebani pikirannya, kenapa harus dia? Kenapa Sean menjatuhkan obsesi cinta kepadanya? Kenapa bukan dengan yang lain? Velin belum mengetahui itu. Ah, seandainya ia lebih awal terbangun dari pingsannya, mungk
Mata memejam, kepala bersandar di dinding, memeluk kedua lutut, tanpa peduli akan dinginnya lantai yang menusuk kulitnya. Velin tetap pada posisi duduk di lantai tanpa alas.Ia menangis dalam diam. Saat berbicara dengan Natasya beberapa waktu yang lalu, Velin berusaha menahan air matanya agar tak jatuh meskipun setetes. Ia tidak ingin Natasya menyaksikan air matanya. Lebih baik terlihat kuat dan tegar, walau hati rapuh sekalipun. Namun, kini cairan kristal itu mengalir tanpa bisa ia bendung lagi. Alasannya, karena saat ini ia tengah kembali masuk ke dalam bait-bait kenangan masa lalu.“Ya Tuhan,” monolog Velin.Velin semakin terisak. Penderitaan yang ia alami saat masa SMA adalah neraka yang ia ciptakan sendiri.****Velin menatap wajahnya di cermin kecil yang selalu dibawa ke mana pun dan selalu berada dalam tas.. Menyaksikan kesempurnaan setelah mengoles pelembab di wajah putih mulusnya, dan liptink di bibir ranum.Di atas meja terdapat kotak kecil bers
"Lo udah bangun?"Velin yang baru menginjak ruang tamu, langsung disuguhi pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh jawaban. Terdengar sangat klise. Namun, Velin tetap menganggukkan kepalanya menanggapi pertanyaan Natasya."Duduk." Hafiz menepuk sofa kosong di sampingnya.Velin tidak memberi respons. Malah terlihat seperti orang kebingungan, melirik sana dan sini, seolah mencari seseorang.Natasya yang paham situasi yang mendera Velin segera berkata, "Sean keluar sebentar. Membeli sarapan dan juga pakaian ganti." Senyum Natasya tersaji begitu lebar menampakkan deretan gigi putihnya.Seketika Velin salah tingkah. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Ditambah tatapan Seira dan Hafiz yang sangat sulit diartikan olehnya. Velin tidak terbiasa berinteraksi terlalu lama terhadap orang asing, bahkan saat ia kerja di toko bunga, hanya sekedar. Mili adalah satu-satunya yang ia percaya dalam hidupnya.Namun ....Seketika Velin teringat pada teman sekamarnya yang
“Aku tidak tahu seberapa kejam dunia menjebakku dalam sandiwara, yang jelas, aku terlalu takut untuk menjatuhkan rasa.”—Velin Ashakira——Velin menghela napas panjang saat kakinya memijak halaman luas rumah milik keluarga Nasution. Melirik sekilas pada lelaki yang sedang tersenyum manis sembari menggenggam erat tangannya. Seperti tidak ada rasa gugup yang mendera Sean, atau lelaki itu sangat pandai menutupinya.Lupakan saja soal Sean. Toh, lelaki itu hanya punya satu ekspresi saat ini, yaitu tersenyum. Sepertinya, dalam jangka waktu beberapa detik jikalau terus seperti itu, mungkin saja bibir tak bisa tertutup lagi, dan giginya akan kering.Velin menepuk keningnya. Apa yang ia pikirkan? Kenapa terdengar klise?“Hei, are you ok?”Velin terlihat linglung saat Sean menyentuh keningnya. Pemikiran bodohnya tentang Sean hilang secara menyeluruh.“Lo sakit? Apa kita pulang saja?” Sean berucap penuh kelembutan. T