Ayunda sudah siap dengan pakaian rapi yang sangat cocok untuknya. Terlebih lagi, penampilannya semakin anggun dengan balutan tas mewah serta perhiasan sederhana, namun tetap memancarkan aura kecantikan yang elegan—seperti seorang wanita berkelas.
Ardan sengaja meluangkan waktu untuk menemani Ayunda seharian, terutama saat tidak ada pekerjaan. Apalagi jika Ayunda menjalani sesi pemotretan untuk produk baru. Bukan karena ia tidak percaya kepada Ayunda, melainkan karena ia ingin selalu berada di dekatnya. Meskipun Ayunda memiliki seorang asisten, Ardan lebih suka jika dirinya sendiri yang menemani.Baru saja mereka menuruni anak tangga terakhir, terdengar keributan dari halaman. Di sana, terlihat Mawar dan Kayla sedang bertengkar hebat."Kamu yang nggak tahu diri! Dasar, sudah menumpang tapi sok-sokan bertingkah seperti tuan rumah!" bentak Mawar.Pakaian keduanya sudah acak-acakan, menandakan bahwa sebelum Ayunda dan Ardan turun, pertengkaran itu munArdan memperhatikan ponsel Ayunda yang bergetar di kursi mobil. Nama Mahesa terpampang jelas di layar, membuat hatinya tiba-tiba terasa sesak.Ayunda yang baru saja hendak masuk ke dalam studio berhenti sejenak, menyadari bahwa ia lupa membawa ponselnya. Dengan langkah ringan, ia kembali ke mobil dan membuka pintu."Handphone-ku," ujarnya singkat sambil meraihnya dari jok.Ardan tetap diam, hanya memperhatikan istrinya dengan tatapan penuh arti. Namun, saat Ayunda melihat nama di layar ponselnya, ia hanya tersenyum kecil sebelum menekan tombol ignore."Kenapa nggak diangkat?" tanya Ardan, mencoba terdengar biasa saja.Ayunda memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menatap suaminya. "Untuk apa? Aku bilang tadi, aku lebih suka melihat Mahesa menderita lebih lama."Ardan tidak yakin apakah jawaban itu benar-benar tulus, atau hanya Ayunda mencoba menutupi sesuatu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh."Aku akan me
Ardan menatap dalam-dalam ke mata Ayunda, seolah mencari keyakinan di balik kata-katanya. Hatinya masih dipenuhi kegelisahan, tapi ia tak ingin menunjukkan ketakutannya di depan wanita yang begitu ia cintai."Tentu saja, aku akan selalu melindungimu," jawab Ardan dengan suara yang mantap. "Tapi aku tetap tak bisa mengabaikan bahaya yang mengintai. Mahesa bukan orang sembarangan, dan Danu ... dia lebih licik dari yang kita duga."Ayunda tersenyum lembut, mencoba menenangkan kegundahan suaminya. Ia mengusap pipi Ardan dengan penuh kasih sayang. "Kita sudah melalui banyak hal bersama, Ar. Ini bukan pertama kalinya kita dihadapkan pada situasi sulit. Aku percaya padamu."Ardan menghela napas panjang. Ia tahu Ayunda selalu kuat, tapi kali ini situasinya berbeda. Mahesa dan Danu bukan lawan yang bisa diremehkan. Jika mereka benar-benar merencanakan sesuatu, maka ia harus lebih waspada dari sebelumnya."Baiklah," kata Ardan akhirnya. "Aku akan mencari ta
Mahesa awalnya berniat menghampiri ibunya dan ikut mencaci-maki, tetapi ia mengurungkan niatnya saat melihat Ayunda yang kini benar-benar berbeda. Ia tak menyangka bahwa wanita itu telah berubah begitu drastis—menjadi lebih berani daripada yang pernah ia bayangkan."Apa Ardan yang mengajarimu menjadi seperti ini? Dulu kau adalah wanita manis, lembut, dan mudah diinjak-injak tanpa perlawanan. Tapi sekarang ...."Mahesa merasa kesal. Dengan kondisinya yang lumpuh, ia kesulitan merencanakan cara untuk menyingkirkan Keyla dan membalas dendam kepada Ardan. Dulu, ia bahkan berhasil menyingkirkan anak mereka. Lalu, kenapa sekarang mereka kembali lagi?Tatapannya terus tertuju pada Ayunda. Kini, wanita itu bukan hanya berubah sikap, tetapi juga semakin cantik—terlebih dengan kariernya sebagai model ternama."Ah, kenapa dulu aku bisa menyia-nyiakannya?"Ayunda sudah melangkah meninggalkan dapur. Karena Bu Tari sudah dalam kebekuan tidak bisa menja
Ardan yang sejak tadi menunggu istrinya untuk membuatkan susu akhirnya memilih untuk menyusulnya ke dapur. Namun, yang ia temukan bukan istrinya, melainkan pertengkaran antara Keyla dan Mahesa. Pemandangan itu begitu membosankan baginya. Dahulu, Mahesa bisa merasa aman karena Ardan selalu membereskan masalah-masalahnya. Ia menutup rapat kasus-kasus Mahesa, memberikan kompensasi kepada korban-korbannya, bahkan berusaha membungkam mereka dengan kekayaan. Namun, semua perjuangannya terasa sia-sia karena Mahesa tidak pernah mengingat apa yang telah ia lakukan untuknya.Manusia memiliki batas kesabaran, dan mungkin sekarang Ardan telah sampai di titik itu. Apalagi sejak mengetahui bahwa Mahesa merencanakan pembunuhan terhadap anak yang dikandung Ayunda. Rasa marah dan kecewa membakar dadanya. Mahesa harus merasakan kehancuran yang selama ini ia timbulkan kepada orang lain.Saat melihat Ardan tersenyum ke arahnya, Mahesa justru merasa geram. Tatapan pria itu mengandung s
Ayunda dan Ardan terganggu dengan suara bising di luar. Mereka yang tengah beristirahat pun segera keluar dari kamar.Mereka terkejut melihat beberapa pria berbadan besar. Di antara mereka, tampak petugas dari pihak bank yang dengan kasar mengusir semua orang keluar dari rumah."Rumah ini sudah tergadai, perusahaan Tuan Surya pun telah bangkrut. Satu-satunya harta yang tersisa untuk menutupi separuh hutang adalah rumah ini. Oleh karena itu, kami akan menyitanya beserta seluruh isinya. Silakan kalian segera meninggalkan tempat ini," kata salah satu petugas dengan nada tegas.Bu Tari terperangah, matanya menatap penuh kepanikan pada suaminya, Tuan Surya, yang terlihat begitu frustrasi. Wajahnya pucat, tangannya gemetar, dan tatapannya kosong—seolah-olah dunianya telah runtuh seketika.Di sudut ruangan, Oma Ola hanya menggeleng tak percaya. Hatinya perih menyadari bahwa anaknya kembali melakukan kesalahan fatal. Ia tak menyangka bahwa Surya tetap tak
Ardan mencium kening sang istri, lalu dengan gagah ia memilih untuk segera pergi. Blue Cooperation adalah perusahaan yang ia bangun dengan susah payah seorang diri. Selain bekerja sebagai direktur di perusahaan milik sang ayah sebelum akhirnya digantikan oleh Mahesa, Ardan juga diam-diam merintis perusahaan ini tanpa diketahui banyak orang.Tak ada yang mengetahui keberadaan Blue Cooperation selain Ayunda. Bahkan Omanya pun tak pernah mengetahuinya. Semua ia rahasiakan, terutama setelah insiden yang membuatnya terus-menerus difitnah dan akhirnya menjauh dari orang-orang yang ia cintai.Beberapa waktu lalu, ayahnya sempat meminta untuk bekerja sama, tetapi Ardan tidak pernah mau menyetujuinya. Baginya, bekerja sama dengan sang ayah sama saja dengan bunuh diri, terlebih lagi perusahaan ayahnya sudah berada di ambang kebangkrutan.Dengan penuh wibawa, Ardan keluar dari mobilnya, disambut oleh beberapa karyawan yang menundukkan kepala dengan hormat. Sang asist
Setelah kejadian sore tadi, ternyata Ardan demam tinggi membuat Ayunda merasa begitu sangat khawatir ini untuk pertama kalinya sang suami kembali lagi sakit. Mungkinkah lelaki itu menahan rasa kecewa dan juga amarah yang begitu sangat dalam sampai-sampai tubuhnya pun sekarang begitu sangat lemah. "Sayang, cepat sembuh, ya." Ardan memang sudah diperiksa oleh dokter. Dan dokter mengatakan jika Ardan esok masih demam makan mau tidak mau harus segera dilarikan ke rumah sakit. Oma Ola pun berada di sebelah Ardan mereka berdua sama-sama menjaga lelaki itu dengan begitu sangat baik terlebih Ayunda yang bolak-balik mengganti kompresan sang suami dengan begitu sangat perhatian. Oma Ola merasa begitu sangat senang, akhirnya cucu yang selama ini ia sayangi mendapatkan istri yang benar-benar begitu sangat perhatian. Walaupun Ayunda bekerja sebagai model, tetapi ia tidak pernah lupa tugasnya sebagai seorang istri. "Oma, kalau mengantuk boleh istirahat terlebih dahul
Tuan Surya, Bu Tari, serta anak dan menantu mereka benar-benar merasa bingung. Terlebih lagi Keyla, yang statusnya masih belum jelas. Apalagi, ia belum menikah dengan Mahesa, sehingga semakin merasa terkucilkan dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini."Pokoknya Mama nggak mau tinggal di kontrakan kecil dan kumuh seperti ini lagi!" Bu Tari terus saja mengomel, suaranya melengking memenuhi ruangan yang sudah terasa sesak."Sudah, jangan banyak bicara! Memangnya cuma kamu saja yang pusing? Aku juga!" sahut Tuan Surya dengan nada kesal.Ia sudah menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Ternyata, Blue Cooperation adalah perusahaan yang dipimpin oleh Ardan. Tuan Surya benar-benar tidak menyangka bahwa Ardan bisa bersikap seperti itu."Ardan dan ayahnya itu sama saja, sama-sama licik!" celetuk Bu Tari dengan geram.Mahesa, sejak tadi hanya diam. Ia tahu, jika ayahnya bangkrut dan seluruh uang perusahaan serta aset mereka disita oleh bank, maka mereka juga harus membayar ganti rug
Dipta, yang awalnya tampak malu-malu, akhirnya mau juga makan bersama Oma Ola dan Ayunda. Di sana, si kembar disuapi oleh sang babysitter, karena memang mereka sedang sangat sulit makan—mungkin memasuki fase GTM (Gerakan Tutup Mulut). Padahal, Ayunda sudah berusaha memberinya vitamin, tapi tetap saja tidak banyak membantu. Namun, Ayunda tidak menyerah. Ia terus saja merayu si kembar dengan penuh kesabaran, sampai akhirnya mereka mau menghabiskan makanan, dibantu oleh tangan-tangan penuh kasih yang menyuapi.Malam itu menjadi momen pertama kalinya Dipta makan bersama keluarga Ayunda. Suasana di meja makan terasa hangat dan penuh tawa ringan. Oma Ola tampak sangat tertarik dengan kehadiran Dipta, sebaliknya Ayunda justru lebih banyak diam. Pikirannya berkecamuk, mengingat kejadian siang tadi saat Siren—mantan istri Dipta—melabraknya di tempat umum.Meski begitu, Ayunda mencoba menepis semua kekhawatirannya. Ia tahu, antara dirinya dan Dipta tidak ada hubungan apa-apa
Dipta memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. Suaranya terdengar berat, seperti mengaduk kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh.“Aku tumbuh dari keluarga yang kaya, semua orang pikir hidupku mudah. Tapi, waktu aku mulai mandiri dan bangun Skylar Group dari nol, aku sengaja nggak banyak ambil bantuan keluarga. Aku ingin semuanya berdiri atas kakiku sendiri.”Ia diam sejenak, menatap kosong ke depan.“Waktu itu, aku menikah dengan Siren. Cantik, cerdas, dan kelihatannya sangat mendukung. Tapi ternyata, gaya hidupnya jauh di luar batas. Boros bukan main. Aku masih bisa terima kalau cuma soal belanja—tapi saat perusahaanku mulai goyah, dia justru makin jauh. Dan yang paling menyakitkan, dia selingkuh dengan partner kerjaku sendiri.”Ayunda menelan ludah, kaget mendengarnya. Tapi ia memilih tetap diam, membiarkan Dipta melanjutkan.“Bayangin di tengah usaha mati-matian buat nyelametin perusahaan, aku malah dapet surat panggilan dari pengadilan agama. Tan
Ayunda dan Dipta yang baru saja selesai meeting dengan klien memutuskan untuk duduk santai dan mengobrol sejenak.Lagi pula, hari itu jadwal mereka cukup longgar. Tidak ada pekerjaan mendesak yang menanti, dan momen santai seperti ini jarang terjadi.Awalnya, Ayunda masih terlihat kaku—gaya bicaranya formal dan sikapnya cenderung menjaga jarak. Tapi seiring waktu berlalu, percakapan mereka mulai mengalir lebih bebas. Candaan kecil pun terlontar, disambut tawa ringan yang perlahan mencairkan suasana.Dipta diam-diam terpesona. Ada sesuatu dalam tawa Ayunda yang membuatnya terhenti sejenak—tulus, hangat, dan sangat berbeda dari kesan dingin yang biasa ia tunjukkan di kantor. Tawa itu seperti membuka sisi lain dari Ayunda yang selama ini tersembunyi di balik ekspresi seriusnya."Kayaknya aku baru pertama kali denger kamu ketawa segitu lepasnya," ujar Dipta sambil tersenyum heran.Ayunda melirik sekilas, lalu mengangkat alis. "Masa sih? Mungkin karena biasanya kamu ngajak ngobrolnya pas a
Hari-hari Ayunda kini sepenuhnya dipenuhi oleh pekerjaan. Ia tenggelam dalam tumpukan berkas, rapat, dan tanggung jawab sebagai CEO. Beberapa kali ia hampir menekan nomor William di ponselnya—ingin memintanya pulang lebih cepat, ingin sekadar berbagi beban. Namun setiap kali jari-jarinya mendekati tombol panggil, ia menarik napas panjang dan mengurungkan niat itu.Ia tidak boleh egois. William juga punya keluarga. Ia tahu betapa Keyla dan Kenan berharga bagi William, dan ia tidak ingin menjadi orang yang merusak kebahagiaan itu.Kadang-kadang, Ayunda hanya ingin menyerah. Ingin hidup sederhana. Menjadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya hadir untuk Aluna dan Elvano. Tapi ia tahu, dirinya tak bisa. Masa depan anak-anaknya bergantung padanya. Ia harus tetap kuat—demi mereka.Malam itu, Ayunda duduk di ruang kerjanya di rumah. Lampu redup menyelimuti ruangan, sementara matanya terpaku pada sebuah bingkai foto yang berdiri di meja—foto Ardan. Suaminya. Lelaki yang pernah menjadi seluruh hid
Ayunda merasa heran dengan keputusan mendadak William yang tiba-tiba mengajukan cuti. Padahal sejak meninggalnya Ardan, bahkan di hari libur pun William masih sering terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan.“Kok dadakan, Wil? Memangnya ada apa?” tanya Ayunda, mencoba menahan nada khawatir di suaranya.William tersenyum tipis, sedikit canggung. “Sepertinya aku dan Kayla ingin program adik untuk Kenan. Jadi kami berencana liburan ... mungkin ke luar negeri selama satu minggu.”Ayunda mengangguk pelan, mencoba mencerna. Ia tahu betul bahwa Keyla memang belum hamil lagi, dan beberapa kali sempat curhat padanya soal keinginannya untuk memberikan seorang adik bagi Kenan. Tapi tetap saja, keputusan ini terlalu tiba-tiba.“Tapi Wil, perusahaan kita sedang menjalin kerja sama penting dengan Skylar Group, dan kamu tahu sendiri hanya kamu atau aku yang bisa handle meeting dengan Dipta. Kita nggak bisa asal lempar ke tim lain.”William menatap Ayunda dengan tatapan memohon. “Tolonglah, Ay. Ken
William kembali datang dengan ide spontan yang seperti biasa sulit ditolak."Gimana kalau akhir pekan ini kita ajak anak-anak piknik? Biar mereka nggak bosan terus-terusan di rumah," usulnya santai saat mereka duduk di ruang tamu Ayunda.Ayunda sempat mengernyitkan dahi. "Piknik? Aku nggak yakin, Will. Aluna baru sembuh, dan Elvano belum tentu nyaman di tempat ramai."Namun belum sempat William menjawab, Keyla langsung menyambar pembicaraan, menarik tangan Ayunda dan merengek manja, "Aunty Yunda, ikut yaa, Kenan juga mau ikut, tapi aku nggak mau kalau nggak ada temen cewek."Ayunda menatap wajah polos Keyla yang memelas. Sulit baginya untuk menolak. Apalagi, Elvano dan Aluna memang jarang sekali pergi ke luar rumah.Ia pun akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi cuma sebentar, dan jangan terlalu ramai ya.”Hari piknik pun tiba. Mereka berangkat bersama—Ayunda, William dan keluarganya, serta Dipta yang sejak pagi sudah terlihat
Ayunda sudah kembali ke perusahaan. Pagi itu ia datang lebih awal dari biasanya. Tangannya cekatan membolak-balik beberapa berkas yang sempat tertunda selama Aluna dirawat di rumah sakit. Meski pikirannya belum sepenuhnya tenang, tapi ia tahu, tanggung jawabnya tak bisa lama-lama ia tinggalkan.Saat tengah fokus membaca laporan, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Dipta melangkah masuk tanpa ekspresi terburu-buru. Belakangan ini, lelaki itu memang jauh lebih sering muncul di perusahaannya. Karyawan pun mulai terbiasa dengan kehadirannya, bahkan tak sedikit yang mulai melihat sisi lain dari sang CEO—bukan hanya dingin dan tegas, tapi kini lebih ramah dan terbuka.“Oh, aku kira tadi William,” ucap Ayunda sambil tersenyum tipis.“Maaf mengganggu,” sahut Dipta santai.Ayunda mempersilakan Dipta masuk dan duduk. Ia pun memanggil OB untuk membawakan kopi, seperti biasa.“William belum datang, mungkin sebentar lagi dia muncul,” katanya sambi
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dekat dengan Ardan atau William,
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dek