"Dia masih kecil, bimbing dia dengan kelembutan dan jangan dengan cara kasar. Kamu ingat bagaimana Rasulullah mendidik istri kecilnya Sayyidah Aisyah, bukan? Anggaplah sekarang ini kamu sedang berusaha meneladani Baginda Rasulullah sehingga itu menjadi ladang pahala untuk kamu."
Sufian tertegun sebelum akhirnya menutup sambungan telepon dengan abinya. Ia sadar akan sikap ia yang begitu keras terhadap Sifa. Bahkan api pun tidak dapat dipakai untuk memadamkan api, kan? Maka Sufian segera meletakkan ponsel di meja lantas keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Sifa. Sudah tengah malam tetapi gadis itu belum juga kembali."Dia ada di mana sekarang?" gumamnya mulai mencari.Sufian sudah memutari hampir seluruh ruangan rumah demi mencari istrinya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Sifa. Sufian melangkah ke teras sembari terus mencari-cari barangkali Sifa menenangkan dirinya dalam kegelapan di sana, tapi tak juga ditemukan gadis itu di sekitaran rumah.Sufian terlonjak ketika pundaknya ditepuk oleh seseorang. Taufik menatapnya dengan penuh arti sebab kakak Sifa itu mengetahui masalah yang dialami teman sekaligus adik iparnya dan ia sempat melihat Sifa keluar dari rumah saat pertama kali keluar kamar. Dalihnya, Sifa hendak ke warung sebelah."Aku akan susul dia, terima kasih, Fik. Hm, maksudnya terima kasih, Kakak Ipar!" Sufian meralat ucapan sebelum bergegas.Langkah Sufian berubah menjadi lari kecil. Ia menyusuri jalanan gelap untuk sampai di masjid terdekat. Instingnya mengatakan bahwa gadis itu tidak mungkin pergi ke tempat jauh terlebih dahulu karena Sufian pun tak yakin Sifa seberani itu. Bibirnya membentuk senyum kecil saat melihat sebuah sandal perempuan di batas suci masjid. Sufian hendak masuk tetapi ia urungkan langkahnya saat mendengar isak tangis dari dalam. Benar, Sifa ada di sana."Ya Allah, aku memang selalu berdoa padamu jika aku mau jodoh yang paham agama, tapi kali ini aku merasa gak pantas ... aku marah Ya Allah ... yang aku mau itu muridnya, bukan gurunya Ya Allah ... kenapa?"Sufian memilih berdiri di batas pemisah antara laki-laki dan perempuan. Ia mendengarkan setiap ucapan yang Sifa lontarkan di sela tangisannya."Aku bukan perempuan baik, aku juga malu Ya Allah ...." Selanjutnya ucapan Sifa tak dapat terdengar jelas karena tangisnya memuncak.Sufian mengerti mengapa gadis itu sangat marah padanya—bahkan pada keluarga. Sifa mencintai Azam dan ingin hidup bahagia dengan lelaki pujaannya. Namun mau bagaimanapun, pernikahan mereka bukan atas dasar cinta melainkan atas dasar saling mematuhi keinginan orang tua. Sufian sendiri rela mengorbankan hidupnya demi mempertahankan senyum di wajah kedua orangtuanya. Sekarang bukan hanya Sifa yang tersakiti tapi juga Sufian."Ya Allah, aku juga kabur dari rumah," lirih suara Sifa kembali terdengar.Sufian tersenyum mendengar kalimat itu. Bisa-bisanya Sifa mengadu bahwa dia sedang kabur."Maaf." Sufian sengaja menampakkan dirinya sehingga Sifa cepat menghapus air matanya dengan jilbab. "Kamu terlalu banyak menangis, Sifa, sudah jangan menangis lagi!"Sifa menunduk penuh rasa bersalah. Dirinya sekarang sadar bahwa yang ia lakukan tidak lebih dari sikap yang kekanak-kanakan. Ia pergi dari rumah saat tengah malam dan tanpa izin orangtua maupun lelaki yang sudah sah menjadi suaminya. Namun tetap saja tak dapat dipungkiri bahwa ia marah."Ayo pulang?" ajak Sufian.Gadis itu menggeleng cepat. "Aku gak mau pulang, Ustaz.""Alasannya?""Aku ... aku gak mau marah sama bapak sama ibu, aku gak mau mereka cemas dengan kemarahanku, aku gak bisa tenang tiap lihat mereka. Aku marah!" Sifa terus memandang sejadah di bawahnya setiap menjawab Sufian."Besok kamu gak akan bertemu mereka lagi, jadi ayo pulang?"Sifa menangkap bola mata suaminya itu dengan terkejut seolah ingin berteriak mengatakan 'apa maksudmu bilang begitu?'Sufian mengangguk. "Besok kita akan pulang ke rumah kita. Kamu bisa tenangkan diri di sana selama yang kamu mau," jelas Sufian.Sifa menunduk kembali, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Setelah semua yang terjadi rasanya Sifa belum bisa menerima jika itu bukan mimpi. Sifa ingin segera bangun dari mimpi buruknya.Sekarang Sifa telah duduk kembali di tempat tidurnya dengan lesu. Sufian datang membawakan makanan karena tahu jika gadis itu belum kunjung mengisi perutnya sejak tadi siang."Kenapa Ustaz peduli padaku?"Sufian mengangkat bahu. "Jangan beranggapan lebih. Saya gak mau kamu sakit karena besok kamu akan saya bawa pulang. Saya gak mau repot di sana."Sifa mulai menyentuh makanannya meski tak ada selera sama sekali. Sufian yang masih berdiri di tempat segera mengambil karpet dan bantal lantas menggelarnya di lantai karena memang di kamar tersebut tidak ada sofa."Ustaz kenapa tidur di sana? Di sini saja!" tegur Sifa sebab tak bisa melihat gurunya tidur hanya beralaskan karpet sementara dirinya di atas kasur."Memangnya kamu mau tidur dengan saya?""Eh, bu-bukan begitu, Ustaz. Ustaz bisa tidur di sini dan biar aku yang tidur di sana," ralat Sifa mendadak gugup."Habiskan saja makanannya dan tidur, besok kita akan pulang pagi-pagi." Sufian segera meringkuk di bawah sana meninggalkan Sifa yang masih dengan raut terkejut.Sifa tidak bisa tidur semalaman. Ia terus melihat ke arah Sufian karena cemas. Sifa juga merasakan situasi tidak biasa karena di kamarnya terdapat seorang laki-laki asing yang lebih tepatnya gurunya sendiri. Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Daripada hanya tiduran, Sifa memilih beranjak untuk melaksanakan shalat malam.Sufian pun tak dapat tidur semalaman dan hanya berzikir dalam diam. Ia menyadari saat ranjang berdecit karena Sifa beranjak dan membuka pintu kamar untuk keluar. Ia ikut beranjak untuk memastikan kepergian gadis itu bukanlah tanda bahaya.Sifa berteriak saat keluar dari kamar mandi yang terletak di luar rumah, mendapati Sufian berdiri di samping pintu dengan wajah yang datar. Untung saja Sufian segera membungkam mulutnya sehingga teriakan itu tak berujung keributan warga sekitar."Ma-maaf, Ustaz." Sifa bergegas hendak masuk ke rumah."Kamu wudhu, Fa?" Menyadari tangannya basah, Sufian baru mengangguk saat Sifa membenarkan tebakannya. "Wudhu lagi dong, barusan kan kena saya," tegur Sufian."Oh iya." Sifa berkata pelan lalu kembali ke kamar mandi.Seolah sedang bermain akting di film horor atau justru mereka ditakdirkan untuk melakukan adegan seperti di film romantis, seluruh lampu padam dan tentu saja hal itu membuat Sifa sangat terkejut. Dengan spontan Sifa menggandeng lengan Ustaz Sufian begitu erat dengan matanya terpejam."Sudah, Fa, ini saya bawa HP, kamu wudu dan saya senter dari sini," usul Sufian."Aku takut!" tolak Sifa."Kamu mau nempel terus begini di sini sampe subuh? Apa kata orang?"Sifa menyadari kesalahannya. Ia menyanggupi saran Sufian sehingga kembali masuk untuk mengambil wudhu. Ketika jilbabnya akan dilepas, ketika itu pula Sifa menatap lagi kepada lelaki di luar dengan ragu."Saya suami kamu, kamu lupa juga?" Lama-lama Sufian harus jadi alarm pengingat untuk Sifa tampaknya. "Saya juga mau wudhu, kamu keluar dulu sini!" Sufian memberikan ponselnya dan hendak menutup pintu toilet selepas ia masuk."Eh kenapa ditutup?""Saya mau buang hajat, kamu mau tetap di sana nontonin saya, gitu?""Eng-nggak gitu, Ustaz," lirih Sifa menunduk dalam.Sifa menunggu Sufian selesai sembari sesekali memandang ke atas, ke langit malam yang dipenuhi taburan bintang. Sifa terus menunggu sampai tangannya sengaja menekan tombol on-off pada ponsel tersebut. Alhasil ia melihat foto seorang perempuan yang selama ini dipakai sebagai walpaper di layar kunci ponsel Sufian."Ustazah Halima," gumam Sifa kemudian secepatnya menutup kembali ponsel itu karena Sufian sudah membuka pintu."Ayo!"Lamunan Sifa langsung pecah dan seketika tangannya menjadi gemetar. "Bagaimana bisa Ustaz Sufi menikahi aku sedangkan di hatinya sendiri ada perempuan yang dia cintai? Perempuan yang lebih baik dibanding dengan aku?" batin Sifa selama melangkah bersama Sufian memasuki rumah.Selesai shalat malam, keduanya kembali pada tempat tidur masing-masing. Sifa semakin tak dapat tidur apalagi dalam gelapnya ruangan, sedangkan Sufian mulai dapat merangkul kenyenyakan sebab ia terbiasa tidur dengan lampu dimatikan. Mereka persatuan antara tim tidur dengan lampu padam dan tim tidur dengan lampu menyala.Sekitar pukul 03.30 lampu kembali menyala. Secepat mungkin Sifa menekan stop kontak di kamarnya agar tidur Sufian tidak terganggu. Itu dilakukan sebagai bentuk taatnya kepada seorang guru, bukan kepada seorang suami."Bangun, shalat subuh!"Sifa membuka matanya kemudian menggeliat meregangkan otot-otot tangan. Ketika ia benar-benar membuka mata, Sufian ternyata sedang berdiri di depan cermin sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. Tampaknya lelaki itu suka sekali mematut diri di cermin kamar Sifa."Ustaz habis mandi?" tanya Sifa yang masih berusaha mengumpulkan nyawa."Kamu juga belum mandi dari kemarin, kan? Sana mandi!"Sifa mengangguk setuju. Sejak kemarin ia memang belum mandi. Ketika baru saja keluar kamar hendak ke kamar mandi ia berpapasan dengan Taufik yang sudah siap menuju masjid menunggu azan subuh. Melihat adiknya membawa handuk, Taufik tersenyum."Kakang mau ke masjid kok, pengantin baru emang harus mandi pagi ya biar seger!" ejek Taufik sengaja.Sifa tak menghiraukan ucapan kakaknya. Ia langsung melengos begitu saja untuk segera mandi sebelum semua keluarga mencurigainya yang tidak-tidak. Taufik mengetuk pintu kamar Sifa untuk mengajak Sufian ke masjid bersama. Saat pintu dibuka menampakkan Sufian dengan rambut yang klimis, Taufik tersenyum lagi sama seperti senyum yang ia tampakkan kepada Sifa."Habis mandi subuh-subuh, seger ya?" Basa-basi yang terlampau basi bagi pendengaran Sufian.Setelah selesai berkemas pakaian, Sifa dan Sufian keluar dari kamar secara bersamaan. Di ruang keluarga sudah ada orangtuanya yang menatap mereka dengan sendu karena Sifa akan pergi jauh. Terutama tatapan Ibu. Sejak obrolan pagi tadi mengenai pulangnya mereka, Ibu seolah kehilangan semangat dalam hal apapun."Kamu bener mau ninggalin Ibu, Fa?" Akhirnya pertanyaan itu keluar."Bukan begitu, Bu, aku cuma ...." Sifa menoleh sebentar pada suaminya yang berdiri di samping dan langsung mendapat anggukan kecil. " Ustaz Sufi kan guru para santri, gak mungkin kami terus di sini," jawab Sifa sambil menunduk. Sebenarnya ia juga sedih meninggalkan rumah tapi kesedihan yang dirasakan bercampur dengan marah.Ibu merangkul tubuh kecil Sifa untuk dipeluk. Keduanya larut dalam tangis perpisahan. Pun sebagai Bapak yang sudah lepas tanggungjawab pada putrinya, Bapak terlihat lebih tegar menahan diri agar tak menumpahkan tangis di hadapan orang-orang.Selepas acara pamitan, Sifa dan Sufian mulai menaikkan
Sufian memasak sarapan pagi pertama di rumah baru. Melihat giatnya sang tuan, Pak Maman yang baru datang langsung menghampiri sambil sesekali menggoda ustaz mudanya. Rumah Pak Maman tidak jauh dari pondok pesantren pun dari rumah Sufian, cukup mudah baginya pulang pergi saat bekerja."Kamu cari pembantu aja A, buat masak sama beberes rumah, biar kamu bisa fokus dapetin hati istri!" celetuk Pak Maman."Nggak ah, Pak, nanti kalo pembantunya perempuan takut suka sama saya, kalo pembantunya laki-laki takut suka sama istri saya," jawab Sufian membalas candaan."Kamu ini ada-ada saja!""Serius, Pak, secara kan Pak Maman juga tau saya ini ganteng toh?" Sufian melontarkan candaan lain.Tawa keduanya menggema di dapur sehingga Sifa yang hendak membersihkan ruang tengah segera menghampiri sumber suara. Ia mendapati Sufian tengah memasak sendirian sebab Pak Maman sudah keluar untuk memanaskan mesin mobil."Ustaz?" panggil Sifa dengan nada heran. Rasanya tadi ia mendengar suara tawa dari dapur. "
"Duduk saja dulu, ada yang mau saya bicarakan!" titah Sufian sementara dirinya berjalan menuju lemari untuk memilih baju. Sifa terduduk takut di sana tapi tak bisa menolak keinginan lelaki itu. Setelah mereka kembali duduk bersampingan, Sufian meminta Sifa tidak berpikir macam-macam. Lagi pula Sufian tak berniat menyakiti atau melakukan hal yang ditakutkan gadis itu."Tadi aku bicara dengan Abi, mengenai obrolan kita tadi pagi." Kalimat tersebut keluar dari mulut Sufian.Sifa hanya menundukkan kepalanya sebab malu sudah bertanya lancang mengenai hal itu. Namun, ia merasa berhak tahu apalagi setelah ia menyadari kalau Sufian sama sekali tak tahu perkara balas budi di balik pernikahan itu."Saya di sini sebagai orang yang akan menyampaikan kebenaran walau sebenarnya pahit. Abi bilang, keluargamu menyerahkan putrinya untuk dinikahkan denganku karena keluarga Abi sudah membiayai kamu sejak kecil." Sufian merasakan lidahnya kelu karena tatapan Sifa kali ini tampak menahan bulir bening yang
Sufian dan Sifa melangkah bersampingan sore itu. Mereka hendak mengunjungi rumah kiai karena Abi terkhusus Umi ingin sekali melihat Sifa secara langsung pasca pernikahan berlangsung. Ya, meski sebenarnya Sufian sempat habis-habisan membujuk Sifa untuk mau datang ke sana. Sifa mengenakan gamis hitam saat itu, sama seperti warna kemeja yang dikenakan suaminya. "Ustaz, aku takut," ungkap Sifa ketika selangkah lagi mereka menuju gerbang masuk area rumah yang diapit oleh masjid dan pondok pesantren."Takut siapa? Takut dilihat Azam?" tebak Sufian.Sifa menunduk dan diam. Benar seperti yang dikatakan Sufian bahwa Sifa takut Azam akan melihatnya berjalan bersama lelaki yang tak lain adalah ustaznya sendiri. Sifa tak bisa bayangkan perasaan Azam nanti. Tiba-tiba saja Sufian meraih tangan Sifa untuk digenggamnya erat. "Gak usah takut. Bismillah saja," kata Sufian yang berhasil membuat Sifa kembali yakin.Keduanya berjalan kaki memasuki area rumah kiai yang berada di tengah-tengah pondok, lebi
"Salah satu saudari kita yaitu Sifa Nurul Azizah sudah boyong dari pesantren, saya harap kalian masih bersemangat belajar di sini terutama teman-teman dekatnya," ucap Halima sebagai kalimat pembuka sebelum mengajar para santri di malam hari itu.Dia baru kembali mengajar setelah terserang demam dua hari sehingga malam ketika kiai mengumumkan pernikahan Sufian maka dirinya tidak tahu. Sekarang dia sudah membuka lembaran kitab untuk dikaji bersama."Ustazah, tadi sore saya lihat Sifa bersama suaminya datang kemari!" seru seorang santri mengangkat tangan."Iya begitu? Dia tidak menemui saya kok, dia sudah menikah ya? Bukannya Sifa baru lulus dari sekolah?" Halima mendadak gelisah serta penasaran."Dia tadi langsung ke rumah kiai, Ustazah!""Meminta restu mungkin, ya?" tebak Halima lagi masih setengah tidak percaya."Iya, sekaligus saja mungkin bertemu mertua. Kelihatannya sekarang pun mereka menginap di sana.""Apa? Mertua siapa? Maksud kalian ini siapa yang menikah sih?" tanya Halima bi
"Jangan takut, aku ada di sini," ucap Sufian berusaha menenangkan gadis yang memeluk erat lengannya dan masih berdiri di belakangnya.Sufian tadinya hendak mengerjai gadis itu dengan dalih menakut-nakuti, tetapi Sifa justru takut secara betulan. Tidak ada momen menyenangkan bagi Sufian selain malam ini yang mana ia bisa merasakan kehadiran Sifa sangat dekat dengannya."Ustaz, barusan itu ada apa? Dan kenapa bisa mati lampu sih kan jadinya nyeremin gini!" gerutu Sifa masih dengan posisi di dekat Sufian bahkan dengan mata terpejam.Pegangan terhadap lengan lelaki itu mulai melonggar tetapi Sufian tak membiarkannya terjadi. Ia menarik Sifa untuk mendekap dalam pelukannya dan gadis itu hanya menurut tanpa curiga bahwa mati lampu hanyalah alasan di balik kejailan Sufian. Sufian terus mendekap tubuh Sifa tanpa mendengar komplain, sehingga ia tak ingin merusak momen dengan bertanya atau bicara. Hanya detak jantung yang bisa ia rasakan mulai mengencang."Astaghfirullah!" Sifa mendorong Sufian
Di meja makan keluarga kiai sedang menikmati sarapan. Sifa sebagai anggota keluarga baru juga sudah sangat menyiapkan diri sejak subuh dibantu Sufian agar yakin untuk percaya diri berkumpul dan melaksanakan sarapan bersama. Kiai rupanya begitu memperhatikan raut wajah menantunya yang murung sejak turun bergabung ke meja makan. Untuk itu kiai menghentikan beranjak tanpa menghabiskan alas yang Umi tambahkan."Loh, Bi? Mau kemana buru-buru?""Abi kurang enak badan, sepertinya istirahat sebentar bisa membantu. Sufian, selesai sarapan nanti temui abi di ruangan ya," titah kiai."Mau dibuatkan teh jahe sekarang, Bi?" tawar umi."Jangan, nanti saja."Beberapa menit selepas kiai bergegas, bahkan mungkin baru saja kiai tiba di pintu masuk ruangannya, Sufian sudah meneguk air minum tanda sarapannya juga selesai. Melihat itu tentu Sifa menjadi bingung, pasalnya isi piring ia masih cukup banyak serta tak mungkin harus pergi sebelum makanannya habis."Jangan buru-buru, aku mau nyusul abi siapa tah
Sifa bergegas mengambil pakaian kotor miliknya di kamar setiba di rumah. Akan tetapi Sufian melarangnya mencuci saat itu juga. Mereka belum menyediakan mesin cuci yang menyebabkan Sifa harus menggosok pakaian secara manual. Namun sebenarnya itu bukan masalah besar bagi Sifa, karena sudah terbiasa melakukannya selama tinggal di pondok."Duduk dulu, aku mau bicarakan hal penting!" ajak Sufian menepuk sofa di sampingnya.Sifa menaruh pakaian kotor di keranjang kemudian duduk di samping sang suami untuk mendengarkan pembicaraannya. "Aku bawa kabar baik buat kamu," tegur Sufian menyadari gurat kegelisahan di wajah Sifa sejak duduk di sampingnya."Kabar gembira? Ada apa? Apa kita akan bercerai?" Plak! Sufian menepuk dahi lalu menggelengkan kepala dengan sedikit tertekan. Selalu saja Sifa membahas perceraian."Maaf, Ustaz, terus kabar baik apa?" toyor gadis itu bertambah penasaran."Kamu mau kuliah kan?" tanya Sufian.Sifa memandang lelaki di sampingnya yang baru saja mengajukan pertanyaan
"Aku yang salah, aku yang salah, Sifa ... aku yang salah!" Azam menunduk dengan kedua tangan memegangi kepala. Betapa menyesal Azam sudah berusaha mempercayakan kehidupan perempuan tercintanya kepada seorang yang ternyata justru tidak berniat sungguh-sungguh membangun rumah tangga dengan baik. Azam kira Sufian ingin menjadi panutan terbaik tapi nyatanya harapan itu tiada."Seharusnya aku ikuti apa kata hatiku dulu, Sifa, seharusnya aku berusaha keras merebutmu dari tangan Ustaz Sufi, seharusnya aku percaya pada hatiku, seharusnya begitu!" Kedua mata laki-laki itu menyorot tajam ke arah meja, tiada objek yang ia sedang pandang sebab pandangannya ialah kosong. Amarah begitu tampak di kedua bola matanya.Azam tidak ingin mendengar Sifa bicara walau sebuah pembelaan atas pernikahan yang terjadi. Perempuan itu masih ada dalam hatinya, masih menjadi belahan jiwanya, maka saat ini yang diinginkan Azam hanya mencarikan jalan keluar agar masalah yang sedang menerpa Sifa segera menemukan akhir.
Sifa menunduk selama turun dari tangga, ia sangat sadar kalau sekarang dirinya sedang dijadikan satu-satunya objek pandang bagi laki-laki bukan mahram yang sedang duduk di sofa. Tak perlu waktu lama, Sifa segera berdiri dan menatap laki-laki itu dengan berani. Sebenarnya ia terpaksa memberanikan diri.Azam ikut berdiri kala itu lantas menyerahkan sebuah amplop putih yang tak Sifa ketahui isinya. Namun, dalam benaknya langsung terpikir bahwa sepertinya ia dapat undangan pernikahan yang spesial. Ekslusif khusus untuknya seorang. "Aku tidak akan banyak bicara di sini, aku cukup tahu diri, aku juga tidak yakin kamu akan datang memenuhi undanganku itu, tapi aku harap kamu tidak terburu-buru dan melihatnya secara dengan pandangan yang baik. Jangan buang surat itu, aku mohon, sekali ini saja penuhi keinginanku walau untuk yang terakhir kalinya atau walau kamu tidak ikhlas. Sekali ini. Aku pamit sekarang, sudah terlanjur malam, istirahatlah."Ketika langkah laki-laki itu sudah memunggungi Si
Azam. Laki-laki itu mengerti akhirnya bahwa apa yang dikatakan Sufian itu bukan semata canda. Permata yang dipinjam sudah dikembalikan ialah Sifa. Sifa yang pernah menjadi permatanya dan tak disangka akan diijab kabul oleh guru sendiri. Azam hendak melangsungkan pernikahan karena keinginannya untuk melupakan Sifa. Deretan nama perempuan yang disuguhkan oleh orang tuanya di rumah membuat Azam bingung memilih karena yang dicari bukan lagi soal cantik tapi soal seberapa pandai ia membuatnya tertarik.Ketika seorang perempuan yang dikiranya akan mampu membuat hati Azam tertarik telah hadir, yang didapat justru adalah peluang untuk mendapatkan kembali versi asli dari yang diinginkan. Sifa Nurul Azizah. Sejak lama Azam dan Sifa selalu berbalas surat karena amat tertarik satu sama lain. Namun, surat yang terbalas rupanya tak menjamin akan membawa mereka ke pernikahan. Keduanya terpisah oleh perjodohan kala itu.Azam sebenarnya pernah beranikan diri meminta Sifa pada kiai, tapi belum sempat m
Abi dan Umi setuju untuk menyembunyikan status Sifa yang sebenarnya dari publik. Mereka akan berupaya bersikap seolah menganggap Sifa sebagai menantu saja terutama di hadapan para santri yang mana tak ada yang tahu kebenaran bahwa Sifa adalah putri kandung mereka. Hari itu bahkan dua kakaknya datang untuk mendengarkan apa yang ingin kiai sampaikan tentang Sifa dan masalah yang menerpa. Dua kakaknya yang semula tidak percaya pun segera bergantian memberikan kalimat penguat untuk adik kecil mereka yang di usia belia sudah menjadi perempuan yang berpisah dari suami.Rutinitas Sifa di sana kian bertambah menyesuaikan seperti ikut membantu mengajar atau membantu para pengurus membuat dan menyiapkan suatu acara jika waktu kuliahnya sedang senggang. Sifa pun kian menjadi dekat dengan Halima yang mana tak tahu soal Sufian sebab sudah lama tak juga saling berhubungan. Halima percaya saja saat Sifa mengatakan kalau suaminya melanjutkan kuliah di luar negeri karena beberapa alasan dan masih seri
"Jangan pergi, Aa ...."Umi tiba-tiba mendorong tubuh Sufian yang mendekapnya hingga tubuh pemuda itu terdorong sepenuhnya ke belakang. Ia juga menarik Sifa agar tak mendekat pada laki-laki yang sudah bukan suaminya lagi. Sufian segera berdiri mengikuti Umi yang kini memandangnya marah. Sifa berusaha menenangkan Umi untuk tidak menyakiti Sufian, meski dirinya sangat hancur karena diceraikan tapi ternyata hati Umi jauh lebih hancur melihat putrinya disakiti oleh orang yang dianggap putranya sendiri."Dia tidak seperti orang berhati!" tegas Umi begitu marah."Jangan mengutuk apapun untuknya, Umi, jangan, aku mohon ...."Syukur momen menegangkan itu berakhir segera oleh hadirnya Abi yang menarik Sufian dari para perempuan di kamar itu yang terus saja menuntut. Abi meminta Sufian untuk segera berangkat saja meninggalkan tempat itu karena jika tetap tinggal maka semuanya tak akan pernah selesai. Setelah keluar dari kediaman kiai lantas baru beberapa langkah Sufian menjauh, sebuah derap lan
Sufian melangkah lebih dahulu dengan agak tergesa-gesa, di belakangnya Sifa mengikuti dengan kepala yang menunduk tak wajar seolah sepanjang jalan yang terpenting berada di bawah. Bekas tangis di matanya masih terlihat jelas sehingga Sufian lah yang meminta perempuan itu menunduk selama perjalanan agar tak ada siapapun yang menyadari lalu beranggapan aneh. Perih sekali hatinya ketika diminta berbohong seperti itu padahal Sifa ingin berteriak menjerit mengeluarkan bahwa apa yang sesungguhnya ia terima dari sang suami itu sangat menyakitkan.Kiai dan istri sedang sarapan di meja makan, sesekali terselip canda sehingga tawa pun pecah. Saat pintu terbuka dan melihat Sufian bersama putri mereka datang dengan raut wajah tak mengenakan, Umi beranjak menghampiri mereka di ruang tengah. Pun dengan Abi, dibantu tongkatnya yang kuat, kakinya ikut dilangkahkan meninggalkan meja makan. Dilihatnya Sufian yang sudah duduk itu berdiri sejenak karena kedatangan sang kiai."Ada apa ini, Yan?" Kiai men
Dengan bahasa yang begitu mudah dimengerti dan tidak terfokus pada kesalahan diri, Umi berhasil menjelaskan pada Sufian mengenai bertemunya mereka di panti asuhan kala itu. Lantas, dengan bahasa yang baik pula istrinya pak atasan menjelaskan dengan tangis yang berderai-derai bagaimana dahulu dirinya amat menyesal karena sudah menitipkan Sufian di panti asuhan ketimbang mengasuhnya langsung. Meski begitu tetap saja Umi memuji keberanian ibu kandung Sufian untuk menitipkan anaknya ketimbang harusa mengakhiri hidupnya.Dalam kasus kerumitan hubungan darah tersebut, Sifa yang merasa paling terpojok karena seolah-olah sengaja menyembunyikan semuanya dari Sufian supaya laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Sedikitnya Sifa tertohok oleh ucapan Sufian yang mengatakan kalau ia bagai tak dianggap suami sebab apapun yang Sifa anggap penting tak pernah berusaha dibagi. Fakta sebesar itu pun Sifa simpan seorang diri.Selesai pertemuan itu diakhiri dengan pelukan dan salaman persaudaraan dengan harapan
Sesuai permintaan pak atasan, Sifa sudah berhasil membawa Sufian untuk mampir makan di restoran keinginannya dengan alasan ingin rayakan perpisahan dengan dunia kerja. Sufian juga memaklumi bagaimana Sifa menceritakan amat sedihnya berpisah dengan orang-orang baik di tempat kerjanya. Tiba-tiba saja Sufian tersenyum ramah menyambut kedatangan pak atasan beserta istrinya yang berjalan ke arah meja mereka. Sifa pun segera menyarankan Sufian agar mereka bergabung saja untuk makan siang kali itu. Tiada kecurigaan dalam diri Sufian sehingga senang hati saja ia setuju.Menjelang makanan di piring Sufian habis, pak atasan memanggil namanya dengan sopan sebagaimana biasa. Sifa terlihat lebih gugup daripada kedua orang tua Sufian yang akan menjelaskan fakta di detik selanjutnya. Melihat sang istri agak murung, Sufian lekas menggenggam tangan perempuan itu lalu mengangguk sekilas seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Sifa tidak tahu harus dengan cara apa ia mengatakan kalau hari ini bu
Sifa memasuki restoran sebagaimana biasa untuk bisa menjadi salah satu pekerja yang baik. Sebelum memulai semuanya ia lebih dahulu mengecek perlengkapan dapur, bahan baku produksi, dan juga kebersihan di sana. Setelah dirasa cukup baik maka ia hanya menatap kosong area dapur tersebut sembari menunggu yang lain datang. Ia berjanji akan merindukan suasana itu suatu saat nanti. Sekarang adalah hari terakhir Sifa bekerja di sana karena nanti saat jam istirahat maka ia akan menemui pak atasan untuk mengajukan surat pengunduran diri. Pekerjaannya sebagai mahasiswa kerap membuat Sifa kewalahan jika harus sambil bekerja juga, sebagaimana saran Sufian. Dirinya juga sudah meminta pendapat Ratih dan gadis itu pun menyarankan hal demikian sama dengan Sufian supaya berhenti saja bekerja.Hari ini Sifa habiskan semangatnya untuk bekerja, sebab ia tahu betul mulai besok tak akan pernah datang lagi ke tempat itu, tak akan bertemu teman kerjanya yang baik-baik, lalu perlahan pun ia akan tergantikan o