Mendapati hal tersebut, buk Laila langsung naik pitam. Emosinya membara, ia mengambil sekop dan melangkah lebar-lebar hendak menghantamkan sekop tersebut ke arah mereka berdua.
Kepanikan terjadi, pak Bowo sontak menghindar, demikian Endang. Sekop tertancap di tengah-tengah antara pak Bowo dan Endang."Kurang ajar! laki-laki iblis! lacurrr!!" teriak buk Laila menggelegar. Ia melempar apapun yang ia dapati di gudang itu ke arah mereka berdua. Endang yang menyadari posisinya sedang tak aman segera menyelamatkan diri, berlari keluar sambil menyambar pakaiannya. Ia berpakaian sambil berlari.Pak Bowo tak kalah panik. Ia berusaha menghindar sambil tetap berusaha menenangkan istrinya."Buuuuk, tenang Buuuk! ini tidak seperti yang Ibuk fikirkan.""Kau menelfonku dengan alasan sakit, tapi kau malah pijat-pijatan dengan Pelacur itu!""Siapa yang menelfon? aku gak pernah menelfon Ibuk.""Sialaaan! kau rasakan ini!" bu Laila melempar sebuah ember ke arah kepala pak Bowo, dan tepat sasaran."Tolong...! tolong!" teriak pak Bowo.Para pekerja, Upik dan Sukiyem berhambur ke luar demi mendengar teriakan dari dalam gudang.Mereka masuk ke gudang, menyaksikan sepasang suami istri sedang bersitegang. Yang satu memburu dan yang satunya lagi menghindar ketakutan.Para pekerja segera berlari menuju buk Laila. Menahan buk Laila agar tak mengejar pak Bowo."Kaaaau akan kuceraikan segera! sepeserpun dari hartaku takkan kubagi untukmu biadab!" teriak Buk Laila menunjuk-nunjuk ke arah pak Bowo."Tenang dulu buuuk, ini salah paham."Pak Bowo berusaha mengenakan pakaiannya sebisanya. Sambil menenangkan istrinya yang sudah dirasuki ambisi ingin menghabisinya."Ini ada apa sih Buk?" tanya Sukiyem."Dia berzinah dengan si Endang di dalam gudang ini, menjijikkan! Cueh!""Ha? berzinah?! loh, bukannya Bapak tadi nyuruh saya nelfon ibuk karna badan Bapak sakit-sakit semua?"Pak Bowo tercekat, ia bingung."Tunggu! kau bilang apa? saya menyuruhmu menelfon Ibuk?""Iyaa, tadi saya sedang setrika baju itu di ruang tengah. Bapak datang dari belakang nyuruh saya telfon ibuk segera.""Sukiyeem! saya tidak pernah menyuruhmu seperti itu. Bahkan saya tidak ada masuk ke rumah sedari tadi.""Lah?! saya juga berani bersumpah Pak, tadi Bapak nyuruh saya telfon Ibuk untuk datang kesini.""Ooooh sudah berapa lama kalian berzina sedari tadi?!" buk Laila kembali memanas.Menyadari dirinya terpojok, pak Bowo berusaha membujuk buk Laila, memasang wajah iba,"Buuuuk, syukurlah ibuk datang. Bapak sama sekali terperdaya oleh Endang Buk. Dia merayu-rayu Bapak, pas Bapak masuk ke gudang dia sudah telanjang seperti tadi, dia rayu Bapak. Bapak ini laki-laki normal Buk!" pembelaan pak Bowo."Bohong kamu! kalian, semua kalian mengintip mereka tadi dari luar kan? kalian pasti tau itu bohong!" buk Laila mengedarkan pandangannya ke arah para Pekerja laki-laki.Mendengar pertanyaan itu, mereka menatap pak Bowo, kemudian melihat ke arah buk Laila yang emosional. Mereka mengangguk perlahan."Nah! mereka mengaku Bapak berbohong!""Sumpah Buuuk. Bapak gak bohong, Bapak rela disambar petir kalau memang Bapak berbohong!"Buk Laila merogoh sakunya, ia ambil HPnya dan menelfon orangtuanya. Ia meminta orangtuanya segera datang ke rumahnya.Pak Bowo pucat pasi, ia sadar. Tanpa harta dari Laila, ia akan menjadi miskin kembali. Dahulu, ia menikahi Laila hanya bermodalkan wajah yang tampan dan drama memelas iba. Ia kemudian bersujud memohon pada Laila agar tidak menceraikannya. Ia berjanji kejadian ini tidak akan terulang kembali."Buuuk, tolonglah Buuuk. Bapak minta ampun, ampuuuun jangan panggil mertua datang ke sini. Bapak bisa habis kalau mereka tau.""Oh ya? sekarang jujur. Sudah berapa kali Bapak melakukan hal curang seperti ini di belakangku?""Bapak gak pernah melakukan kecurangan di belakang Ibuk. Sumpah buk, sambar petir. Mereka mereka ini saksinya!"Pak Bowo menunjuk satu per satu pekerjanya. Sukiyem yang paham betul watak dari Majikannya hanya tersenyum sinis. Jangankan pada pekerja wanita baru, pada dirinya saja pak Bowo sudah berulang kali melakukan hubungan suami istri di kamar buk Laila. Sukiyem juga tahu, bahwa banyak mantan pekerja Wanita di peternakan ini dikeluarkan secara paksa hanya karna mengaku hamil, dan tidak memuaskan lagi.Orangtua buk Laila datang tak berapa lama kemudian, mereka mempertanyakan hal yang terjadi.Tiba tiba, Endang yang sedari tadi tak tampak batang hidungnya muncul dari balik pintu. Tubuhnya penuh lebam dan bekas cakaran. Rambutnya acak-acakan."Saya hampir diperkosa sebanyak dua kali oleh pak Bowo." Endang menuturkan pengakuannya dengan tatapan kosong.Semua yang ada di dalam gudang menatapnya tajam, memperhatikan sekujur tubuhnya tampak seperti habis dianiaya."Kau perempuan lacur! beraninya kau datang ke sini lagi?" kejar buk Laila yang kemudian langsung di tahan oleh Bapaknya."Saya sudah berterus terang, itulah kejadian sebenarnya. Sebelumnya teman-teman saya juga menasehati saya, bahwa bekerja di sini akan membawa sengsara. Karna teman-teman saya banyak yang menjadi korban dari pak Bowo. Ada yang hamil dan melahirkan anak pak Bowo, bahkan banyak yang keguguran lantas meninggal dunia." rentetan penuturan itu mengalir lepas dari wajah dengan tatapan kosong Endang."Lantas kalau tahu begitu, kenapa kau masih bekerja di sini?" tanya orangtua buk Laila."Orangtua saya terjerat hutang berbunga dari pak Bowo, mau tak mau saya harus bekerja di sini.""Bohong! itu fitnah sama sekali, saya bersumpah kesambar petir buk, saya tidak melakukan apa yang dia tuduhkan." pak Bowo tak henti-hentinya bersumpah meyakinkan keluarga istrinya.Wajah Endang tersenyum, air matanya menetes. Ia berbalik, melangkah pergi keluar dari gudang."Heeeeh mau kemana kamu! katakan pada mereka kalau kau berbohong!" kejar pak Bowo saat mendapati Endang hendak pergi.Endang menghentikan langkahnya, ia berbalik."Bukankah orang yang kalian jadikan budak itu adalah anak Bapak?"Endang menunjuk Upik yang sedari tadi berdiri di luar yang tampak kebingunan dengan situasi saat itu."Apa?!" pertanyaan ini serempak keluar dari mulut mereka kecuali pak Bowo."Dia lahir dari rahim seorang wanita yang tinggal di sini sebelum Sukiyem, kekasih pertama pak Bowo sebelum buk Laila. Pak Bowo membawa wanita itu ke rumahnya dengan alasan wanita itu adalah sepupunya yang hamil di luar nikah. Pak Bowo ternyata mengingkari janjinya, wanita itu melahirkan anaknya, dipasung di kandang ayam selama sepuluh tahun, dan mati dikubur jauh di belakang peternakan.Semua keheranan mendengar penuturan Endang."Kaa, kau jangan mengarang cerita yang bukan bukan! kemari kau! akan kuhajar kau sampai mati!" pak Bowo mengejar Endang."Bowo!" suara berat dari Bapak mertuanya.Pak Bowo tercekat, ia menghentikan langkahnya. Suara berat itu seolah seperti cambuk kilat yang menahan kakinya."Paaak, saya bersumpah! itu semua kebohongan dan fitnah.""Semuanya, kembali bekerja seperti biasa. Bowo, Laila, Sukiyem, kalian semua masuk ke rumah! kita bicarakan ini di dalam." perintah bapak Mertua.Semua pekerja bubar, mereka beranjak keluar gudang. Namun, Endang sudah tak ada di tempat ia berdiri sebelumnya. Mereka mencari-cari kemana perginya Endang, tidak mungkin ia bisa pergi begitu saja tanpa disadari oleh siapapun. Di tempat Endang berdiri, mereka hanya melihat sebuah benda seperti batu yang bulat, menggelinding.Upik melihat kejadian itu, semula ia menyaksikan benda bulat itu tiba-tiba ada di dekat pintu gudang. Kemudian mengeluarkan cahaya ungu. dan seketika berubah menjadi sosok Endang. Dan demikian sebaliknya, Endang seketika berubah menjadi benda bulat itu setelah menjadi cahaya berwarna ungu.Sebelum memasuki rumah, buk Laila masih sempat mencakar-cakar tubuh pak Bowo sebisanya, ia mengamuk sejadi-jadinya. Masyarakat yang berlalu-lalang di sekitar jalan lintas hanya bisa menonton di kejauhan, mereka tak berani mendekat karna keluarga buk Laila adalah keluarga berpengaruh di desa itu."Kau berselingkuh, meniduri banyak perempuan dan lacur, kubunuh kau! pergi kau dari kehidupanku!" teriak buk Laila keras-keras, hingga semua orang bisa mendengar jelas.Mendapati keributan itu, orangtua buk Laila berusaha menenangkan anaknya. Menarik anaknya menjauhi pak Bowo.Rasa malu yang tak tertahankan, membuat pak Bowo berteriak agar semua orang juga dapat mendengar pembelaan dirinya."Aku bersumpah kesambar petir jikalau tuduhan itu benar! aku tak pernah melakukan itu semua Buk, itu fitnah!"tiba-tiba angin berhembus cukup kencang, pepohonan bergoyang merontokkan banyak dedaunan. Debu di halaman berterberangan ke sana kemari. Langit menjadi mendung, gemuruh menghiasi awan hitam di atas sana.Menyadari akan segera turun hujan, orangtua buk Laila menyuruh semua masuk ke rumah, namun belum sempat pak Bowo melangkahkan kakinya, sebuah kilat menyambar tubuhnya.Ctaaarrrr!!!!Kilatan cahaya berwarna putih seperti sabetan pedang menghantam tubuh pak Bowo. Pak Bowo tergeletak menegang.Semua orang menyaksikan peristiwa itu. Pak Bowo meninggal seketika.__________________Banyak orang mengerumuni jenazah pak Bowo. Tak ada usaha penyelamatan dilakukan, karna korban sudah meninggal. Mereka membopong tubuh pak Bowo masuk ke dalam rumah. Upik masih berdiri di teras gudang, ia menyaksikan sendiri bagaimana benda bulat hitam itu mengeluarkan cahaya ungunya, saat terjadi angin, mendung dan kilat. Upik berlari mengejar benda bulat itu, ia sembunyikan di balik bajunya. Seolah tak perduli keributan yang terjadi, ia berlari menuju rumahnya. Sampai di rumahnya, ia keluarkan benda bulat itu dari bajunya. Ia perhatikan betul-betul, benda itu tampak tak mengeluarkan cahaya ungu lagi dari celah-celah retakannya. Digoncang-goncangkannya benda tersebut, namun benda itu tetap tak mengeluarkan cahayanya. "Kau ini apa?"Benda bulat itu tampak mengeluarkan cahaya redup keunguan tidak seperti biasanya, lantas padam kembali. "Apa kau hidup?"Kembali benda bulat itu mengeluarkan cahaya redupnya seolah menyahuti pertanyaan Upik. "Kau mengenalku?"Kembali mengeluarkan caha
"Aku tak mau berpisah denganmu Bowo! kau sudah berjanji menikahiku!""Aku tak bisa Ainun. Jika kita menikah, kita mau makan apa? aku sama sekali tak punya pekerjaan.""Lantas kau memilih Laila karna ia memiliki Peternakan Ayam?""Ini kesempatanku untuk merubah hidup Ainun. Mengertilah! Peternakan ayam milik keluarga Laila itu sangat besar, orangtuanya berjanji akan memberikan seperempat dari ternak ayam itu menjadi hak milikku jika aku menikahi putrinya.""Lantas bagaimana nasibku Bowo? kau lupa, aku mengandung anakmu sekarang? sudah memasuki empat minggu Bowo!""Aku mencintaimu Ainun, hanya saja kau harus ikuti rencanaku. Aku takkan membiarkanmu sendirian.""Apa rencanamu?""Kau akan kubawa ke rumah kami setelah aku menikahinya nanti. Akan kuperkenalkan kau sebagai sepupuku yang hamil di luar nikah.""Bagaimana kau bisa meyakinkannya?""Dia cinta mati padaku Ainun, dia akan menurutiku."***Rencana Bowo benar-benar terjadi. Ia menguasai seperempat dari ternak ayam milik keluarga Lail
Sampan terus mengikuti arus sungai, saat Pemuda bola cahaya itu melepas genggamannya dari tangan Upik, cahaya yang keluar meredup kembali. Upik yang menyadari itu langsung tersentak, ia masih belum percaya dengan penglihatannya baru saja. Kilas balik tentang kisah hidup orangtuanya dan dirinya. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Pemuda itu. Upik tiba-tiba menunduk, isaknya terdengar sesak. Sebenarnya ia tidak mengerti tentang arti hidupnya sampai saat ini. Ia lahir dan hidup dengan penuh kepalsuan dan pembodohan. Membayangkan betapa sulit dan menyedihkannya akhir hidup Ibunya, Upik terisak terputus-terputus, "Maaak..." lirihnya, air mata dan ingusnya seketika membanjiri wajahnya. Tikus yang seolah mengerti kondisi Upik naik ke atas pundaknya, berdecit seolah mengatakan turut berdukanya. "Ini sudah ditakdirkan Upik, aku akan selalu membantumu dalam kondisi apapun. Perjalanan menemukan jati dirimu akan dimulai dari sini.""Jati diri?""Ya! selama ini kau terkurung dan disembunyikan, saa
***Aliran sungai yang tenang perlahan membawa sampan menuju pinggiran sungai. Tak begitu jauh terlihat aktifitas warga setempat seperti menyuci pakaian, menyuci piring, mandi dan beberapa anak-anak yang bermain air. Awalnya Upik sumringah, ia sudah membayangkan perubahan hidupnya akan di mulai dari pinggir sungai ini. Bayangan bisa berdampingan dengan masyarakat, beraktifitas seperti orang-orang kebanyakan, dan bercengkrama dengan sesama layaknya manusia, kian membuatnya bersemangat. Tubuhnya ia bungkukkan, kepalanya ia condongkan ke depan, seolah tak sabar menyapa mereka yang berada di pinggiran sungai tersebut. Namun sayang, saat sampan mendekati orang-orang tersebut, respon ketakutan yang ia dapat. Orang-orang yang sedang beraktifitas di pinggir sungai mendadak beringsut, menunjukkan gestur mengusir. Tangan mereka dipukul-pukulkan ke air menghalau sampan mendekat. "Orang gilaaa...! orang gilaa...!" sorakan dari anak-anak yang mengiringi halauan orang tua mengusir Upik untuk men
***Mereka melihat Upik sendirian di atas sampan, penampilan yang tak wajar atau lebih tepatnya seperti orang tak waras, dengan tas karung usang di tangannya. Tiga orang laki-laki tersebut mendadak tertawa, meledek dan ada pula yang menyiram-nyiramkan air ke arah Upik. Salah seoerang yang memegang botol minuman meludah ke arah Upik, yang memegang alat dayung, memukul-mukulkan dayungnya ke sampan yang dinaiki Upik, dan yang berdiri sambil memegang Jala meniru-nirukan gestur kera dengan suara khas keranya. Upik beringsut menjauhkan posisi duduknya dari mereka, dia ketakutan, tas karungnya ia pegang erat-erat, ia tutup matanya sambil berharap Mpus merubah dirinya seketika menjadi manusia bersih dan terlihat normal, agar tiga orang tersebut berhenti membulinya. Berapa kalipun Upik menutup matanya sambil berharap Mpus merubahnya, atau memperlihatkan keajaibannya, saat Upik membuka mata, keadaan tetap sama saja. Hingga sampan milik tiga orang laki-laki tersebut perlahan menjauhinya. Upi
***Sore menjelang petang, Mpus dan Upik sudah berjalan jauh dari tepian sungai. Mereka bertemu beberapa orang yang berlalu lalang yang selalu melihat mereka dengan tatapan heran, terutama melihat Mpus. Dari sekian orang yang mereka lalui, ada beberapa yang menyempatkan menyapa. "Dari mana ini ya Mbak dan Masnya?""Kita dari Desa sebelah pak." Mpus yang menjawab. "Ooo, pantas terlihat asing. Mas dan Mbaknya mau kemana?"Mpus dan Upik saling berpandangan, sampai saat ini mereka belum memiliki tujuan. "Kami baru saja di usir oleh orangtua kami Pak, dia adik saya. Ayah kami menikah lagi dengan perempuan jahat." Mpus mulai mengarang sebuah kisah. "Aduuh, kasihan sekali. Padahal kalian terlihat cantik dan tampan. Bahkan pakaian Mas terlihat sangat berbeda dengan pemuda-pemuda yang biasa saya lihat.""Pakaian saya kenapa Pak?" Mpus memperhatikan pakaiannya dari bawah. "Seperti Pemuda Pengembara saja yang saya lihat di filem-filem, hehehhe..." Mpus dan Upik saling berpandangan. Upik t
***Kriiieeeetttt.... Suara derit pintu terdengar pelan, sosok tersebut mendekati Upik, duduk di sisi dipan dengan mata yang menatap dari kepala sampai ke kaki Upik. "Nuurr..." bisiknya mendekatkan wajahnya ke telinga Upik. Upik menggeliat, lelah seharian membuatnya tak peka dengan bisikan itu. Sosok itu membelai rambut Upik, wajah yang penuh nafsu mendekati leher dan dada Upik. Nafasnya memburu, mengendus aroma tubuh Upik. Tikus putih yang sedari tadi tertidur di balik bantal, menyadari kehadiran seseorang di bilik itu. Tikus tampak memperhatikan sosok tersebut, ia kemudian berdecit keras-keras seolah ingin membangunkan Upik. Mendengar suara decitan tikus tersebut begitu mengganggu. Sosok tersebut menangkap tikus itu dan melemparkannya ke dinding. Tikus terpental ke dinding dan jatuh ke lantai terkulai lemas. Menyadari ada yang tak beres, Upik terbangun. Ia melihat sosok itu tengah berada di atas tubuhnya, duduk berjongkok. "Siapa kamu?!" Upik panik, ia duduk dan mundur. Mel
***Upik mendekap tas karungnya, matanya tak lepas melihat ke arah botol yang semeteran jaraknya dengan tempat ia bersembunyi. Ia berada di tengah-tengah kolong. Tempat itu benar-benar tidaklah nyaman. Di tepi kolong yang berbentuk segi empat itu, hujan sangatlah deras menghantam tanah, menyebabkan percikannya membasahi tubuh Upik. Upik berusaha menjangkau botol tersebut dengan kakinya, berharap bisa menendangnya agar menjauhi posisinya. Belum sampai kakinya mengenai botol, tiba-tiba sosok dari atas menyembulkan kepalanya ke bawah. Membuat Upik terkejut bukan kepalang. Keadaan semakin didramatisir dengan kilat dan petir yang bersahutan. Suasana gelap, membuat kepala yang menyembul ke bawah tak memperlihatkan dengan jelas wajah si pemilik. Kepala yang menyembul itu seperti memperhatikan sekitar, Upik berharap kilatan cahaya tak memperlihatkan keberadaan dirinya di bawah kolong. Sebuah tangan meraba-raba mencari botol yang jatuh, dan saat botol tersebut bisa diraih, kepala tersebut ter
"KENAPA KAU SERAHKAN BAYIKU, B4JINGAAAAN!!!" Praaankk!! Praaangggg!!! Santi mengamuk, ia yang seharusnya masih lemah dan berdarah-darah melangkah menuju sebuah vas bunga besar di atas nakas dan melemparkannya ke arah Mpus. Vas bunga itu pecah berkeping-keping dengan tumpahan air yang mengisi vas itu menggenang di lantai. Mpus bergeming, ia berdiri menatap pintu masuk ruang tamu sambil bersidekap. "Apa maksudnya ini? jadi, jadi kau tadi diam tak menjawab bukan karena kehendakmu, Santi?" tanya Liom tampak bingung. "Aku yakin, pria aneh ini yang menahanku untuk tidak bereaksi! entah apa maksudnya?! apa kau langsung gil4 saat mendapati jumlah uang dan mendengar nominal sepuluh juta dolar?! Hah! tak kusangka orang aneh sepertimu bahkan lebih matrealistis dari orang sepertiku!" cecar Santi sembari menunjuk-nunjuk ke arah Mpus dengan netra melotot dan berair. Liom menatap nyalang ke arah Mpus yang masih bergeming tak menyahut, ia mengernyitkan keningnya tak mengerti. Liom menoleh ke ar
***Mpus yang menyadari Wijaya telah berada di dekat mereka segera pasang badan. Ia menghalangi Wijaya untuk mendekat. "Kau, siapa? penampilanmu aneh sekali! dari tadi aku salah fokus padamu! apakah kau semacam dukun atau paranormal?" tanya Wijaya memperhatikan Mpus dari ujung kaki ke kepala. "Kau tak berhak atas bayi itu! enyahlah dari sini!" "Oh, ya?! begitukah? kau tak bertanya dulu pada Santi? isteriku?" tanyanya percaya diri. Mpus berpaling, melihat ke arah Santi yang sedang memeluk bayinya. Santi tampak ragu dan menatap Mpus dan Wijaya bergantian. "Ayo, mari! berikan bayi itu padaku, Santi!" ucap Wijaya masih percaya diri. "Kau telah berjanji akan menceraikan kedua isterimu jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Mas!" Wijaya berdecak kesal. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan membuang cerutunya sembarang. "Sepertinya ada yang kau tak mengerti, Santi! aku tak mungkin menceraikan mereka!""Apa maksudmu, Mas? bukankah kau yang kemarin bersumpah akan men
*** Wijaya adalah suami Santi, seorang pria berpengaruh di Kota ini. Menikahi Santi baginya adalah sebuah kesalahan yang ternyata berbuah manis. Hanya saja, manisnya buah tak bisa ia miliki begitu saja, karna Santi bukanlah wanita lemah dan bodoh seperti sangkaannya pertama kali, demikian buah manis itu tak pula dengan mudah ia peroleh karna terhalang oleh dua orang Istrinya. Sebenarnya Wijaya menikahi Santi tidaklah ia rencanakan. Hanya main-main, demikian dengan Surat Perjanjian yang ia tandatangai asal saja. Baginya, tidur dengan banyak wanita, dan tak ada satupun yang mengandung anaknya, sudahlah membuktikan bahwa dirinyalah yang bermasalah. Tapi tidak dengan Santi, Ia ternyata benar-benar mengandung darah dagingnya. Awalnya, Wijaya meragukan kalau yang dikandung Santi adalah darah dagingnya. Seperti kebanyakan wanita yang mendatanginya dan mengaku hamil. Namun, karna kepercayaan diri Santi yang tinggi, Santi juga dalam keadaan perawan saat ia nikahi, dan ia bersedia melakukan
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w
***Liom dan Upik langsung mengejar dan melihat ke bawah. Mata mereka melotot, tangan mereka seakan ingin meraih, namun hanya railing tangga yang bisa mereka raih dan genggam. Sementara si Kurir berlari menghindar dan mendekati Lelaki asing yang masih bersujud kesakitan. Liom dan Upik melihat ke bawah, Santi berada di sana, namun tidak ada hal yang mengenaskan terjadi. Santi sedang digendong melayang oleh Mpus. Melihat itu, Liom dan Upik langsung terduduk lemas, mereka menghembuskan nafas lega. Tak terbayangkan jika Santi mengalami hal yang mengerikan itu, jatuh dari lantai dua dalam keadaan hamil besar. Tubuh Santi digendong Mpus masih dalam keadaan melayang. Mata mereka beradu, namun Mpus segera mendongakkan wajahnya melihat ke atas. Sementara Santi masih syok dan terperangah. Antara percaya dan tidak percaya, mereka berdua benar-benar sedang melayang di udara, kaki Mpus sama sekali tidak menapak di lantai. Ia pandangi wajah Mpus yang teduh dan tampan. Seketika ia terjebak lagi
***Sosok itu menekan tombol-tombol itu, kemudian membuka-buka berkas yang ada di sana. Sepertinya sosok itu berhasil membuka pintu brankas itu. Mpus membuka pintu kamar itu lebar, sosok itu langsung menoleh dan terkejut. Ia tampak tak menduga seseorang bisa menyadari apa yang ia lakukan di kamar Bambang. "Kau lupa dengan sumpahmu, Rian?" tanya Mpus. "Aaaaah, kukira kau siapa!?" Rian tampak sedikit lega dan memasukkan berkas itu kembali ke dalam brankas. "Kau sedang apa?" tanya Mpus. "Aku sedang mengganti pin sandinya, aku khawatir Santi melihatku tadi menekan tombol sandinya.""Aku berharap kau tak lupa akan sumpahmu!" "Aku tak mungkin berkhianat. Meskipun kemarin Julian tidak membuat perjanjian darah padaku di depanmu, aku takkan berkhianat!""Kuharap demikian, kalau kau berusaha mengkhianati Liom, kau pasti tahu akibatnya.""Aku sudah selesai merubah pinnya, apa kau mau bertahan di sini?" Rian beranjak dari posisi berjongkoknya, hendak keluar kamar. Mpus membiarkan Rian berl
***Lima hari dalam perawatan, akhirnya Liom diperbolehkan pulang, namun harus terus melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit. Mpus, Upik, Rian dan Santi berada satu mobil dengan Liom. Tujuan mereka adalah ke rumah Bambang di tengah-tengah Perkebunan. Ya, rumah masa kecil Liom dan keluarganya, sekaligus rumah yang didiami Rianti selama ini."Santi, kau tidur dengan Upik di kamar tamu lantai dua ya!? dan aku bersama Mpus." Liom membuka percakapan. "Ogah banget berbagi kamar dengan perempuan kampung ini." jawab Santi. "Yasudah, kamu tidur bersama Mpus saja." kata Liom. "Kamu apa-apaan sih, Liom!? di rumah ini ada banyak kamar tamu, kenapa gak masing-masih saja sih?" "Kamu sedang hamil besar, seseorang harus selalu ada di sisimu untuk berjaga-jaga." terang Liom. "Okee! oke! baiklah! tapi, aku tak mau seranjang dengannya." "Di kamar tamu nomor dua, itu khusus untuk anak. Jd ranjangnya ada dua, selesai kan?!" jelas Liom pada Santi. Santi hanya diam meski tetap bersungut-sungut tak je
***"Sudah, sudah! Liom, memangnya di situ siapa nama aku dan Mpus tertulis?" tanya Upik. "Apa?! kau bahkan tak tahu membaca?" tanya Santi menertawakan Upik. "Aku juga tak tahu membaca." jawab Mpus memandang Santi yang seketika terdiam saat dipandangi tajam oleh Mpus. "Aaah, begini Santi. Selain untuk melindungimu, aku juga memberikan sebuah tugas untukmu. Kau tentu paham, kau di sini tidak gratisan kan?" ucap Liom. "Apa maksudmu, Liom!?" tanya Santi melangkah mendekati Liom. "Kau tentu tahu, Bapakku telah memutuskan hubungan dengan keluarga besar kita. Aku bahkan mengambil resiko, menyembunyikan istri seorang Pengusaha kaya di kota ini. Tentu kau juga paham itu tak gratis.""Liom, kupikir kau menolongku karna aku sepupumu satu-satunya. Kau tulus melakukan itu.""Kau bahkan tak perduli padaku, saat aku membutuhkan pertolongan dari semua orang.""Aaah, baiklah! aku terdesak, apa yang kau butuhkan dariku?!" tanya Santi. "Kau hanya perlu mengajari Mpus dan Upik belajar membaca, ber