"Ayah, kita ada di mana?"
Saat kakinya melangkah pada pintu rumah yang dibuka beberapa pelayan, seketika mereka menundukkan kepalanya, "Selamat datang Pak Hafidz," ucap salah satu kepala pelayan pada Hafidz yang berdiri di samping anaknya."Terima kasih, tolong kalian siapkan kamar untuk anakku, dia akan tinggal di rumah ini." perintah Hafidz pada kepala pelayan."Laksanakan Pak Hafidz."Putri melihat ke arah ayahnya, tidak lupa menarik tangan ayahnya agar mau menjawab pertanyaannya."Ayah, rumah siapa?"Hafidz mendengar pertanyaan anaknya, dia juga kebingungan harus menceritakan dari mana dirinya memulai."Ini rumah Ayah, rumah kamu juga, sekarang kita berdua tinggal di sini, kamu tidak apa-apa 'kan?"Putri melirik rumah yang dia masuki bersama ayahnya, terlihat berbeda dari rumah yang dia tempati sebelumnya."Tidak apa-apa, Ayah. Rumah ini besar sekali. Putri suka rumahnya, tidak ada yang berter"Sekarang ikut dengan kami tanpa perlawanan, karena kami akan kasar kalau Ibu tidak mau mengikuti kami, semuanya akan diproses ke polisi kalau Ibu tidak mau."Lestari mendengarnya, ancaman petugas yang menakutkan baginya, tidak mau berurusan dengan polisi karena Lestari sendiri sudah memalsukan saksi untuk membuat menantunya bersalah. "Ok, baik. Tapi jangan kasar! Aku akan jalan sampai di tempat tujuan kalian."Terpaksa Lestari mengikuti mereka berdua, akhirnya Hafizah melihat mertuanya pergi dari halaman rumah dan sudah keluar bersama petugas tadi. "Rasanya lega hidup tanpa orang seperti Ibu, mungkin bukan aku yang akan mengerti Ibu, maafkan aku Mas, tadinya aku mau berbakti pada Ibumu karena kamu adalah suamiku, tapi aku tidak sanggup dengannya," ucap Hafizah membalikkan tubuhnya ke arah lain. Hafizah berjalan ke arah tempat tidur, dia merebahkan tubuhnya setelah selesai dengan drama mertuanya. "Akhirnya aku bebas, apa yang
Hafidz mengarahkan mobilnya menuju restoran yang terkenal dengan steak daging segar. Di sepanjang perjalanan, Putri, yang berusia lima tahun, terlihat ceria memainkan boneka kesayangannya, sambil sesekali melirik ke arah jendela, menyaksikan pemandangan kota yang berlalu-lalang."Putri, nanti setelah makan, kita bisa pergi ke taman bermain, ya?" tawar Hafidz dengan senyum hangat di wajahnya."Yeay! Aku suka taman bermain! Tapi Ayah, aku mau naik wahana yang tinggi-tinggi," jawab Putri dengan semangat, matanya berbinar penuh harapan.Hafidz hanya bisa tertawa mendengar keinginan anaknya. "Baiklah, kita akan naik wahana yang tinggi, tapi Ayah harus melihat dulu apakah itu aman untukmu."Setelah beberapa menit, mereka tiba di restoran. Aroma daging yang dipanggang memenuhi udara, membuat perut Putri berbunyi. Mereka duduk di meja dekat jendela, dan Hafidz memesan berbagai hidangan daging yang diinginkan Putri."Sambil menunggu makanan, Ayah
Hafizah memohon dengan nada penuh harap kepada Hafidz, meminta kesempatan untuk menghabiskan satu hari bersama mereka. "Setidaknya untuk hari ini saja aku bisa bersama kalian, atau aku ke tempat tinggal kalian berdua. Aku janji tidak akan meminta lebih dari itu," katanya sambil menatap Hafidz.Meski berusaha menahan diri, Hafidz akhirnya mengalah. Ia tahu, terutama karena Putri, anaknya, juga senang berada di dekat Hafizah. "Baiklah, kita pergi ke rumahku. Tapi jangan kaget kalau nanti kamu mengetahui sesuatu yang belum pernah kamu tahu tentangku," kata Hafidz tegas."Tenang saja. Aku akan mencoba memahami semuanya. Hal yang kamu sembunyikan mungkin memang urusanmu. Aku tidak berhak menanyakan itu. Aku hanya ingin bersama Putri hari ini," jawab Hafizah dengan lembut.Tanpa kata tambahan, Hafidz menyetujui. "Baik, kita pergi sekarang," putusnya, berjalan lebih dulu meninggalkan Hafizah dan Putri yang masih saling pandang. Putri terus memeluk Hafiz
Di ruang keluarga yang penuh dengan keheningan, Hafizah menatap Hafidz dengan tatapan yang penuh makna. Di dinding, jam berdetak pelan seolah ikut merasakan ketegangan di antara mereka. Suasana itu terasa berat, namun ada sesuatu yang tak terucapkan, sebuah keinginan untuk memahami dan diterima.Hafidz, yang awalnya terdiam, mulai merasakan getaran emosional yang aneh. "Tapi, kenapa harus sampai mengusirnya? Bukankah dia mertuamu?" tanyanya, suaranya bergetar tidak yakin.Hafizah menghela napas panjang, matanya menatap keluar jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. "Kau tidak mengerti, Hafidz. Ibu Lestari jahat, dia juga seorang wanita yang keras kepala. Dia selalu merasa berhak untuk mengatur hidupku, bahkan setelah aku menikah dengan anaknya. Dia tidak bisa menerima bahwa rumah ini adalah milikku sekarang. Dia masih terjebak dalam pandangan bahwa semua yang ada di sini adalah miliknya."Hafidz merasa hatinya bergetar. Dia tahu betul bagaimana hubun
Hafizah terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Hafidz. Dia tahu betul bahwa keluarganya memiliki harapan besar padanya, untuk melanjutkan bisnis keluarga dan menjadi sosok yang diandalkan. "Aku akan bekerja di perusahaan Ayahku, aku bisa memulai dari sana," ucapnya bersemangat. Sebuah perasaan campur aduk mengisi hatinya. Di satu sisi, dia merasa lega bisa berbagi beban dengan Hafidz, adik ipar yang tidak disangka-sangka bisa menjadi pendengar yang baik. Namun di sisi lain, bayang-bayang masalah dengan mertuanya masih membayangi pikirannya.Hafidz, yang duduk di dekatnya, merasakan ketegangan yang menyelimuti suasana. "Kamu tahu, Hafizah, setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda. Kadang, kita perlu berani mengambil langkah yang tak terduga, aku rasa langkahmu sudah benar," katanya sambil memandangi wanita itu. "Terima kasih, Hafidz. Semua ini berguna untuk aku, tidak akan aku lupakan semua ucapan kamu, Hafidz."Pembicaraan mereka
Hari itu terasa hangat dan penuh semangat saat Hafizah berdiri di depan pintu rumah. Dalam suaranya, terdengar harapan yang tersirat, "Hari ini menyenangkan. Apa aku masih boleh bertemu dengan Putri? Aku tahu mungkin hanya ada satu kesempatan, tapi aku pasti akan merindukan Putri."Hafidz berdiri tak jauh darinya, mendengarkan dengan seksama. Raut wajahnya menunjukkan pemahaman akan ketulusan wanita di hadapannya terhadap anak perempuannya."Benarkah?" tanyanya dengan mata yang berbinar penuh harapan."Benar. Tapi untuk sekarang, lebih baik kamu pulang sebelum malam semakin larut. Apa aku boleh mengantarmu? Rasanya tidak pantas jika seorang wanita pulang larut malam sendirian."Hafizah mengangguk kecil. "Baiklah, aku tidak masalah.""Sekarang ayo ke mobil, biar aku antar kamu pulang," lanjut Hafidz.Tanpa banyak kata lagi, mereka menuju mobil Hafidz. Di dalam kendaraan itu, keduanya duduk bersebelahan, namun keheningan menyelimut
Hafizah bertanya dengan percaya diri, menyiratkan harapan besar dalam suaranya. "Jadi, maksudnya ada kesempatan aku diterima cintanya sama kamu? Aku memang bukan Dera, tapi aku Hafizah, wanita yang tulus menyayangi Putri, anakmu. Aku yakin Putri juga akan bahagia jika aku bersama kamu."Hafidz menghentikan mobilnya perlahan. Tanpa sadar, mereka sudah sampai di depan rumah Hafizah. Namun, kebingungan masih menguasai dirinya. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons pernyataan Hafizah yang begitu jujur."Sudah sampai, Hafizah. Kamu bisa masuk sekarang. Aku harus segera pulang. Putri pasti mencariku di rumah," katanya singkat dengan nada terukur.Hafizah hanya mengangguk memahami situasi. Ia turun dari mobil tanpa mendesak lebih jauh. Setelah menutup pintu mobil, ia melambaikan tangan ke arah Hafidz yang langsung melanjutkan perjalanan.Dalam hatinya, Hafizah berbicara kepada dirinya sendiri. "Aku tahu kamu cuma mau kebahagiaan untuk Putri, tapi aku j
Hafidz, dengan suara lembut namun mendesak, bertanya pada Hafizah apakah ia bersedia ikut dengannya ke rumahnya lagi. Menurut Hafidz, Putri sepertinya tak bisa jauh dari Hafizah, dan jika Hafizah setuju, mereka harus segera pergi sebelum Putri merasa kelaparan. Hafidz mengungkapkan bahwa ia meninggalkan Putri tadi karena mendapat pesan dari Hafizah. Namun, Hafizah tidak kunjung menjawab, membuat Hafidz akhirnya bertindak tanpa meminta persetujuan wanita itu. Dia berkata sambil bercanda, jika Hafizah tak memberikan jawaban, maka ia tak akan segan untuk langsung menggendongnya. Tanpa menunggu jawaban, Hafidz mengangkat tubuh Hafizah dan membawanya keluarHafizah terkejut setengah mati melihat dirinya tiba-tiba digendong oleh Hafidz keluar dari rumah. Dia memprotes keras, memintanya untuk segera menurunkannya. Namun, Hafidz bergeming, tetap membawanya hingga ke depan mobilnya.Sambil membuka pintu mobil, Hafidz menjelaskan bahwa malam ini ia memiliki janji k
Setelah Hafidz tiba di depan rumah Hafizah, tampak jelas bahwa Hafizah langsung mengenali kedatangannya. "Hafidz, kamu kemana saja? Kenapa sulit sekali dihubungi? Aku dan Putri sudah menunggu kamu seharian ini," ucap Hafizah tanpa henti, sehingga Hafidz tidak sempat memberikan jawaban. Meskipun waktu sudah hampir pagi, Hafizah tampak sama sekali tidak mengantuk. "Tenanglah, Hafizah. Aku sudah ada di sini, jadi kamu tidak perlu khawatir. Di mana Putri? Aku harus membawanya pulang sekarang, tidak baik jika dia merepotkan mu.""Bagian mana yang membuatku repot? Hafidz, aku sudah hampir seperti ibunya, jadi aku akan menjaganya. Apakah kamu tidak berniat untuk menginap di sini?"Hafidz menggelengkan kepala, tetapi dia juga tidak ingin meninggalkan Putri di rumah Hafizah."Kalau begitu, aku akan tidur di luar," kata Hafidz."Kenapa harus di luar? Aku bisa menyiapkan kamar lain untukmu, karena di sini ada cukup ruang untuk beberapa or
"Baiklah, tetapi tolong jawab pertanyaan ku, Hafidz. Mengapa kamu begitu ingin Hafizah bertemu dengan anaknya? Bukankah jika Hafizah tidak bertemu dengan anaknya, kamu bisa bersamanya dan dia bisa mencintai hanya anakmu yang dianggap haram itu?""Tutup mulut, Ibu!"Hafidz semakin marah pada Lestari yang terus-menerus menyebut anaknya sebagai anak haram, padahal dia sudah berusaha membantu Lestari di saat tidak ada seorang pun yang mau membantu, termasuk Hafizah."Hafidz, tenanglah. Kamu boleh marah padaku, tetapi perlu kamu ingat bahwa aku tidak bisa menganggap anak Hafizah sebagai cucuku. Ibunya sering kali bertindak bodoh dan membawa malapetaka bagi orang-orang terdekatnya, termasuk suaminya yang telah meninggal, yang juga merupakan anakku. Aku tidak bisa melupakan semua itu. Jadi, pikirkanlah dengan matang jika kamu berniat untuk menikahi Hafizah.""Aku tidak ingin meminta pendapat Ibu tentang anak dan calon istriku. Di sini, aku ingin membantu
"Sepertinya ada beberapa tugas yang perlu aku selesaikan terkait pekerjaanku. Apakah kalian akan makan lebih cepat? Aku harus pergi. Nanti aku akan langsung mengantarmu pulang," kata Hafidz sambil memasukkan ponselnya ke saku kemejanya."Kalau Ayah sibuk, lebih baik biarkan kami berdua saja. Aku masih ingin menghabiskan waktu dengan Tante cantik. Ayah selalu saja sibuk bekerja tanpa memikirkan waktu untuk bersamaku," protes Putri, sudah menduga bahwa ayahnya akan bersikap seperti ini lagi."Maafkan Ayah, sayang. Tapi nanti, jika Ayah punya waktu lebih, Ayah akan mengajakmu berlibur. Ayah tidak akan meninggalkan kalian. Sebaiknya kalian pulang bersama asisten Ayah, dia akan segera datang."Hafizah memahami pekerjaan Hafidz, namun perhatian matanya tertuju pada Putri yang tampak kecewa terhadap ayahnya. "Tidak apa-apa, Hafidz. Kamu pergi saja, aku akan menjaga Putri. Dia anak yang baik dan pasti akan mengerti bahwa ayahnya bekerja keras untuknya."
"Tante cantik, aku mau pilih cincin yang ini. Cincinnya cantik seperti Tante dan aku. Ayah pasti juga akan suka dengan pasangannya. Aku tahu selera Ayah pasti begini."Putri akhirnya memutuskan pilihannya, menatap cincin di depannya dengan penuh keyakinan. Hafidz dan Hafizah tak mungkin keberatan dengan pilihan Putri."Iya, pilihanmu bagus. Ayah pasti suka," ujar Hafidz."Tante juga suka sama cincinnya. Pintar sekali kamu menemukan cincin sebagus ini. Kalau begitu, Tante pilih cincin ini, ya. Tinggal tugas Ayahmu untuk mencocokkannya buat anaknya," sahut Hafizah dengan senyum lembut.Hafizah melirik Hafidz, yang terlihat sedikit gelisah. Ini pertama kalinya dia membeli cincin bersama seorang wanita."Ayah," panggil Putri sambil menarik tangan ayahnya."Eh? Iya. Nanti Ayah usahakan setelah pembayarannya. Kamu tenang saja. Tempat ini cukup bagus untuk membuat cincin yang sama, tapi mungkin butuh beberapa hari. Apa kamu tidak apa-apa?" tanya Hafidz penuh perhatian.Hafidz sempat bingung
Hafizah menerima telepon dari pihak kepolisian tentang suatu hal, yang ternyata masih berkaitan dengan ibu mertuanya."Siapa yang menelepon, Hafizah? Kamu terlihat kaget setelah menerima telepon tadi," tanya Hafidz yang memperhatikan perubahan ekspresi calon istrinya. Hafidz tahu ada sesuatu yang tidak beres, terlihat dari raut wajah Hafizah yang sudah tidak seceria sebelumnya."Ibu ditangkap polisi atas dugaan kasus pencurian. Ini sepertinya ada hubungannya dengan teman-temannya sendiri. Aku masih sulit percaya, apalagi tanpa campur tangan kita berdua, Ibu akhirnya ditahan," ujar Hafizah, suaranya terdengar berat dan penuh perasaan campur aduk. Menghadapi ibu mertuanya memang selalu menjadi tantangan untuk mereka berdua, tetapi sekarang keadaannya telah berubah, ibu mertuanya harus menghadapi konsekuensi atas tindakannya sendiri."Dengan begitu, mungkin dia akan punya waktu untuk merenungkan semua yang pernah dia lakukan, bukan cuma soal masalah kita atau anak-anaknya. Tak bisa dipu
"Apa rencanamu setelah ini, Hafizah?" Hafidz membuka percakapan lagi setelah mereka berbincang cukup panjang. Nada suara dan sorot matanya memancarkan rasa ingin tahu yang mendalam terhadap wanita di hadapannya.Hafizah menatap balik, dalam dan penuh makna. Perasaannya—yang sejujurnya telah berubah sepenuhnya terhadap Hafidz—tak memberi ruang sedikit pun untuk kebimbangan. Ia telah yakin dengan keputusannya, meski jalan yang harus dilaluinya tak mudah."Aku ingin menikah denganmu, Hafidz," katanya. "Tapi sebelum itu, aku harus menyelesaikan proses perceraian dengan Mas Hamid. Kamu tahu tujuan hidupku sekarang. Awalnya, niatku keluar dari penjara hanyalah untuk bertemu anakku. Tapi ternyata anakku tidak di sini. Jadi, daripada terus terkungkung dalam penyesalan, lebih baik aku melanjutkan hidup tanpa beban dan berusaha bahagia."Perkataan Hafizah membuat hati Hafidz terasa berat. Sebab ia tahu betapa pentingnya anak Hafizah baginya. Ia juga tahu bagaimana H
"Tenanglah, Hafizah. Kamu tidak perlu menangis sendirian. Sekarang ikutlah bersamaku ke villa untuk bertemu Putri," ujar Hafidz, berniat membawa kembali calon istrinya untuk berkumpul bersama dalam satu rumah. Namun, Hafizah tampaknya tidak begitu senang dengan ajakan itu. Dia enggan terlihat lemah karena terus-menerus mengandalkan Hafidz dan Putri untuk menghiburnya. "Mungkin lain kali. Sebenarnya aku ingin bertemu Putri, tapi hari ini aku harus bekerja. Kamu tahu, aku tidak mungkin meninggalkan tugas pentingku. Ini hari pertamaku mengambil alih perusahaan orang tuaku." Hafidz terdiam mendengar pernyataan itu. Ia baru menyadari bahwa Hafizah kini juga memilih jalan yang sama dengannya, yaitu fokus pada perusahaan. "Benarkah, Hafizah?" "Iya," jawab Hafizah singkat. "Sejak kapan ini terjadi? Kamu tidak pernah menceritakannya padaku. Aku benar-benar terkejut mengetahui kamu memiliki perusahaan sendiri. Tidak heran suamimu ing
Hafizah dan Lestari tiba di panti asuhan, tempat yang selama ini Hafizah yakini bisa memberinya harapan untuk menemukan anaknya. Perasaan campur aduk menghantui Hafizah, namun keyakinannya tetap kuat."Anakmu ada di sini," ujar Lestari sambil mengarahkan pandangannya ke sekelompok anak yang berlarian di taman panti asuhan. "Aku dan Dera meletakkan anakmu di depan pintu panti ini waktu itu. Aku yakin ibu panti asuhan mengambilnya. Mungkin salah satu dari mereka adalah anakmu." Degup jantung Hafizah semakin kencang mendengar pernyataan itu. Matanya menerawang, mencari sosok yang mungkin adalah buah hatinya. "Benarkah, Bu? Aku tidak sabar ingin memeluknya. Sebagai ibunya, aku yakin akan mengenalinya. Aku harus segera bertemu dengan ibu panti." Tanpa basa-basi, Hafizah melangkah terburu-buru. Janji kepada Lestari untuk memberikan uang hampir terlupakan."Tunggu dulu, Hafizah!" panggil Lestari dengan nada menuntut. "Ada apa, Bu?"
Hafizah akhirnya tiba di rumahnya sendiri. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mertuanya jika mengetahui dirinya pulang tanpa pendamping. Namun, saat Hafizah melangkah masuk, matanya sempat menangkap keberadaan orang-orang suruhan Hafidz yang berjaga di luar gerbang.Dalam hati, dia merasa bahwa hal terbaik sekarang adalah mandi dan beristirahat. Esok pagi, dia berencana menemui Ibu Lestari lagi untuk bertanya tentang keberadaan anaknya.Setelah mengambil handuk dari lemari, Hafizah segera menuju kamar mandi. Malam itu adalah waktu yang dia perlukan untuk menenangkan diri setelah hari yang penuh tekanan.Di tempat lain, Lestari sedang berjalan sambil memikirkan Hafizah. Dia menduga Hafizah mungkin berada di rumah Hafidz. Sebuah ide tiba-tiba muncul di benaknya—untuk pergi ke rumah Hafizah demi menyusup dan menginap di kamar lamanya.Namun, saat Lestari sampai di depan rumah Hafizah, dia melihat dua penjaga tengah berjaga dengan waspada di gerbang. Kehadiran mereka membuatnya