Di meja makan keluarga kiai sedang menikmati sarapan. Sifa sebagai anggota keluarga baru juga sudah sangat menyiapkan diri sejak subuh dibantu Sufian agar yakin untuk percaya diri berkumpul dan melaksanakan sarapan bersama. Kiai rupanya begitu memperhatikan raut wajah menantunya yang murung sejak turun bergabung ke meja makan. Untuk itu kiai menghentikan beranjak tanpa menghabiskan alas yang Umi tambahkan."Loh, Bi? Mau kemana buru-buru?""Abi kurang enak badan, sepertinya istirahat sebentar bisa membantu. Sufian, selesai sarapan nanti temui abi di ruangan ya," titah kiai."Mau dibuatkan teh jahe sekarang, Bi?" tawar umi."Jangan, nanti saja."Beberapa menit selepas kiai bergegas, bahkan mungkin baru saja kiai tiba di pintu masuk ruangannya, Sufian sudah meneguk air minum tanda sarapannya juga selesai. Melihat itu tentu Sifa menjadi bingung, pasalnya isi piring ia masih cukup banyak serta tak mungkin harus pergi sebelum makanannya habis."Jangan buru-buru, aku mau nyusul abi siapa tah
Sifa bergegas mengambil pakaian kotor miliknya di kamar setiba di rumah. Akan tetapi Sufian melarangnya mencuci saat itu juga. Mereka belum menyediakan mesin cuci yang menyebabkan Sifa harus menggosok pakaian secara manual. Namun sebenarnya itu bukan masalah besar bagi Sifa, karena sudah terbiasa melakukannya selama tinggal di pondok."Duduk dulu, aku mau bicarakan hal penting!" ajak Sufian menepuk sofa di sampingnya.Sifa menaruh pakaian kotor di keranjang kemudian duduk di samping sang suami untuk mendengarkan pembicaraannya. "Aku bawa kabar baik buat kamu," tegur Sufian menyadari gurat kegelisahan di wajah Sifa sejak duduk di sampingnya."Kabar gembira? Ada apa? Apa kita akan bercerai?" Plak! Sufian menepuk dahi lalu menggelengkan kepala dengan sedikit tertekan. Selalu saja Sifa membahas perceraian."Maaf, Ustaz, terus kabar baik apa?" toyor gadis itu bertambah penasaran."Kamu mau kuliah kan?" tanya Sufian.Sifa memandang lelaki di sampingnya yang baru saja mengajukan pertanyaan
Setelah puas bercerita panjang lebar seharian mengenai kehidupan barunya kepada sang ibu, Sifa dapat merasakan sedikit perasaan lega. Gadis itu turun langsung ke dapur untuk ikut menyiapkan makan malam sembari menyambut para lelaki yang habis pulang dari masjid. Sesekali ia dibercandai oleh sang kakak ipar alias istrinya Taufik mengenai hubungan romantisme pernikahan."Ibu gak nyangka suamimu itu sangat memperlakukan kamu dengan lembut, kelihatan dari wajahnya sih dia begitu tegas!" ucap Ibu.Kakak ipar Sifa juga mengangguk menyetujui kalimat Ibu. "Dari wajahnya kelihatan tegas banget ya, bener kata Ibu."Sifa terkekeh pelan sembari terus memotongi sayuran. "Beliau memang tegas, Bu, Teh. Galak juga waktu aku masih jadi muridnya, sering dapat hukuman aku di pondok waktu itu. Hanya saja saat bersamaku di rumah sebagai suami, perilakunya berubah banget.""Bersyukur kamu, Nak," sahut Ibu.Sifa mengangguk saja. Ada rasa aneh tersirat dalam benaknya sebab kali ini timbul keraguan yang entah
Sifa dan Sufian kembali ke rumah setelah melakukan perjalanan dari rumah orang tua Sifa. Mereka terlihat sudah seperti pasangan keluarga bahagia karena sehari semalam begitu dekat dan lebih sering berinteraksi meski hanya melalui obrolan kecil. Sementara di rumah itu mereka kembali menjadi saling kaku.Sufian langsung masuk kamar untuk membersihkan diri agar tak begitu gerah, sedangkan Sifa menuju dapur untuk menyiapkan kopi dan sedikit cemilan untuk suaminya. Sifa tidak menemukan gula di mana-mana sehingga ia ingat masih ada uang yang dimiliki dan cukup untuk membeli gula. Sifa bergegas menuju pintu kamar Sufian untuk meneriaki suaminya bahwa ia akan keluar sebentar."Bu, ada gula?" tanya Sifa saat sampai di toko seberang jalan tempat biasa ia membeli camilan. "Lagi kosong, Neng, coba ke warung di ujung sana tuh!" Sifa memandang warung yang membuatnya nonstalgia ke masa-masa menjadi santri. Sebenarnya warung itu sering dijadikan alasan untuk ia bisa bertemu Azam dan berbalas surat
Gadis berjilbab biru denim itu melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 04.00 sore. Sufian belum juga pulang setelah sebagian kemarahannya terluapkan tadi. Sifa melirik ke meja, tepat secangkir kopi yang sudah dingin beserta cemilan gorengan yang ia sengaja sediakan sejak empat jam yang lalu. Ia tahu kesalahannya dan hendak meminta maaf saat Sufian kembali, tapi lelaki itu justru pergi lama sekali sampai membuat dirinya nekat menelepon ke nomor Sufian.Untuk pertama kalinya ia berani menelepon Sufian, tangannya yang memegangi ponsel terasa gemetar serta berkeringat dingin. Gadis itu berjalan mondar mandir menunggu teleponnya dijawab, tetapi tidak juga. Hingga tiga panggilan ia langsungkan tapi tetap saja hasilnya nihil.Sifa lantas duduk dengan tidak nyaman di sofa, memandangi secangkir kopi yang membuatnya ingin berteriak memaki diri sendiri. Sifa tak percaya sudah melakukan kesalahan yang membuat suaminya pergi dari rumah dengan kondisi amarah yang tinggi."Apa aku telepon u
Sufian masih memiliki satu ruangan yang tampaknya tidak masuk akal jika Sifa berada di sana. Meski begitu ia segera memeriksa dan seolah yakin jika Sifa bisa saja bersembunyi di garasi. Ketika pintu garasi dibuka, Sufian merasa sedikit lega bercampur marah. Gadis itu tertidur di mobil bagian kemudi seolah memang merencanakan semuanya.Matanya mengerjap ketika Sufian sengaja mengarahkan cahaya senter ponsel ke wajah gadis itu. Sifa kemudian turun dengan kondisi yang lemah karena masih merasa takut atas kemarahan Sufian serta nyawa yang belum sepenuhnya berkumpul."Kenapa kamu tinggal di sini?" Maksud Sufian ialah mengapa Sifa tinggal di garasi."Karena aku ikut Ustaz, tentu saja. Apa aku harus pulang ke rumah ibu setelah Ustaz memutuskan untuk mentalak aku karena kesalahan tadi itu?" Sifa merasa kantuknya sekejap hilang."Aku tanya sekali lagi, kenapa kamu malah tidur di mobil sini? Kamu tahu, aku cari kemana-mana dan kenapa HP ini kamu tinggal di dapur? Kenapa kamu nggak tidur di kama
Langkah kaki seorang laki-laki yang baru saja pulang dari masjid tergesa-gesa memasuki rumah. Hari ini Sufian akan pergi mengajar sangat pagi karena akan ada tamu yang menyebabkan semua guru di sekolah SMA Al Hidayah wajib hadir semua mengikuti upacara. Masih mengenakan setelan sarung dan baju muslimnya, Sufian menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Sejauh ini hubungannya dengan Sifa memang seperti dua orang asing yang hidup dalam satu atap. Matanya menyipit karena kotak bekal makanan yang sudah tersedia di meja. Sufian membuka kotak itu dan tersenyum melihat isinya. Ada dua potong roti lapis dan sekotak minuman yang dirinya sangat minati. Sufian menengokkan kepala ke arah pintu kamar Sifa kemudian menggeleng pelan sembari tak bisa berhenti tersenyum. Hatinya terasa bahagia dengan ulah gadis itu pagi ini."Tumben dia nyiapin sarapan dan bekal," gumamnya lalu bergegas masuk kamar untuk bersiap. Pintu kamar Sufian terbuka bersamaan dengan pintu kamar Sifa. Dua orang itu keluar bersama
"Aku ... aku baru selesai mondok dan sekarang masih bingung mau lanjut kemana." Jawaban Sifa membuat kedua temannya membulatkan mata."Sepintar gini kamu bingung arah tujuan masa depan kamu, Fa? Ya ampun gak mungkin!" bantah Cia."Gimana kalau ikut kerja aja sama aku, kita ngekos bareng deh biar bayarannya irit karena jadi bertiga!" Ratih tertawa jail saat mengatakan itu.Sifa menyimpulkan senyum yang sulit sekali karena sudah menutupi kenyataan dirinya sudah menjadi istri orang. Sifa merasa tidak percaya diri jika harus jujur soal pernikahannya karena sampai saat ini pun dirinya belum merasakan manisnya ibadah dalam rumah tangga."Saranku ini ya, Fa, kamu bisa ambil kuliah tahun depan aja dan sekarang nyari dulu pengalaman yang banyak soalnya mumpung kita masih muda. Lagian mau apa lagi kalau nggak kerja?""Hm ... kamu sekarang tinggal di mana, Fa? Masih tinggal di pondok ya? Ngabdi gitu sama guru? Eh bentar kamu mondok di pesantren mana?" Runtutan pertanyaan itu bersumber dari Cia.
"Aku yang salah, aku yang salah, Sifa ... aku yang salah!" Azam menunduk dengan kedua tangan memegangi kepala. Betapa menyesal Azam sudah berusaha mempercayakan kehidupan perempuan tercintanya kepada seorang yang ternyata justru tidak berniat sungguh-sungguh membangun rumah tangga dengan baik. Azam kira Sufian ingin menjadi panutan terbaik tapi nyatanya harapan itu tiada."Seharusnya aku ikuti apa kata hatiku dulu, Sifa, seharusnya aku berusaha keras merebutmu dari tangan Ustaz Sufi, seharusnya aku percaya pada hatiku, seharusnya begitu!" Kedua mata laki-laki itu menyorot tajam ke arah meja, tiada objek yang ia sedang pandang sebab pandangannya ialah kosong. Amarah begitu tampak di kedua bola matanya.Azam tidak ingin mendengar Sifa bicara walau sebuah pembelaan atas pernikahan yang terjadi. Perempuan itu masih ada dalam hatinya, masih menjadi belahan jiwanya, maka saat ini yang diinginkan Azam hanya mencarikan jalan keluar agar masalah yang sedang menerpa Sifa segera menemukan akhir.
Sifa menunduk selama turun dari tangga, ia sangat sadar kalau sekarang dirinya sedang dijadikan satu-satunya objek pandang bagi laki-laki bukan mahram yang sedang duduk di sofa. Tak perlu waktu lama, Sifa segera berdiri dan menatap laki-laki itu dengan berani. Sebenarnya ia terpaksa memberanikan diri.Azam ikut berdiri kala itu lantas menyerahkan sebuah amplop putih yang tak Sifa ketahui isinya. Namun, dalam benaknya langsung terpikir bahwa sepertinya ia dapat undangan pernikahan yang spesial. Ekslusif khusus untuknya seorang. "Aku tidak akan banyak bicara di sini, aku cukup tahu diri, aku juga tidak yakin kamu akan datang memenuhi undanganku itu, tapi aku harap kamu tidak terburu-buru dan melihatnya secara dengan pandangan yang baik. Jangan buang surat itu, aku mohon, sekali ini saja penuhi keinginanku walau untuk yang terakhir kalinya atau walau kamu tidak ikhlas. Sekali ini. Aku pamit sekarang, sudah terlanjur malam, istirahatlah."Ketika langkah laki-laki itu sudah memunggungi Si
Azam. Laki-laki itu mengerti akhirnya bahwa apa yang dikatakan Sufian itu bukan semata canda. Permata yang dipinjam sudah dikembalikan ialah Sifa. Sifa yang pernah menjadi permatanya dan tak disangka akan diijab kabul oleh guru sendiri. Azam hendak melangsungkan pernikahan karena keinginannya untuk melupakan Sifa. Deretan nama perempuan yang disuguhkan oleh orang tuanya di rumah membuat Azam bingung memilih karena yang dicari bukan lagi soal cantik tapi soal seberapa pandai ia membuatnya tertarik.Ketika seorang perempuan yang dikiranya akan mampu membuat hati Azam tertarik telah hadir, yang didapat justru adalah peluang untuk mendapatkan kembali versi asli dari yang diinginkan. Sifa Nurul Azizah. Sejak lama Azam dan Sifa selalu berbalas surat karena amat tertarik satu sama lain. Namun, surat yang terbalas rupanya tak menjamin akan membawa mereka ke pernikahan. Keduanya terpisah oleh perjodohan kala itu.Azam sebenarnya pernah beranikan diri meminta Sifa pada kiai, tapi belum sempat m
Abi dan Umi setuju untuk menyembunyikan status Sifa yang sebenarnya dari publik. Mereka akan berupaya bersikap seolah menganggap Sifa sebagai menantu saja terutama di hadapan para santri yang mana tak ada yang tahu kebenaran bahwa Sifa adalah putri kandung mereka. Hari itu bahkan dua kakaknya datang untuk mendengarkan apa yang ingin kiai sampaikan tentang Sifa dan masalah yang menerpa. Dua kakaknya yang semula tidak percaya pun segera bergantian memberikan kalimat penguat untuk adik kecil mereka yang di usia belia sudah menjadi perempuan yang berpisah dari suami.Rutinitas Sifa di sana kian bertambah menyesuaikan seperti ikut membantu mengajar atau membantu para pengurus membuat dan menyiapkan suatu acara jika waktu kuliahnya sedang senggang. Sifa pun kian menjadi dekat dengan Halima yang mana tak tahu soal Sufian sebab sudah lama tak juga saling berhubungan. Halima percaya saja saat Sifa mengatakan kalau suaminya melanjutkan kuliah di luar negeri karena beberapa alasan dan masih seri
"Jangan pergi, Aa ...."Umi tiba-tiba mendorong tubuh Sufian yang mendekapnya hingga tubuh pemuda itu terdorong sepenuhnya ke belakang. Ia juga menarik Sifa agar tak mendekat pada laki-laki yang sudah bukan suaminya lagi. Sufian segera berdiri mengikuti Umi yang kini memandangnya marah. Sifa berusaha menenangkan Umi untuk tidak menyakiti Sufian, meski dirinya sangat hancur karena diceraikan tapi ternyata hati Umi jauh lebih hancur melihat putrinya disakiti oleh orang yang dianggap putranya sendiri."Dia tidak seperti orang berhati!" tegas Umi begitu marah."Jangan mengutuk apapun untuknya, Umi, jangan, aku mohon ...."Syukur momen menegangkan itu berakhir segera oleh hadirnya Abi yang menarik Sufian dari para perempuan di kamar itu yang terus saja menuntut. Abi meminta Sufian untuk segera berangkat saja meninggalkan tempat itu karena jika tetap tinggal maka semuanya tak akan pernah selesai. Setelah keluar dari kediaman kiai lantas baru beberapa langkah Sufian menjauh, sebuah derap lan
Sufian melangkah lebih dahulu dengan agak tergesa-gesa, di belakangnya Sifa mengikuti dengan kepala yang menunduk tak wajar seolah sepanjang jalan yang terpenting berada di bawah. Bekas tangis di matanya masih terlihat jelas sehingga Sufian lah yang meminta perempuan itu menunduk selama perjalanan agar tak ada siapapun yang menyadari lalu beranggapan aneh. Perih sekali hatinya ketika diminta berbohong seperti itu padahal Sifa ingin berteriak menjerit mengeluarkan bahwa apa yang sesungguhnya ia terima dari sang suami itu sangat menyakitkan.Kiai dan istri sedang sarapan di meja makan, sesekali terselip canda sehingga tawa pun pecah. Saat pintu terbuka dan melihat Sufian bersama putri mereka datang dengan raut wajah tak mengenakan, Umi beranjak menghampiri mereka di ruang tengah. Pun dengan Abi, dibantu tongkatnya yang kuat, kakinya ikut dilangkahkan meninggalkan meja makan. Dilihatnya Sufian yang sudah duduk itu berdiri sejenak karena kedatangan sang kiai."Ada apa ini, Yan?" Kiai men
Dengan bahasa yang begitu mudah dimengerti dan tidak terfokus pada kesalahan diri, Umi berhasil menjelaskan pada Sufian mengenai bertemunya mereka di panti asuhan kala itu. Lantas, dengan bahasa yang baik pula istrinya pak atasan menjelaskan dengan tangis yang berderai-derai bagaimana dahulu dirinya amat menyesal karena sudah menitipkan Sufian di panti asuhan ketimbang mengasuhnya langsung. Meski begitu tetap saja Umi memuji keberanian ibu kandung Sufian untuk menitipkan anaknya ketimbang harusa mengakhiri hidupnya.Dalam kasus kerumitan hubungan darah tersebut, Sifa yang merasa paling terpojok karena seolah-olah sengaja menyembunyikan semuanya dari Sufian supaya laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Sedikitnya Sifa tertohok oleh ucapan Sufian yang mengatakan kalau ia bagai tak dianggap suami sebab apapun yang Sifa anggap penting tak pernah berusaha dibagi. Fakta sebesar itu pun Sifa simpan seorang diri.Selesai pertemuan itu diakhiri dengan pelukan dan salaman persaudaraan dengan harapan
Sesuai permintaan pak atasan, Sifa sudah berhasil membawa Sufian untuk mampir makan di restoran keinginannya dengan alasan ingin rayakan perpisahan dengan dunia kerja. Sufian juga memaklumi bagaimana Sifa menceritakan amat sedihnya berpisah dengan orang-orang baik di tempat kerjanya. Tiba-tiba saja Sufian tersenyum ramah menyambut kedatangan pak atasan beserta istrinya yang berjalan ke arah meja mereka. Sifa pun segera menyarankan Sufian agar mereka bergabung saja untuk makan siang kali itu. Tiada kecurigaan dalam diri Sufian sehingga senang hati saja ia setuju.Menjelang makanan di piring Sufian habis, pak atasan memanggil namanya dengan sopan sebagaimana biasa. Sifa terlihat lebih gugup daripada kedua orang tua Sufian yang akan menjelaskan fakta di detik selanjutnya. Melihat sang istri agak murung, Sufian lekas menggenggam tangan perempuan itu lalu mengangguk sekilas seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Sifa tidak tahu harus dengan cara apa ia mengatakan kalau hari ini bu
Sifa memasuki restoran sebagaimana biasa untuk bisa menjadi salah satu pekerja yang baik. Sebelum memulai semuanya ia lebih dahulu mengecek perlengkapan dapur, bahan baku produksi, dan juga kebersihan di sana. Setelah dirasa cukup baik maka ia hanya menatap kosong area dapur tersebut sembari menunggu yang lain datang. Ia berjanji akan merindukan suasana itu suatu saat nanti. Sekarang adalah hari terakhir Sifa bekerja di sana karena nanti saat jam istirahat maka ia akan menemui pak atasan untuk mengajukan surat pengunduran diri. Pekerjaannya sebagai mahasiswa kerap membuat Sifa kewalahan jika harus sambil bekerja juga, sebagaimana saran Sufian. Dirinya juga sudah meminta pendapat Ratih dan gadis itu pun menyarankan hal demikian sama dengan Sufian supaya berhenti saja bekerja.Hari ini Sifa habiskan semangatnya untuk bekerja, sebab ia tahu betul mulai besok tak akan pernah datang lagi ke tempat itu, tak akan bertemu teman kerjanya yang baik-baik, lalu perlahan pun ia akan tergantikan o