Banyak orang mengerumuni jenazah pak Bowo. Tak ada usaha penyelamatan dilakukan, karna korban sudah meninggal. Mereka membopong tubuh pak Bowo masuk ke dalam rumah.
Upik masih berdiri di teras gudang, ia menyaksikan sendiri bagaimana benda bulat hitam itu mengeluarkan cahaya ungunya, saat terjadi angin, mendung dan kilat.Upik berlari mengejar benda bulat itu, ia sembunyikan di balik bajunya. Seolah tak perduli keributan yang terjadi, ia berlari menuju rumahnya.Sampai di rumahnya, ia keluarkan benda bulat itu dari bajunya. Ia perhatikan betul-betul, benda itu tampak tak mengeluarkan cahaya ungu lagi dari celah-celah retakannya. Digoncang-goncangkannya benda tersebut, namun benda itu tetap tak mengeluarkan cahayanya."Kau ini apa?"Benda bulat itu tampak mengeluarkan cahaya redup keunguan tidak seperti biasanya, lantas padam kembali."Apa kau hidup?"Kembali benda bulat itu mengeluarkan cahaya redupnya seolah menyahuti pertanyaan Upik."Kau mengenalku?"Kembali mengeluarkan cahaya, dan kemudian padam."Kau bisa berubah jadi apa saja?"Kembali bercahaya."Aku melihatmu melakukan itu semua, untuk apa?"Benda itu kali ini tak mengeluarkan cahayanya."Kenapa tak menjawabku? kalau benar kau hidup, apa kau juga makan?"Benda itu kembali mengeluarkan cahaya, dan kemudian padam lagi."Apa yang kau makan?"Benda itu tak mengeluarkan cahaya lagi. Sampai berkali-kali Upik bertanya hal yang berbeda, tak ada cahaya yang keluar lagi."Apa kau lapar?" Upik berencana mengakhiri pertanyaannya jika benda itu tak mau mengeluarkan cahayanya lagi.Benda itu kemudian bercahaya, dan padam kembali."Jika kau tak makan, apa kau akan mati?"Benda itu kemudian bercahaya, dan padam kembali."Kalau begitu apa yang kau makan?"Benda itu tak bercahaya. Upik beranjak keluar, mengambil ubi kayu yang ia simpan di kolong rumahnya. Ia dekatkan pada benda itu, namun tetap saja benda itu tak mengeluarkan cahayanya. Upik berlari menuju kandang ayam, berpikir mungkin di dalam benda itu bersemayam semacam iblis atau makhluk halus, menginginkan darah segar seperti yang pernah ia dengar dari dongeng-dongeng ibunya dahulu. Namun, benda itu tak bercahaya sama sekali.Upik tampak kesal,"Ya sudah, aku tak tau apa yang kau makan. Jangan salahkan aku jika kau mati kelaparan."Upik memasukkan benda itu ke dalam tas karung tempat pakaiannya.***Hari sudah petang, Upik berlari menuju belakang rumah pak Bowo. Berharap jatah makan malamnya sudah ada di bawah pintu dapur. Dan betapa girangnya ia mendapati makan malamnya kali ini tak seperti biasanya. Sebuah nasi bungkus. Ia ambil bungkusan tersebut, meloncat kegirangan, berlari menuju rumahnya.Ia buka bungkusan tersebut, matanya berbinar, nasi padang terhidang di depannya. Karna kali ini ia makan enak, tak lupa ia keluarkan benda bulat itu dari tasnya, dan memanggil tikus putih agar duduk makan bersama dengannya.Tikus itu datang mendekati Upik, benda bulat itu tak mengeluarkan cahayanya. Upik makan dengan lahapnya, bersama tikus itu mereka menghabiskan sebungkus nasi tanpa sisa.Kantuk berat tiba-tiba melanda, Upik dan tikus tak bisa melawan kantuk, mereka berdua tertidur seketika. Sebelum terkapar, tikus masih sempat masuk ke dalam pakaian Upik. Benda bulat itu mengeluarkan cahaya ungunya redup berkedap-kedip, menggelinding masuk ke dalam tas pakaian Upik.***Malam semakin larut, tampak dua orang laki-laki berpakaian serba hitam membuka pintu rumah Upik. Mereka mengendap-endap mengangkat tubuh Upik. Anehnya Upik sama sekali tak sadarkan diri. Pakaian Upik dikemas dalam tas karung itu, tubuh Upik diangkat dan dibawa menuju sebuah mobil.Mobil melaju kencang menembus malam. Setelah menempuh jarak berkilo-kilo meter, tampak mobil tersebut berhenti di tepian sungai, di bibir sungai terdapat sebuah sampan yang terbuat dari kayu. Tubuh Upik beserta tas pakaiannya diletakkan di sampan itu, dan didorong ke tengah sungai."Hallo Buk, Pak. Anak itu sudah kami hanyutkan ke sungai."***Matahari bersinar terik, di tengah sungai tanpa atap pelindung, tubuh Upik mengapung di atas sampan. Ia meringis kepanasan, matanya sakit berhadapan langsung dengan teriknya sinar matahari. Seketika Upik terlonjak kaget menyadari dirinya ada di tengah-tengah sungai.Ia amati sekitar, sejauh mata memandang, pinggiran sungai hanya pepohonan dan hutan yang rimbun dan gelap. Suara-suara binatang hutan bersahut-sahutan, Upik ketakutan.Ia kemudian teringat pada benda bulat yang ia simpan di dalam tasnya, segera ia rogoh tas itu. Ia kemudian menghembuskan nafas lega, benda bulat itu menggelinding keluar dari tas."Kau tau kita dimana ini?"Benda itu tak mengeluarkan cahayanya."Kenapa kau tak menyelamatkan aku? kukira kau bisa melakukan banyak hal."Benda itu tak mengeluarkan cahaya."Ini dimanaa? aku sangat takut!"Tikus putih keluar dari pakaian Upik, tampaknya tikus itupun baru saja terbangun dari tidurnya. Tikus itu mencakar tangan Upik, hingga benda bulat itu terlepas dari tangannya. Benda itu menggelinding di tengah sampan, berhenti seketika. Beberapa detik kemudian retakan-retakan di permukaan benda itu membuka melebar, membentuk rekahan menganga. Benda itu tampak menyerap sinar matahari, cukup lama sampai akhirnya Upik mengerti kalau makanan benda itu adalah Sinar dan panas matahari.Masih dalam keterpanan melihat pemandangan ajaib di depannya, ia kemudian menyaksikan benda bulat itu seketika bertansformasi menjadi sesosok manusia berpakaian serba putih. Upik terlonjak kaget, ia mundur beberapa jengkal.Sosok itu seorang pria muda berusia bekisar dua puluh tahunan. Sangat bersih, bercahaya dan tampan."Sssiii, siapa kamu?!""Aku adalah wujud manusia dari bola ungu tadi.""Apa ini wujud aslimu? kau juga bisa berubah menjadi Endang dan pak Bowo.""Yaa, ini wujud asliku.""Apa kau manusia?""Bukan, aku adalah jelmaan dari ruh doa-doa ibumu yang tak sempat terkabul dan terkubur bersama jasadnya di bawah tumpukan ubi kayu yang kau dapati malam itu.""Apa kau pernah berjumpa dengan ibuku?""Tidak, aku hanya diberikan amanat untuk menjagamu.""Lantas mengapa tak kau selamatkan aku saat mereka membawaku?""Aku lapar, aku butuh sinar dan panas matahari untuk mengembalikan energiku yang terkuras habis.""Terkuras habis?""Setiap aku merubah wujudku, jika itu wujud asliku energi yang berkurang tidak seberapa, namun jika merubah wujud menjadi sosok lain, atau mengeluarkan kekuatan seperti angin dan petir kemaren, itu benar-benar menguras banyak energi.""Maafkan aku, aku tak paham semalam. Apakah mereka menaburkan sesuatu di makanan semalam?""Ya, semacam ramuan tidur.""Apakah kau berhak membunuh orang?""Kenapa? siapa yang ingin kau bunuh?""Oooh tidak. Maksudku, kenapa kau membunuh pak Bowo? kudengar dia adalah ayah kandungku." Upik menunduk, ia mengingat kata-kata Endang kemarin."Aku sama sekali tidak berhak membunuhnya, hanya saja ia berulang kali bersumpah. Dan aku mendapat pesan, bahwa ia layak mendapatkan apa yang ia sumpahkan, akupun tak menduga kalau Yang Kuasa ternyata mengambil nyawanya melalui petir itu.""Apakah ibuku juga dibunuh?" Upik bertanya bergetar, matanya panas menahan lelehan air matanya."Akan kutampakkan padamu kisah Ibumu dan pak Bowo."Pria itu mendekati Upik, menggenggam tangan Upik. Di genggaman itu keluar cahaya berwarna putih keunguan."Kau akan bisa melihat kilas balik kisah Ibumu semasa hidup sampai ia meninggal, pejamkan matamu."________________"Aku tak mau berpisah denganmu Bowo! kau sudah berjanji menikahiku!""Aku tak bisa Ainun. Jika kita menikah, kita mau makan apa? aku sama sekali tak punya pekerjaan.""Lantas kau memilih Laila karna ia memiliki Peternakan Ayam?""Ini kesempatanku untuk merubah hidup Ainun. Mengertilah! Peternakan ayam milik keluarga Laila itu sangat besar, orangtuanya berjanji akan memberikan seperempat dari ternak ayam itu menjadi hak milikku jika aku menikahi putrinya.""Lantas bagaimana nasibku Bowo? kau lupa, aku mengandung anakmu sekarang? sudah memasuki empat minggu Bowo!""Aku mencintaimu Ainun, hanya saja kau harus ikuti rencanaku. Aku takkan membiarkanmu sendirian.""Apa rencanamu?""Kau akan kubawa ke rumah kami setelah aku menikahinya nanti. Akan kuperkenalkan kau sebagai sepupuku yang hamil di luar nikah.""Bagaimana kau bisa meyakinkannya?""Dia cinta mati padaku Ainun, dia akan menurutiku."***Rencana Bowo benar-benar terjadi. Ia menguasai seperempat dari ternak ayam milik keluarga Lail
Sampan terus mengikuti arus sungai, saat Pemuda bola cahaya itu melepas genggamannya dari tangan Upik, cahaya yang keluar meredup kembali. Upik yang menyadari itu langsung tersentak, ia masih belum percaya dengan penglihatannya baru saja. Kilas balik tentang kisah hidup orangtuanya dan dirinya. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Pemuda itu. Upik tiba-tiba menunduk, isaknya terdengar sesak. Sebenarnya ia tidak mengerti tentang arti hidupnya sampai saat ini. Ia lahir dan hidup dengan penuh kepalsuan dan pembodohan. Membayangkan betapa sulit dan menyedihkannya akhir hidup Ibunya, Upik terisak terputus-terputus, "Maaak..." lirihnya, air mata dan ingusnya seketika membanjiri wajahnya. Tikus yang seolah mengerti kondisi Upik naik ke atas pundaknya, berdecit seolah mengatakan turut berdukanya. "Ini sudah ditakdirkan Upik, aku akan selalu membantumu dalam kondisi apapun. Perjalanan menemukan jati dirimu akan dimulai dari sini.""Jati diri?""Ya! selama ini kau terkurung dan disembunyikan, saa
***Aliran sungai yang tenang perlahan membawa sampan menuju pinggiran sungai. Tak begitu jauh terlihat aktifitas warga setempat seperti menyuci pakaian, menyuci piring, mandi dan beberapa anak-anak yang bermain air. Awalnya Upik sumringah, ia sudah membayangkan perubahan hidupnya akan di mulai dari pinggir sungai ini. Bayangan bisa berdampingan dengan masyarakat, beraktifitas seperti orang-orang kebanyakan, dan bercengkrama dengan sesama layaknya manusia, kian membuatnya bersemangat. Tubuhnya ia bungkukkan, kepalanya ia condongkan ke depan, seolah tak sabar menyapa mereka yang berada di pinggiran sungai tersebut. Namun sayang, saat sampan mendekati orang-orang tersebut, respon ketakutan yang ia dapat. Orang-orang yang sedang beraktifitas di pinggir sungai mendadak beringsut, menunjukkan gestur mengusir. Tangan mereka dipukul-pukulkan ke air menghalau sampan mendekat. "Orang gilaaa...! orang gilaa...!" sorakan dari anak-anak yang mengiringi halauan orang tua mengusir Upik untuk men
***Mereka melihat Upik sendirian di atas sampan, penampilan yang tak wajar atau lebih tepatnya seperti orang tak waras, dengan tas karung usang di tangannya. Tiga orang laki-laki tersebut mendadak tertawa, meledek dan ada pula yang menyiram-nyiramkan air ke arah Upik. Salah seoerang yang memegang botol minuman meludah ke arah Upik, yang memegang alat dayung, memukul-mukulkan dayungnya ke sampan yang dinaiki Upik, dan yang berdiri sambil memegang Jala meniru-nirukan gestur kera dengan suara khas keranya. Upik beringsut menjauhkan posisi duduknya dari mereka, dia ketakutan, tas karungnya ia pegang erat-erat, ia tutup matanya sambil berharap Mpus merubah dirinya seketika menjadi manusia bersih dan terlihat normal, agar tiga orang tersebut berhenti membulinya. Berapa kalipun Upik menutup matanya sambil berharap Mpus merubahnya, atau memperlihatkan keajaibannya, saat Upik membuka mata, keadaan tetap sama saja. Hingga sampan milik tiga orang laki-laki tersebut perlahan menjauhinya. Upi
***Sore menjelang petang, Mpus dan Upik sudah berjalan jauh dari tepian sungai. Mereka bertemu beberapa orang yang berlalu lalang yang selalu melihat mereka dengan tatapan heran, terutama melihat Mpus. Dari sekian orang yang mereka lalui, ada beberapa yang menyempatkan menyapa. "Dari mana ini ya Mbak dan Masnya?""Kita dari Desa sebelah pak." Mpus yang menjawab. "Ooo, pantas terlihat asing. Mas dan Mbaknya mau kemana?"Mpus dan Upik saling berpandangan, sampai saat ini mereka belum memiliki tujuan. "Kami baru saja di usir oleh orangtua kami Pak, dia adik saya. Ayah kami menikah lagi dengan perempuan jahat." Mpus mulai mengarang sebuah kisah. "Aduuh, kasihan sekali. Padahal kalian terlihat cantik dan tampan. Bahkan pakaian Mas terlihat sangat berbeda dengan pemuda-pemuda yang biasa saya lihat.""Pakaian saya kenapa Pak?" Mpus memperhatikan pakaiannya dari bawah. "Seperti Pemuda Pengembara saja yang saya lihat di filem-filem, hehehhe..." Mpus dan Upik saling berpandangan. Upik t
***Kriiieeeetttt.... Suara derit pintu terdengar pelan, sosok tersebut mendekati Upik, duduk di sisi dipan dengan mata yang menatap dari kepala sampai ke kaki Upik. "Nuurr..." bisiknya mendekatkan wajahnya ke telinga Upik. Upik menggeliat, lelah seharian membuatnya tak peka dengan bisikan itu. Sosok itu membelai rambut Upik, wajah yang penuh nafsu mendekati leher dan dada Upik. Nafasnya memburu, mengendus aroma tubuh Upik. Tikus putih yang sedari tadi tertidur di balik bantal, menyadari kehadiran seseorang di bilik itu. Tikus tampak memperhatikan sosok tersebut, ia kemudian berdecit keras-keras seolah ingin membangunkan Upik. Mendengar suara decitan tikus tersebut begitu mengganggu. Sosok tersebut menangkap tikus itu dan melemparkannya ke dinding. Tikus terpental ke dinding dan jatuh ke lantai terkulai lemas. Menyadari ada yang tak beres, Upik terbangun. Ia melihat sosok itu tengah berada di atas tubuhnya, duduk berjongkok. "Siapa kamu?!" Upik panik, ia duduk dan mundur. Mel
***Upik mendekap tas karungnya, matanya tak lepas melihat ke arah botol yang semeteran jaraknya dengan tempat ia bersembunyi. Ia berada di tengah-tengah kolong. Tempat itu benar-benar tidaklah nyaman. Di tepi kolong yang berbentuk segi empat itu, hujan sangatlah deras menghantam tanah, menyebabkan percikannya membasahi tubuh Upik. Upik berusaha menjangkau botol tersebut dengan kakinya, berharap bisa menendangnya agar menjauhi posisinya. Belum sampai kakinya mengenai botol, tiba-tiba sosok dari atas menyembulkan kepalanya ke bawah. Membuat Upik terkejut bukan kepalang. Keadaan semakin didramatisir dengan kilat dan petir yang bersahutan. Suasana gelap, membuat kepala yang menyembul ke bawah tak memperlihatkan dengan jelas wajah si pemilik. Kepala yang menyembul itu seperti memperhatikan sekitar, Upik berharap kilatan cahaya tak memperlihatkan keberadaan dirinya di bawah kolong. Sebuah tangan meraba-raba mencari botol yang jatuh, dan saat botol tersebut bisa diraih, kepala tersebut ter
***"Kke, kesinikan kepalamu lagi! mendekat!" perintah Mpus. Si Laki-laki itu menuruti perintah Mpus. "Siapa namamu?""Saya Liom Tuan, Julian Liom.""Namamu unik, seperti nama seorang bangsawan."Mpus meletakkan telapak tangannya ke kepala Liom, ia berencana melihat latar belakangnya dari memorinya. Dalam sekejap, Mpus sudah berada di alam memori Liom. Mpus melihat ia tengah berada di sebuah rumah yang besar. Di sana ia melihat Liom diseret dan dimasukkan ke dalam sebuah gudang oleh laki-laki bertubuh besar dan tegap. Di belakangnya seorang wanita yang tersenyum penuh kemenangan. Liom adalah anak semata wayang dari pemilik Perkebunan di desa itu. Ibunya sudah lama meninggal, dan Bapaknya menikahi wanita muda yang kejam. Sejak remaja Liom dicekoki beberapa obat-obatan oleh Ibu tirinya, hingga ketergantungan. Liom tak pernah bersekolah sejak lulus SMP. Liom selalu dikurung di kamarnya, karna diduga menderita berbagai macam penyakit. Liom ketergantungan obat-obatan terlarang. Penyup
*** "AAAAAAAAA!!!" Santi berteriak, mengejutkan penghuni rumah yang sudah hampir terlelap. Upik yang sudah tidak tidur bersama lagi dengan Santi dan kini ia menghuni kamar Rian, terhenyak setelah lima menit ia memejamkan mata. "Santi? kenapa dia?!" ucap Upik segera beranjak dari ranjangnya. Dug! Dug! Dug! Santi menggedor-gedor pintu kamarnya yang ternyata sengaja dikunci dari luar oleh Liom karena seringnya Santi berusaha untuk kabur. Wajahnya tampak pucat dan berkeringat demi menyadari waktu pada Bom itu tinggal tiga menit lagi. Liom dan Rian yang tidur sekamar langsung beranjak begitu mendengar teriakan Santi. "Kau mengunci kamarnya, Julian?!" tanya Rian panik. "Ya! cepatlah!" "Ach! si4l!" gerutu Rian panik. Liom dan Rian membuka pintu kamar, di depan kamar mereka, tampak Upik yang sudah bergegas menuju kamar Santi. Liom dan Rian-pun mengikuti langkah upik bersamaan. Namun langkah mereka seketika berhenti saat Mpus mendahului mereka bak hembusan angin. Mpus sudah b
"KENAPA KAU SERAHKAN BAYIKU, B4JINGAAAAN!!!" Praaankk!! Praaangggg!!! Santi mengamuk, ia yang seharusnya masih lemah dan berdarah-darah melangkah menuju sebuah vas bunga besar di atas nakas dan melemparkannya ke arah Mpus. Vas bunga itu pecah berkeping-keping dengan tumpahan air yang mengisi vas itu menggenang di lantai. Mpus bergeming, ia berdiri menatap pintu masuk ruang tamu sambil bersidekap. "Apa maksudnya ini? jadi, jadi kau tadi diam tak menjawab bukan karena kehendakmu, Santi?" tanya Liom tampak bingung. "Aku yakin, pria aneh ini yang menahanku untuk tidak bereaksi! entah apa maksudnya?! apa kau langsung gil4 saat mendapati jumlah uang dan mendengar nominal sepuluh juta dolar?! Hah! tak kusangka orang aneh sepertimu bahkan lebih matrealistis dari orang sepertiku!" cecar Santi sembari menunjuk-nunjuk ke arah Mpus dengan netra melotot dan berair. Liom menatap nyalang ke arah Mpus yang masih bergeming tak menyahut, ia mengernyitkan keningnya tak mengerti. Liom menoleh ke ar
***Mpus yang menyadari Wijaya telah berada di dekat mereka segera pasang badan. Ia menghalangi Wijaya untuk mendekat. "Kau, siapa? penampilanmu aneh sekali! dari tadi aku salah fokus padamu! apakah kau semacam dukun atau paranormal?" tanya Wijaya memperhatikan Mpus dari ujung kaki ke kepala. "Kau tak berhak atas bayi itu! enyahlah dari sini!" "Oh, ya?! begitukah? kau tak bertanya dulu pada Santi? isteriku?" tanyanya percaya diri. Mpus berpaling, melihat ke arah Santi yang sedang memeluk bayinya. Santi tampak ragu dan menatap Mpus dan Wijaya bergantian. "Ayo, mari! berikan bayi itu padaku, Santi!" ucap Wijaya masih percaya diri. "Kau telah berjanji akan menceraikan kedua isterimu jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Mas!" Wijaya berdecak kesal. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan membuang cerutunya sembarang. "Sepertinya ada yang kau tak mengerti, Santi! aku tak mungkin menceraikan mereka!""Apa maksudmu, Mas? bukankah kau yang kemarin bersumpah akan men
*** Wijaya adalah suami Santi, seorang pria berpengaruh di Kota ini. Menikahi Santi baginya adalah sebuah kesalahan yang ternyata berbuah manis. Hanya saja, manisnya buah tak bisa ia miliki begitu saja, karna Santi bukanlah wanita lemah dan bodoh seperti sangkaannya pertama kali, demikian buah manis itu tak pula dengan mudah ia peroleh karna terhalang oleh dua orang Istrinya. Sebenarnya Wijaya menikahi Santi tidaklah ia rencanakan. Hanya main-main, demikian dengan Surat Perjanjian yang ia tandatangai asal saja. Baginya, tidur dengan banyak wanita, dan tak ada satupun yang mengandung anaknya, sudahlah membuktikan bahwa dirinyalah yang bermasalah. Tapi tidak dengan Santi, Ia ternyata benar-benar mengandung darah dagingnya. Awalnya, Wijaya meragukan kalau yang dikandung Santi adalah darah dagingnya. Seperti kebanyakan wanita yang mendatanginya dan mengaku hamil. Namun, karna kepercayaan diri Santi yang tinggi, Santi juga dalam keadaan perawan saat ia nikahi, dan ia bersedia melakukan
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w
***Liom dan Upik langsung mengejar dan melihat ke bawah. Mata mereka melotot, tangan mereka seakan ingin meraih, namun hanya railing tangga yang bisa mereka raih dan genggam. Sementara si Kurir berlari menghindar dan mendekati Lelaki asing yang masih bersujud kesakitan. Liom dan Upik melihat ke bawah, Santi berada di sana, namun tidak ada hal yang mengenaskan terjadi. Santi sedang digendong melayang oleh Mpus. Melihat itu, Liom dan Upik langsung terduduk lemas, mereka menghembuskan nafas lega. Tak terbayangkan jika Santi mengalami hal yang mengerikan itu, jatuh dari lantai dua dalam keadaan hamil besar. Tubuh Santi digendong Mpus masih dalam keadaan melayang. Mata mereka beradu, namun Mpus segera mendongakkan wajahnya melihat ke atas. Sementara Santi masih syok dan terperangah. Antara percaya dan tidak percaya, mereka berdua benar-benar sedang melayang di udara, kaki Mpus sama sekali tidak menapak di lantai. Ia pandangi wajah Mpus yang teduh dan tampan. Seketika ia terjebak lagi
***Sosok itu menekan tombol-tombol itu, kemudian membuka-buka berkas yang ada di sana. Sepertinya sosok itu berhasil membuka pintu brankas itu. Mpus membuka pintu kamar itu lebar, sosok itu langsung menoleh dan terkejut. Ia tampak tak menduga seseorang bisa menyadari apa yang ia lakukan di kamar Bambang. "Kau lupa dengan sumpahmu, Rian?" tanya Mpus. "Aaaaah, kukira kau siapa!?" Rian tampak sedikit lega dan memasukkan berkas itu kembali ke dalam brankas. "Kau sedang apa?" tanya Mpus. "Aku sedang mengganti pin sandinya, aku khawatir Santi melihatku tadi menekan tombol sandinya.""Aku berharap kau tak lupa akan sumpahmu!" "Aku tak mungkin berkhianat. Meskipun kemarin Julian tidak membuat perjanjian darah padaku di depanmu, aku takkan berkhianat!""Kuharap demikian, kalau kau berusaha mengkhianati Liom, kau pasti tahu akibatnya.""Aku sudah selesai merubah pinnya, apa kau mau bertahan di sini?" Rian beranjak dari posisi berjongkoknya, hendak keluar kamar. Mpus membiarkan Rian berl
***Lima hari dalam perawatan, akhirnya Liom diperbolehkan pulang, namun harus terus melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit. Mpus, Upik, Rian dan Santi berada satu mobil dengan Liom. Tujuan mereka adalah ke rumah Bambang di tengah-tengah Perkebunan. Ya, rumah masa kecil Liom dan keluarganya, sekaligus rumah yang didiami Rianti selama ini."Santi, kau tidur dengan Upik di kamar tamu lantai dua ya!? dan aku bersama Mpus." Liom membuka percakapan. "Ogah banget berbagi kamar dengan perempuan kampung ini." jawab Santi. "Yasudah, kamu tidur bersama Mpus saja." kata Liom. "Kamu apa-apaan sih, Liom!? di rumah ini ada banyak kamar tamu, kenapa gak masing-masih saja sih?" "Kamu sedang hamil besar, seseorang harus selalu ada di sisimu untuk berjaga-jaga." terang Liom. "Okee! oke! baiklah! tapi, aku tak mau seranjang dengannya." "Di kamar tamu nomor dua, itu khusus untuk anak. Jd ranjangnya ada dua, selesai kan?!" jelas Liom pada Santi. Santi hanya diam meski tetap bersungut-sungut tak je