Umi memerintah Sufian agar membawa Sifa ke kamar saja. Namun, Abi melarang dan meminta Sufian membaringkannya di sofa ruang tengah. Itu karena Abi tidak ingin Sifa curiga mengenai perjodohannya. Mau bagaimanapun Sifa masih terlalu belia memikirkan perjodohan sehingga Abi mewanti-wanti keluarganya untuk tidak memberitahu anak gadis mereka mengenai hal itu.
"Ambilkan minyak angin di lemari obat, Yan!" titah Umi setelah menyelimuti tubuh Sifa dengan selimut."Kenapa dia bisa pingsan, Yan? Kamu bicara apa padanya?" Abi tak kalah cemas melihat Sifa tak sadarkan diri.Sufian duduk di sebelah Abinya dengan raut cemas dan tidak bisa dimengerti. Ia begitu tidak menyukai Sifa walau sedikit tetapi beberapa hari ke belakang takdir seolah selalu menuntunnya untuk mendekat dengan Sifa. Lalu sekarang, ia merasa masih gugup sebab baru saja mengangkat tubuh Sifa dari mobil menuju rumah yang secara tak langsung membuat kedua tangannya sudah memeluk gadis itu."Sufian!""Astaghfirullah, Abi. Iya, Abi?" tanya Sufian tercengang mendengar suara meninggi sang Abi."Kamu apakan dia?"Umi masih terus mendekatkan aroma minyak angin ke hidung Sifa supaya segera membuatnya sadar."Abi, dia sedang demam. Sejak kemarin dia memang kurang sehat, begitu kata Vina teman sekamarnya." Sufian menjelaskan."Syukurlah. Abi khawatir kamu bicara hal yang tidak-tidak padanya. Ingat, meski kamu sudah diberi kewenangan untuk tahu siapa calon istrimu, jangan katakan apapun padanya mengenai perjodohan. Dia harus fokus pada belajarnya untuk sekarang ini. Kamu mengerti maksud Abi kan, Yan?""Tapi, Abi, Sifa sudah tahu.""Apa? Siapa yang memberitahunya?" Abi semakin terlihat gusar."Orangtuanya sendiri.""Bagaimana—""Alhamdulillah ...."Sufian dan Abi mengalihkan topik saat melihat Sifa membuka matanya. Gadis itu segera beranjak dan duduk di lantai menghadap Umi sebab terkejut karena ia lancang berbaring di sofa dengan gurunya. Sufian mengangkat ujung bibir membentuk senyum kecil ketika melihat itu."Sifa, duduklah di sini dengan Umi, ya? Gimana kabarmu sekarang, apa sudah lebih baik?" Umi menuntun Sifa untuk kembali duduk di sofa."Tak usah takut, tadi kamu tak sadarkan diri jadi kami sengaja bawa kamu ke rumah sini. Duduklah dulu. Umi, bawakan teh hangat untuknya," titah Abi.Umi dengan senang hati beranjak disusul Sufian yang berjalan menuju kamar. Pemuda itu merasa begitu aneh. Pasalnya Umi dan Abi seolah lebih mempedulikan gadis itu ketimbang dirinya yang merupakan putra mereka. Jadi, Sufian merasa agak iri sebab Sifa mendapat kasih sayang dari orangtuanya. Apa itu semata-mata karena Abi dan Umi tak memiliki anak perempuan atau ada hal lain? Sufian tak tahu pasti mengapa harus Sifa orangnya.***Tinggal menghitung hari untuk sampai pada pengumuman kelulusan, tetapi surat yang ingin diberikan Sifa kepada Azam belum juga tersampaikan. Sifa sangat keteteran materi untuk persiapan ujian apalagi saat itu ia sempat beberapa hari tak hadir karena demam yang tak kunjung sembuh. Sehingga ia tak dapatkan waktu untuk menemui atau bahkan hanya bertemu sekilas dengan Azam.Raut wajah Sifa tidak mendukung sama seperti cuaca pagi hari itu. Tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan selain beraktivitas di dalam kamar karena hujan sejak subuh yang tak juga mereda.Sebulan ini Sifa sangat terganggu dengan isu yang menyatakan dirinya akan dijadikan menantu kiai. Akan tetapi ia tak menanggapi sama sekali hal tersebut karena masih begitu ingat terhadap apa yang akan ia hadapi nanti. Perjodohan untuk balas budi. Ck, sebenarnya Sifa benci mengingat hal itu atau jika bisa ia ingin kabur saja."Vin, mungpung hujannya belum berhenti anter aku ke batas pondok yuk! Aku gak bisa nunggu lama lagi, A Azam harus cepet tahu hal ini, aku gak mau lihat dia kecewa berat," mohon Sifa."Kalo dihukum gimana?""Tenang aja, kamu gak bakal dihukum kok!" canda Sifa.Vina mengerti. Mereka mengeluarkan payung lantas membuka pintu kamar untuk keluar. Sufian yang sedang berkeliling dengan mengenakan payung juga, melihat dua santriwati itu keluar maka ia mengernyit heran. Akan kemana dua gadis itu saat hujan begini? Pikirnya.Sejak kejadian Sifa pingsan di mobil kala itu, Sifa merasa begitu aneh dan dirinya sangat malu setiap kali berpapasan dengan Sufian. Ditambah isu-isu tak menyenangkan membuatnya di kelas Sufian pun tak lagi aktif bertanya atau sekadar memandang untuk memperhatikan penjelasan pun sudah tak dilakukan. Ia jadi merasa canggung dan semakin minder."Kami mau jalan-jalan, Ustaz, bosen di dalam," jawab Vina tanpa ditanya ketika berpapasan dengan Sufian."Lebih baik kalian tetap di dalam sampai hujannya reda, supaya gak demam." Sufian sengaja menyindir Sifa yang terlihat hanya menunduk.Sifa yang menunduk jadi semakin menunduk mendengar itu. Entah mengapa rasanya begitu memalukan dan ia berjanji pada diri sendiri agar tak mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi dengan melibatkan Sufian."Kami hanya jalan-jalan sebentar kok, Ustaz, mari ya, assalamualaikum," pamit Vina.Sufian memandangi kepergian dua gadis itu dengan dahi masih mengernyit heran akan kemana keduanya pergi. Dari tempatnya berdiri ia terus mengikuti langkah dua santriwati tersebut ke mana perginya. Sufian juga heran dengan perubahan sikap Sifa terhadapnya sebab menjadi sedikit lebih dingin. Lamunannya pecah saat panggilan telepon masuk. Segera diangkat sebab itu adalah panggilan dari teman lamanya.Sufian memanggil Sifa dan Vina sehingga dua gadis tadi berbalik lagi dan menghentikan langkah mereka. Sufian mengisyaratkan dengan tangan agar keduanya diam di tempat sebab ia akan mengabarkan sesuatu.Vina sudah memegangi lengan sahabatnya dengan erat. Ia berpikir bahwa Sufian sudah tahu maksud keduanya hendak pergi kemana dan sekarang mereka akan dihukum. Begitulah kiranya Vina dan Sifa."Saya kedatangan tamu, jadi ayo bantu umi masak untuk menjamu!" ajak Sufian.Sifa menatap pemuda itu sekilas dengan sinis karena usahanya kali ini gagal. Namun, ia tidak bisa membenci gurunya sendiri sebab takut nanti ilmu yang didapatnya jadi tidak berkah. Berat hati keduanya melangkah mengikuti Ustaz Sufian menuju rumah lebih tepatnya dapur untuk membantu Umi yang katanya sedang memasak banyak.Melihat putranya datang membawa calon menantu, Umi tentu terkejut sekaligus penasaran untuk apa dibawa ke rumah. Beliau beranjak dari sofa dan menyambut mereka dengan senyuman hangat."Temen lama aku mau datang, Mi, aku bawa mereka untuk bantu Umi di dapur," ucap Sufian segera mengenalkan tugas santriwatinya di sana.Umi menggeleng dibarengi senyum lalu langsung mengajak keduanya memasuki dapur. Rasa bahagia juga begitu terasa oleh Umi karena dengan begitu mungkin putranya berusaha mengenal Sifa lebih dekat. Itu berarti pula bahwa Sifa akan segera sah menjadi menantu keluarganya."Neng, duduk dulu aja di sana, Umi mau ke atas dulu," titah Umi yang diikuti anggukan takzim dua santriwati di sana.Sifa dan Vina duduk di bangku panjang yang ada di dapur. Mereka diam memandangi sekeliling dapur tanpa berani menyentuh apapun."Heran gak sih sama sikap Ustaz Sufi, padahal santri kepercayaan umi banyak, kok kita yang kena!" cerca Vina."Iya ya padahal kita bukan santri ndalem, bukan santri kepercayaan, bukan santri istimewa." Sifa menambahkan kekurangan mereka."Justru kita akhir-akhir ini buronan takzir, kan? Cuma belum ketauan aja. Hahaha!""Ish gak boleh gitu, ini mungkin tanda bahwa kita berhak menerima berkah dari keluarga kiai, alhamdulillah harusnya!" tegur Sifa setelah menyadari ada yang salah dari cara mereka memandang perintah Sufian."Astagfirullah, iya bener juga alhamdulillah.""Ini pertama kalinya aku masuk ke dapur rumah kiai, bagus banget ya!" Sifa terlihat asyik melihat sekeliling."Fa, Fa, bayangin kamu beneran nikah Ustaz Sufi ... tiap hari masak di dapur ini bareng Umi, tiap hari bisa makan bareng Abi Yai, tiap hari—""Hush! Istighfar, Vin, istighfar! Mana ada Ustaz Sufi mau milih istri model begini? Lagian aku udah bilang aku tuh mau dijodohkan. Udah deh, kamu bikin aku inget hal itu terus, nyesek, tahu!" Sifa mengerucutkan bibirnya tanda protes."Kalo Ustaz Sufi beneran mau, calon jodohmu itu gak akan bisa apa-apa! Jalur langit, Fa!"Sifa mencubit pipi sahabatnya yang terus saja menjadi Mak comblang atas isu dirinya yang akan dijadikan menantu kiai. Memangnya Vina pikir Sifa tidak terbawa perasaan setiap kali mendengar isu bahwa ia akan dipersunting Ustaz Sufi? Justru karena itulah dia menjadi canggung saat berhadapan dengan Ustaz Sufi!"Eh, berarti selama ini A Azam juga udah denger berita aneh ini ya kan, Vin?" Sifa baru saja terpikirkan ke arah sana."Lah iya juga!""Aduh gimana ya reaksinya denger itu. Aku jadi makin gak sabar pengen ketemu A Azam, pengen ceritain semua yang aku rasa saat sekarang ini!"Obrolan dua santriwati itu terputus dengan sendirinya ketika suara sandal mendekat ke arah dapur. Umi dengan jilbab syar'i andalannya lantas tersenyum melihat dua gadis itu masih saja di tempat yang sama saat ia pergi tadi."Kalian lulus barengan ya tahun ini, Neng?" tanya Umi basa-basi."Iya, Umi.""Mau pada lanjutin belajar di mana?" Sebenarnya pertanyaan itu untuk melihat sejauh mana cita-cita Sifa yang akan terenggut jika ia menikah."InsyaAllah pengennya ke jenjang lebih tinggi, Umi. Rencana kami pengen kuliah bareng tapi sepertinya takdir berkata kami harus punya jalan masing-masing," jawab Vina dengan segala kesantunan bertuturnya."Jadi Neng ....""Vina, Umi.""Iya, Neng Vina mau lanjut kuliah, kalau Neng Sifa mau lanjut kuliah juga kah?" pancing Umi sebab dilihatnya gadis itu kurang bersemangat."Kalau orangtua di rumah mengizinkan ya Sifa juga pengen kuliah, Umi.""Semoga harapan kalian apapun itu bisa dipermudah oleh Allah, ya. Dan semoga ilmu-ilmu yang selama ini kalian dapat dari pesantren di sini bisa bermanfaat dan berkah.""Aamiin Ya Rabb." Serempak Sifa dan Vina menjawab."Kami mohon ridanya dari Umi, biar ilmu kami berkah, Umi," pinta Sifa dengan kepala menunduk sebab malu-malu."Dan pada dapet jodoh yang bisa membersamai hingga surganya Allah ya, Neng.""Sifa mah jodohnya sudah dekat, Umi." Vina, berulah lagi."Eh? Neng Sifa sudah mau menikah ya?" pancing Umi dibarengi senyum lebar."Nggak, Umi. Vina ini loh kalo bicara suka asal!""Beneran, Umi, katanya Sifa mau kok dijadikan menantu Umi daripada harus dijodohkan.""Apa?" Seorang pemuda menyahut dari ambang pintu dapur.Sifa mengantarkan minuman untuk tamu di rumah Sufian bersama dengan Umi. Ia terus menunduk karena yang duduk di ruang tamu adalah dua pemuda bukan mahramnya. Ketika ia hendak pergi, salah seorang di antara pemuda itu memanggil namanya. Kali ini bukan suara Sufian melainkan suara temannya Sufian.Sifa merasa deg-degan hebat sampai ketika berbalik ia masih terus menunduk. Pikirannya bertanya hal salah apa yang sudah diperbuat hingga harus berurusan dengan tamunya Sufian. Ketika ia memberanikan diri mengangkat wajah untuk melihat ke arah pemuda yang memanggilnya, Sifa lantas membulatkan mata tak percaya."Kang Taufik!" seru Sifa segera bergegas ke hadapan tamu Sufian yang ternyata ialah kakaknya sendiri. Bukan hanya Sufian yang terkejut melihat Sifa mengenal teman lamanya, melainkan Umi juga. Mereka saling tatap sejenak lalu selanjutnya hanya menonton apa yang dilakukan Sifa."Kakang kapan ke sini? Kok bisa aku baru sadar kalo yang datang itu Kakang!" Tak disadari air mata gadis itu luru
Sufian masuk dengan begitu tergesa-gesa ke dalam rumah dan langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan sang abi yang tengah sendirian sembari di tangannya terus berputar tasbih. Mata pria tersebut terpejam dengan mulut bergerak membaca zikir. Meski ragu, Sufian memaksa dirinya untuk mengganggu. Dirinya berharap Abi mengetahui keberadaannya tanpa dipanggil."Abi," panggil Sufian dengan nadanya yang terdengar ragu. Ia akhirnya memutuskan angkat suara.Menyadari kehadiran putranya, Abi menyudahi aktivitas zikir berpindah mengamati raut gelisah di wajah Sufian. Beliau tersenyum melihat itu. "Kenapa, Yan?"Sufian menunduk sejenak sebelum mengungkap isi hatinya yang berantakan. Dari raut wajahnya saja sudah kelihatan kalau masalah itu sangat mengganggu."Ada masalah soal Sifa lagi? Dia nakal lagi di kelas?" Abi mencoba menebak."Bukan begitu, Abi. Ini lebih parah dari itu. Sebenarnya ... Sifa akhir-akhir ini murung di kelas, selama pelajaran dia tidak fokus dan jarang memperhatikan apa ya
Sufian menuruni anak tangga sekolah untuk sekadar melihat-lihat suasana sebelum pergi. Tanpa sengaja ia melihat seorang perempuan duduk berdua dengan temannya di bangku dan tampak asyik bercerita. Senyum yang dilihat oleh Sufian semakin menambah tempo debaran jantungnya dan juga tanpa sadar dia sudah merekahkan senyumnya."Ustaz Sufi?" Panggilan itu memaksa Sufian memalingkan pandang. Ia melihat Azam berdiri tak jauh dari tempatnya lalu perlahan mendekat. Sekarang keduanya sudah saling berdekatan."Ada apa, Azam?" Azam memberikan sepucuk surat yang diterimanya beberapa hari lalu perihal Sifa yang akan dijodohkan. Saat ini dia ingin bertanya langsung mengenai isu yang belakangan terdengar di telinganya."Hubungannya dengan saya, apa?" tanya Sufian. Memang, kabar perjodohannya tidak diketahui siapapun juga di pondok sebab keluarganya menutup kabar tersebut."Ustaz merebut perempuan pilihan saya, kenapa Ustaz malah memilihnya? Masih banyak gadis lain di sini, bukan?" tanya Azam dengan n
"Dia masih kecil, bimbing dia dengan kelembutan dan jangan dengan cara kasar. Kamu ingat bagaimana Rasulullah mendidik istri kecilnya Sayyidah Aisyah, bukan? Anggaplah sekarang ini kamu sedang berusaha meneladani Baginda Rasulullah sehingga itu menjadi ladang pahala untuk kamu."Sufian tertegun sebelum akhirnya menutup sambungan telepon dengan abinya. Ia sadar akan sikap ia yang begitu keras terhadap Sifa. Bahkan api pun tidak dapat dipakai untuk memadamkan api, kan? Maka Sufian segera meletakkan ponsel di meja lantas keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Sifa. Sudah tengah malam tetapi gadis itu belum juga kembali."Dia ada di mana sekarang?" gumamnya mulai mencari.Sufian sudah memutari hampir seluruh ruangan rumah demi mencari istrinya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Sifa. Sufian melangkah ke teras sembari terus mencari-cari barangkali Sifa menenangkan dirinya dalam kegelapan di sana, tapi tak juga ditemukan gadis itu di sekitaran rumah.Sufian terlonjak ketika pundaknya dite
Setelah selesai berkemas pakaian, Sifa dan Sufian keluar dari kamar secara bersamaan. Di ruang keluarga sudah ada orangtuanya yang menatap mereka dengan sendu karena Sifa akan pergi jauh. Terutama tatapan Ibu. Sejak obrolan pagi tadi mengenai pulangnya mereka, Ibu seolah kehilangan semangat dalam hal apapun."Kamu bener mau ninggalin Ibu, Fa?" Akhirnya pertanyaan itu keluar."Bukan begitu, Bu, aku cuma ...." Sifa menoleh sebentar pada suaminya yang berdiri di samping dan langsung mendapat anggukan kecil. " Ustaz Sufi kan guru para santri, gak mungkin kami terus di sini," jawab Sifa sambil menunduk. Sebenarnya ia juga sedih meninggalkan rumah tapi kesedihan yang dirasakan bercampur dengan marah.Ibu merangkul tubuh kecil Sifa untuk dipeluk. Keduanya larut dalam tangis perpisahan. Pun sebagai Bapak yang sudah lepas tanggungjawab pada putrinya, Bapak terlihat lebih tegar menahan diri agar tak menumpahkan tangis di hadapan orang-orang.Selepas acara pamitan, Sifa dan Sufian mulai menaikkan
Sufian memasak sarapan pagi pertama di rumah baru. Melihat giatnya sang tuan, Pak Maman yang baru datang langsung menghampiri sambil sesekali menggoda ustaz mudanya. Rumah Pak Maman tidak jauh dari pondok pesantren pun dari rumah Sufian, cukup mudah baginya pulang pergi saat bekerja."Kamu cari pembantu aja A, buat masak sama beberes rumah, biar kamu bisa fokus dapetin hati istri!" celetuk Pak Maman."Nggak ah, Pak, nanti kalo pembantunya perempuan takut suka sama saya, kalo pembantunya laki-laki takut suka sama istri saya," jawab Sufian membalas candaan."Kamu ini ada-ada saja!""Serius, Pak, secara kan Pak Maman juga tau saya ini ganteng toh?" Sufian melontarkan candaan lain.Tawa keduanya menggema di dapur sehingga Sifa yang hendak membersihkan ruang tengah segera menghampiri sumber suara. Ia mendapati Sufian tengah memasak sendirian sebab Pak Maman sudah keluar untuk memanaskan mesin mobil."Ustaz?" panggil Sifa dengan nada heran. Rasanya tadi ia mendengar suara tawa dari dapur. "
"Duduk saja dulu, ada yang mau saya bicarakan!" titah Sufian sementara dirinya berjalan menuju lemari untuk memilih baju. Sifa terduduk takut di sana tapi tak bisa menolak keinginan lelaki itu. Setelah mereka kembali duduk bersampingan, Sufian meminta Sifa tidak berpikir macam-macam. Lagi pula Sufian tak berniat menyakiti atau melakukan hal yang ditakutkan gadis itu."Tadi aku bicara dengan Abi, mengenai obrolan kita tadi pagi." Kalimat tersebut keluar dari mulut Sufian.Sifa hanya menundukkan kepalanya sebab malu sudah bertanya lancang mengenai hal itu. Namun, ia merasa berhak tahu apalagi setelah ia menyadari kalau Sufian sama sekali tak tahu perkara balas budi di balik pernikahan itu."Saya di sini sebagai orang yang akan menyampaikan kebenaran walau sebenarnya pahit. Abi bilang, keluargamu menyerahkan putrinya untuk dinikahkan denganku karena keluarga Abi sudah membiayai kamu sejak kecil." Sufian merasakan lidahnya kelu karena tatapan Sifa kali ini tampak menahan bulir bening yang
Sufian dan Sifa melangkah bersampingan sore itu. Mereka hendak mengunjungi rumah kiai karena Abi terkhusus Umi ingin sekali melihat Sifa secara langsung pasca pernikahan berlangsung. Ya, meski sebenarnya Sufian sempat habis-habisan membujuk Sifa untuk mau datang ke sana. Sifa mengenakan gamis hitam saat itu, sama seperti warna kemeja yang dikenakan suaminya. "Ustaz, aku takut," ungkap Sifa ketika selangkah lagi mereka menuju gerbang masuk area rumah yang diapit oleh masjid dan pondok pesantren."Takut siapa? Takut dilihat Azam?" tebak Sufian.Sifa menunduk dan diam. Benar seperti yang dikatakan Sufian bahwa Sifa takut Azam akan melihatnya berjalan bersama lelaki yang tak lain adalah ustaznya sendiri. Sifa tak bisa bayangkan perasaan Azam nanti. Tiba-tiba saja Sufian meraih tangan Sifa untuk digenggamnya erat. "Gak usah takut. Bismillah saja," kata Sufian yang berhasil membuat Sifa kembali yakin.Keduanya berjalan kaki memasuki area rumah kiai yang berada di tengah-tengah pondok, lebi
"Aku yang salah, aku yang salah, Sifa ... aku yang salah!" Azam menunduk dengan kedua tangan memegangi kepala. Betapa menyesal Azam sudah berusaha mempercayakan kehidupan perempuan tercintanya kepada seorang yang ternyata justru tidak berniat sungguh-sungguh membangun rumah tangga dengan baik. Azam kira Sufian ingin menjadi panutan terbaik tapi nyatanya harapan itu tiada."Seharusnya aku ikuti apa kata hatiku dulu, Sifa, seharusnya aku berusaha keras merebutmu dari tangan Ustaz Sufi, seharusnya aku percaya pada hatiku, seharusnya begitu!" Kedua mata laki-laki itu menyorot tajam ke arah meja, tiada objek yang ia sedang pandang sebab pandangannya ialah kosong. Amarah begitu tampak di kedua bola matanya.Azam tidak ingin mendengar Sifa bicara walau sebuah pembelaan atas pernikahan yang terjadi. Perempuan itu masih ada dalam hatinya, masih menjadi belahan jiwanya, maka saat ini yang diinginkan Azam hanya mencarikan jalan keluar agar masalah yang sedang menerpa Sifa segera menemukan akhir.
Sifa menunduk selama turun dari tangga, ia sangat sadar kalau sekarang dirinya sedang dijadikan satu-satunya objek pandang bagi laki-laki bukan mahram yang sedang duduk di sofa. Tak perlu waktu lama, Sifa segera berdiri dan menatap laki-laki itu dengan berani. Sebenarnya ia terpaksa memberanikan diri.Azam ikut berdiri kala itu lantas menyerahkan sebuah amplop putih yang tak Sifa ketahui isinya. Namun, dalam benaknya langsung terpikir bahwa sepertinya ia dapat undangan pernikahan yang spesial. Ekslusif khusus untuknya seorang. "Aku tidak akan banyak bicara di sini, aku cukup tahu diri, aku juga tidak yakin kamu akan datang memenuhi undanganku itu, tapi aku harap kamu tidak terburu-buru dan melihatnya secara dengan pandangan yang baik. Jangan buang surat itu, aku mohon, sekali ini saja penuhi keinginanku walau untuk yang terakhir kalinya atau walau kamu tidak ikhlas. Sekali ini. Aku pamit sekarang, sudah terlanjur malam, istirahatlah."Ketika langkah laki-laki itu sudah memunggungi Si
Azam. Laki-laki itu mengerti akhirnya bahwa apa yang dikatakan Sufian itu bukan semata canda. Permata yang dipinjam sudah dikembalikan ialah Sifa. Sifa yang pernah menjadi permatanya dan tak disangka akan diijab kabul oleh guru sendiri. Azam hendak melangsungkan pernikahan karena keinginannya untuk melupakan Sifa. Deretan nama perempuan yang disuguhkan oleh orang tuanya di rumah membuat Azam bingung memilih karena yang dicari bukan lagi soal cantik tapi soal seberapa pandai ia membuatnya tertarik.Ketika seorang perempuan yang dikiranya akan mampu membuat hati Azam tertarik telah hadir, yang didapat justru adalah peluang untuk mendapatkan kembali versi asli dari yang diinginkan. Sifa Nurul Azizah. Sejak lama Azam dan Sifa selalu berbalas surat karena amat tertarik satu sama lain. Namun, surat yang terbalas rupanya tak menjamin akan membawa mereka ke pernikahan. Keduanya terpisah oleh perjodohan kala itu.Azam sebenarnya pernah beranikan diri meminta Sifa pada kiai, tapi belum sempat m
Abi dan Umi setuju untuk menyembunyikan status Sifa yang sebenarnya dari publik. Mereka akan berupaya bersikap seolah menganggap Sifa sebagai menantu saja terutama di hadapan para santri yang mana tak ada yang tahu kebenaran bahwa Sifa adalah putri kandung mereka. Hari itu bahkan dua kakaknya datang untuk mendengarkan apa yang ingin kiai sampaikan tentang Sifa dan masalah yang menerpa. Dua kakaknya yang semula tidak percaya pun segera bergantian memberikan kalimat penguat untuk adik kecil mereka yang di usia belia sudah menjadi perempuan yang berpisah dari suami.Rutinitas Sifa di sana kian bertambah menyesuaikan seperti ikut membantu mengajar atau membantu para pengurus membuat dan menyiapkan suatu acara jika waktu kuliahnya sedang senggang. Sifa pun kian menjadi dekat dengan Halima yang mana tak tahu soal Sufian sebab sudah lama tak juga saling berhubungan. Halima percaya saja saat Sifa mengatakan kalau suaminya melanjutkan kuliah di luar negeri karena beberapa alasan dan masih seri
"Jangan pergi, Aa ...."Umi tiba-tiba mendorong tubuh Sufian yang mendekapnya hingga tubuh pemuda itu terdorong sepenuhnya ke belakang. Ia juga menarik Sifa agar tak mendekat pada laki-laki yang sudah bukan suaminya lagi. Sufian segera berdiri mengikuti Umi yang kini memandangnya marah. Sifa berusaha menenangkan Umi untuk tidak menyakiti Sufian, meski dirinya sangat hancur karena diceraikan tapi ternyata hati Umi jauh lebih hancur melihat putrinya disakiti oleh orang yang dianggap putranya sendiri."Dia tidak seperti orang berhati!" tegas Umi begitu marah."Jangan mengutuk apapun untuknya, Umi, jangan, aku mohon ...."Syukur momen menegangkan itu berakhir segera oleh hadirnya Abi yang menarik Sufian dari para perempuan di kamar itu yang terus saja menuntut. Abi meminta Sufian untuk segera berangkat saja meninggalkan tempat itu karena jika tetap tinggal maka semuanya tak akan pernah selesai. Setelah keluar dari kediaman kiai lantas baru beberapa langkah Sufian menjauh, sebuah derap lan
Sufian melangkah lebih dahulu dengan agak tergesa-gesa, di belakangnya Sifa mengikuti dengan kepala yang menunduk tak wajar seolah sepanjang jalan yang terpenting berada di bawah. Bekas tangis di matanya masih terlihat jelas sehingga Sufian lah yang meminta perempuan itu menunduk selama perjalanan agar tak ada siapapun yang menyadari lalu beranggapan aneh. Perih sekali hatinya ketika diminta berbohong seperti itu padahal Sifa ingin berteriak menjerit mengeluarkan bahwa apa yang sesungguhnya ia terima dari sang suami itu sangat menyakitkan.Kiai dan istri sedang sarapan di meja makan, sesekali terselip canda sehingga tawa pun pecah. Saat pintu terbuka dan melihat Sufian bersama putri mereka datang dengan raut wajah tak mengenakan, Umi beranjak menghampiri mereka di ruang tengah. Pun dengan Abi, dibantu tongkatnya yang kuat, kakinya ikut dilangkahkan meninggalkan meja makan. Dilihatnya Sufian yang sudah duduk itu berdiri sejenak karena kedatangan sang kiai."Ada apa ini, Yan?" Kiai men
Dengan bahasa yang begitu mudah dimengerti dan tidak terfokus pada kesalahan diri, Umi berhasil menjelaskan pada Sufian mengenai bertemunya mereka di panti asuhan kala itu. Lantas, dengan bahasa yang baik pula istrinya pak atasan menjelaskan dengan tangis yang berderai-derai bagaimana dahulu dirinya amat menyesal karena sudah menitipkan Sufian di panti asuhan ketimbang mengasuhnya langsung. Meski begitu tetap saja Umi memuji keberanian ibu kandung Sufian untuk menitipkan anaknya ketimbang harusa mengakhiri hidupnya.Dalam kasus kerumitan hubungan darah tersebut, Sifa yang merasa paling terpojok karena seolah-olah sengaja menyembunyikan semuanya dari Sufian supaya laki-laki itu tidak tahu apa-apa. Sedikitnya Sifa tertohok oleh ucapan Sufian yang mengatakan kalau ia bagai tak dianggap suami sebab apapun yang Sifa anggap penting tak pernah berusaha dibagi. Fakta sebesar itu pun Sifa simpan seorang diri.Selesai pertemuan itu diakhiri dengan pelukan dan salaman persaudaraan dengan harapan
Sesuai permintaan pak atasan, Sifa sudah berhasil membawa Sufian untuk mampir makan di restoran keinginannya dengan alasan ingin rayakan perpisahan dengan dunia kerja. Sufian juga memaklumi bagaimana Sifa menceritakan amat sedihnya berpisah dengan orang-orang baik di tempat kerjanya. Tiba-tiba saja Sufian tersenyum ramah menyambut kedatangan pak atasan beserta istrinya yang berjalan ke arah meja mereka. Sifa pun segera menyarankan Sufian agar mereka bergabung saja untuk makan siang kali itu. Tiada kecurigaan dalam diri Sufian sehingga senang hati saja ia setuju.Menjelang makanan di piring Sufian habis, pak atasan memanggil namanya dengan sopan sebagaimana biasa. Sifa terlihat lebih gugup daripada kedua orang tua Sufian yang akan menjelaskan fakta di detik selanjutnya. Melihat sang istri agak murung, Sufian lekas menggenggam tangan perempuan itu lalu mengangguk sekilas seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Sifa tidak tahu harus dengan cara apa ia mengatakan kalau hari ini bu
Sifa memasuki restoran sebagaimana biasa untuk bisa menjadi salah satu pekerja yang baik. Sebelum memulai semuanya ia lebih dahulu mengecek perlengkapan dapur, bahan baku produksi, dan juga kebersihan di sana. Setelah dirasa cukup baik maka ia hanya menatap kosong area dapur tersebut sembari menunggu yang lain datang. Ia berjanji akan merindukan suasana itu suatu saat nanti. Sekarang adalah hari terakhir Sifa bekerja di sana karena nanti saat jam istirahat maka ia akan menemui pak atasan untuk mengajukan surat pengunduran diri. Pekerjaannya sebagai mahasiswa kerap membuat Sifa kewalahan jika harus sambil bekerja juga, sebagaimana saran Sufian. Dirinya juga sudah meminta pendapat Ratih dan gadis itu pun menyarankan hal demikian sama dengan Sufian supaya berhenti saja bekerja.Hari ini Sifa habiskan semangatnya untuk bekerja, sebab ia tahu betul mulai besok tak akan pernah datang lagi ke tempat itu, tak akan bertemu teman kerjanya yang baik-baik, lalu perlahan pun ia akan tergantikan o