"Cerdas, Oma suka pemikiran wanita seperti ini."
"Wanita memang harus independen," ujar Oma Ola.Mawar merasa tersinggung. Selama ini, ia hanya menghamburkan uang tanpa berpikir panjang.Keyla terdiam. Bukan hanya kekayaan, keluarga Atmaja juga menginginkan seseorang yang cerdas. Ia menunduk malu.Oma Ola menyesap tehnya dengan tenang, sementara suasana di ruangan itu menjadi sedikit canggung. Mawar berusaha menata perasaannya, mencoba meyakinkan diri bahwa ucapannya tadi tidak ditujukan untuk menyindirnya.Keyla masih menunduk, pikirannya berkecamuk. Ia merasa seakan dinilai dan diukur berdasarkan standar yang selama ini tidak pernah ia pikirkan."Kalian masih muda," lanjut Oma Ola, menatap mereka satu per satu. "Jangan sampai hidup kalian hanya bergantung pada harta tanpa memiliki nilai lebih. Dunia ini luas, banyak hal yang bisa kalian capai dengan usaha dan kecerdasan sendiri."Mawar menggigit bibirnya, merasa semakiAyunda sudah siap dengan pakaian rapi yang sangat cocok untuknya. Terlebih lagi, penampilannya semakin anggun dengan balutan tas mewah serta perhiasan sederhana, namun tetap memancarkan aura kecantikan yang elegan—seperti seorang wanita berkelas.Ardan sengaja meluangkan waktu untuk menemani Ayunda seharian, terutama saat tidak ada pekerjaan. Apalagi jika Ayunda menjalani sesi pemotretan untuk produk baru. Bukan karena ia tidak percaya kepada Ayunda, melainkan karena ia ingin selalu berada di dekatnya. Meskipun Ayunda memiliki seorang asisten, Ardan lebih suka jika dirinya sendiri yang menemani.Baru saja mereka menuruni anak tangga terakhir, terdengar keributan dari halaman. Di sana, terlihat Mawar dan Kayla sedang bertengkar hebat."Kamu yang nggak tahu diri! Dasar, sudah menumpang tapi sok-sokan bertingkah seperti tuan rumah!" bentak Mawar.Pakaian keduanya sudah acak-acakan, menandakan bahwa sebelum Ayunda dan Ardan turun, pertengkaran itu mun
Ardan memperhatikan ponsel Ayunda yang bergetar di kursi mobil. Nama Mahesa terpampang jelas di layar, membuat hatinya tiba-tiba terasa sesak.Ayunda yang baru saja hendak masuk ke dalam studio berhenti sejenak, menyadari bahwa ia lupa membawa ponselnya. Dengan langkah ringan, ia kembali ke mobil dan membuka pintu."Handphone-ku," ujarnya singkat sambil meraihnya dari jok.Ardan tetap diam, hanya memperhatikan istrinya dengan tatapan penuh arti. Namun, saat Ayunda melihat nama di layar ponselnya, ia hanya tersenyum kecil sebelum menekan tombol ignore."Kenapa nggak diangkat?" tanya Ardan, mencoba terdengar biasa saja.Ayunda memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menatap suaminya. "Untuk apa? Aku bilang tadi, aku lebih suka melihat Mahesa menderita lebih lama."Ardan tidak yakin apakah jawaban itu benar-benar tulus, atau hanya Ayunda mencoba menutupi sesuatu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh."Aku akan me
Ardan menatap dalam-dalam ke mata Ayunda, seolah mencari keyakinan di balik kata-katanya. Hatinya masih dipenuhi kegelisahan, tapi ia tak ingin menunjukkan ketakutannya di depan wanita yang begitu ia cintai."Tentu saja, aku akan selalu melindungimu," jawab Ardan dengan suara yang mantap. "Tapi aku tetap tak bisa mengabaikan bahaya yang mengintai. Mahesa bukan orang sembarangan, dan Danu ... dia lebih licik dari yang kita duga."Ayunda tersenyum lembut, mencoba menenangkan kegundahan suaminya. Ia mengusap pipi Ardan dengan penuh kasih sayang. "Kita sudah melalui banyak hal bersama, Ar. Ini bukan pertama kalinya kita dihadapkan pada situasi sulit. Aku percaya padamu."Ardan menghela napas panjang. Ia tahu Ayunda selalu kuat, tapi kali ini situasinya berbeda. Mahesa dan Danu bukan lawan yang bisa diremehkan. Jika mereka benar-benar merencanakan sesuatu, maka ia harus lebih waspada dari sebelumnya."Baiklah," kata Ardan akhirnya. "Aku akan mencari ta
Mahesa awalnya berniat menghampiri ibunya dan ikut mencaci-maki, tetapi ia mengurungkan niatnya saat melihat Ayunda yang kini benar-benar berbeda. Ia tak menyangka bahwa wanita itu telah berubah begitu drastis—menjadi lebih berani daripada yang pernah ia bayangkan."Apa Ardan yang mengajarimu menjadi seperti ini? Dulu kau adalah wanita manis, lembut, dan mudah diinjak-injak tanpa perlawanan. Tapi sekarang ...."Mahesa merasa kesal. Dengan kondisinya yang lumpuh, ia kesulitan merencanakan cara untuk menyingkirkan Keyla dan membalas dendam kepada Ardan. Dulu, ia bahkan berhasil menyingkirkan anak mereka. Lalu, kenapa sekarang mereka kembali lagi?Tatapannya terus tertuju pada Ayunda. Kini, wanita itu bukan hanya berubah sikap, tetapi juga semakin cantik—terlebih dengan kariernya sebagai model ternama."Ah, kenapa dulu aku bisa menyia-nyiakannya?"Ayunda sudah melangkah meninggalkan dapur. Karena Bu Tari sudah dalam kebekuan tidak bisa menja
Ardan yang sejak tadi menunggu istrinya untuk membuatkan susu akhirnya memilih untuk menyusulnya ke dapur. Namun, yang ia temukan bukan istrinya, melainkan pertengkaran antara Keyla dan Mahesa. Pemandangan itu begitu membosankan baginya. Dahulu, Mahesa bisa merasa aman karena Ardan selalu membereskan masalah-masalahnya. Ia menutup rapat kasus-kasus Mahesa, memberikan kompensasi kepada korban-korbannya, bahkan berusaha membungkam mereka dengan kekayaan. Namun, semua perjuangannya terasa sia-sia karena Mahesa tidak pernah mengingat apa yang telah ia lakukan untuknya.Manusia memiliki batas kesabaran, dan mungkin sekarang Ardan telah sampai di titik itu. Apalagi sejak mengetahui bahwa Mahesa merencanakan pembunuhan terhadap anak yang dikandung Ayunda. Rasa marah dan kecewa membakar dadanya. Mahesa harus merasakan kehancuran yang selama ini ia timbulkan kepada orang lain.Saat melihat Ardan tersenyum ke arahnya, Mahesa justru merasa geram. Tatapan pria itu mengandung s
Ayunda dan Ardan terganggu dengan suara bising di luar. Mereka yang tengah beristirahat pun segera keluar dari kamar.Mereka terkejut melihat beberapa pria berbadan besar. Di antara mereka, tampak petugas dari pihak bank yang dengan kasar mengusir semua orang keluar dari rumah."Rumah ini sudah tergadai, perusahaan Tuan Surya pun telah bangkrut. Satu-satunya harta yang tersisa untuk menutupi separuh hutang adalah rumah ini. Oleh karena itu, kami akan menyitanya beserta seluruh isinya. Silakan kalian segera meninggalkan tempat ini," kata salah satu petugas dengan nada tegas.Bu Tari terperangah, matanya menatap penuh kepanikan pada suaminya, Tuan Surya, yang terlihat begitu frustrasi. Wajahnya pucat, tangannya gemetar, dan tatapannya kosong—seolah-olah dunianya telah runtuh seketika.Di sudut ruangan, Oma Ola hanya menggeleng tak percaya. Hatinya perih menyadari bahwa anaknya kembali melakukan kesalahan fatal. Ia tak menyangka bahwa Surya tetap tak
Ardan mencium kening sang istri, lalu dengan gagah ia memilih untuk segera pergi. Blue Cooperation adalah perusahaan yang ia bangun dengan susah payah seorang diri. Selain bekerja sebagai direktur di perusahaan milik sang ayah sebelum akhirnya digantikan oleh Mahesa, Ardan juga diam-diam merintis perusahaan ini tanpa diketahui banyak orang.Tak ada yang mengetahui keberadaan Blue Cooperation selain Ayunda. Bahkan Omanya pun tak pernah mengetahuinya. Semua ia rahasiakan, terutama setelah insiden yang membuatnya terus-menerus difitnah dan akhirnya menjauh dari orang-orang yang ia cintai.Beberapa waktu lalu, ayahnya sempat meminta untuk bekerja sama, tetapi Ardan tidak pernah mau menyetujuinya. Baginya, bekerja sama dengan sang ayah sama saja dengan bunuh diri, terlebih lagi perusahaan ayahnya sudah berada di ambang kebangkrutan.Dengan penuh wibawa, Ardan keluar dari mobilnya, disambut oleh beberapa karyawan yang menundukkan kepala dengan hormat. Sang asist
Ardan menghela napas panjang, menatap wajah Ayunda yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Lima tahun telah berlalu sejak malam tragis itu, dan selama itu pula ia menjadi satu-satunya orang yang setia menemani Ayunda. Setiap hari, ia memastikan adik iparnya mendapatkan perawatan terbaik. Ia mengurus segala kebutuhannya, mulai dari mengganti perban luka-lukanya, memijat tubuhnya agar otot-ototnya tidak kaku, hingga membacakan cerita di sampingnya dengan harapan Ayunda bisa mendengar dan suatu hari akan bangun.Banyak orang yang mempertanyakan keputusannya. Bahkan ibunya sendiri pernah berkata, "Dia bukan istrimu, Dan. Kenapa kamu begitu keras kepala?" Tapi Ardan hanya tersenyum pahit. Ia tahu, perasaan yang ia miliki untuk Ayunda jauh lebih dalam dari sekadar tanggung jawab keluarga.Suaminya? Lelaki yang seharusnya ada di sini? Ia bahkan tak pernah datang setelah insiden itu. Sejak Ayunda terjatuh dan koma, pria itu seperti menghilang, tenggelam dalam kehidupannya sendiri dengan
Ardan mencium kening sang istri, lalu dengan gagah ia memilih untuk segera pergi. Blue Cooperation adalah perusahaan yang ia bangun dengan susah payah seorang diri. Selain bekerja sebagai direktur di perusahaan milik sang ayah sebelum akhirnya digantikan oleh Mahesa, Ardan juga diam-diam merintis perusahaan ini tanpa diketahui banyak orang.Tak ada yang mengetahui keberadaan Blue Cooperation selain Ayunda. Bahkan Omanya pun tak pernah mengetahuinya. Semua ia rahasiakan, terutama setelah insiden yang membuatnya terus-menerus difitnah dan akhirnya menjauh dari orang-orang yang ia cintai.Beberapa waktu lalu, ayahnya sempat meminta untuk bekerja sama, tetapi Ardan tidak pernah mau menyetujuinya. Baginya, bekerja sama dengan sang ayah sama saja dengan bunuh diri, terlebih lagi perusahaan ayahnya sudah berada di ambang kebangkrutan.Dengan penuh wibawa, Ardan keluar dari mobilnya, disambut oleh beberapa karyawan yang menundukkan kepala dengan hormat. Sang asist
Ayunda dan Ardan terganggu dengan suara bising di luar. Mereka yang tengah beristirahat pun segera keluar dari kamar.Mereka terkejut melihat beberapa pria berbadan besar. Di antara mereka, tampak petugas dari pihak bank yang dengan kasar mengusir semua orang keluar dari rumah."Rumah ini sudah tergadai, perusahaan Tuan Surya pun telah bangkrut. Satu-satunya harta yang tersisa untuk menutupi separuh hutang adalah rumah ini. Oleh karena itu, kami akan menyitanya beserta seluruh isinya. Silakan kalian segera meninggalkan tempat ini," kata salah satu petugas dengan nada tegas.Bu Tari terperangah, matanya menatap penuh kepanikan pada suaminya, Tuan Surya, yang terlihat begitu frustrasi. Wajahnya pucat, tangannya gemetar, dan tatapannya kosong—seolah-olah dunianya telah runtuh seketika.Di sudut ruangan, Oma Ola hanya menggeleng tak percaya. Hatinya perih menyadari bahwa anaknya kembali melakukan kesalahan fatal. Ia tak menyangka bahwa Surya tetap tak
Ardan yang sejak tadi menunggu istrinya untuk membuatkan susu akhirnya memilih untuk menyusulnya ke dapur. Namun, yang ia temukan bukan istrinya, melainkan pertengkaran antara Keyla dan Mahesa. Pemandangan itu begitu membosankan baginya. Dahulu, Mahesa bisa merasa aman karena Ardan selalu membereskan masalah-masalahnya. Ia menutup rapat kasus-kasus Mahesa, memberikan kompensasi kepada korban-korbannya, bahkan berusaha membungkam mereka dengan kekayaan. Namun, semua perjuangannya terasa sia-sia karena Mahesa tidak pernah mengingat apa yang telah ia lakukan untuknya.Manusia memiliki batas kesabaran, dan mungkin sekarang Ardan telah sampai di titik itu. Apalagi sejak mengetahui bahwa Mahesa merencanakan pembunuhan terhadap anak yang dikandung Ayunda. Rasa marah dan kecewa membakar dadanya. Mahesa harus merasakan kehancuran yang selama ini ia timbulkan kepada orang lain.Saat melihat Ardan tersenyum ke arahnya, Mahesa justru merasa geram. Tatapan pria itu mengandung s
Mahesa awalnya berniat menghampiri ibunya dan ikut mencaci-maki, tetapi ia mengurungkan niatnya saat melihat Ayunda yang kini benar-benar berbeda. Ia tak menyangka bahwa wanita itu telah berubah begitu drastis—menjadi lebih berani daripada yang pernah ia bayangkan."Apa Ardan yang mengajarimu menjadi seperti ini? Dulu kau adalah wanita manis, lembut, dan mudah diinjak-injak tanpa perlawanan. Tapi sekarang ...."Mahesa merasa kesal. Dengan kondisinya yang lumpuh, ia kesulitan merencanakan cara untuk menyingkirkan Keyla dan membalas dendam kepada Ardan. Dulu, ia bahkan berhasil menyingkirkan anak mereka. Lalu, kenapa sekarang mereka kembali lagi?Tatapannya terus tertuju pada Ayunda. Kini, wanita itu bukan hanya berubah sikap, tetapi juga semakin cantik—terlebih dengan kariernya sebagai model ternama."Ah, kenapa dulu aku bisa menyia-nyiakannya?"Ayunda sudah melangkah meninggalkan dapur. Karena Bu Tari sudah dalam kebekuan tidak bisa menja
Ardan menatap dalam-dalam ke mata Ayunda, seolah mencari keyakinan di balik kata-katanya. Hatinya masih dipenuhi kegelisahan, tapi ia tak ingin menunjukkan ketakutannya di depan wanita yang begitu ia cintai."Tentu saja, aku akan selalu melindungimu," jawab Ardan dengan suara yang mantap. "Tapi aku tetap tak bisa mengabaikan bahaya yang mengintai. Mahesa bukan orang sembarangan, dan Danu ... dia lebih licik dari yang kita duga."Ayunda tersenyum lembut, mencoba menenangkan kegundahan suaminya. Ia mengusap pipi Ardan dengan penuh kasih sayang. "Kita sudah melalui banyak hal bersama, Ar. Ini bukan pertama kalinya kita dihadapkan pada situasi sulit. Aku percaya padamu."Ardan menghela napas panjang. Ia tahu Ayunda selalu kuat, tapi kali ini situasinya berbeda. Mahesa dan Danu bukan lawan yang bisa diremehkan. Jika mereka benar-benar merencanakan sesuatu, maka ia harus lebih waspada dari sebelumnya."Baiklah," kata Ardan akhirnya. "Aku akan mencari ta
Ardan memperhatikan ponsel Ayunda yang bergetar di kursi mobil. Nama Mahesa terpampang jelas di layar, membuat hatinya tiba-tiba terasa sesak.Ayunda yang baru saja hendak masuk ke dalam studio berhenti sejenak, menyadari bahwa ia lupa membawa ponselnya. Dengan langkah ringan, ia kembali ke mobil dan membuka pintu."Handphone-ku," ujarnya singkat sambil meraihnya dari jok.Ardan tetap diam, hanya memperhatikan istrinya dengan tatapan penuh arti. Namun, saat Ayunda melihat nama di layar ponselnya, ia hanya tersenyum kecil sebelum menekan tombol ignore."Kenapa nggak diangkat?" tanya Ardan, mencoba terdengar biasa saja.Ayunda memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menatap suaminya. "Untuk apa? Aku bilang tadi, aku lebih suka melihat Mahesa menderita lebih lama."Ardan tidak yakin apakah jawaban itu benar-benar tulus, atau hanya Ayunda mencoba menutupi sesuatu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh."Aku akan me
Ayunda sudah siap dengan pakaian rapi yang sangat cocok untuknya. Terlebih lagi, penampilannya semakin anggun dengan balutan tas mewah serta perhiasan sederhana, namun tetap memancarkan aura kecantikan yang elegan—seperti seorang wanita berkelas.Ardan sengaja meluangkan waktu untuk menemani Ayunda seharian, terutama saat tidak ada pekerjaan. Apalagi jika Ayunda menjalani sesi pemotretan untuk produk baru. Bukan karena ia tidak percaya kepada Ayunda, melainkan karena ia ingin selalu berada di dekatnya. Meskipun Ayunda memiliki seorang asisten, Ardan lebih suka jika dirinya sendiri yang menemani.Baru saja mereka menuruni anak tangga terakhir, terdengar keributan dari halaman. Di sana, terlihat Mawar dan Kayla sedang bertengkar hebat."Kamu yang nggak tahu diri! Dasar, sudah menumpang tapi sok-sokan bertingkah seperti tuan rumah!" bentak Mawar.Pakaian keduanya sudah acak-acakan, menandakan bahwa sebelum Ayunda dan Ardan turun, pertengkaran itu mun
"Cerdas, Oma suka pemikiran wanita seperti ini.""Wanita memang harus independen," ujar Oma Ola.Mawar merasa tersinggung. Selama ini, ia hanya menghamburkan uang tanpa berpikir panjang.Keyla terdiam. Bukan hanya kekayaan, keluarga Atmaja juga menginginkan seseorang yang cerdas. Ia menunduk malu.Oma Ola menyesap tehnya dengan tenang, sementara suasana di ruangan itu menjadi sedikit canggung. Mawar berusaha menata perasaannya, mencoba meyakinkan diri bahwa ucapannya tadi tidak ditujukan untuk menyindirnya.Keyla masih menunduk, pikirannya berkecamuk. Ia merasa seakan dinilai dan diukur berdasarkan standar yang selama ini tidak pernah ia pikirkan."Kalian masih muda," lanjut Oma Ola, menatap mereka satu per satu. "Jangan sampai hidup kalian hanya bergantung pada harta tanpa memiliki nilai lebih. Dunia ini luas, banyak hal yang bisa kalian capai dengan usaha dan kecerdasan sendiri."Mawar menggigit bibirnya, merasa semaki
Makan malam pertama di kediaman Atmaja berlangsung dengan penuh ketegangan. Seluruh anggota keluarga hadir, termasuk Mahesa, yang kini sudah diperbolehkan pulang meski harus menggunakan kursi roda. Ia tetap duduk di meja makan, ikut serta dalam kebersamaan yang terasa dingin.Ayunda duduk di sebelah Ardan, sementara Bu Tari sibuk menyiapkan makanan untuk suaminya. Setelahnya, Ayunda dengan tenang menyiapkan makanan untuk Ardan. Gerak-geriknya menjadi pusat perhatian, seolah setiap tindakan yang ia lakukan harus dinilai dan dikomentari.Mahesa, yang duduk di seberang, menatapnya dengan tajam, sorot matanya penuh kemarahan yang tidak tersamarkan."Lakukan apa pun sesukamu," suara Bu Tari tiba-tiba memecah kesunyian. "Tapi sikap makanmu yang manis itu tidak akan pernah menghapus fakta bahwa kamu hanyalah seorang wanita miskin."Ardan yang mendengar itu langsung menatap ibunya dengan sorot tajam, jelas tidak terima. Namun, sebelum ia sempat membuka mu