Keluarga kiai tengah sarapan bersama di meja makan. Umi terlihat senang karena Sufian mau makan bersama setelah pembicaraan semalam. Melihat hal itu abinya juga berpikiran sama mengenai perasaan putranya. Mereka mengira Sufian menerima perjodohan itu dengan lapang dada.
"Bener kan kata Umi kemarin?" goda Umi dengan seulas senyum."Bener apanya, Umi?" tanya Sufian terus mengunyah."Semalam kamu lihat sendiri kan calon menantu bungsu keluarga kita? Dia pasti berhasil membuat putra Umi jatuh hati, 'kan?" tebak Umi."Semalam aku sudah melihatnya." Jawaban tersebut dilontarkan dengan ekspresi wajah yang datar."Terus gimana tanggepan kamu? Kamu bersedia nikahi dia dalam waktu dekat?" tanya Abi.Sufian tidak menjawab lagi, ia memasukkan tangannya ke saku baju dan mengeluarkan secarik kertas yang didapatnya semalam. Itu ia tunjukkan kepada Abi dan Umi. Setelah membaca isinya secara bergantian, Abi dan Umi beradu pandang sebentar sebelum akhirnya tertawa bersama."Jadi bagaimana, Yan? Kamu suka sama Sifa 'kan?" Umi justru tak mengindahkan surat tersebut dan memilih mengulang pertanyaan yang sama."Suka apanya, Umi? Dia gak seperti yang Umi ceritakan, dia santriwati nakal yang berpacaran saat pelajaran berlangsung. Gak cuma itu, dia ceroboh dan kurang fokus dalam pelajaran. Apa itu hal yang benar, Umi? Seharusnya dia mendapat hukuman atas perbuatannya yang melanggar aturan pesantren ini!" tegas Sufian."Jangan menilai orang hanya karena kesalahan satu kalinya saja, itu bukan hal baik, gimana sih putra Abi ini!" tegur abi."Sifa akan dihukum untuk kesalahannya, tapi bukan berarti dia akan dihilangkan dari pilihan menantu keluarga kita," timpal Umi."Agar kamu puas, hukum Sifa hari ini juga, Abi serahkan semuanya padamu."Sufian menunduk merasa bersalah mendengar itu, kemudian ia kembali mengangkat pandangannya. "Kenapa harus dia? Memangnya gak ada perempuan lain yang bisa aku peristri selain dia?" tanya Sufian mendadak gerogi."Ada, banyak kok kalo nanti kamu sudah menikah dengan Sifa, kamu bisa tuh minta izin nikah lagi," ejek Abi.Mungkin benar bahwa itu ialah ejekan, tetapi menurut Sufian itu bisa jadi sebuah ide bagus. Dirinya akan menikahi Sifa seperti yang diinginkan kedua orang tuanya kemudian ia akan menikah kembali dengan perempuan yang hanya dirinya cintai. Itu pertimbangannya.***Sifa terus mencari surat pemberian Azam di seluruh saku pakaian yang dikenakannya semalam. Ia sangat panik sehingga tidak dapat fokus dan sadar kalau pelajaran di sekolah akan segera dimulai."Sifa ...!" Vina, teman sekamar Sifa membuka pintu dengan spontan. Ia menyadari temannya belum juga datang ke kelas sehingga memutuskan kembali menjemputnya. "Kamu nyari apa? Ayo bentar lagi masuk kelas nanti telat dihukum lagi!" ajaknya sewot."Kamu duluan aja, Vin, aku masih nyari sesuatu!" Sifa terus melacak di seluruh saku pakaian yang semalam dipakai."Apa yang kamu cari sepagi ini, Fa? Ayo pergi biar nanti pulang dari kelas kita cari sama-sama! Ayo!" ajak Vina menarik lengan temannya."Gak bisa! Ini kalo gak ketemu sekarang bahaya banget!" ungkap Sifa."Hah? Kamu dapet surat dari A Azam lagi?" tebak Vina langsung paham."Iya, tapi suratnya gak ada! Gimana kalo ketahuan sama ustaz atau ustazah, aku bakal dihukum!""Kok bisa ilang? Ilangnya dimana?" Tiba-tiba Vina ikut panik."Kalo aku tahu gak akan aku cari lah!"Sifa semakin bertambah panik saat Vina tiba-tiba menarik lengannya ke belakang lemari. Vina bersikap begitu karena bel sudah berbunyi dan staf jadwal keamanan akan berkeliling ke setiap kamar santri. Apalagi lokasi kamar mereka selalu menjadi paling pertama saat pengecekan."Mampus kita, Fa," bisik Vina begitu menyadari bahwa dirinya lupa menutup pintu saat hendak bersembunyi.Belum terlambat, Sifa akhirnya menarik Vina keluar dari kamar menuju tempat yang jauh dari pengecekan. Hari itu mereka berdua bolos dengan alasan yang tidak jelas."Kalian sedang apa di sana?"Vina dan Sifa menoleh ke arah suara. Sufian berdiri memandangi mereka dengan heran sekaligus curiga. Seharusnya anak SMA ada di kelas tetapi dua siswi ini malah ada di sekitar madrasah."Kenapa kalian gak masuk kelas?" tanya Sufian.Sifa dan Vina yang tengah berdiri di hadapan Ustaz Sufian langsung menunduk setunduk-tunduknya. Keduanya menyesal tapi bukan karena tidak masuk kelas melainkan karena tidak berhasil bersembunyi."Jawab!" bentak Sufian."Maaf Ustaz, tadi kita kesiangan," ucap Vina begitu gemetar. Untuk pertama kalinya ia bolos sekolah hanya karena ingin menyelamatkan Sifa."Kita?" ulang Sufian."Maaf maksud saya kami, Ustaz," ralat Vina."Sudah tahu salah bukanya mengaku malah sembunyi di sini! Apa yang membuat kalian kesiangan? Kalian bergadang semalaman menghafal Al-Quran?" tanya Sufian."Sebenernya semua ini gara-gara Sifa, Ustaz! Dia nyari—"Sifa secepatnya menginjak kaki Vina agar tak jujur kepada Sufian perihal surat yang dicari."Kamu nyari apa, Sifa?" tanya Sufian mengalih pandang pada Sifa yang tak juga bersuara."Saya gak nyari apa-apa, Ustaz.""Kamu nyari ini?" Sufian menunjukkan surat yang semalam didapatkannya.Sifa dan Vina mengangkat pandangan mereka masing-masing. "Masyaallah Ustaz!" sewot Vina segera menutup mulutnya agar tak terbuka lebar."A–astagfirullah!" Sifa turut terkejut bukan main. Kalau bisa, ia ingin pingsan saja di tempat lalu saat sadar dia sudah berada jauh dari Sufian."Ini yang kamu cari? Nah, saya kembalikan karena semalam jatuh di lantai madrasah!" Sufian menyodorkan kertas itu dan diterima dengan tangan gemetar Sifa.Sifa hanya menunduk dan tak berani mengatakan apa-apa lagi."Saya akan hukum kamu!" Ustaz Sufian berbalik untuk pergi."Vina gak dihukum juga, Ustaz?" tanya Vina dengan berani.Ustaz Sufian berbalik lagi menatap dua santriwati itu. "Untuk yang kesiangan saya kasih toleransi, tapi untuk yang pacaran saya gak bisa kasih toleransi. Jadi, hanya kamu yang saya hukum!" tunjuknya pada Sifa."Ta–tapi ... apa hukumannya, Ustaz? Saya gak mau dihukum berduaan sama A Azam di hadapan semua santri, saya mohon jangan, Ustaz, saya mohon," lirih Sifa sembari merapatkan kedua tangannya menghadap Sufian.Vina bahkan tidak percaya jika temannya akan berbuat seperti itu kepada Sufian yang terbilang killer."Kamu gak akan dihukum seperti itu, tenang saja," jawab Ustaz Sufian membuat Sifa sedikit lega tapi juga gelisah. "Tapi kamu akan segera saya nikahi." Ustaz Sufian berlalu begitu saja tanpa menghiraukan raut kedua santriwati di sana.Vina sangat terkejut dengan ucapan Sufian barusan. Ia segera menghadap Sifa dan bertanya sekali lagi tentang apa yang dikatakan Ustaznya baru saja. Vina merasa jika itu hanya pendengarannya saja saking tidak percayanya."Fa, tadi itu beneran Ustaz Sufi? Dia ... dia mau hukum kamu dengan cara nikahi kamu? Fa, tadi beneran dia bilang gitu? Fa aku gak salah denger kan...." Tangan Vina gemetaran saat meminta kejelasan dari Sifa atas ucapan Sufian.Sifa kehilangan sadar dalam sekejap setelah semua itu terdengar. Vina yang sama terkejutnya langsung panik melihat temannya pingsan saat itu juga. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sifa mengalami pingsan.Sifa mulai sadarkan diri di ruangan UKS. Ya, selepas pingsan tadi Vina tidak dapat diam saja dan memilih berteriak memanggil bantuan Sufian. Sekarang Sifa ditemani Vina di ruangan yang sepi dan terdapat obat-obatan."Fa, kamu baik-baik aja? Ada yang sakit, gak?" tanya Vina."Aku gak apa-apa. Kamu bawa aku ke sini pake cara apa, jangan bilang aku diseret?" Sifa mulai mengubah posisinya menjadi duduk.Vina memberikan segelas teh hangat untuk sahabatnya. "Aku gak bawa kamu ke sini kok tapi Ustaz Sufi, jadi tenang aja.""Hah?!""Kamu gak usah khawatir, Fa, pasti ucapan Ustaz Sufi tadi itu cuma bercanda, aku yakin kok dia gak akan mau nikahi gadis kayak kamu!" jelas Vina."Maksudnya apa? Kamu ngatain aku?" tanya Sifa."Eh bukan gitu, ya kan dia ustaz mana ada nikah sama santri kayak kita ini, dia juga pilih-pilih kali! Ustaz plus guru plus lagi anaknya kiai ya pasti nikahnya juga sama yang sebanding! Iya gak sih?" ralat Vina."Iya sih, tapi emang ada perempuan yang mau sama Ustaz Sufi yang kita aja merasa gak tahan sama sikapnya?""Bener juga! Kayaknya Ustaz Sufi udah nyerah dan mau milih santri di sini aja buat dijadikan istri. Kebetulan dia kecantolnya sama kamu, Fa!""Enak saja! Eh, gak baik tahu gibahin orang apalagi dia guru kita juga!" Sifa segera membantah.Keduanya merapalkan istighfar bersama lalureflek menoleh ke arah pintu yang mana Sufian sedang berdiri bersidekap tangan di dada untuk melihat kondisi Sifa yang sudah sadarkan diri. Baik Sifa maupun Vina berharap ustaz mereka tak mendengar gibahannya."Ucapan saya yang tadi sama sekali gak bercanda. Kamu kenal saya bukan? Saya orang yang gak suka bercanda!" ungkap Sufian sengaja."Tapi Ustaz jangan nikahi temen saya yang ini, kasihan dia nanti tertekan!" celetuk Vina. Entah apakah Sufian harus tertawa atau marah mendengarnya."Tertekan?" ulang Sufian."Ustaz beneran mau nikah sama Sifa? Jangan bercanda gini, Ustaz, gak lucu," ungkap Vina meski dari nadanya terdengar ragu."Saya serius. Kami akan menikah setelah Sifa lulus nanti, jadi siap-siap bekal ilmunya dari sekarang ya, Sifa." Sufian sengaja mengatakan itu. Entahlah, dia merasa menyenangkan karena sudah membuat santriwatinya terbebani pikiran. Jahat memang!"Saya gak mau nikah sama Ustaz!" aku Sifa terang-terangan."Ustaz pikir-pikir lagi kalau mau sama Sifa, dia tidurnya muter kayak gasing!" Vina menambahkan."Lalu?" Sufi mengangkat sebelah alisnya.Sifa menghela berat dan berpikir sejenak sebab kesal dengan ustaznya yang mendadak aneh. Ia turun dari ranjang UKS dibantu Vina dan keduanya segera pamit pada Sufian serta berterimakasih. Sufian merasa telah dianggap remeh oleh kedua santriwati itu. Sifa bilang tidak mau menikah dengannya dan memang Sufian mau menikah dengannya? Dia juga terpaksa karena terus diperintah orangtua."Jangan jual mahal, Sifa, mau bagaimanapun kamu tetap akan terpaksa saya nikahi.""Hei! Segera temui guru piket untuk menagih hukuman kalian! Jangan bolos!" teriak Sufian akhirnya."Fa, kamu kayaknya demam deh." Vina merasa cemas sebab sepulang dari madrasah sehabis setoran hafalan pada ustazah, Sifa agak pucat.Sifa juga merasakan hal yang dimaksud temannya. Ia cukup rawan terkena demam apalagi sakit kepala karena memiliki tekanan darah rendah. Untuk mengistirahatkan diri, Sifa dituntun berbaring di kasur asrama. Teman-temannya yang lain ada yang sudah terlelap dan ada juga yang masih sibuk menghafal."Aku ya kok ngerasa kalo sikap Ustaz Sufi jadi beda sama kamu? Bahkan dia waktu pelajaran di madras malam itu waktu kamu dihukum beliau kayak sengaja nyari-nyari nama kamu. Apa jangan-jangan dia udah ngebet nikah dan minta petunjuk istikharah dan nemu kamu di mimpinya?" Vina tiada henti mengoceh disaat Sifa merasakan perasaan buruk di dirinya."Aku mau cerita, tapi kamu jangan ember ke siapa-siapa ya!" pinta Sifa. Vina mengangguk serta antusias memokuskan pandang. "Aku mau dijodohin sama bapak setelah lulus sekolah, aku gak bisa nolak karena aku harus bantu mereka
Umi memerintah Sufian agar membawa Sifa ke kamar saja. Namun, Abi melarang dan meminta Sufian membaringkannya di sofa ruang tengah. Itu karena Abi tidak ingin Sifa curiga mengenai perjodohannya. Mau bagaimanapun Sifa masih terlalu belia memikirkan perjodohan sehingga Abi mewanti-wanti keluarganya untuk tidak memberitahu anak gadis mereka mengenai hal itu."Ambilkan minyak angin di lemari obat, Yan!" titah Umi setelah menyelimuti tubuh Sifa dengan selimut."Kenapa dia bisa pingsan, Yan? Kamu bicara apa padanya?" Abi tak kalah cemas melihat Sifa tak sadarkan diri.Sufian duduk di sebelah Abinya dengan raut cemas dan tidak bisa dimengerti. Ia begitu tidak menyukai Sifa walau sedikit tetapi beberapa hari ke belakang takdir seolah selalu menuntunnya untuk mendekat dengan Sifa. Lalu sekarang, ia merasa masih gugup sebab baru saja mengangkat tubuh Sifa dari mobil menuju rumah yang secara tak langsung membuat kedua tangannya sudah memeluk gadis itu."Sufian!""Astaghfirullah, Abi. Iya, Abi?" t
Sifa mengantarkan minuman untuk tamu di rumah Sufian bersama dengan Umi. Ia terus menunduk karena yang duduk di ruang tamu adalah dua pemuda bukan mahramnya. Ketika ia hendak pergi, salah seorang di antara pemuda itu memanggil namanya. Kali ini bukan suara Sufian melainkan suara temannya Sufian.Sifa merasa deg-degan hebat sampai ketika berbalik ia masih terus menunduk. Pikirannya bertanya hal salah apa yang sudah diperbuat hingga harus berurusan dengan tamunya Sufian. Ketika ia memberanikan diri mengangkat wajah untuk melihat ke arah pemuda yang memanggilnya, Sifa lantas membulatkan mata tak percaya."Kang Taufik!" seru Sifa segera bergegas ke hadapan tamu Sufian yang ternyata ialah kakaknya sendiri. Bukan hanya Sufian yang terkejut melihat Sifa mengenal teman lamanya, melainkan Umi juga. Mereka saling tatap sejenak lalu selanjutnya hanya menonton apa yang dilakukan Sifa."Kakang kapan ke sini? Kok bisa aku baru sadar kalo yang datang itu Kakang!" Tak disadari air mata gadis itu luru
Sufian masuk dengan begitu tergesa-gesa ke dalam rumah dan langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan sang abi yang tengah sendirian sembari di tangannya terus berputar tasbih. Mata pria tersebut terpejam dengan mulut bergerak membaca zikir. Meski ragu, Sufian memaksa dirinya untuk mengganggu. Dirinya berharap Abi mengetahui keberadaannya tanpa dipanggil."Abi," panggil Sufian dengan nadanya yang terdengar ragu. Ia akhirnya memutuskan angkat suara.Menyadari kehadiran putranya, Abi menyudahi aktivitas zikir berpindah mengamati raut gelisah di wajah Sufian. Beliau tersenyum melihat itu. "Kenapa, Yan?"Sufian menunduk sejenak sebelum mengungkap isi hatinya yang berantakan. Dari raut wajahnya saja sudah kelihatan kalau masalah itu sangat mengganggu."Ada masalah soal Sifa lagi? Dia nakal lagi di kelas?" Abi mencoba menebak."Bukan begitu, Abi. Ini lebih parah dari itu. Sebenarnya ... Sifa akhir-akhir ini murung di kelas, selama pelajaran dia tidak fokus dan jarang memperhatikan apa ya
Sufian menuruni anak tangga sekolah untuk sekadar melihat-lihat suasana sebelum pergi. Tanpa sengaja ia melihat seorang perempuan duduk berdua dengan temannya di bangku dan tampak asyik bercerita. Senyum yang dilihat oleh Sufian semakin menambah tempo debaran jantungnya dan juga tanpa sadar dia sudah merekahkan senyumnya."Ustaz Sufi?" Panggilan itu memaksa Sufian memalingkan pandang. Ia melihat Azam berdiri tak jauh dari tempatnya lalu perlahan mendekat. Sekarang keduanya sudah saling berdekatan."Ada apa, Azam?" Azam memberikan sepucuk surat yang diterimanya beberapa hari lalu perihal Sifa yang akan dijodohkan. Saat ini dia ingin bertanya langsung mengenai isu yang belakangan terdengar di telinganya."Hubungannya dengan saya, apa?" tanya Sufian. Memang, kabar perjodohannya tidak diketahui siapapun juga di pondok sebab keluarganya menutup kabar tersebut."Ustaz merebut perempuan pilihan saya, kenapa Ustaz malah memilihnya? Masih banyak gadis lain di sini, bukan?" tanya Azam dengan n
"Dia masih kecil, bimbing dia dengan kelembutan dan jangan dengan cara kasar. Kamu ingat bagaimana Rasulullah mendidik istri kecilnya Sayyidah Aisyah, bukan? Anggaplah sekarang ini kamu sedang berusaha meneladani Baginda Rasulullah sehingga itu menjadi ladang pahala untuk kamu."Sufian tertegun sebelum akhirnya menutup sambungan telepon dengan abinya. Ia sadar akan sikap ia yang begitu keras terhadap Sifa. Bahkan api pun tidak dapat dipakai untuk memadamkan api, kan? Maka Sufian segera meletakkan ponsel di meja lantas keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Sifa. Sudah tengah malam tetapi gadis itu belum juga kembali."Dia ada di mana sekarang?" gumamnya mulai mencari.Sufian sudah memutari hampir seluruh ruangan rumah demi mencari istrinya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Sifa. Sufian melangkah ke teras sembari terus mencari-cari barangkali Sifa menenangkan dirinya dalam kegelapan di sana, tapi tak juga ditemukan gadis itu di sekitaran rumah.Sufian terlonjak ketika pundaknya dite
Setelah selesai berkemas pakaian, Sifa dan Sufian keluar dari kamar secara bersamaan. Di ruang keluarga sudah ada orangtuanya yang menatap mereka dengan sendu karena Sifa akan pergi jauh. Terutama tatapan Ibu. Sejak obrolan pagi tadi mengenai pulangnya mereka, Ibu seolah kehilangan semangat dalam hal apapun."Kamu bener mau ninggalin Ibu, Fa?" Akhirnya pertanyaan itu keluar."Bukan begitu, Bu, aku cuma ...." Sifa menoleh sebentar pada suaminya yang berdiri di samping dan langsung mendapat anggukan kecil. " Ustaz Sufi kan guru para santri, gak mungkin kami terus di sini," jawab Sifa sambil menunduk. Sebenarnya ia juga sedih meninggalkan rumah tapi kesedihan yang dirasakan bercampur dengan marah.Ibu merangkul tubuh kecil Sifa untuk dipeluk. Keduanya larut dalam tangis perpisahan. Pun sebagai Bapak yang sudah lepas tanggungjawab pada putrinya, Bapak terlihat lebih tegar menahan diri agar tak menumpahkan tangis di hadapan orang-orang.Selepas acara pamitan, Sifa dan Sufian mulai menaikkan
Sufian memasak sarapan pagi pertama di rumah baru. Melihat giatnya sang tuan, Pak Maman yang baru datang langsung menghampiri sambil sesekali menggoda ustaz mudanya. Rumah Pak Maman tidak jauh dari pondok pesantren pun dari rumah Sufian, cukup mudah baginya pulang pergi saat bekerja."Kamu cari pembantu aja A, buat masak sama beberes rumah, biar kamu bisa fokus dapetin hati istri!" celetuk Pak Maman."Nggak ah, Pak, nanti kalo pembantunya perempuan takut suka sama saya, kalo pembantunya laki-laki takut suka sama istri saya," jawab Sufian membalas candaan."Kamu ini ada-ada saja!""Serius, Pak, secara kan Pak Maman juga tau saya ini ganteng toh?" Sufian melontarkan candaan lain.Tawa keduanya menggema di dapur sehingga Sifa yang hendak membersihkan ruang tengah segera menghampiri sumber suara. Ia mendapati Sufian tengah memasak sendirian sebab Pak Maman sudah keluar untuk memanaskan mesin mobil."Ustaz?" panggil Sifa dengan nada heran. Rasanya tadi ia mendengar suara tawa dari dapur. "
"Aku yang salah, aku yang salah, Sifa ... aku yang salah!" Azam menunduk dengan kedua tangan memegangi kepala. Betapa menyesal Azam sudah berusaha mempercayakan kehidupan perempuan tercintanya kepada seorang yang ternyata justru tidak berniat sungguh-sungguh membangun rumah tangga dengan baik. Azam kira Sufian ingin menjadi panutan terbaik tapi nyatanya harapan itu tiada."Seharusnya aku ikuti apa kata hatiku dulu, Sifa, seharusnya aku berusaha keras merebutmu dari tangan Ustaz Sufi, seharusnya aku percaya pada hatiku, seharusnya begitu!" Kedua mata laki-laki itu menyorot tajam ke arah meja, tiada objek yang ia sedang pandang sebab pandangannya ialah kosong. Amarah begitu tampak di kedua bola matanya.Azam tidak ingin mendengar Sifa bicara walau sebuah pembelaan atas pernikahan yang terjadi. Perempuan itu masih ada dalam hatinya, masih menjadi belahan jiwanya, maka saat ini yang diinginkan Azam hanya mencarikan jalan keluar agar masalah yang sedang menerpa Sifa segera menemukan akhir.
Sifa menunduk selama turun dari tangga, ia sangat sadar kalau sekarang dirinya sedang dijadikan satu-satunya objek pandang bagi laki-laki bukan mahram yang sedang duduk di sofa. Tak perlu waktu lama, Sifa segera berdiri dan menatap laki-laki itu dengan berani. Sebenarnya ia terpaksa memberanikan diri.Azam ikut berdiri kala itu lantas menyerahkan sebuah amplop putih yang tak Sifa ketahui isinya. Namun, dalam benaknya langsung terpikir bahwa sepertinya ia dapat undangan pernikahan yang spesial. Ekslusif khusus untuknya seorang. "Aku tidak akan banyak bicara di sini, aku cukup tahu diri, aku juga tidak yakin kamu akan datang memenuhi undanganku itu, tapi aku harap kamu tidak terburu-buru dan melihatnya secara dengan pandangan yang baik. Jangan buang surat itu, aku mohon, sekali ini saja penuhi keinginanku walau untuk yang terakhir kalinya atau walau kamu tidak ikhlas. Sekali ini. Aku pamit sekarang, sudah terlanjur malam, istirahatlah."Ketika langkah laki-laki itu sudah memunggungi Si
Azam. Laki-laki itu mengerti akhirnya bahwa apa yang dikatakan Sufian itu bukan semata canda. Permata yang dipinjam sudah dikembalikan ialah Sifa. Sifa yang pernah menjadi permatanya dan tak disangka akan diijab kabul oleh guru sendiri. Azam hendak melangsungkan pernikahan karena keinginannya untuk melupakan Sifa. Deretan nama perempuan yang disuguhkan oleh orang tuanya di rumah membuat Azam bingung memilih karena yang dicari bukan lagi soal cantik tapi soal seberapa pandai ia membuatnya tertarik.Ketika seorang perempuan yang dikiranya akan mampu membuat hati Azam tertarik telah hadir, yang didapat justru adalah peluang untuk mendapatkan kembali versi asli dari yang diinginkan. Sifa Nurul Azizah. Sejak lama Azam dan Sifa selalu berbalas surat karena amat tertarik satu sama lain. Namun, surat yang terbalas rupanya tak menjamin akan membawa mereka ke pernikahan. Keduanya terpisah oleh perjodohan kala itu.Azam sebenarnya pernah beranikan diri meminta Sifa pada kiai, tapi belum sempat m
Abi dan Umi setuju untuk menyembunyikan status Sifa yang sebenarnya dari publik. Mereka akan berupaya bersikap seolah menganggap Sifa sebagai menantu saja terutama di hadapan para santri yang mana tak ada yang tahu kebenaran bahwa Sifa adalah putri kandung mereka. Hari itu bahkan dua kakaknya datang untuk mendengarkan apa yang ingin kiai sampaikan tentang Sifa dan masalah yang menerpa. Dua kakaknya yang semula tidak percaya pun segera bergantian memberikan kalimat penguat untuk adik kecil mereka yang di usia belia sudah menjadi perempuan yang berpisah dari suami.Rutinitas Sifa di sana kian bertambah menyesuaikan seperti ikut membantu mengajar atau membantu para pengurus membuat dan menyiapkan suatu acara jika waktu kuliahnya sedang senggang. Sifa pun kian menjadi dekat dengan Halima yang mana tak tahu soal Sufian sebab sudah lama tak juga saling berhubungan. Halima percaya saja saat Sifa mengatakan kalau suaminya melanjutkan kuliah di luar negeri karena beberapa alasan dan masih seri
"Jangan pergi, Aa ...."Umi tiba-tiba mendorong tubuh Sufian yang mendekapnya hingga tubuh pemuda itu terdorong sepenuhnya ke belakang. Ia juga menarik Sifa agar tak mendekat pada laki-laki yang sudah bukan suaminya lagi. Sufian segera berdiri mengikuti Umi yang kini memandangnya marah. Sifa berusaha menenangkan Umi untuk tidak menyakiti Sufian, meski dirinya sangat hancur karena diceraikan tapi ternyata hati Umi jauh lebih hancur melihat putrinya disakiti oleh orang yang dianggap putranya sendiri."Dia tidak seperti orang berhati!" tegas Umi begitu marah."Jangan mengutuk apapun untuknya, Umi, jangan, aku mohon ...."Syukur momen menegangkan itu berakhir segera oleh hadirnya Abi yang menarik Sufian dari para perempuan di kamar itu yang terus saja menuntut. Abi meminta Sufian untuk segera berangkat saja meninggalkan tempat itu karena jika tetap tinggal maka semuanya tak akan pernah selesai. Setelah keluar dari kediaman kiai lantas baru beberapa langkah Sufian menjauh, sebuah derap lan
Sufian melangkah lebih dahulu dengan agak tergesa-gesa, di belakangnya Sifa mengikuti dengan kepala yang menunduk tak wajar seolah sepanjang jalan yang terpenting berada di bawah. Bekas tangis di matanya masih terlihat jelas sehingga Sufian lah yang meminta perempuan itu menunduk selama perjalanan agar tak ada siapapun yang menyadari lalu beranggapan aneh. Perih sekali hatinya ketika diminta berbohong seperti itu padahal Sifa ingin berteriak menjerit mengeluarkan bahwa apa yang sesungguhnya ia terima dari sang suami itu sangat menyakitkan.Kiai dan istri sedang sarapan di meja makan, sesekali terselip canda sehingga tawa pun pecah. Saat pintu terbuka dan melihat Sufian bersama putri mereka datang dengan raut wajah tak mengenakan, Umi beranjak menghampiri mereka di ruang tengah. Pun dengan Abi, dibantu tongkatnya yang kuat, kakinya ikut dilangkahkan meninggalkan meja makan. Dilihatnya Sufian yang sudah duduk itu berdiri sejenak karena kedatangan sang kiai."Ada apa ini, Yan?" Kiai men
Dengan bahasa yang begitu mudah dimengerti dan tidak terfokus pada kesalahan diri, Umi berhasil menjelaskan pada Sufian mengenai bertemunya mereka di panti asuhan kala itu. Lantas, dengan bahasa yang baik pula istrinya pak atasan menjelaskan dengan tangis yang berderai-derai bagaimana dahulu dirinya amat menyesal karena sudah menitipkan Sufian di panti asuhan ketimbang mengasuhnya langsung. Meski begitu tetap saja Umi memuji keberanian ibu kandung Sufian untuk menitipkan anaknya ketimbang harusa mengakhiri hidupnya.Dalam kasus kerumitan hubungan darah tersebut, Sifa yang merasa paling terpojok karena seolah-olah sengaja menyembunyikan semuanya dari Sufian supaya laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Sedikitnya Sifa tertohok oleh ucapan Sufian yang mengatakan kalau ia bagai tak dianggap suami sebab apapun yang Sifa anggap penting tak pernah berusaha dibagi. Fakta sebesar itu pun Sifa simpan seorang diri.Selesai pertemuan itu diakhiri dengan pelukan dan salaman persaudaraan dengan harapan
Sesuai permintaan pak atasan, Sifa sudah berhasil membawa Sufian untuk mampir makan di restoran keinginannya dengan alasan ingin rayakan perpisahan dengan dunia kerja. Sufian juga memaklumi bagaimana Sifa menceritakan amat sedihnya berpisah dengan orang-orang baik di tempat kerjanya. Tiba-tiba saja Sufian tersenyum ramah menyambut kedatangan pak atasan beserta istrinya yang berjalan ke arah meja mereka. Sifa pun segera menyarankan Sufian agar mereka bergabung saja untuk makan siang kali itu. Tiada kecurigaan dalam diri Sufian sehingga senang hati saja ia setuju.Menjelang makanan di piring Sufian habis, pak atasan memanggil namanya dengan sopan sebagaimana biasa. Sifa terlihat lebih gugup daripada kedua orang tua Sufian yang akan menjelaskan fakta di detik selanjutnya. Melihat sang istri agak murung, Sufian lekas menggenggam tangan perempuan itu lalu mengangguk sekilas seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Sifa tidak tahu harus dengan cara apa ia mengatakan kalau hari ini bu
Sifa memasuki restoran sebagaimana biasa untuk bisa menjadi salah satu pekerja yang baik. Sebelum memulai semuanya ia lebih dahulu mengecek perlengkapan dapur, bahan baku produksi, dan juga kebersihan di sana. Setelah dirasa cukup baik maka ia hanya menatap kosong area dapur tersebut sembari menunggu yang lain datang. Ia berjanji akan merindukan suasana itu suatu saat nanti. Sekarang adalah hari terakhir Sifa bekerja di sana karena nanti saat jam istirahat maka ia akan menemui pak atasan untuk mengajukan surat pengunduran diri. Pekerjaannya sebagai mahasiswa kerap membuat Sifa kewalahan jika harus sambil bekerja juga, sebagaimana saran Sufian. Dirinya juga sudah meminta pendapat Ratih dan gadis itu pun menyarankan hal demikian sama dengan Sufian supaya berhenti saja bekerja.Hari ini Sifa habiskan semangatnya untuk bekerja, sebab ia tahu betul mulai besok tak akan pernah datang lagi ke tempat itu, tak akan bertemu teman kerjanya yang baik-baik, lalu perlahan pun ia akan tergantikan o